Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amru Muhammad Khalid
Jakarta: Hikmah, 2006
297.57 AMR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Stein, Ben
Jakarta: Gramedia, 2006
152.41 STE e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Canfield, Jack, 1944-
Jakarta: Gramedia, 2003
128.1 CAN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Solo: Jaringan intelektual muda Muhammadiyah, 2004
179.9 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Jeihan Mazaya
"Toleransi menjadi hal yang penting untuk ditelusuri lebih lanjut, melihat semakin maraknya kasus-kasus intoleransi yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kontribusi empati dan pendidikan terhadap toleransi dan menentukan prediktor yang paling kuat diantara keduanya. Sebanyak 297 partisipan pada tahapan emerging adulthood dengan pendidikan mahasiswa dan lulusan SMA mengikuti penelitian ini. Penelitian ini menggunakan Miville Guzman Universality Diversity Scale Short Form M-GUDS-S untuk mengukur toleransi partisipan, dan David Interpersonal Reactivity Index IRI untuk mengukur empati partisipan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat kontribusi empati dan pendidikan terhadap toleransi dan melihat manakah yang memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap toleransi. Hasil penelitian menunjukan empati dapat memengaruhi terbentuknya toleransi secara signikan, namun tidak diikuti oleh pendidikan yang ditemukan tidak dapat memengaruhi terbentuknya toleransi. Empati memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap terbentuknya toleransi dibandingkan pendidikan, dimana dimensi perspective taking ditemukan sebagai prediktor terkuat dalam toleransi keberagaman. Dengan demikian, pembelajaran dan peningkatan faktor intrapersonal seperti empati dapat menjadi salah satu cara untuk mencegah dan menghentikan perilaku intoleran yang terjadi sekarang maupun di kemudian hari. Kelemahan dari penelitian ini adalah pemilihan partisipan yang kurang tepat yaitu individu lulusan SMA dan mahasiswa dimana partisipan memiliki kompetensi yang tidak setara dan individu lulusan SMA yang kebanyakan telah bekerja.

Tolerance to diversity is important to explore further. This study aims to look at the influence of empathy and education on tolerance and determine the strongest predictor of the two variable. A total of 297 emerging adulthood participants with an educational background as a college student and high school graduates participated in this study. This study uses the Miville Guzman Universality Diversity Scale Short Form M-GUDS-S to measure tolerance, and the David Interpersonal Reactivity Index IRI to measure empathy. Multiple regression analysis is used to see the effect of empathy and education on tolerance and see which one has a greater contribution to tolerance. The results showed that empathy can significantly influence the formation of tolerance, but not followed by education that was found to not be able to influence the formation of tolerance. Empathy has a greater contribution to the formation of tolerance than education, where the perspective taking dimension is found as the strongest predictor of tolerance to diversity. The limitation of this study comes from the selection of participants that are not quite accurate, like high school graduates and college students as participants have unequal competencies and for high school graduates that most of whom have worked."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diza Adistya Tanri
"Berdasarkan contact theory (Allport, 1954), individu yang berada pada lingkungan yang heterogen memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk megetahui hubungan antara kontak antar grup dengan toleransi pada dua variasi kelompok partisipan, yaitu mahasiswa universitas heterogen dan mahasiswa universitas homogen di Jabodetabek. Kontak antar grup diukur dengan General Intergroup Contact Quantity and Contact Quality (CQCQ; Islam & Hewstone, 1993). Sedangkan toleransi diukur dengan Miville-Guzman Universality-Diversity Scale Short Form (M-GUDS-S; Fuertes, Miville, Mohr, Sedlacek, Gretchen, 2000). Terdapat 247 mahasiswa yang berpartisipasi pada penelitian ini, yaitu 152 orang dari universitas heterogen dan 95 orang dari universitas homogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kontak antar grup dengan toleransi baik pada kelompok mahasiswa universitas heterogen maupun pada kelompok mahasiswa universitas homogen. Namun, tidak terdapat perbedaan hubungan yang signifikan antara kontak antar grup dengan toleransi pada kedua variasi kelompok partisipan.

According to contact theory (Allport, 1954), when people are engaged in heterogenous environment, they will have higher tolerance level. This study aimed to investigate the relationship between intergroup contact and tolerance in two variance groups of participants, they were the students of heterogenous university and homogenous university in Jabodetabek. Intergroup contact were measured by General Intergroup Contact Quantity and Contact Quality (CQCQ; Islam & Hewstone, 1993) while tolerance were measured by Miville-Guzman Universality-Diversity Scale Short Form (M-GUDS-S; Fuertes, Miville, Mohr, Sedlacek, Gretchen, 2000). There were 247 students participated in this study, 152 of them were from heterogenous university and 95 of them were from homogenous university. The results showed that intergroup contact and tolerance have a significant and positive relationship both in heterogenous university's students and in homogenous university's students. However, there were no significant difference between intergroup contact and tolerance in both variance groups of participants."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Tiodora Br.
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penghayatan makna cinta dalam perkawinan dan dalam hubungan perselingkuhan pada laki-laki dan perempuan yang melakukan perselingkuhan. Teori-teori yang digunakan adalah teori segitiga cinta Stemberg, teori perkawinan dan teori mengenai perselingkuhan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam pada empat orang subyek yang melakukan perselingkuhan yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Dari hasil penelitian didapatkan gambaran mengenai makna cinta pada lakilaki dan prempuan yang melakukan perselingkuhan sebagai berikut:
1. Cinta, dengan ketiga komponennya adalah bukan hal yang mendasari perkawinan keempat subyek.
2. Adanya pemahaman yang tidak utuh mengenai definisi cinta pada ketiga subyek di mana mereka melihat cinta hanya sebagai satu komponen cinta dari tiga komponen cinta dari segitga cinta Stemberg, intimacy, passion dan commitment.
3. Penghayatan subyek terhadap makna cinta dalam perkawinan yang tidak menyeluruh di mana ada komponen-komponen cinta yang dinyatakan penting oleh subyek tetapi perwujudannya dalam perilaku sehari-hari tidak tampak.
4. Ketidakpuasan terhadap pasangan dalam perkawinan mendorong keempat subyek untuk melakukan perselingkuhan, walaupun mungkin bukan menjadi sebab langsung.
5. Perselingkuhan yang dilakukan oleh keempat subyek memiliki dampak yang sama pada keadaan rumah tangga yaitu, terpecahnya atau berkurangnya perhatian untuk anggota keluarga.
Saran diberikan untuk penelitian lebih lanjut di mana penelitian akan lebih lengkap bila diperoleh data dari pasangan dalam perkawinan dan pasangan dalam hubungan perselingkuhan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3491
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah hubungan yang paling intim dari semua
hubungan dekat lainnya dan merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh orang dewasa muda. Bila
perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang
diberikannya lebih besar dibandingkan dengan kepuasan yang
diberikan oleh dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Kepuasan perkawinan berkaitan erat dengan tahapan
perkembangan keluarga. Kepuasan perkawinan tampaknya mengikuti
curnilinear path (arah garis lengkung), dimana kepuasan
perkawinan paling tinggi pada saat pasangan baru menikah dan
belum mempunyai anak, mencapai titik terendah ketika anak
pertama berusia remaja, dari kemudian meningkat kembali ketika
anak pertama telah mandiri/keluar rumah (Rollins dan Cannon
dalam Lerner & Hultsch, 1983; Levenson) Capstensen, & Gottman,
1993; Spanier, Lewis, & Cole, 1975; Strong & DeVault, 1989).
Walaupun perkawinan diharapkan memberikan kepuasan pada
pasangan suami istri, tetapi dalam kenyataannya banyak juga
pasangan yang akhirnya mengakhiri perkawinan mereka dengan
parceraian. Kasus perceraian terbanyak diakibatkan oleh adanya
perselisihan suami istri yang terus-menerus, sebanyak ,49.76%
(Salaban, 1992); yang disebabkan antara lain oleh adanya
hambatan komunikasi di antara suami istri. Munculnya masalah
komunikasi ini dapat dikarenakan tidak adanya intimacy di
antara pasangan suami istri, karena intimacy adalah dasar dari
komunikasi (Stephen dalam Strong & Devault, 1989).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan intimacy dengan kepuasan perkawinan
pasangan suami istri pada tiga tahapan perkembangan keluarga,
yaitu pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
prasekolah, pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, dan pasangan suami istri yang anak pertamanya telah
mandiri/keluar rumah. Ketiga tahapan ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada masa-masa tersebutlah kepuasan
perkawinan sangat jelas terlihat, sehingga diharapkan hasil
penelitian ini nantinya dapat memperlihatkan adanya
curvelinear path (arah garis lengkung) dalam kepuasan
perkawinan seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai
perkawinan dan krisis yang terjadi pada tahap-tahap
perkembangan keluarga tersebut, sehingga dapat diantisipasi
masalah yang timbul dan dicari pemecahannya secara benar.
Penelitian ini dilakukan di Jabotabek dengan subyek
pasangan suami iatri yang berpendidikan minimal SLTA dan
memiliki tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Untuk
mengukur derajat intimacy, maka akan diberikan kuesioner
intimacy dari Sternberg (1988). Sedangkan untuk mengukur
kapuasan perkawinan akan digunakan skala kepuasan perkawinan
dari Spanier (1976) yaitu DAS (Dyadic Adjustment ScaIe) yang
terdiri dari 4 subskala yaitu: dyadic consensus (kesepahaman) ,
dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan), dyadic cohesion
(kebersamaan), dan affectional expression (ekspresi perasaan).
Hasil panelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan
positif dan bermakna antara intimacy dengan kepuasan pasangan
suami istri dari seluruh tahapan perkembangan keluarga yang
diteliti. Selain itu ditemukan bahwa kepuasan perkawinan
ternyata memang mengikuti arah garis lengkung (curvilinear
path), dimana kapuasan perkawinan tinggi pada pasangan suami
istri yang anak pertamanya usia prasekolah, menurun dengan
tajam pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, kemudian meningkat kambali pada pasangan suami istri
yang anak pertamanya telah keluar rumah/mandiri. Selain itu
juga ditemukan bahwa kepuasan parkawinan suami lebih besar
daripada kepuasan perkawinan istri, dan cara pasangan dalam
memecahkan masalah sehari-hari di antara mereka berpengaruh
terhadap kepuasan perkawinan dan intimacy mereka.
Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka beberapa
saran diajukan untuk mempebaiki penelitian lebih lanjut, yaitu: ditambahkan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran
yang mendalam dan menyeluruh dari kepuasan perkawinan dan
intimacy; penelitian melibatkan seluruh tahapan perkembangan
keluarga untuk melihat apakah kepuasan perkawinan dan intimacy
di Indonesia memang mengikuti curvelinear path (arah garis
lengkung); skala kepuasan perkawinan yang dipakai adalah hasil
analisa faktor karena diperkirakan sesuai dengan keadaan yang
ada di Indnesia. Sedangkan saran tambahan adalah sebaiknya
bila Iembaga-lembaga dan para ahli yang kompeten dalam hal
komunikasi orang tua dan remaja melakukan pelatihan tentang
bagaimana menjadi orang tua dan remaja yang efektif.

"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Dyah A
"ABSTRAK
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk
menghayati peristiwa atau kejadian di dalam hidupnya. Ada banyak emosi yang
dapat dirasakan oleh manusia, dan salah satunya adalah emosi cinta. Cinta
dinilai sebagai salah satu hal esensial dalam kehidupan manusia (Strong &
DeVault, 1989). Cinta merupakan dasar bagi terbentuknya bermacam-macam
hubungan interpersonal.
Ada banyak bentuk cinta. Dalam kebudayaan Yunani dikenal empat
bentuk cinta, yaitu: storge, agape, philia dan eros. Tetapi penelitian ini hanya
akan memusatkan perhatian pada salah satu bentuk cinta, yaitu eros. Eros
seringkali disebut juga sebagai cinta romantik (romantic love) (Rathus, 1993).
Fromm (dalam Peele,1988) mengemukakan bahwa cinta merupakan
sesuatu yang unik, sehingga penghayatan cinta bagi setiap individu dalam suatu
hubungan akan bersifat unik pula. Brehm (1992) mensinyalir perbedaan tersebut
mungkin berkaitan dengan tiga faktor, yaitu: perbedaan jenis kelamin, perbedaan
lamanya hubungan yang terjalin dan perbedaan kepribadian individu yang
terlibat. Di antara ketiganya, perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang
paling berpengaruh.
Hubungan pacaran merupakan salah satu bentuk hubungan intim antara
pria dan wanila yang didasari oleh rasa cinta yang kuat atau eros. Pada
hubungan tersebut masing - masing pihak akan memperlihatkan penghayatan
cinta yang berbeda. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan jenis
kelamin di antara kedua individu tersebut.
Oleh karena itu penelitian ini hendak melihat adakah perbedaan cinta
antara pria dan wanila dalam hubungan pacaran. Untuk menjawab
permasalahan tersebut dpilihlah teori Segitiga Cinta dari Stemberg (1988). Teori
ini menyatakan bahwa cinta mengandung tiga komponen, yaitu intimacy passion
dan commitment. Ketiga komponen ini merupakan pembentuk (building block)
cinta dan masing-masing komponen memiliki sifat serta peran yang berbeda.
Maka pemasalahan penelitian ini adalah adakah perbedaan komponen-
komponen cinta antara pria dan wanita dalam hubungan pacaran?
Dari hasil perhitungan t-test ternyata tidak ditemukan perbedaan antara
pria dan wanita untuk ketiga komponen tersebut. Hal ini mungkin disebabkan
oleh dua hal, yaitu: karena pengaruh budaya sebagaimana yang disinyalir oleh
Brehm (1992) atau implikasi dan teknik pengambilan sampel, dimana subyek
dalam penelitian ini adalah pasangan pria dan wanita yang sedang berpacaran.
Jika dilihat dari harga rata-rata (mean) untuk setiap komponen, kelompok
subyek wanita memberikan penilaian yang Iebih tinggi untuk komponen intimacy dibandingkan dua komponen lainnya. Artinya wanita komponen intimacy yang
paling tepat menggambarkan diri serta pasangannya dalam hubungan pacaran
Sementara komponen commitment dinilai Iebih sesuai/tepat bagi kelompok
subyek pria dibandingkan kedua komponen Iainnya.
Dari penelitian ini juga terlihat bahwa hubungan pacaran pada dewasa
muda didasari oleh consumate love, yaitu jenis cinta yang merupakan kombinasi
antara ketiga komponen cinta, yaitu; komponen intimacy, passion dan
commitment (Stemberg, 1988)."
1999
S2597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>