Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159474 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Diana Ariany Sabidi
"Usaha film impor di Indonesia yang mulai berkembang pada tahun 1950an mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Pembangunan infrastruktur perfilman yang terpusat menyebabkan terjadinya dominasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang terjadi silih berganti. Dalam penelitian ini kelompok yang dimaksud dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok pemerintah, kelompok pemodal, kelompok pemerintah asing, dan kelompok pemodal asing. Selama 54 tahun (1950-2004), dominasi di bidang film impor bergeser dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaiman agen-agen dalam usaha perfilman impor di Indonesia berusaha untuk menempatkan dominasi dan posisi dalam struktur perfilman impor di Indonesia. Untuk melihat tarik-menarik kepentingan yang dikaitkan dengan pengakomodasian kepentingan asing dalam kebijakan film impor, penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah komunikasi (Historical Method of Communication) dengan pendekatan kritis. Oleh karena itu, keterkaitan dan hubungan antara kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat Indonesia selama 40 tahun menjadi penting. Hubungan antara Indonesia dan Amerika pun menjadi penting untuk dijadikan latar belakang. Dan untuk menganalisa basil temuan yang ada, penelitian ini menggunakan konsep ekonomi politik komunikasi, khususnya konsep ekonomi politik Mosco, konsep strukturasi Giddens serta konsep imperialisme budaya Schiller. Penelitian yang menjadikan sumber pustaka dan wawancara sebagai basis terbesarnya ini menemukan bahwa selama 54 tahun (1950-2004), dominasi kebijakan impor film bergeser dari dominasi pemerintah (1950-1978), dominasi pemodal (1978-1989), dominasi pemodal dan pihak asing (1989- 1998), dan penguatan dominasi masyarakat di tengah dominasi pemodal (1998-2004). Akhirnya bisa dikatakan bahwa penelitian ini berhasil menjelaskan bagaimana agen-agen dalam industri film impor membentuk struktur industri film impor di Indonesia. Penelitian ini juga berhasil menunjukkan bahwa latar belakang sosial, ekonomi dan politik sangat kuat pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan film impor di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan kepentingan negara asing."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Yetri Kasri
"Sejak didirikannya televisi di Indonesia pada tahun 1962, isu kepentingan daerah selalu muncul dan menjadi ajang konflik. Berbagai kelompok berusaha memasukkan agenda dan kepentingannya dalam regulasi penyiaran. Dalam penelitian ini kelompok yang dimaksud akan dibagi tiga, yaitu kelompok pemerintah, kelompok pemodal, dan kelompok masyarakat. Selama 40 tahun (1962-2002), dominasi di bidang penyiaran bergeser dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana agen-agen penyiaran televisi di Indonesia berjuang menempatkan dominasi dan posisinya dalam struktur penyiaran televisi di Indonesia. Untuk melihat tarik-menarik kepentingan yang dikaitkan dengan pengakomodasian kepentingan daerah, terutama dalam kesempatan dan legitimasi pendirian televisi swasta di daerah (lokal) dalam regulasi penyiaran, penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah komunikasi (historical method of Communicationi) dengan pendekatan kritis. Model sejarah yang digunakan adalah model sistematis yang lebih menekankan pada perubahan-perubahan yang terjadi selama periode sejarah dibandingkan pada data-data dan detail-detail sejarah yang berkaitan dengan orang, waktu, dan tempat secara spesifik. Oleh karena itu, perubahan-perubahan dan hubungan antara kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat Indonesia selama 40 tahun menjadi penting. Dan untuk menganalisis hasil temuan yang ada, penelitian ini menggunakan konsep ekonomi politik komunikasi, khususnya konsep ekonomi politik Mosco, dan konsep strukturasi Giddens. Penelitian yang menjadikan cumber pustaka dan wawancara sebagai basis data terbesarnya ini menemukan bahwa selama 40 tahun (1962-2002) dominasi penyiaran televisi bergeser dari sentralisme pemerintah (1962-1987) menuju sentralisme pemodal (1987-1997) dan menuju kepada desentralisme dengan penguatan dominasi masyarakat (1997-2002). Penelitian ini menemukan bahwa pada masa sentralisme pemerintah, isu kepentingan daerah diakomodasi tidak lebih dari upaya untuk menjaga hegemoni pemerintah. Di masa dominasi pemodal, isu ini hanya muncul di awal untuk memudahkan pihak pemodal terjun ke dalam dunia penyiaran. Di masa penguatan dominasi masyarakat, isu ini muncul untuk menempatkan kembali kepentingan daerah dan masyarakat dalam dunia penyiaran televisi di Indonesia. Akhirnya bisa dikatakan, penelitian ini berhasil menjelaskan bagaimana agen-agen penyiaran televisi membentuk struktur penyiaran televisi di Indonesia. Penelitian ini juga berhasil menunjukkan bahwa kepentingan daerah selalu ada dan mempengaruhi kebijakan penyiaran televisi di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4235
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Faozan
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S4694
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Anugrah
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5905
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setio Budi HH
"Munculnya televisi swasta pertama, yang diawali RCTI, merupakan "trobosan" kebijakan pemerintah dalam mengakhiri monopoli siaran TVRI, disusul kemudian oleh SCTV, TN, ANTV dan INDOSIAR, kemudian, juga merupakan alternatif yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan konsumsi medianya.
Kehadiran televisi swasta tidak lepas dari "kecurigaan" apakah benar, merupakan jawaban atas era keterbukaan, yang sifatnya memberi ruang bebas kepada publik, atau justru menjadi bentuk baru dari "kendali" kebijakan pemerintah/negara atas media. Fenomena pemberian ijin secara eksklusif kepada pihak yang memilik hubungan erat dengan penguasa dan elit politik pada waktu tersebut adalah indikasi yang penting kendali tersebut.
Studi mengenai televisi swasta di Indonesia memiliki relevansi penting terutama untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana perkembangan media televisi swasta di Indonesia, dalam interaksi kepentingan antara negara, pasar dan publik, khususnya pada periode 1999 - 2002 yang merupakan kurun transisi politik Indonesia menuju ke demokratisasi.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yang bermaksud untuk menggambarkan atas suatu televisi swasta di Indonesia. Analisis dilakukan dengan pendekatan kajian ekonomi politik yang menurut Mosco kepada studi mengenai hubungan-hubungan sosial, khususnya tentang hubungan-hubungan kekuasaan, yang secara bersama bermuara pada produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber-sumber. Kajian ekonomi politik melibatan tiga konsep penting yaitu komoditikasi, spasialisasi, dan strukturasi.
Televisi sudah dipahami sebagai alat kapitalis yang digunakan untuk melanggengkan dominasi kelas yang berkuasa. Beberapa faktor menjelaskannya antara lain, pertama pendirian televisi swasta lebih banyak didorong oleh kepentingan ekonomi politik domestik - internasional, daripada inisiatif dari publik. Kedua, dengan sendirinya isi - muatan dari televisi tersebut dapat dipastikan lebih memenuhi kepentingan ekonomi politik penggagas dari pemilik. Ketiga, industri televisi muncul tanpa dilandasi oleh wacana publik dan tidak memiliki landasan hukum - dan filosofi pendiriannya. Kemudian keempat, industri televisi swasta muncul dengan membangun segmen-segmen khalayak melalui pemrograman acaranya, lebih untuk kepentingan ekonomis yaitu iklan daripada kepentingan yang bersifat mendasar yaitu pengembangan masyarakat/publik.
Kehadiran industri televisi swasta di Indonesia muncul dalam konteks kebijakan top down lebih daripada kebutuhan dari masyarakat atau publik. Wacana yang berkembang dari pertumbuhan industri televisi tersebut lebih mengarah ke kepentingan ekonomi politik elit penguasa, dan oleh karenanya kepentingan dan kebutuhan publik untuk membangun ruang diskusi publik sekaligus melakukan perkembangan "peradabannya" belum menjadi kebutuhan yang signifikan.
Kemunculan televisi tersebut dapat dihubungkan karateristik modal/ pendukungnya, yaitu pertama kapitalis yang memiliki industri berbagai industri hulu hilir. Kedua basis industri media (terutama cetak). Ketiga dukungan dari kekerabatan elit penguasa, aliansi politik, nepotisme, Katagori keempat merupakan gabungan secara integratif berbagai kepentingan ekonomi politik. Struktur yang dibangun kemudian adalah bergeser dari penguasaan ijin (orba) menjadi kepemilikan media (masa reformasi).
Bagaimana fenomena baru pengendalian publik terjadi, nampak tidak cukup dengan penjelasan melalui faktor-faktor yang berlaku dalam teori-teori/paradigma politik dan termasuk dinamika struktur-struktur yang lain (ekonomi, social, budaya, komunikasi). Faktor tersebut tenggelam oleh kuatnya pecan aktor-aktor yang memiliki kendali ekonomi politik di Indonesia termasuk pengendalian publik melalui industri televisi.
Ancaman nyata mengenai hegemoni oleh industri televisi belum bisa diimbangi oleh struktur baru di masyarakat yaitu televisi alternatif yang berbasis kepentingan publik. Ancaman baru yang dihadapi oleh publik adalah tekanan atas proses demokratisasi, terutama dalam pengendalian makna atas realitas dan pengendalian opini publik oleh televisi.
Kajian ekonomi politik atas fenomena televisi swasta di Indonesia ini nampak menggambarkan proses kekuatan elit ekonomi politik, lebih dari partisipasi dan kepentingan publik, namun demikian belum bisa menjelaskan bagaimana perjuangan (kelas), pergulatannya untuk membangun basis komunikasi dan informasi untuk kepentingan publik tersebut. Penyadaran atas kepentingan publik terhadap media televisi cenderung kepada pihak semisal LSM media, universitas dan para jurnalis, yang dianggap mampu dan representatif mewakili publik - bukan publik itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12098
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Findi Alexandi
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya pengalihan penguasaan pengelolaan komoditas tepung terigu dari negara kepada swasta pascaliberalisasi pangan, yaitu dari Bulog kepada Bogasari Flour Mills. Saat ini, komoditas tepung terigu di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai komoditas pangan, tetapi juga berfungsi sebagai komoditas politik (political goods), dimana harga dan ketersediaannya dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori Negara Birokratik Otoriter dari Guillermo O?Donnel, teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) antara Negara, Burjuasi Nasional dan Modal Asing dari Peter Evans. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analitis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, penelusuran terhadap dokumen resmi negara seperti Undang-Undang No. 5 tentang 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, Peraturan Menteri Perindustrian, Peraturan Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Keuangan dan wawancara mendalam dengan anggota KPPU.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pascaliberalisasi pangan, terjadi konflik dan tarik-menarik kepentingan antarlembaga negara, yaitu antara Bappenas dengan Depperindag menyangkut penetapan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) bagi tepung terigu impor. Bappenas berargumen bahwa penetapan BMAD hanya akan menguntungkan produsen dominan yaitu Bogasari Flour Mills. Sedangkan menurut pihak Depperindag, penetapan BMAD dilakukan untuk melindungi produsen beskala kecil. Selanjutnya terjadi konflik kepentingan terjadi antara KPPU dengan Depperindag menyangkut penerapan SNI Secara Wajib Tepung Terigu. KPPU berpendapat penetapan SNI secara wajib merupakan bentuk hambatan masuk (barrier to entry) bagi tepung terigu impor. Sedangkan menurut Depperindag, kebijakan SNI wajib pada tepung terigu ditujukan untuk menjaga kualitas tepung terigu sebagai bahan pangan.
Implikasi teoritis menujukkan bahwa teori persekutuan segitiga antara negara dan burjuasi nasional dari Peter Evans masih berlaku dan relevan dalam pengelolaan industri tepung terigu pada era reformasi di Indonesia. Persekutuan antara Departemen Perindustrian dengan APTINDO, atau Persekutuan antara Departemen Perdagangan dengan Bogasari Flour Mills, terjadi dalam pengelolaan industri tepung terigu di Indonesia, meskipun melalui negosiasi politik dan konflik kepentingan. Intervensi negara melalui kebijakan penerapan SNI dan BMAD, maupun penanggungan PPN impor gandum oleh Departemen Keuangan, ditujukan untuk melindungi industri tepung terigu nasional dan memperkuat program ketahanan pangan nasional. Intervensi negara dalam stabilisasi harga empat bahan pangan pokok termasuk tepung terigu, dapat dijadikan sebagai alat politik APTINDO dan Bogasari Flour Mills dalam menekan pemerintah.

This research of background by transfer of power of managing wheat flour commodities from state to corporate, from Bulog to Bogasari Flour Mills after food liberalitation. Now, wheat flour commodities just not food commodities, but as a political goods, where rate of its prices and supplies can pressure the government. As theoretical stepping, this research use Authoritarian Bureaucratic State from Guillermo O?Donnel and Triple Alliance Theory between State, Local Capitalist and International Capitalist from Peter Evans. Research use the qualitative methode, is while technique analysis the data use analytical descriptive. Technique data collecting by library studies, searching document of states like Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 about Antimonopoly or Competition Policy, Keppres No. 19 Tahun 1998 about Food Liberalitation, Regulation from Ministry of Industry, Ministry of Trade, Ministry of Finance and interdepth interview with members of KPPU.
Research result indicate that after food liberalitation, there were conflicts of interest on state institution, the conflict between Bappenas with Depperindag about BMAD for wheat flour imported. Bappenas argue that BMAD just give a privilege for dominant firm like Bogasari Flour Mills. But Depperindag claimed that BMAD would protect the fringe firms. The next conflict between KPPU with Depperindag about SNI policy for wheat flour mills industries. KPPU argued SNI as a barrier to entry for wheat flour imported. But Depperindag claimed that SNI policy to wheat flour mills industries made to protect quality of wheat flour as food commodities.
Theory implication show that Triple Alliance Theory especially between State and Local Capitalist is relevan in managing wheat flour mills industry in Indonesia. Cooporation between Departement of Industry with APTINDO, or cooporation between Departement of Trade with Bogasari Flour Mills is a real fenomena in wheat flour industry in Indonesia, although with political negotiation dan conflict of interests. State intervention with SNI and BMAD policies, or handle of Value Added Tax policies for wheat imported by Departemen of Finance indicated to protect national wheat flour industries and support food security programe. State intervention on price stabilitation of four food commodities include wheat flour, can used as political tools by APTINDO and Bogasari Flour Mills to pressure the government."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D888
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Trixsaningtiyas Gayatri
"Bagi Indonesia, IJEPA merupakan kebijakan perdagangan bebas bilateral pertama yang diambil Indonesia dalam rangka memenuhi kepentingan nasional bidang ekonomi khususnya perluasan akses pasar produk ekspor di pasar Jepang, mengembalikan investasi Jepang yang menurun dalam beberapa waktu terakhir dan juga sebagai kerangka bagi alih teknologi industri manufaktur Indonesia.
Secara politis IJEPA memberikan Indonesia kedudukan setara dengan negara lain yang telah terlebih dahulu menjalin kerjasama perdagangan bebas dengan Jepang. Sedangkan bagi Jepang, IJEPA merupakan kebijakan diplomasi perdagangan internasional yang merupakan komplementer dari kebijakan perdagangan internasional Jepang sebelumnya yang hanya menganut multilateralisme melalui WTO. Situasi global dengan semakin meningkatnya perjanjian perdagangan bebas regional/bilateral di berbagai kawasan mendorong Jepang untuk mengamankan pasarnya dan memenuhi kepentingan ekonominya khususnya di Asia Tenggara.
Secara khusus IJEPA bagi Jepang merupakan upaya untuk memenuhi kepentingan ekonomi antara lain perluasan akses pasar produk Jepang, mengamankan investasi, serta mengamankan pasokan energi dan sumber daya mineral sebagai kebutuhan utama bagi industrinya. Secara politis IJEPA pun memberikan Jepang peluang untuk tetap menjadi negara penjamin stabilitas ekonomi dan politik kawasan. Dengan semua asumsi dan hipotesis yang ditawarkan, tesis ini menyimpulkan bahwa IJEPA adalah suatu kebijakan luar negeri yang dibentuk atas dasar kepentingan ekonomi dan politik kedua negara.

As for Indonesia, The 2007 IJEPA was the first bilateral free-trade policy which was issued to meet its several domestic economical interests, particularly in regard to the economic expansion of market access for all Indonesia?s exported goods to Japan, restoring the Japan?s investment which has been declining for the last few years, and also as a technology transfer framework within Indonesia?s manufacturing industry as well.
The 2007 IJEPA politically put Indonesia at the same and equivalent position to other countries that have formed earlier freetrade partnership with Japan. While for Japan, The 2007 IJEPA was a kind of international trade diplomacy that also become a complementary to its international trade policy which previously only follow multilateralism through WTO. The situation inside the global world which provides an increase of either bilateral or regional free-trade agreement at various areas also encourages Japan to secure its market and economical interest, especially within the South-East Asian region.
Specifically for Japan, The 2007 IJEPA is sort of effort to meet its economical goal, among others, market expansion for products of Japan, to secure the investment, and also to secure the supplies of energy and mineral resource for its industry consumption. In the other hand, The 2007 IJEPA also politically gives Japan more opportunity to remain become one of the economic and political stabilizer countries within the region. Through all the hypothesis and assumptions presented in this thesis, it can be obviously concluded that The 2007 IJEPA is a kind of international policy that is established based on both economical and political interest between the two countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25101
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yosua Hara Rizky
"Tulisan ini merupakan studi terhadap industri perfilman nasional dalam menghadapi masuknya impor film Hollywood di Indonesia. Kondisi ini kemudian dianalisis melalu sudut pandang regulasi dengan mengidentifikasi sejumlah regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengetahui apakah kebijakan perfilman yang diterapkan saat ini apakah sudah melindungi kepentingan perfilman nasional; yaitu menciptakan industri perfilman nasional yang memiliki daya saing dalam menghadapi masuknya film impor Hollywood di Indonesia. Sehingga pembahasan dari penelitian ini mencakup; kebijakan tarif bea masuk film impor, kuota film impor, pajak film impor, subsidi terhadap produksi film domestik, persyaratan ijin untuk mengimpor film asing, dan ketentuan minimum jam tayang film lokal sebanyak 60%. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian literatur. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukan sejumlah regulasi perfilman yang ditetapkan oleh Pemerintah, salah satunya adalah UU No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukannya regulasi yang melindungi perfilman nasional namun terdapat juga kebijakan yang justru melemahkan industri perfilman nasional.

This paper is talking about Indonesia national film industry studies in facing to Hollywood film imported in Indonesia. This situation were analyzed through the implementation of film industry regulation which officialy decided by government of Indonesia according to protecting national film industry needs. This paper will tell us more about tax regulation for imported film, imported film quota, how government subsidized local film production, and screen-time quota for local film in cinema. Furthermore, this paper is literature review methods analysis. Finally, we could conclude that there are some of regulation which support to national film industry protection. In other hand, we found that there also any regulation which potential to make our film industry weakly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>