Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137372 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wibowo
"Tesis ini membahas mengenai dokumen pertanahan yang sangat penting karena merupakan dasar awal mula dikeluarkannya hak milik atas tanah yang kuat dan diakui oleh negara, yaitu Surat Keterangan Tanah (SKT). Proses penerbitan SKT yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini adalah kepala desa) termasuk mudah. Karena pemilik tanah dengan hak lama cukup membawa bukti-bukti dokumen kepemilikan hak lama atas tanah tersebut. Apabila dokumen tidak ada, maka pembuktian dapat dilakukan dengan cara memberikan bukti bahwa pihak pemohon maupun leluhurnya telah menempati tanah tersebut selama jangka waktu yang ditetapkan oleh undang-undang. Permohonan tersebut memang dicantumkan dikantor kepala desa atau kelurahan tempat tanah tersebut berada. Apabila lewat jangka waktu yang ditentukan, maka akan dikeluarkan SKT sebagai bukti kepemilikan atas tanah permulaan yang dapat segera dikuatkan dengan dilakukan pendaftaran tanah pertama kali untuk mendapatkan SKT. Pembuatan SKT yang mudah ini juga memberi dampak negatif, dimana seringkali timbul permasalahan persengketaan atas satu tanah yang sama namun terdapat 2 atau lebih alat bukti kepemilikan yang dipegang oleh pihak-pihak yang berbeda. Hal ini tentu sangat jauh dari harapan diciptakannya Undang-Undang Pokok Agraria yang bertujuan agar Hukum Tanah di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan jelas kepemilikannnya. Hasil penelitian ini adalah diperlukannya perbaikan dalam sistem prosedur pengeluaran SKT agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

This thesis discusses about the land documents that very important because it is the basic for the beginning of the issuance of land titles that was strong and recognized by the state, namely the Land Certificate. Land Certificate publishing process issued by the competent authority (in this case the head of the village) was easy. Because the owner of the land with the right long enough to bring documentary evidence of ownership rights over the land. If the document does not exist, then the proof can be done by providing evidence that the applicant nor their ancestors have occupied the land during the period established by law. The petition is posted at the office of the village head or village where the land is located. When passing the prescribed period, it will be removed land certificate as proof of ownership of land may soon start reinforced with land registration was first performed to obtain land certificate. This easi way for make land certificate also have a negative impact, which often raised the question of the dispute over the same ground, but there are 2 or more items of evidence of ownership held by different parties. This is very far from expectations creation of the Basic Agrarian Law which aims to Land Law in Indonesia can run smoothly and clearly about the ownership. The results of this study is the need for improvements in the system of expenditure procedures SKT so it will not causing problems in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akih Hartini
"Manusia sebagai makhluk hidup memiliki ketergantungan dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik dan sehat akan memungkinkan manusia untuk berada dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani. Kesehatan secara jasmani dapat dicapai antara lain melalui pemenuhan gizi yang sehat, pemberian air susu ibu, imunisasi, penggunaan air bersih, menjaga kebersihan dan sanitasi, serta olahraga. Ketidakcukupan dalam pemenuhannya akan menyebabkan gangguan kesehatan jasmani. Manusia yang mengalami gangguan kesehatan ini akan mencari pengobatan yang diyakini berdasarkan pengetahuan secara medis maupun pengetahuan tradisional. Pengobatan yang berlandaskan pada pengetahuan tradisional adalah salah satu alternatif yang banyak digunakan masyarakat.
Penelitian ini akan memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari untuk pengobatan tradisional. Sistem pengetahuan tradisional lokal itu sendiri merupakan ungkapan budaya yang khas, di dalamnya terkandung tata nilai, etika, norma, aliran dan keterampilan suatu masyarakat dalam memenuhi tantangan dan kebutuhan hidupnya.
Kemajuan bioteknologi khususnya di bidang obat-obatan semakin memperluas kegiatan perusahan-perusahaan besar nasional maupun multinasional di bidang obat-obatan untuk mencari sumber-sumber genetika baru di daerah pedalaman tempat masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional hidup. Nilai positif yang didapat dari kegiatan tersebut adalah pengetahuan tradisional yang selama ini terpendam maka dapat diketahui oleh masyarakat umum. Namun nilai negatifnya pun akan muncul, karena hasil penelitian yang sebenarnya pengetahuan tradisional masyarakat adat sering kali diakui sebagai milik atau temuan para peneliti. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan tradisional masyarakat adat di Indonesia dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional secara lestari perlu dilindungi.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mencari bentuk perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tumbuhan obat tradisional, 2) mencari mekanisme pembagian keuntungan atas pengetahuan tradisional masyarakat adat untuk mengantisipasi pasar bebas terhadap monopoli pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam pemanfaatan tumbuhan obat tradisional oleh perusahaan nasional dan multinasional di bidang obat-obatan.
Di Indonesia belum ada pihak yang khusus mendalami aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional. Padahal Konvensi Keanekaragaman Hayati khususnya Pasal 8 butir j mengakui tentang HaKI masyarakat adat yang berhubungan dengan Keanekaragaman hayati. HaKI dapat melindungi individu (dalam hal ini masyarakat adat) untuk mendapatkan perlindungan finansial berupa pembagian keuntungan atas prestasi masyarakat adat dalam memberikan pengetahuannya kepada pihak luar.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan survei. Metode ini digunakan untuk mencari bentuk perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat adat. Data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar berdasarkan hasil wawancara dengan responden (sampel). Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling. Pemilihan individu-individu tertentu sebagai sampel berdasarkan alasan bahwa individu-individu tersebut mewakili (representatif) dan mengerti tentang populasi kelompoknya. Populasi penelitian meneakup 3 Balai (kelembagaan adat) di Kecamatan Loksado Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yaitu Balai Malaris (35 umbun/keluarga), Balai Haratai (33 umbun/keluarga) dan Balai Waja (30 umbunikeluarga). Dan setiap balai diambil seorang individu sebagai sampel berdasarkan kedudukan indvidu tersebut sebagai ketua adat, atau peramu (dukun), atau pembekal desa yang masih memegang pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat tradisional secara lestari. Analisis dilakukan dengan memuat sintesis dari inforrnasi-informasi yang diperoleh dari berbagai sumber ke dalam deskripsi koheren (yang berjalin) mengenai yang diamati atau ditemukan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis kerja. Yaitu hipotesis yang tidak diuji, tetapi hanya mengarahkan peneliti menuju hasil penelitiannya.
Hipotesis kerja penelitian ini adalah: 1) perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dapat dilakukan dengan cara memberikan hak kekayaan intelektual dan melakukan pembagian keuntungan atas pengetahuan tersebut, 2) pembagian keuntungan atas pengetahuan tradisional dapat berupa materi dan non-materi.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata Suku Bukit sebagai gambaran dari masyarakat adat di Indonesia, memiliki pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat tradisional secara turun-temurun. Pengetahuan Suku Bukit tersebut selama ini hanya diperuntukkan dan dipergunakan bagi komunitas mereka saja secara terbatas. Konsep pelestarian tumbuhan obat yang ada di hutan berhubungan dengan pelestarian hutan itu sendiri yaitu secara in-situ (di habitatnya yang asli) karena kehidupan mereka sangat terkait dengan alam. Keterkaitan dengan alam melahirkan kepercayaan bahwa alam sekitar mereka merupakan sumber kekuatan hidup sehingga apa yang ada di alam harus dilestarikan di samping dimanfaatkan. Pergeseran nilai pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada Suku Bukit sedang terjadi, karena: 1) pengetahuan tersebut tidak tertulis, akibatnya ketika proses pembangunan, modernisasi dan globalisasi mengubah sistem budaya setempat, pengetahuan yang belum terdokumentasikan tersebut mulai hilang, 2) munculnya industri jamu tradisional, mengakibatkan semakin terikatnya masyarakat adat di sekitar industri jamu dibangun terhadap sistem permintaan bahan dasar dari tumbuhan obat tertentu.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
Perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam melestarikan dan memanfaatkan tumbuhan obat tradisional dilakukan dengan jalan:
  1. Memberikan hak atas pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional secara lestari guna mencegah pencurian plasma nutfah tumbuhan obat ke luar negeri (biopiracy) serta mencegah eksploitasi pengetahuan tradisional masyarakat adat oleh pihak asing yaitu perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional di bidang farmasi (obat-obatan). Hak tersebut diatur dalam bentuk undang-undang, sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 8 butir j Konvensi Keanekaragaman Hayati.
  2. Menciptakan pembagian keuntungan bagi masyarakat adat sesuai dengan nilai sosial, budaya dan spiritual mereka. Pembagian keuntungan tidak hanya berupa materi (nilai uang) tetapi dapat berupa:
    • Memperkuat Sumber Daya Manusia masyarakat adat melalui pelatihan keterampilan cara memproses tumbuhan obat dengan teknologi sederhana dan pendidikan untuk mempertahankan keberadaan mereka.
    • Pelayanan teknologi tepat guna khususnya dalam peramuan, penyimpanan dan pengemasan tumbuhan obat.
    • Kredit sarana teknologi, melalui koperasi di tingkat desa.
    • Mengembangkan konsorsium teknologi antara pemerintah daerah, pusat studi lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat sendiri.
Jalur pembagian keuntungan yang efektif adalah langsung kepada masyarakat adat melalui lembaga adat yang menaungi masyarakat adat.

Protection The Rights On Intellectual Property of The Adat Community (Mechanism of Benefit Sharing of Traditional Knowledge of the Adat Community in Sustainable Use of Traditional Medical Plants)Mankind as human beings is very dependent to its environment. Good and health environmental condition makes human to placed on a health of mental and physical condition. Physical health condition could be reached through the good nutrition, basic treatments for mothers and other preventive actions undertaken in the household such as breast-feeding, immunizations, the use of portable water, sanitations, and exercises. If they are not enough, they will cause physical health unbalanced. Medical treatment based on traditional knowledge is one of many alternatives that used in community. This research is about traditional knowledge on sustainable use of medical plants used by adat communities for traditional healing. Traditional/local knowledge system is a unique cultural expression consisting of values, ethics, norms, ideology and people skills to fulfill challenges and requirements of life.
The development of biotechnology, especially in medicine give the opportunity to national and multinational pharmaceutical companies to find new genetic resources in the areas and place where adat communities with their traditional knowledge live. Positive value of this activity is that people can discover and learn more about the traditional knowledge, however the negative side of this activity is that researchers often claim traditional knowledge as their findings. That is the reason traditional knowledge of adat communities in Indonesia, especially using traditional medical plants need to he protected.
The purpose of the research are as follows:
  1. To find protection form of traditional knowledge of adat communities in using and conserving biodiversity of traditional medical plants.
  2. To find the mechanism of benefit sharing of traditional knowledge of adat community to anticipate monopoly of national and multinational pharmaceutical companies in the exploitation of the traditional medical plants.
In Indonesia the Rights on ntellectual Property (HaKI) on traditional knowledge of the adat community in sustainable use of traditional medical plants has not yet been supported by a legal aspect. However the Convention of Biodiversity section Paragraph 8 j the Rights on Intellectual Property (HaKI) has been recognized and may support each individual adat community financially by sharing the benefit from passing on the traditional knowledge to the society.
This research is using descriptive-analytic method with survey approach. This method is used to find out the form of protection towards the traditional knowledge of aria community. The data used is primary data type, such as interviews with some chosen respondents. Purposive sampling is used as the sampling technique. Each individual chosen as samples are considered representatives of the population group. The population group consist of 3 Balai (traditional organization) in Kecamatan Loksado Hulu Sungai Selatan, South Kalimantan; Balai Malaris (35 umbun/ families), Balai Haratai (33 umbun/ families), Balai Waja (30 umbun/ families). One individual from each balai is chosen as a sample according to the status of the person such as, traditional leader, traditional medicine practitioner (dukun) or an "advisor" somebody who has broad knowledge on sustainable: use of traditional medical plants. The analysis is made based on the information collected from several sources into a coherent description. This research is using working hypothesis, which is not tested, however leading the researcher into the result of the research.
The hypothesis in this research are as follows:
The protection of traditional knowledge of the adat community could be carried out by giving the rights on intellectual property and share the benefit from passing on this knowledge to the society. Benefit sharing could be material or non-material.
The results of the research shows that Bukit Tribe (ethnical group) as one adat community, has the knowledge on how the use traditional medical plants and it is passed on from one generation to another, however it was only limited among their own tribe. The concept of conserving the medical plants in the forest means to preserve the forest itself, which is known as in-situ (within the origin habitat). The people of the tribe believe that nature is the source of living so it needs to be preserved. Nowadays the knowledge on the use of traditional medical plants in the Bukit tribe is undergoing some changes, it is due to:
  1. The knowledge has never been documented (not written); during the development, modernization and globalization process that changes the system of local culture this documented "science" is beginning to disappear.
  2. Traditional medical plants industrialization; leading to the development of a demand towards certain kind of plants.
The conclusions of the research are as follows:
Protection of the traditional knowledge of the adat community in sustainable use traditional medical plants are as follows:
  1. To give adat community rights towards the traditional knowledge of the use of medical plants to prevent biopiracy and biogenetic exploitation by the national and multinational pharmaceutical companies. The rigths should be regulated based on section 8 j of the Biodiversity Convention.
  2. To create a form of benefit sharing for adat communities based on social, cultural and spiritual values. Benefit sharing could also be in a non-material form, such as:
    • Educative development towards the adat communities through trainings on medical plants processing with simple technology and further education defending their existence.
    • Provision of appropriate technology especially in blending, storing and packing the traditional medical plants.
    • Providing credits for tools and equipments, through Koperasi Unit Desa.
    • Developing a consortium on technology among the local governments,centre for environmental studies, non-governmental institutions and adat communities.
The most effective way of benefit sharing is directly to the adat communities through an appointed traditional organization.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnani
"ABSTRAK
Jaminan harkat dan martabat kaum wanita dalam bidang hukum ditandai dengan pengakuan hak-hak terhadap wanita termasuk di dalam bidang perkawinan khususnya tentang nafkah. Dalam implementasi mengenai hak wanita belum sesuai dengan kenyataan. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya perceraian dan pengabaian terhadap hak-hak wanita dan anak khususnya tentang pelaksanaan nafkah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hal di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan permasalahan, apa yang mendasari istri mengajukan gugat cerai, dan apa alasan istri mengajukan nafkah terhutang dan nafkah anak dalam perceraian serta apa dampak dari diperoleh atau tidak diperolehnya nafkah dalam kehidupan mantan istri dan anak. Di samping itu pula faktor-faktor yang menyebabkan suami membayar dan tidak membayar nafkah.
Penelitian ini bertolak dari pengalaman wanita setelah bercerai yang mempunyai hak nafkah dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sebagai penunjang dengan pendekatan observasi serta penyebaran angket, diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kotamadya Bandar Lampung, dengan populasi 208 pasangan suami istri yang telah bercerai tahun 1997, baik cerai talak maupun cerai gugat serta yang mendapat dan tidak mendapat nafkah. Dengan sampel 64 pasang suami istri yang sudah bercerai, 50 belum membayar nafkah, 14 yang sudah membayar nafkah terdiri dari 2 informan memperoleh nafkah iddah, 8 informan memperoleh nafkah iddah dan nafkah anak, 4 informan memperoleh nafkah terhutang.
Hasil penelitian ditemukan alasan mendasar istri mengajukan cerai antara lain, suami tidak bertanggungjawab kepada keluarga baik terhadap istri maupun anak karena keadaan ekonomi. Suami tidak jujur karena melakukan perselingkuhan dengan wanita lain.
Cerai gugat prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan cerai talak. Suami meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama (2 tahun berturut-turut) tanpa berita. suami berperilaku tidak baik sering berjudi dan mabuk-mabukan, suami menderita penyakit atau yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami.
Adapun alasan suami tidak membayar nafkah, adalah disebabkan karena tidak ada sanksi, dan suami tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan.
Sebagai saran, dikemukakan perlu diatur secara tegas sanksi terhadap pelanggaran hak nafkah iddah terhutang dan nafkah anak dalam Undang-Undang Perkawinan. Perlu ditingkatkan kesadaran hukum pada wanita untuk dapat memperjuangkan haknya secara penuh, dan pemberdayaan terhadap wanita, agar mampu mandiri dan tidak tergantung kepada pria."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boston: Little, Brown and Company, 1975
346.04 ECO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander, Gregory S., 1965-
New York: Cambridge University Press, 2012
346.04 ALE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan Iteh
"Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI) mengatur prosedur Perekaman & Penegahan sebagai bagian dari penegakan HKI di kawasan pabean. Adapun Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI menyatakan bahwa perekaman hanya dapat diajukan oleh Pemilik atau Pemegang Hak yang merupakan badan usaha, yang berkedudukan di Indonesia. Di sisi lain, Persetujuan TRIPs sendiri mengatur prinsip national treatment. Dengan demikian Peneliti bermaksud untuk meninjau prinsip national treatment berdasarkan Persetujuan TRIPs dan pengaturan tindakan penegakan HKI di kawasan Pabean berdasarkan Persetujuan TRIPs, dan akhirnya mengkaji bagaimana ketentuan persyaratan pemohon perekaman ditinjau dari prinsip national treatment berdasarkan Persetujuan TRIPs. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian hukum normatif (doktriner).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketentuan mengenai prinsip national treatment tidak diatur secara tegas maupun secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, namun penerapan prinsip tersebut tetap tersirat dalam peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Persetujuan TRIPs mengatur tindakan penegakan di kawasan pabean, yaitu prosedur Penangguhan (suspension of release) dan prosedur Penegahan (ex officio action). Ketentuan persyaratan pemohon perekaman HKI sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI bertentangan dengan prinsip national treatmentberdasarkan Persetujuan TRIPs karena telah mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi Pemilik atau Pemegang Hak atas Merek dan Hak Cipta asing mendapat perlindungan khsusunya dalam hal tindakan Penegahan. Saran dari Peneliti adalah agar Pasal 5 ayat (3) PP Pengendalian Impor Ekspor Pelanggaran HKI dapat dirubah sehingga tidak bertentangan dengan prinsip national treatment.

Government Regulation Number 20 of 2017 concerning Import or Export Control of Goods Allegedly are or Derived from Results of Intellectual Property Rights Infringement (hereafter refer to Regulation of Import Eksport of IP Infringement) regulate the procedure of recording & ex officio preliminary suspension as a part of the IP enforcement in customs area. Article 5 paragaraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement states that recording can only be submitted by the Owner or Rights Holder who is a business entity, domiciled in Indonesia. On the other hand, the TRIPs Agreement regulates the national treatment principle. Thus the Researcher intends to review the national treatment principle and the IP enforcement in the customs area according to the TRIPs Agreement, and finally review how the requirements for the recording applicant viewed from the national treatment principle according to the TRIPs Agreement. This research was conducted in the form of normative legal research (doctrinaire).
The conclusion of this study is that the provisions regarding the national treatment principle are not explicitly regulated in legislation, but the application of these principles remains implicit in the legislation of IP. The TRIPs Agreement regulate IP enforcement in the customs area, i.e. procedure of suspension of release and the procedure of ex officio action. The requirements for the applicant of trademark and copyright recordation in the recordation system of the Directorate General of Customs as stipulated in Article 5 paragraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement is in contrary to the national treatment principle according to the TRIPs Agreement, because it has resulted in the closed opportunity for foreign Owners or Rightsholders of Trademarks and Copyright to receive legal protection, namely the ex officio preliminary suspension. Therefore, the researcher recommend to chane the provision of Article 5 paragaraph (3) of the Regulation of Import Eksport of IP Infringement so it would not in contrary to the national treatment principle according to the TRIPs Agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Virly Yusrini
"Perbandingan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) di Indonesia dengan Lembaga Strata Title Negara Singapura dalam Hubungannya dengan Pembangunan Hukum Tanah Nasional merupakan masalah yang diteliti dalam tulisan ini. Analisis dilakukan secara kualitatif dan metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lembaga strata title yang dianut negara Singapura adalah jika seseorang memiliki suatu unit di dalam sebuah gedung bertingkat, selain ia
memiliki hak terhadap unit tersebut, ia juga berhak secara nyata dan hukum atas ruang udara yang terdapat di dalamnya. Hal ini berbeda dengan konsep Hak Milik Atas Rumah Susun di Indonesia, dimana kepemilikan suatu unit dalam sebuah gedung bertingkat tidak termasuk ruang udara yang berada di dalamnya. Selain itu, terdapat empat perbedaan antara Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) di Indonesia dengan Lembaga Strata Title Negara Singapura, yaitu konsep yang melandasi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) dengan
lembaga Strata Title negara Singapura, macam hak atas tanahnya, terdapatnya sistem konversi dalam lembaga strata title Singapura dan adanya suatu badan khusus yang menangani masalah-masalah atau perselihan-perselisihan yang terjadi antara penghuni, perhimpunan penghuni dan badan pengelola. Dengan demikian diperlukannya suatu penertiban dalam penggunaan istilah strata title di Indonesia, agar terhindar dari Salah persepsi dari masyarakat Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Hapsari
"Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pelanggaran desain industri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dan tipologi bersifat deskriptif.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bilamana penggunaan desain oleh pihak ketiga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, bagaimana pengaturan perbuatan melawan hukum pada pelanggaran desain industri menurut hukum perdata, dan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum pada putusan Mahkamah Agung No. 435 K/Pdt-Sus-Hki/2013.
Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah suatu penggunaan desain oleh pihak ketiga dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila penggunaan desain tersebut sama persis atau sama secara substansial dan penggunaan tersebut dilakukan secara sengaja dan tanpa hak. Pengaturan perbuatan melawan hukum dalam pelanggaran hak desain industri terdapat pada Pasal 46 ayat (1) UU Desain Industri yang mengacu pada Pasal 9 ayat (1) UU Desain Industri dan Pasal 26 ayat (1) TRIPs. Perihal pertimbangan putusan Mahkamah Agung No. 435 K/Pdt-Sus-Hki/2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga tersebut terdapat sedikit kekuranglengkapan namun telah tepat dalam hal menentukan ganti rugi.

This thesis discusses the unlawful act in infringement of industrial design that has been regulated in Law No. 31 of 2000 about Industrial Design. In conducting this research, the writer uses juridicial-normative library research methods and the typology is descriptive.
The problem in this thesis is when the use of the design by third parties can be regarded as an unlawful act, how the regulation, and how the consideration of judges in deciding the case on the Supreme Court Decision No. 435 K/Pdt-Sus-HKI/2013.
The conclusion to these problems is a use of the design by third parties can be considered as an unlawful act when the design is exactly or substantially the same, and the use of the design has to be intentional and without right. The regulation for unlawful act in industrial design infringement contained in Article 46 (1) Industrial Design Act that refers to Art. 9 (1) Industrial Design Act and Art. 26 (1) TRIPs. Regarding consideration of the Supreme Court Decision No. 435 K/Pdt-Sus-HKI/2013 is a little sketchy, but has been precise in terms of determining the compensation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Sihol Farida
"Tesis ini merupakan penelitian filsafat politik terhadap kondisi property right masyarakat terutama di negara demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia. Para filsuf pencetus ide demokrasi seperti Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau, menganggap bahwa negara seharusnya melindungi property right masyarakat sebagai sesuatu yang berasal dari kondisi alamiah (state of nature) manusia. Tetapi ternyata pada negara berkembang, umumnya kekuasaan yang merupakan wewenang (authority) dari rakyat negara demokrasi sering menjadi power (kekuasaan dengan kekuatan si pemegang kekuasaan). Bahkan, negara menguasai property right atas tanah adat masyarakat desa yang sudah dimiliki selama ratusan tahun untuk bertani dan berladang..Kondisi ini disebabkan karena negara berkembang pada umumnya masih lebih memperhatikan kondisi pertumbuhan ekonomi dari pada pemerataan. Sedangkan masyarakat pedesaan juga pada umumnya belum menyadari bahwa mereka memiliki property right yang seharusnya dilindungi negara.Sebagai akibatnya sering terjadi berbagai konflik internal, sosial dan vertikal antara negara dan rakyat dalam bentuk conflict of interest antara negara dan rakyatnya dalam permasalahan property right.
Filsafat dapat mengajukan alternatif pemecahan berdasarkan teori-teori keadilan, seperti keadilan komutatif, distributif, dan keadilan legal yang berasal dari Aristoteles dan dikembangkan oleh Thomas Aquinas.dan teori keadilan fairness dan keadilan prosedural dari John Rawls. Pada tesis ini juga diajukan konsep negara minimal dari Robert Nozick. Menurutnya, seperti kata John Locke, negara harus dibatasi kekuasaannya pada perlindungan hak-hak asasi manusia. Rakyat juga harus mengerjakan hak-haknya dengan baik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11706
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>