Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49369 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hondo Supeno
"Latar Belakang Masalah
Telah dikenal berbagai cara untuk pemeriksaan adanya penyakit jantung koroner baik secara invasif maupun non invasif, untuk menentukan jenis dan lokasi kelainan tersebut.
Salah satu pemeriksaan non invasif yang kini telah dapat dikerjakan di Indonesia adalah pemeriksaan perfusi miokard dengan memakai Thallium 201 (3).
Pada tahun 1973, Zaret dan Strauss telah mempergunakan potasium 43 untuk pembuatan perfusi miokard terhadap penderita transien miokard iskemi (3). Kemudian pada tahun 1975 dipergunakan Thallium 201, sebagai analog dari potasium untuk pemeriksaan perfusi miokard. Pada tahun 1976 Ritchie dkk melaporkan penggunaan Thallium 201, dimana pemeriksaan kedua dilakukan 2 jam kemudian tanpa disuntik Thallium.
Diantara berbagai kelebihan dari pemeriksaan perfusi ini juga didapatkan beberapa kelemahan, yaitu adanya organ-organ sekitar seperti ventrikel kanan, diafragma, jaringan lemak (terutama pada wanita adanya payudara) gaster dan hepar yang ikut mengambil Thallium 201.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tertentu, tergantung pembuluh koroner mana yang terkena, derajat penyempitan, berapa buahkah pembuluh yang terkena, apakah satu pembuluh atau beberapa pembuluh (1,4,5,7).
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Silawati
"Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan salah satu kelainan kongenital paling umum pada anak. Bedah jantung koreksi dengan cardiopulmonary bypass (CPB) adalah penatalaksanaan definitif untuk banyak kasus PJB. Namun, angka mortalitas dan morbiditas pascabedah jantung tetap tinggi, sehingga pemantauan hemodinamik yang efektif di Cardiac Intensive Care Unit (CICU) menjadi sangat penting. Parameter mikrosirkulasi seperti kadar laktat darah telah lama digunakan untuk mengevaluasi luaran klinis. Namun, metode non-invasif seperti indeks perfusi (IP) kini semakin diminati untuk memantau mikrosirkulasi secara real-time dan berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara IP dan kadar laktat darah pada pasien anak pascabedah jantung koreksi. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dilakukan di ruang perawatan jantung intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada September-Oktober 2024. Subjek penelitian adalah anak berusia 1 bulan hingga 18 tahun yang dirawat setidaknya 8 jam pascabedah jantung koreksi yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan IP dan kadar laktat darah dilakukan pada jam ke-1, 4, dan 8 pascabedah. Data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman dengan bantuan SPSS versi 25.0. Berdasarkan analisis studi yang didapatkan pada 34 anak yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik demografis subjek memiliki usia median 21,5 bulan (rentang interkuartil: 10,25–79,5 bulan). Dengan penyakit jantung bawaan (PJB) asianotik merupakan diagnosis terbanyak, yaitu 20 subjek (58%). Sebagian besar subjek mengalami malnutrisi, dengan distribusi status gizi buruk pada 14,7% dan gizi kurang pada 44,1%. Sebanyak 23 subjek (66%) menjalani operasi bedah jantung koreksi dengan bantuan mesin sirkulasi ekstrakorporeal (CPB). Dari jumlah tersebut, 20 subjek (86%) memiliki durasi CPB di bawah 120 menit, sementara 3 subjek (14%) memiliki durasi CPB lebih dari 120 menit. Selain itu, 6 subjek (18,2%) mengalami Low Cardiac Output Syndrome (LCOS), sedangkan 27 subjek lainnya (81,8%) tidak mengalami LCOS. Sedangkan dari hasil penelitian ini juga ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara IP <1,4 dengan kadar laktat darah pada jam ke-4 (-0,455, p=0,038) dan jam ke-8 (-0,515, p=0,017). Sebaliknya, IP ≥1,4 pada jam ke-4 menunjukkan korelasi positif yang kuat dengan bersihan laktat (0,719, p=0,006). Hal ini menunjukkkan bahwa Indeks perfusi memiliki korelasi yang signifikan dengan kadar laktat darah, sehingga dapat menjadi parameter non-invasif yang berguna untuk memantau status mikrosirkulasi pada anak pascabedah jantung korektif.

Congenital heart disease (CHD) is among the most common congenital disorders in children. Corrective cardiac surgery with cardiopulmonary bypass (CPB) is a definitive treatment for many CHD cases. Despite advances, post-cardiac surgery morbidity and mortality remain significant, emphasizing the importance of effective hemodynamic monitoring in the Cardiac Intensive Care Unit (CICU). Blood lactate levels are well-established microcirculatory indicators for clinical outcomes. Recently, non-invasive methods like the Perfusion index (PI) have gained traction for continuous and real-time microcirculatory assessment. The Objective of this study aimed to evaluate the correlation between PI and blood lactate levels in pediatric patients post-cardiac corrective surgery. An prospective cohort study was conducted in the CICU of Cipto Mangunkusumo Hospital from September to October 2024. Pediatric patients aged 1 month to 18 years who were hospitalized for at least 8 hours post-cardiac surgery were included. PI and blood lactate levels were measured at the 1st, 4th, and 8th hours post-surgery. Data were analyzed using Spearman’s correlation test via SPSS version 25.0. Based on the analysis study from thirty-four children participated in this study. The results showed that from the demography caracteristic the subjects showed that the median age was 21,5 months (interkuartil range: 10,25–79,5 months). With the acyanotic congenital heart disease (CHD) as the most diagnosis are 20 subject (58%). Most of the subject with malnutrision, with the poor nourished distribution was 14,7% and undernourished was 44,1%. With 23 subject (66%) have undergone the heart correction surgery with Cardiopulmonary bypass machine (CPB) with 20 subject (86%) had the CPB time under 120 minutes, 3 subject (14%) with CPB time more than 120 minutes. Beside that, 6 subject (18,2%) had. the Low Cardiac Output Syndrome (LCOS), and another 27 subject (81,8%) didn’t. A significant negative correlation was observed between PI <1.4 and blood lactate levels at the 4th hour (-0.455, p=0.038) and the 8th hour (-0.515, p=0.017). Conversely, PI ≥1.4 at the 4th hour showed a strong positive correlation with lactate clearance (0.719, p=0.006). This results showed that the Perfusion index demonstrates a significant correlation with blood lactate levels, supporting its utility as a non-invasive parameter for monitoring microcirculation in pediatric patients post-cardiac corrective surgery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Chandratmoko
"ABSTRAK
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu masalah penting dalam bidang kardiologi. Penentuan ada tidaknya PJK yang bermakna, luasnya PJK dan resiko yang dihadapi sangat diperlukan untuk penanganan penderita PJK. Salah satu pemeriksaan non invasif yang relatif baru di Indonesia adalah pemeriksaan perfusi miokard dengan menggunakan bahan radioaktif Thallium 201. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan skintigrafi Thallium 201 yang dilakukan di RSJHK dan menilai sensitifitas pemeriksaan ini dalam mendeteksi penyempitan pada individu arteri koroner.
Dilakukan penelitian retrospektif dan prospektif terhadap penderita dengan penyakit jantung koroner atau tersangka penyakit jantung koroner yang dilakukan pemeriksaan perfusi miokard dengan Thallium 201 antara Januari 1987 sampai dengan Maret 1989 dan dilakukan angiografi koroner dengan selang waktu tidak lebih dari tiga bulan. Dari 454 orang yang dilakukan pemeriksaan perfusi miokard dengan Thallium 201 pada periode tersebut, terdapat 108 orang yang memenuhi persyaratan penelitian terdiri dari 105 pria dan 3 wanita dengan usia rata - rata 52,05 ±8,5 tahun. Sembilan puluh enam orang mempunyai penyempitan bermakna pada angiografi koroner dimana 73 diantaranya pernah mengalaroi serangan infark, 23 tanpa riwayat serangan infark. Duabelas orang mempunyai koroner normal. Tiga puluh orang menderita penyakit satu pembuluh, 29 menderita penyakit dua pembuluh dan 37 orang menderita penyakit tiga pembuluh. Seluruhnya terdapat 199 pembuluh koroner yang mengalami penyempitan bermakna terdiri dari 90 LAD, 54 LCX dan 55 RCA.
Pada pemeriksaan Thallium 201, 94 dari 96 orang dengan penyempitan koroner bermakna mempunyai hasil positip (sensitifitas 98%), 5 dari 6 orang dengan koroner normal mempunyai hasil negatip (spesifisitas 83%). Sensitifitas dalam mendeteksi kelainan LAD, LCX dan RCA adalah 88%, 81% dan 82%. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara hasil pemeriksaan Thallium 201 pada grup penderita infark dengan non infark {sensitifitas 84% dan 87%). Juga tidak didapatkan perbedaan bermakna dari kemampuan pemeriksaan Thallium 201 dalam mendeteksi kelainan mas ing-mas ing pembuluh (LAD, LCX atau RCA) maupun kelainan pembuluh pada penyakit satu, dua atau tiga pembuluh. Tercapainya nadi maksimal sesuai umur atau 85% dari maksimal pada latihan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan Thallium 201 kecuali telah timbul tanda-tanda iskemi sebelumnya.
Dengan prosedur pemeriksaan yang teliti, pemeriksaan dengan Thallium 201 akan memberikan hasil yang sangat bermanfaat untuk penatalaksanaan selanjutnya."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Metode "QBC" (Quantitative Buffy Coat) malaria adalah suatu metode untuk mendeteksi adanya parasit malaria berdasarkan stratifikasi Plasmodium oleh gaya sentrifugal. Dasar sistim ini adalah pewarnaan DNA dan RNA parasit dengan zat warna jingga akridin (Acridine Orange) yang dengan cahaya ultraviolet (UV Light) inti parasit malaria tampak berfluoresensi hijau dengan sitoplasma berwarna merah.
Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan diagnosis malaria dengan membandingkan metode baru "QBC" (Quantitative Buffy Coat) dengan metode konvensional (pulasan Giemsa) pada penduduk daerah endemi malaria di desa Berakit, Kecamatan Bintan Utara, Riau Kepulauan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode "QBC".
Dari 495 sampel darah yang diperiksa, sebanyak 430 (66,86%) sampel memberikan hasil: 104 {21,03%) sampel positif malaria dan 326 (65,86%) sampel negatif baik pada "QBC" maupun pada sediaan darah tebal, sedangkan sisanya 65 (13,13%) menunjukkan hasil yang tidak sama : 56 (11,31%) sampel positif pada "QBC" tetapi negatif pada sediaan darah tebal dan 9 (1,82%) sampel negatif pada "QBC" tetapi positif pada sediaan darah tebal. Angka sensitivitas pada metode "QBC" menunjukkan 92,03% dan angka spesifisitasnya 85,34%. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa metode "QBC" hasilnya cukup sensitif dan spesifik untuk diagnosis malaria."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 ? Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 - Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman
"Kateterisasi jantung menggunakan zat kontras untuk memandu prosedur terapeutik ke jantung dan pembuluh darah. Karena sifat agen kontras yang membebani secara biologis, penggunaan agen kontras harus dibatasi seminimal mungkin dengan hasil gambar yang dapat diidentifikasi. Sementara ambang berbasis fisiologis tersedia, ambang berbasis gambar masih belum tersedia. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis ambang batas volume dan debit untuk penggunaan bahan kontras. Studi pendahuluan pertama kali dilakukan untuk menentukan cairan buatan yang akan digunakan sebagai pengganti darah yang sebenarnya. Menggunakan dosing pump yang dilengkapi in-house blood flow phantom setebal 3 cm ketebalan jantung dan slab phantom setebal 23 cm ketebalan dada, mesin injektor menyuntikkan volume yang diatur dengan variasi 3, 5, 7, 10, dan 13 mL, dan variasi debit 1, 2, 3, 4, dan 5 mL/s. Hasil citra diolah menggunakan aplikasi ImageJ dengan perhitungan SDNR. Studi pendahuluan telah menunjukkan bahwa natrium klorida paling cocok untuk digunakan sebagai pengganti darah. Hasil penggunaan NaCl 0,9% sebagai darah menunjukkan bahwa ambang penggunaan zat kontras berada pada kisaran 7 mL dengan kecepatan 3 mL/s. Penggunaan agen kontras dengan volume dan laju alir yang lebih tinggi tidak menunjukkan kontras yang lebih tinggi.

Cardiac catheterization uses contrast agents to guide therapeutic procedures to the heart and blood vessels. Due to the biologically burdening nature of contrast agents, the use of contrast agents should be limited to be minimal with identifiable image results. While physiologically based thresholds are available, image-based thresholds are still unavailable. Therefore, it is necessary to analyze the threshold of volume and flowrate for the use of contrast agents. A preliminary study was first conducted to determine the artificial liquid to be used in place of actual blood. Using dosing pump-equipped in-house blood flow phantom 3 cm thick as heart thickness and slab phantom 23 cm thick as chest thickness, the injector machine injects the regulated volumes with variations of 3, 5, 7, 10, and 13 mL, and varied flowrate of 1, 2, 3, 4, and 5 mL/s. The image results were processed using the ImageJ application with SDNR calculations. Preliminary study has shown that natrium chloride was best suited for use in place of blood. Results using NaCl 0.9% as blood shown that the threshold for the use of contrast agent was in the range of 7 mL at a speed of 3 mL/s. The use of contrast agents with higher volumes and flowrates did not demonstrate higher contrast."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendya Perbangkara
"ABSTRAK
Perkembangan CT scan generasi multislice yang begitu pesat membuat pemeriksaan CT angiografi coroner sering dilaksanakan, akan tetapi pemberian informasi tentang dosis yang di terima pasien masih jarang dilakukan. Sehingga perlu dilakukan estimasi dosis pasien pada pemeriksaan CT angiografi coroner untuk mengetahui nilai dosis yang diterima oleh organ-organ yang sensitive terhadap radiasi seperti esophagus, paru-paru, payudara (pada wanita) dan jantung. Estimasi dosis dilakukan menggunakan program imPACT® dengan nilai nCTDIw didapat dari hasil pengukuran mengunakan detector pencil ion chamber menggunakan phantom acrilic 32 cm. Dari hasil estimasi di dapat dosis ekivalen yang diterima jantung 110 mSv ? 140 mSv, dosis efektif esophagus (thymus) 2,9 mSv ? 5.7 mSv, dosis efektif paru-paru 10 mSv -14 mSv, dosis efektif payudara 10 mSv ? 13 mSv dan total dosis efektif berkisar antara 31 mSv ? 42 mSv. Mengingat nilai total dosis efektif yang diterima pasien cukup tinggi, maka pasien CT angiografi coroner harus mendapatkan justifikasi yang kuat.

ABSTRACT
The Fast development of CT generation makes CT angiography coroner examination more frequence to be done, but the dose information of patient is rarely to be done. So it require to make patient dose estimation on CT angiography coroner examination. In order to know the dose receive by sensitive organ set of oesophagus, lung, brest and heart. Dose estimation is done using imPACT® program, using CTDI value obtain measurement using acrylic phantom with 32 cm diameter. From dose calculation the dose equivalent by heart is between 110 mSv - 140 mSv, and effective dose for oesophagus 2.9 mSv ? 5.7 mSv, lung 10 mSv ? 14 mSv and total effective dose between 31 mSv ? 42 mSv. Because effective dose receive by patient is very high, the CT angiography coroner patient must have a very strong justification. "
Universitas Indonesia, 2011
S651
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>