Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186471 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krisna Dwi Astuti
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan tindak pidana yang mempunyai karakter tersendiri yang mempunyai akibat sama bahayanya dengan tindak pidana korupsi, karena mempunyai dampak yang sangat besar baik dapat merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara yaitu dapat mematikan industri dalam negeri. Oleh karena itu tindak pidana penyelundupan memerlukan penanganan yang khusus untuk menindak para pelakunya. Kewenangan untuk menyidik terhadap tindak pidana kepabeanan tersebut sebelumnya berada di tangan Kejaksaan RI. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan kewenangan tersebut beralih ke tangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai diberikan kewenangan khusus untuk menyidik baik tindak pidana maupun pelanggaran kepabeanan termasuk tindak pidana penyelundupan. Pemberian kewenangan dalam UU No. 10 Tahun 1995 tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 6 ayat (1). Kemudian kewenangan tersebut dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Sehingga dengan ini kedudukan PPNS Bea dan Cukai berada pada lini terdepan untuk menangkap Serta menindak setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Dalam perjalanannya pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut mendapat permasalahan baik dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam IH] Kepabeanan maupun dalam hal melakukan koordinasi dengan penyidik dari instansi lainnya. Hal ini terjadi karena terjadi tumpang tindih pada pasal-pasal dalam UU Kepabeanan maupun tumpang tindih pada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan menyidik tersebut, juga dalam hal koordinasi antar lembaga baik dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun dengan instansi lain di luar DJBC. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penerapannya dan berdampak pada penegakan hukumnya. Rancangan Undang-Undang Kepabeanan pada saat ini telah disusun untuk mengatasi Salah satu masalah tersebut, diantaranya dengan memperluas pengertian/cakupan penyelundupan dengan tujuan untuk lebih dapat menjerat setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Hal ini akan berakibat pada makin besarnya tugas Serta tanggungjawab dari PPNS Bea dan Cukai. Oleh karena itu diperlukan juga pembaharuan pejabat yang berwenang untuk. menyidik tindak pidana kepabeanan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Meiber Oloan
"Tindak Pidana Kepabeanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang memerlukan keahlian yang khusus pula untuk dapat membuat terang suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Batasan dari suatu tindak pidana yang merupakan tindak pidana kepabeanan diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Terdapat penyimpangan dalam mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan mekanisme penyidikan yang diatur dalam KUHAP. Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995, kewajiban pemberitahuan dimulainya penyidikan atau dihentikannya penyidikan disampaikan langsung kepada Penuntut Umum, sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewajiban pemberitahuan tersebut harus melalui Penyidik Polri. Dalam Prakteknya, terdapat perbedaan penafsiran atas pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana kepabeanan, yaitu antara Pegawai Bea dan Cukai sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur pada Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan kewenangan Penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Sesuai dengan azas Lex Specialis derogat legi generalis, maka mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995. Dengan adanya suatu kepastian hukum terhadap pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana kepabeanan, maka diharapkan pengungkapan terhadap suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi dapat dilaksanakan dengan cepat, murah, efisien dan sederhana, yang pada gilirannya akan menciptakan suatu tertib hukum di masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan suatu tindak pidana
khusus yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yaitu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan juga telah mengatur kewenangan
penyidikan suatu tindak pidana kepabeanan yang secara
khusus diberikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Undang-Undang Kepabeanan
pun mengatur kewenangan penyidikan suatu tindak pidana
kepabeanan dimungkinkan untuk beralih kepada penyidik POLRI
apabila terpenuhi syarat keadaan tertentu yang disebutkan
dalam peraturan kepabeanan terkait. Pada dasarnya sebagai
penyidik pegawai negeri sipil, keberadaan penyidik pegawai
negeri sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak
terlepas dari pengawasan dan koordinasi dengan penyidik
POLRI. Namun mengingat penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah dilengkapi
kewenangan untuk dapat melakukan upaya paksa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, maka penyidik
POLRI tidak banyak terlibat langsung dalam proses
penyidikan di lapangan, terkecuali apabila kewenangan
penyidikan telah beralih kepada penyidik POLRI. Penyidik
POLRI akan lebih banyak berperan memberikan petunjuk dan
melakukan pengawasan terhadap penyidikan tindak pidana
kepabeanan. Pada kenyataannya, di lapangan masih saja
terjadi penerapan hubungan dan kedudukan yang tidak tepat
antara penyidik pegawai negeri sipil Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai serta penyidik POLRI, dalam penyidikan tindak
pidana kepabeanan. Demikianlah yang terjadi pada penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan atas tersangka Abdul Waris Halid."
Universitas Indonesia, 2006
S22291
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Kadir Sangadji
"Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, diberikan kewenangan khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan atas tindak pidana dibidang Cukai. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai dapat melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Cukai, namun kewenangan yang dimiliki PPNS Bea dan Cukai hanya terdapat dalam tindak pidana yang diatur secara limitatif dalam pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan kepada penyidik Polri untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) dan (2) KUHAP. Hubungan kerja antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri adalah sebagai hubungan koordinasi dan pengawasan, pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyelidikan dan penghentian penyidikan. Dalam melakukan serangkaian penyidikan penyidik Polri lebih banyak berperan memberikan petunjuk dan melakukan pengawasan terhadap penyidikan tindak pidana Cukai.
Pada kenyataan di lapangan masih saja terjadi penerapan hubungan dan kedudukan yang tidak tepat antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana Cukai. Demikianlah yang terjadi pada penahanan dalam kasus tindak pidana pemalsuan pita Cukai terhadap tersangka Ny. Erni Rusdiana, pada tahap penyidikan di Polri tersangka sudah ditahan sampai batas waktu maksimal penahanan, kemudian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penahanan kembali terhadap tersangka dalam tindak pidana yang sama, seharusnya tersangka tidak boleh dilakukan penahanan kembali lagi karena tersangka pada tahap penyidikan di Polri sudah dilakukan penahanan selama 120 (seratus dua puluh) hari. Akibat hukum dari penahanan kembali oleh PPNS Bea dan Cukai menimbulkan penahanan yang tidak sah. Terhadap penahanan yang tidak sah tersebut, tersangka Erni Rusdiana melakukan upaya hukum Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22285
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Natalia Kristin Ardianti
"Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-
pulau besar maupun kecil yang tersebar begitu banyaknya.
Untuk mengawasi keamanan tiap-tiap pulau membutuhkan
tenaga maupun sarana yang sangat besar. Demikian juga
dalam lalu lintas keluar-masuknya barang ke dan dari
pulau-pulau tersebut. Untuk itu dibuatlah peraturan yang
mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, sehingga lalu lintas barang dapat terkontrol
dan untuk menambah pemasukan dalam bentuk pajak tidak
langsung pada pemerintah.
Kepabeanan masuk dalam bidang hukum administrasi,
karena dalam penerapan sanksinya menggunakan sanksi
administrasi berupa denda disamping sanksi pidana.
Pengkategorian ini didasarkan pada jenis pelanggaran yang
dilakukan, pelanggaran ringan dikenakan sanksi
administrasi saja, sedangkan untuk pelanggaran yang berat
dikenakan sanksi pidana berupa penjara dan denda.
Dalam penelitian yang penulis lakukan di Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Priok Jakarta Utara dan
Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, pelanggaran yang paling
sering terjadi adalah pemalsuan dokumen baik impor maupun
ekspor. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh Penyidik PPNS
dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian.
Selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diproses
sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu menggunakan
ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Jenis sanksi yang dikenakan adalah sanksi pidana
berupa pidana penjara dan denda.
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah Sanksi
Pidana dalam Hukum Administrasi dengan Mengkaji Undang-
Undang Kepabeanan (UU No. 10 tahun 1995). Disini penulis
membahas penggunaan sanksi pidana dalam penerapan
ketentuan pidana pada UU Kepabeanan bagi pelaku tindak
pidananya."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2006
T16616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Jakarta: Mitra Info, 1995
336.2 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Martin
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran kepabeanan (customs) dalam rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual; implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia apakah dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia; kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan lntelektual di Indonesia dan bagaimana upaya mengatasinya. Hasil penelitian adalah pertama, dalam rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual, kepabeanan (customs) berperan dalam posisinya diperbatasan negara untuk melaksanakan "border enforcement", berupa tindakan penangguhan pengeluaran barang impor 1 ekspor hasil pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual. Kedua, implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 10 Tabun 1995 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentilkan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang diliridttngi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari irtasuknya barang-barang palsu ke Indonesia. Ketiga, beltirh adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Urtdang Nomor 10 Tabun 1995 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan presedur penangguhan pengeluaran barang yang ntelanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; pelaksanaan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih relatif barn, sehingga masih diperlukan berbagai perbaikan, pembenahan dan penyempumaan, baik terhadap sumber daya manusia, maupun perangkat sarana dan prasarana yang tersedia; terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek budaya. Saran yang diajukan adalah pertama, perlu segera diadakannya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 10 Tabun 1995 tentang Kepabeanan. Kedua, diperlukan kerjasama dan pemilik 1 pemegang hak untuk menyampaikan informasi tentang kemungkinan terjadinya pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual dan juga kerjasama serta koordinasi perlu ditingkatkan dengan aparat penegak hukum lainnya. Ketiga, Harus ada ketegasan dan aturan-aturan pembaasan izin memasukkan suatu barang tertentu, atau komponen untuk pembuatan software, atau untuk pembuatan optical disc, atau yang memberikan fasilitan untuk membuat barang bajakan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>