Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73214 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mirawati Siti Mariam
"Perkawinan lahir dari kesepakatan antara calon suami-istri, dimana undang-undang menetapkan apabila mereka melangsungkan perkawinan maka segala harta benda yang diperoleh dalam masa berlangsungnya perkawinan tersebut menjadi harta bersama. Namun sebelum perkawinan berlangsung undang-undang memungkinkan calon suami-istri untuk membuat perjanjian perkawinan yaitu suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
Maksud dan tujuan dibuatnya perjanjan kawin adalah untuk melakukan penyimpangan dari prinsip harta benda perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukuin Perdata dan Undang-undang Perkawinan.
Perjanjian kawin pada umumnya dibuat dengan akta notaris sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan mulai berlaku sejak saat perkawinan ditutup dan mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan di kantor Pengadilan Negeri.
Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa pokok permasalahan yang timbul sehubungan dengan; (1) Syarat-syarat apa saja yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian kawin?; (2) Hal-hal apa saja yang dilarang dalam isi dari perjanjian kawin?; (3) Sejauh mana tanggung jawab notaris terhadap akta perjanjian kawin yang dibuatnya?;
Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis serta dengan pengumpulan data sekunder, maka penelitiannya dilakukan secara kualitatif dengan mendasari pada aturan hukum yang berlaku, berdasarkan data yang tersedia, baik berupa bahan-bahan yang tersedia, literatur-literatur hukum, buku-buku, ensiklopedia, maka dibuat kesimpulan dalam rangka menjawab pokok permasalahan, antara lain; (1)sahnya suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian; (2) Isi dari perjanjian kawin umumnya menyangkut hukum harta benda penyimpangan diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; (3) Notaris hanya bertanggung jawab hanya sebatas akta yang dibuatnya, sedangkan isi dari akta tersebut adalah tanggung jawab para penghadap, dan jika bertentangan dengan Undang-Undang notaris berhak untuk menolaknya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16345
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazla
"The children whom born outside of marriage can become trustworthiness of his/her mother's husband onlv if it has his consent and be noticed at mortal agreement. It has abided by one of contract on Islamic law principles that's recognized as voluntary. In the marital agreement might to be acquiesced that the children whom born outside of marriage will receive funds for his/her education and living costs. But in that agreement does not mention the name of the children to be clearer to who will get the funds giving for. More over the agreement does not say regarding else gifts to be father's responsibility. To anticipate under Islamic law principles which said that the children have no patrimony portions then can be created escrow gramt by last will or gift method's from his/her father."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
HUPE-37-1-(Jan-Mar)2007-119
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laurens Gunawan
"Di masa sekarang ini, di mana manusia semakin berpikir kritis dan maju, perjanjian kawin haruslah dapat dipandang sebagai suatu kebutuhan yang harus diperhitungkan keberadaannya bagi para calon pengantin yang akan menikah. Dalam praktiknya, jika suatu perkawinan harus putus atau terjadi perceraian maka hampir dapat dipastikan menimbulkan berbagai persoalan, terutama mengenai pembagian harta selain persoalan anak dan persoalan-persoalan lainnya.
Dengan dibuatnya perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya pernikahan maka setidaknya kita dapat meminimalisir persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul jika perkawinan harus putus. Selain itu perjanjian kawin juga memberikan kebebasan bagi para pihak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap aset-aset mereka tanpa harus meminta persetujuan pihak lainnya. Perjanjian kawin juga sebaiknya dibuat dengan akta notariil sehingga dapat memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna dan pasti mengikat terhadap pihak ketiga.
Pendaftaran ke Panitera Pengadilan Negeri dan pengesahan perjanjian kawin yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan sebaiknya dilakukan walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak disyaratkan melakukan pendaftaran ke Panitera Pengadilan Negeri. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pihak maupun pihak ketiga yang akan melakukan perbuatan hukum dengan pasangan suami isteri bersangkutan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, sedangkan tipologi penelitian yang digunakan adalah evaluatif.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Metode analisis data dalam penulisan tesis ini adalah kualitatif, dengan demikian hasil penelitian tesis ini berbentuk evaluatif analitis. Pokok permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana manfaat perjanjian kawin terhadap harta benda suami isteri khususnya dalam akta Perjanjian Kawin Nomor X, kemudian permasalahan yang kedua adalah dapatkah perjanjian kawin digunakan sebagai alat pembuktian yang kuat bagi pasangan suami isteri khususnya dalam Akta Perjanjian Kawin Nomor X. Dan permasalahan yang terakhir adalah dapatkah perjanjian kawin tidak mendapat pengesahan pegawai pencatat perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ida Harnani
"Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai hubungan erat antar perkawinan dengan agama hal ini disebabkan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur rohani memegang peranan penting. Dalmn perkawinan akan timbul hak dan kewajiban baik suami maupun isteri, diantaranya harus bertanggung-jawab terhadap harta benda. Harta kekayaan dalam Suatu perkawinan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan rumah tangga yang bahagia. Apabila harta kekayaan tersebut baik yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum perkawinan tidak dapat dipertanggungjawabkan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri khususnya harta benda maka dibuatlah perjanjian Perkawinan. Seringkali pihak ketiga tidak menyadari adanya percampuran harta, dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga harus memperhatikan mengenai kecakapan dalam membuatnya yakni pertama akta perjanjian perkawinan mengikat pihak ketiga dalam rangka perjanjian pemberian jaminan kredit perbankan, kedua mengenai syarat-syarat yang dipakai untuk membuat akta perjanjian perkawinan supaya bisa nengikat pahak ketiga, ketiga
batas usia yang dipakai oleh notaries untuk dianggap cakap membuat akta perjanjian perkawinan. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif,tipe penelitian eksplanatoris, data yang digunakan data sekunder, diadakan wawancara dengan notaris di Tangerang, metode analistisnya yaitu metode kualitatif. Perjanjian perkawinan mempunyai bentuk dan isi sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian perkawinan mempunyai syarat pendaftaran yang didaftarkan pada kantor pencatat perkawinan pada saat dilangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga memiliki hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang membuatnya. Batas usia seseorang untuk dapat membuat perjanjian perkawinan adalah 21 tahun atau belum 21 tahun tapi sudah menikah. Pihak ketiga adalah bank maka apabila melakukan pengikatan maka hendaknya memeriksanya terlebih dahulu akta perkawinan dari kedua belah pihak."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Eko Sulistio
"ABSTRAK
Pencatatan perkawinan adalah merupakan syarat yang
harus dipenuhi dalam setiap pelaksanaan perkawinan.
Perkawinan yang tidak dicatat, tidak diakui oleh negara.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) menentukan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayannya itu. Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, yang menjadi,
persoalan adalah apakah dengan tidak dilakukannya
pencatatan mengakibatkan perkawinan tidak sah ? Dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian
lapangan, penulis mencoba melakukan penelitian mengenai
perkawinan yang tidak dicatat berkaitan dengan praktek
pembuatan akta notaris. Dari hasil penelitian penulis
ternyata terdapat perbedaan pandangan di kalangan notaris
yang berpraktek di Jakarta, ada yang menyatakan bahwa
perkawinan yang tidak dicatat dianggap tidak sah, dan ada
pula yang menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatat
tetap dianggap ada dan sah. Adanya perbedaan pendapat di
kalangan notaris membawa akibat di dalam menentukan kewenangan para pihak dalam pembuatan akta notaris, yang
akhirnya membawa akibat tidak terdapatnya kepastian hukum
bagi para pihak, hal mana akan menimbulkan permasalahanpermasalahan
hukum berkaitan dengan praktek notaris di
dalam pembuatan akta. Sehubungan dengan apa yang diuraikan
diatas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan
pembahasan lebih lanjut mengenai permasalahan hukum
berkaitan dengan perkawinan yang tidak dicatat, khususnya
berkaitan dengan praktek pembuatan akta notaris."
2004
T36637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Ella Yonatan
"Seringkali notaris dihadapkan pada keinginan klien untuk membuat perjanjian kawin yang dikehendaki oleh masing-masing calon suami isteri. Adanya legalitas perkawinan dari segi agama dan hukum administrasi harus dibaca dalam "satu tarikan nafas", artinya sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara pada saat yang bersamaan. Tetapi dalam praktek, hal tersebut dapat terjadi tidak pada saat bersamaan, artinya ada tenggang waktu yang lama antara perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaannya dengan pencatatan atau dicatat pada instansi yang berwenang. Hal tersebut akan menjadi masalah dari segi hukum, jika setelah mereka kawin (dan sesuai pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974) ternyata mereka berkeinginan untuk membuat perjanjian kawin. Menurut pasal 147 KUHPerdata jo pasal 29 UU No. 1 Thn. 1974 bahwa perjanjian kawin harus dibuat "pada waktu" atau "sebelum perkawinan dilangsungkan" dengan lain kata perjanjian kawin tidak dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung.
Dari kalimat tersebut timbul permasalahan: Dapatkah suami-isteri yang telah lama kawin berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Thn. 1974 membuat perjanjian kawin dengan alasan perkawinan belum ditindak lanjuti berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Thn. 1974? Dapatkah perjanjian kawin tersebut dibuat dengan alasan perkawinan belum dicatatkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Thn. 1974?
Untuk menjawab permasalahan ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Sehingga dari metode yang digunakan tersebut dapat menjawab pokok permasalahan dari tesis ini, yang antara lain dapat ditarik kesimpulan, yaitu notaris diharapkan dapat melakukan `penemuan hukum', maksudnya notaris dapat membuat perjanjian kawin asalkan suami isteri tersebut mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri setempat agar diizinkan untuk membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin yang dibuat oleh notaris tersebut harus dicatatkan dan/atau disahkan bersamaan dengan pencatatan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazla
"Perkawinan merupakan suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga. Akibat hukum dari perkawinan yang sah adalah timbulnya hubungan hukum antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak, antara wall dan anak, dan harta benda perkawinan. sari perkawinan yang sah akan lahir anak sah. Tanggung jawab orang tua terutama bapak adalah wajib membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak. Jika anak dalam perkawinan tersebut merupakan anak luar kawin maka bapak tidak wajib memberi nafkah dan biaya pemeliharaan serta pendidikan anak.
Permasalahan yang dibahas, mengenai akta perjanjian perkawinan, khususnya dapat atau tidak anak luar kawin menjadi tanggungjawab suami seluruhnya yang dimuat dalam perjanjian perkawinan terlebih dahulu, serta menentukan hak anak luar kawin dalam akta perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Islam. Metode pendekatan bersifat yuridis normatif menggunakan sumber-sumber perundang-undangan yang berlaku khususnya hukum Islam, pendapat para ulama, dan Kompilasi Hukum Islam. Akta perjanjian perkawinan dapat memuat tanggungjawab suami terhadap anak luar kawin terbatas pada biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Menurut hukum Islam anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, namun apabila bapak ingin bertanggungjawab terhadap anak luar kawin, hal demikian dapat diperjanjikan dalam akta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Akbar
"Tesis ini mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta perjanjian kawin yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Permasalahan tersebut dilatarbelakangi dengan adanya putusan Majelis Pengawas Notaris Provinsi DKI Jakarta yang memberikan putusan berupa sanksi terhadap Notaris untuk bertanggung jawab atas perbuatannya membuat Akta Perjanjian Kawin yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris. Permasalahan penelitian adalah tanggung jawab Notaris terhadap pembuatan akta perjanjian kawin yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dan akibat hukum terhadap pihak ketiga yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Penelitian ini merupakan penilitian yuridis normatif bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian adalah bahwa tanggung jawab Notaris atas perbuatannya dalam membuat akta perjanjian kawin yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris menenerima sanksi secara administratif yaitu menerima pemberhentian sementara, karena telah melanggar kewajiban dalam pelaksanaan jabatan Notaris untuk bertindak jujur, saksama, dan tidak memihak, serta mengenai akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut memiliki kekuatan pembuktian dibawah tangan, dan akta perjanjian kawin tersebut tidak berlaku terhadap pihak ketiga.

This thesis, reviews the liability of the Notary in relation with unregistered in office of religious affairs marital agreement deed which is not inaccordance with the Notarial Law. This problem arose because the Notarial supervision board of Jakarta condemned the Notary guilty and gave pinalty regarding the marital agreement deed. The legal problem in this thesis are the liability of the Notary in relation with uregistered marital agreement deed which is not inaccordance with the Notarial Law legal implications of the deed in connection with third party. This thesis uses juridical normative methode with descriptif analitic, tipology and qualitative approach. The conclusions are the Notary shall be held liable administratively for making incongruity with the Notarial Law marital agreement deed by temporary discharged because she violated her mandate as a Notary by being dishonest, unmeticulous, partisan, thus the marital agreement deed considered as private agreement only and does not bind third party."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kei Hapetua
"Akta perjanjian perkawinan wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun pada praktiknya terdapat persoalan dimana para pihak yang terdiri dari 2 (dua) pihak, salah satu penghadapnya, yaitu WNA tidak mengerti bahasa Indonesia. Dalam hal ini Notaris digugat oleh penghadap WNA dengan surat gugatannya yang diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. yang menyatakan bahwa akta perjanjian perkawinan yang dibuat Notaris tersebut batal dengan segala akibat hukumnya. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai pelanggaran oleh Notaris terhadap akta perjanjian perkawinan yang merugikan warga negara asing dan alasan pembatalan akta perjanjian perkawinan para pihak dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris adalah Notaris tidak menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan tidak juga memanggil seorang penerjemah resmi untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut, sehingga Notaris melanggar kewajiban jabatannya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan akta perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi kekuatan hukum pembuktian lahiriah dan materiil. Selain memperhatikan pembuatan akta perjanjian perkawinan dalam UUJN, perlu melihat undang-undang terkait dalam pembuatannya, dalam hal ini Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenai harta bersama dan kepemilikan hak atas suatu tanah, sehingga tidak ada kontradiksi pada substansi pasal-pasalnya yang dapat merugikan WNA. Dengan dibatalkannya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka keadaan menjadi seperti semula dan harta tersebut menjadi harta campur bersama antara WNA dan WNI, sehingga para pihak wajib melepaskan hak milik tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan hak tersebut hapus karena hukum dengan tanah jatuh kepada negara.  Berdasarkan hal tersebut, Notaris harus memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta dan perbuatan hukum yang akan dilakukan sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, sehingga para penghadap dapat teredukasi dengan baik dengan segala akibat-akibat hukum yang akan terjadi di kemudian hari.

The marriage agreement deed must be made in the Indonesian language. However, in practice, there are problems where the parties consist of two  parties and one of the opponents, namely the foreigner, does not understand Indonesian. In this case, the Notary was sued by the foreign plaintiff with his lawsuit, which was decided by the Panel of Judges at the Denpasar District Court in Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. stating that the marriage agreement deed made by the notary is null and void with all the legal consequences. The problems in this study regarding violations by a notary of the marriage agreement deed that harm foreign citizens and the reasons for canceling the marriage agreement deed of the parties are related to Denpasar District Court Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. This study uses a form of doctrinal research. The results of the study show that the violation committed by the Notary is that the Notary does not translate or explain the contents of the deed in a language understood by the appearer and does not also call an official translator to translate or explain the contents of the deed, so that the Notary violates his position obligations in Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Office Law (UUJN) and the deed of the marriage agreement becomes null and void because it does not fulfill the legal force of proof outwardly and material. In addition to paying attention to the making of the marriage agreement deed in the UUJN, it is necessary to look at the relevant laws in making it, in this case Article 35 of the Marriage Law (UUP) and Article 21 of the Basic Agrarian Law (UUPA) regarding joint property and ownership of rights to a land, so that there are no contradictions in the substance of the articles that could harm foreigners. With the cancellation of the marriage agreement deed made by the parties, the situation will return to normal, and the property will become joint property between the foreigner and the Indonesian citizen, so that the parties are obliged to relinquish these ownership rights within a period of one  year, and these rights are nullified because the law with land falls to the state. Based on this, the Notary must provide legal counseling related to the making of the deed and legal actions that will be carried out as per Article 15 paragraph (2) letter e UUJN, so that appearers can be properly educated with all the legal consequences that will occur in the future."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadjral Aswad Bauty
"Dalam menjalankan kewenangan jabatan sebagai notaris, maka notaris tersebut dapat membuat suatu akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Règlement op Het Notaris Ambt in Indonésie Stbl 1860 nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dimana dalam perkembangan selanjutnya Aturan Jabatan Notaris peninggalan pemerintahan kolonial Belanda tersebut telah diubah atau diganti dengan disahkan dan diberlakukannya Undang-undang No.30 Tahun 2004 tanggal 6 - Oktober - 2004 tentang Jabatan Notaris. Akta otentik yang disebutkan sebelumnya merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUHPerdata; Untuk bentuk aktanya undang-undang khususnya Pasal 38 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 mengatur bagian-bagian akta notaris yang terdiri atas : Kepala Akta, Badan Akta, dan Akhir Akta. Sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana diatur dalam undangundang, maka akta otentik harus benar-benar berisi atau menggambarkan fakta-fakta dan keterangan yang sesungguhnya tentang suatu kejadian serta kegiatan yang berlangsung diantara para penghadap untuk kemudian dituangkan dan diformalkan dalam suatu bentuk tertulis atau akta yang dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) notaris sebagai alat bukti bagi para penghadap dan juga notaris itu sendiri dikemudian hari. Untuk itulah sangat penting kiranya dalam akta notaris harus benar-benar diperhatikan keterangan yang disampaikan oleh penghadap khususnya yang berkaitan dengan kedudukan penghadap dalam akta tersebut yang pada akhirnya dapat membuat akta ini dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral, etika, dan khususnya hukum. Keterangan yang disampaikan para penghadap dalam akta notaris (otentik) tersebut dimuat dalam badan akta, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No.30 Tahun 2004, yang mana isinya antara lain dalam badan akta memuat tentang keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap. Dan pada bagian akta notaris (otentik) ini pulalah dimuat atau diterangkan tentang status perkawinan penghadap pada saat dia melakukan perbuatan hukum dalam akta ini. Dari uraian latar belakang tersebut, penulis membatasi pembahasan dengan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Akibat hukum apa saja yang dapat ditimbulkan dari status perkawinan tidak sah? 2. Dapatkah ketidakbenaran status perkawinan penghadap dalam badan akta (komparisi) menyebabkan aktanya menjadi tidak sah?; Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode secara deduktif dan kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan mengambil data-data umum dan menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan serta kode etik notaris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T38060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>