Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135718 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harjo
"Penyakit kusta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang di timbulkan oleh penyakit ini. Menghadapi masalah ini organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan agar pada tahun 2000 penyakit kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi rate 1 per 10.000 penduduk. Penurunan prevalensi rate ini dapat dicapai dengan upaya penurunan proporsi penderita kusta yang berobat tidak teratur dalam periode waktu tertentu. prevalensi rate Kabupaten Majalengka cenderung menurun dari tahun ke tahun, tetapi belum mencapai target prevalensi rate yang ditargetkan oleh WHO yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun hal ini berbeda dengan penemuan penderita baru yang cenderung meningkat.
Pencapaian persentase ketidakteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Majalengka pada tahun 2000 sebesar 32,31% sehingga RFT hanya sebesar 67,69%. Angka ini relatif masih rendah bila dibandingkan dengan target RFT (Release From Treatment) rate nasional (keteraturan berobat) sebesar 90%.
Beberapa penelitian terdahulu, misalnya di Kabupaten Kuningan menunjukan bahwa ketidakteraturan berobat (1993) mencapai 18,80%, kemudian di Kabupaten Tangerang menunjukan bahwa ketidakteraturan berobat (1993) mencapai 21,60%.
Berdasarkan kenyataan ini, maka dilakukan penelitian yang mengkaji penyebab ketidakteraturan berobat yang sebenarnya dari penderita kusta yang terdiri dari variabel umur penderita kusta, jenis kelamin penderita kusta, pekerjaan penderita kusta, pendidikan penderita kusta, pengetahuan, sikap dan keyakinan penderita tentang penyakitnya, ketersediaan obat di puskesmas, peran petugas kesehatan dan peran keluarga dalam pengobatan.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Majalengka dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah 208 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sampel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik diperoleh hubungan yang bermakna pengetahuan penderita kusta (OR: 2,62, 95%CI : 1,44 - 4,76), sikap (OR 2,76, 95%C1 : 1,51 -5,05), ketersediaan obat di puskesmas (OR : 3,34, 95%CI : 1,64 - 6,80), dan peran petugas kesehatan (OR : 2,91, 95%CI : 1,60 - 5,31) dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya interaksi pada faktor risiko yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta.
Diperlukan upaya meningkatkan penyuluhan melalui media radio, televisi, buku, majalah dan pamflet yang komunikatif, sederhana dan dapat diterima masyarakat di daerah sehingga dapat mengubah perilaku. Disamping itu perlu adanya perencanaan tahunan kebutuhan obat sesuai dengan jumlah sasaran sehingga tidak terjadi kekurangan obat dan perlu juga pendidikan kesehatan yang persuasif dengan menggunakan peran keluarga atau kelompok sesama penderita dengan melibatkan tokoh masyarakat sekaligus sebagai pengawas menelan obat, serta meningkatkan kemampuan petugas pengelola program kusta, yang diharapkan petugas lebih proaktif dalam melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi kepada penderita kusta dan keluarga dengan mendatangi penderita dan keluarga untuk memberikan dukungan sosial dan konsultasi. Selain itu, diharapkan pula petugas dapat memberikan pelayanan pengobatan sesegera mungkin.
Daftar Pustaka : 52 (1956 ? 2001).

Some Factors Relating to the Leprosy Patients Irregularity for Medical Treatment at the Regency of Majalengka in 1998 ? 2000.
Leprosy was still a public health problem in Indonesia. The disease did not only cause a big problem to the medical area, but also to the community. To overcome this matter, the United Nations World Health Organization (WHO) had determined that in the year 2000 leprosy would no longer become a community problem with the prevalence rate of 1 per 10.000 people. The decrease of the prevalence rate could be abstained by reducing the number of leprosy patients who irregularly visited clinics for medical treatment, There was a tendency that the prevalence rate in Majalengka decreased from year to year, although it had not reached the targeted rate of the WHO, namely less than I per 10.000 people. This, however, was unlike the number of the newly known leprosy patients which tended to increase.
In Majalengka the number of leprosy patients with irregular treatment in the year 2000 stood at 32.32 % which meant that the RFT (Release From Treatment) was only 67,69%. This figure was relatively still lower than the targeted national RFT rate (i.e.regular treatment) of 90%.
Some earlier studies, such as one held in the Regency of Kuningan, showed that the irregular treatment in 1993 reached 18.80%. Another study in the Regency of Tangerang (1993) showed an irregularity of 21.60%.
On the basis of these facts, a study was carried out to learn the actual causes of the irregularity for treatment by leprosy patients. The variables included age, sex, occupations, education, knowledge, attitude and belief of the patients on the disease, provision of medicines in the clinics, the roles of the clinic officials and of the relatives in the treatment.
The study in Majalengka made use of the cross-sectional design and primary data, with 208 respondents, namely the whole population meeting the sample criteria.
Results of the study showed there was statistically significant correlation between the knowledge of patients (OR : 2.62, 95%CI : 1.44 - 4,76), their attitudes (OR :2.76, 95%CI : 1.51 - 5.05), provision of medicines in clinics (OR : 3.34, 95%CI : 1,64 - 6,80), the roles of the clinic officials (OR : 2.91, 95%CI : 1.60 -5.31) and the patients irregularity for treatment. The study did not show any interaction of risk factors related to the patient irregularity for treatment.
It was necessary to improve efforts in giving better information through the radio, television, books, magazines and leaflets in a communicative and simple way which would be more digestible to the local people. In this way people were expected to change their behavior. The study also suggested the necessity of an annual plan by the local government for the need of enough medicines for the targeted patients. The local government should also provide persuasive health education by involving active participation of relatives or groups of other leprosy patients, including some social celebrities who, at the some time, acted as watchers of the patients, discipline in taking medicines. It was also considered necessary to be more pro-active in communication and providing information as well as education to both the patients and their relatives by visiting them for social support and consultation. Apart from that, officials were expected to give treatment to the patients as immediately as possible.
Bibliography : 52 (1956 - 2001).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T2758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Ruswan
"Penyakit kusta adalah merupakan penyakit menular yang bersifat kronis dan memiliki dampak sosial yang cukup besar. Penularannya melalui hubungan yang lama dan akrab, karena itu kontak serumah dengan penderita kusta diduga merupakan resiko yang tinggi untuk terjadinya penularan. Namun demikian tidak semua kontak serumah tertular, untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penularan penyakit kusta pada kontak serumah.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dengan desain Cross sectional . Populasi penelitian ini diduga 974 kontak serumah dengan penderita kusta tipe MB yang telah RFT yang terdiri dari 270 penderita kusta dan 704 bukan penderita kusta Sampel sebanyak 400 yang terdiri dari 111 penderita kusta dan 289 bukan penderita kusta yang dipilh dengan meta de stratified random sampling secara proposianal.
Hasil penelitian menunjukkan 1 diantara 3,6 kontak serumah menderita kusta Beberapa faktor yang berhubungan adalah: pendidikan, pengetahuan, status perkawinan, pekerjaan, umur, hygiene sanitasi, lama kontak, keakraban dan status gizi (p< 0.05), dan variabel keakraban memiliki hubungan yang paling kuat (POR=6.87). Dari hasil analisa muitivariat ada 6 variabel utama yang berhubungan yaitu pendidikan, gizi, pekerjaan, pengetahuan, keakraban dan status perkawinan. Setelah dilakukan penilaian interaksi ditemukan ada 5 interaksi dari variabel-variabel utama yang bermakna. (p<0.05), sehingga dapat dikemukakan sebuah model dengan 6 variabel utama dan 5 variabel interaksi.

The Correlation Factors with the New Leprosy Case Supposed to be by Household Contact at Bekasi, 1997Leprosy is a infectious disease with the characters become cronical and has big social impact. The infection through the close and long contact, so that household contact with the leprosy patient supposed to be has high rich to the infection case. Nevertheless not all the house hold contact will become a case, it is important to be known that the correlation factors with the infection of the leprosy disease supposed to be by living together contact.
The research has been doing at Bekasi with the cross sectional design. The population are 974 house hold contact with the leprosy patient, and 704 leprosy patient Total sample about 400.consist of 111 leprosy patient, and 289 not leprosy patient, thet has been chosen by stratified random sampling proportionally.
The result shows that I of 3.6 house hold contact has leprosy. There are many correlation factor i.e.education, knowledge, marital status, job, age, hygiene sanotation, the length of contact, closely and the nutrient ( p< 0.005), and the closely variable has the strongest correlation (PDR= 6.87 ). The result of the multivariate analysis there are 6 main variables that has correlation i.e. education, nutritien, job, knowledge, closely and marital status after interaction judgment by done there are 5 interactions from the main variables that meaningfully (p<0.005), so that there will be a model using 6 main variables and 5 interaction variables."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayat Amir
"Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perubahan struktur perekonomian Jawa Timur pada periode tahun 1994 dan 2000 sebagai sumber pijakan bagi penentuan kebijakan pembangunan selanjutnya, (2) mengetahui berbagai sektor unggulan (key sector) dalam pembangunan perekonomian di Jawa Timur periode tahun 1994 dan 2000 dan keterkaitan antarsektor yang terjadi dalam perekonomian.
Penelitian ini merupakan salah satu dari sekian banyak analisis perekonomian dengan metode Input-Output. Hal baru yang dianalisis dalam penelitian ini adalah selain mengetahui tingkat keterkaitan antar sektor perekonomian, sektor unggulan, dan angka pengganda sektor ekonomi juga mencoba menggambarkan perubahan struktur perekonomian Jawa Timur tahun 1994 dan 2000 dengan grafik economic landscape. Hasil penelitian ini kemudian digunakan untuk analisis strategi pembangunan yang sebaiknya dilaksanakan untuk mencapai dampak pertumbuhan dan kemajuan ekonomi lain yang diharapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur ekonomi Jawa Timur selama periode 1994 sampai 2000 telah terjadi perubahan struktur ekonomi walaupun tidak drastis. Hal ini ditunjukkan oleh visualisasi economic landscape dari nilai Multiplier Product Matrix (MPM) tahun 1994 dan 2000. Selain itu juga telah terjadi pergeseran dalam beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Peranan sektor industri lainnya dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya, juga memiliki angka pengganda yang cukup tinggi.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa sebaiknya pembangunan Jawa Timur diarahkan untuk menjadi: (1) Pusat Industri, yaitu industri lainnya dan indutri makanan, minuman dan tembakau, karena kedua sektor ini sangat menonjol peranannya dalam output maupun angka pengganda pendapatan dan tenaga kerja, (2) Pusat Perdagangan dan Distribusi, hal ini didukung oleh sektor perdagangan yang bergeser menjadi sektor unggulan pada tahun 2000 dengan peningkatan dan kontribusi output yang besar. Juga didukung oleh kondisi geografis yang strategis sebagai pintu timur dan barat serta penghubung Jawa Tengah dan Bali, dan (3) Pusat Pertanian, mengingat kondisi alami Jawa Timur sebagai daerah agraris yang menonjol. Juga penyerapan tenaga kerja di sektor ini sangat besar. Sehingga peningkatan pembangunan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan pekerjaan.

This research objectives are (1) identifying the changing of East Java's economic structures from 1994 -- 2000 as one of the policies considerations, (2) identifying the various development's key sectors in East Java and their linkage into the dynamics of development process from 1994 - 2000.
Those objectives made this research as one of the Input-Output Method's Research with the new focus on description of the structural changing in East Java's economic development in 1994 and 2000 by using Economic Landscape Graphic. This pattern will be useful for the policies recommendations.
This research shows that the East Java's economic structures from 1994 to 2000 has been change although not significant. This dynamics can be seen from the economic landscape graphic as visualization of Multiplier Product Matrix (MPM) values 1999 and 2000. Besides, there has been a regression at the various key sectors and multiplier sector index. At the output and the multiplier sector index, the significance of the other industrial sector and the foods and beverages and tobaccos sector are very dominant.
As the conclusions, the East Java's development process can be emphasized into three sectors: (1) as the industrial center, especially at the other industrial sector and the foods, beverages and tobaccos sector. These focuses will be significantly support the process because these two sectors are dominant in the output result, multiplier sector index, and their absorption on the labor force; (2) as the trade and distribution center, this reason is significantly supported with the changing trend of the key sectors into trade sector in 2000. Geographically, it is supported with its presence as the strategic "East and West Gate" and as the intermediary between Central Java and Bali; (3) as the agriculture center, remained by the objective of nature in East Java as the agrarian. These sectors are significantly support the improvement of increasing household income and creating new jobs.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. M. Hamdi
"Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka saat ini masih cukup tinggi, sehingga untuk menanggulangi penyakit tersebut mulai tahun 1997/1998 Kabupaten Majalengka telah melaksanakan intensifikasi program penanggulangan tuberkulosis paru menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang merupakan bagian dari proyek intensifikasi pemberantasan penyakit menular atau intensified communicable disease control (ICDC). Target yang diharapkan dari program tersebut adalah penemuan kasus baru sebesar 70 % secara bertahap, angka konversi 80 %, dan angka kesembuhan sebesar 85 %.
Dari hasil evaluasi program penangulangan tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000, ternyata dari indikator keberhasilan program, yaitu angka konversi dan angka kesembuhan belum mencapai target, sehingga perlu dilakukan tindak lanjut. Belum tercapainya angka tersebut dapat disebabkan atau ada hubungannya dengan ketidakpatuhan berobat penderita seperti hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kesembuhan ditentukan juga oleh keteraturan/kepatuhan berobat. Hal tersebut didukung oleh angka ketidakpatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka yang masih cukup tinggi, yaitu tahun 1997/1998 sebesar 19 %, tahun 1998/1999 sebesar 16 %, dan tahun 1999/2000 sebesar 14 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepatuhan berobat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000. Disain penelitian yang digunakan adalah disain/rancangan cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 380 orang yang menggunakan tehnik pengambilan sampel stratified random sampling/ proportional stratified sampling.
Hasil yang diperoleh, yaitu dari 380 responden terdapat 57,4 % yang patuh berobat dan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, biaya transportasi, efek samping, peran pengawas menelan obat (PMO), dan sikap petugas. Dari ketujuh variabel tersebut, ternyata variabel yang paling kuat/erat adalah peran pengawas menelan obat (PMO) dan variabel efek samping,
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka untuk mengoptimalkan peranannya, PMO perlu dibekali dengan buku saku yang berisi tentang penyakit tuberkulosis dan pengobatannya serta untuk mendeteksi gejala efek samping dan melakukan penanganan sedini mungkin, sebaiknya kader dan PMO diberikan prosedur tetap (protap) cara mendeteksi dan melakukan penanganan efek samping obat anti tuberkulosis. Selain itu perlu penelitian lebih jauh mengenai kualifikasi PMO yang lebih cocok/diterima oleh penderita tuberkulosis.

Factors Related to Treatment Compliance the Patient of the Lung Tuberculosis at the Intensive Phase in the Regency of Majalengka in 1997-2000Lung tuberculosis prevalence in the regency of Majalengka is high. For disease control, since 1997/1998 regency of Majalengka has done intensified lung tuberculosis program used DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy which part intensified communicable disease control (ICDC). The target of program is case finding rate 70 %, conversion rate 80 %, and cure rate 85 %.
From result of evaluation lung tuberculosis control program in the regency of Majalengka in 1997-2000, in fact from indicator success program, namely conversion rate and cure rate have not got the target yet. So that need follow up. They caused by treatment incompliance like the result of the research whish said that the cure defined by treatment compliance. That matter is supported by treatment incompliance rate the patient of the lung tuberculosis in Majalengka regency is still high, namely in 1997-1998 was 19 %, 1998/1999 was 16 %, and 1999/2000 14 %.
This research aims to know the proportion treatment compliance and factors related to treatment compliance the patient of the lung tuberculosis at the intensive phase in the regency of Majalengka in 1997-2000. Cross sectional design was used in this study with 380 patients as the sample which was taken through a stratified random sampling/proportional stratified sampling method.
The result of this research, is from 380 patients is 57,4 % who obey to have treatment and variable that related to treatment compliance of the patient the lung tuberculosis at the intensive phase is level of education, knowledge about tuberculosis, attitude of patient, transportation cost, side effect, role of drug digestion observer, and attitude of health service. From the seventh variables, the role of drug digestion observer variable is very strong and side effect variable.
Based on the result of the research above, so for the maximum it's the role, drug digestion observer (DDO) is needed by hand book about the disease of tuberculosis and the cure, and for the detection of side effect and doing at first, it had better cadre and drug digestion observer a given a good procedure how to detection and doing side effect of the drug anti tuberculosis. Beside that it's needed longer research about the qualification of drug digestion observer better or received by tuberculosis patients.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamariah
"Penyakit kusta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di samping besamya masalah di bidang rnedis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Menghadapi masalah ini, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan agar pada tahun 2000 penyakit kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi rate kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Penurunan prevalensi rate ini dapat dicapai dengan upaya peningkatan proporsi penderita kusta yang herobat taeratur dalaxn periode waktu tertentu. Pencapaian persentase keteraturan berobat atau RPT rate pcnderita kusta di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1998 (PB: 93,7 %; MB: 91,3 %). Angka ini relatif lebih tinggi dad target RPT rate nasional yaitu 90 % balk untuk penderita ripe PB maupun MIB. Beberapa penelitian, Salah satunya di Tangerang menunjukkan bahwa RFT Rate (1993) mencapai 78,4%, yang berbeda dengan angka keteraturan berobat yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan (RPT Rate : 90%). Prevalensi Rate Kabupaten Aceh Besar cendenmg menunm dari tahun ke tahun, tetapi belum mencapai target Prevalensi Rate yang ditargetkan oleh WHO yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun hal ini berbeda dengan penemuan penderita baru yang cenderung meningkat. Berdasarkan kenyataan ini maka dilakukan penelitian yang rnengkaji bagaimana gambaran keteratumn berobat yang sebenamya dari penderita kusta di Kabupaten Aceh Besar dan hubungannya. dengan faktor-faktor yang diasumsikan melatar belakangi keteraturan berobat penderlta kusta, yaitu faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, keyakinan, sikap, jarak, ketersediaan obat, peran petugas, dan peran keluarga.Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah 134 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang teratuzr berobat adalah 74,6 % (95 % CI; 67,2 % - 82,0 %)_ Secaxa statistik diperoleh hubungan yang bermakna antara keteraturan berobat dengan faktor pengetahuan (OR: 6,73i6;95 % CI: 2,540 - l7,855), keyakinan (OR: 7,169; 95 % CI: 1,167 - 44,040 ), sikap (OR: 4,481; 95 % CI: 1,458 - 13,773 ), dan peran petugas (OR: 3,325; 95 % CI: 1,195 - 9,248). Dari empat falctor yang berhubungan tersebut, maka faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling berhubungan dengan keteraturan berobat. Diperlukan pendidikan kesehatan yang persuasif dengan menggunakan orang yang berpengalaman dalam kesembuhan kusta sebagai pendidik ( Imitation by vicarious learning ).Per1u juga peningkatan kemampuan petugas dalam metode pendidikan dan penyuluhan rnelalui program pendidikan kcsehatan, dan melaksanakan studi eksperimental, untuk melakukan uji cuba beberapa. model yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan yang bersifat persuasif, Hasil studi ini dapat digunakan untuk mendukung program intervensi yang akan meningkatkan RFT Rate.

Leprosy is still a public health problem in Indonesia Besides the medical problems, leprosy disease also gives many social problems. To overcome all those problems ,World Health Organization ( WHO) declared elimination of leprosy by the year 2000,mea.ns leprosy will not be a public health problem anymore when the prevalence rate is less than l per 10.000 population Decreasing prevalence rate could be achieved by increasing the proportion of leprosy patients who could complete the treatment regularly within adequate period of time. The number of patients finished treatment during adequate period of time or RPT rate of leprosy patients in Aceh Besar district in 1998 was relatively high (PB: 93.'7%; MB: 91.3% ). This figure is higher compare to the national target, which is 90 % for both PB and MB types. Several studies, which one of them conducted in Tangerang (1993) showed that RFT Rate was 78,4%, it was different to compliance rate gathered from recording and reporting'(RFl` Rate was 90%). Prevalence Rate in Aceh Besar District tended to decrease from year to year, but it has not reached the Prevalence Rate targeted by WHO, that are less than 1 per 10.000 people. This was different to new cases tinding that tended to increase. Based on this face this study aims to ?rind out the real pictures of the treatment compliance of leprosy patients in Aceh Besar district, and some factors related to the treatment compliance of leprosy patients such as age, sex, education, job, knowledge, confidence, attitude, distance, availability of drugs/MDT, the role of health providers and the role of the patients family. The study was conducted in Aceh Besar district and designed as cross sectional study using primary data. The number of respondents was 134, which was all the population who full [ill the criteria. The study result shows that the proportion of respondent with compliance of treatment was 74.6% (95%CI1 67.2% - 32.0%)_ Statistically the correlation was significant between the compliance of treatment and the knowledge ( OR: 6.736 ; 95%CI 1 2-540 - 17.855 ), the confidence ( OR: 7.169 ; 95%Ci 1 1.167 - 44.040 ), the attitude ( OR 1 4.481 ; 95%CI 1 1.453 - 13-774 ) , and the role of health providers ( OR 1 3.325 ; 95%CI 1 1.195 - 9.243 ). Out of four factors, knowledge is the most factor related to the compliance oftreatment. It is needed to do persuasive health education such as Imitation by Vicarious Leaming using ex leprosy patient. It is also important to improve the capability of health providers in giving health education through formal health school, and conduct an experimental study to try out some models regarding the persuasive health education. The result of the study could be used to support the intervention which could improve RPT Rate."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Bachtiar Oesman
"Kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang dengan dampak yang kompleks. Sebagaimana penyakit khronis lainnya maka keteraturan berobat penderita kusta merupakan salah satu masalah pemberantasan penyakit kusta. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita kusta.
Penelitian ini merupakan survey dengan desain kross seksional. Populasi penelitian adalah seluruh penderita kusta yang tercatat di Puskesmas tahun 1909-1991 dan mendapat obat MDT dari Yayasan Bina Sehat Tangerang. Pengambilan sampel dengan simple random sampling. Besar sampel 255.
Dari 17 variabel yang diteliti didapat 4 variabel yang berhubungan dengan keteraturan berobat yaitu kepercayaan penderita, persepsi jarak, kelainan kulit, cara mendapatkan obat. Penderita yang teratur berobat 78.4% . Dari hasil nilai Odds yang tinggi ternyata kepercayaan penderita dan persepsi jarak selalu muncul dalam berbagai kombinasi variabel. Dari perhitungan Exposed Attributable risk diperoleh hasil kepercayaan 85.767% , persepsi jarak 63.42% , kelainan kulit 86.42% , Cara mengambil obat 64.58%.
Keteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Tangerang cukup tinggi. Faktor yang mempunyai peran besar dalam keteraturan berobat adalah kepercayaan penderita dan kelainan kulit.
Disarankan untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam memotivasi penderita, mengintensifkan pencarian penderita baru, mendekatkan tempat mengambil obat kepada penderita dan tetap menjalin kerja sama.dengan pihak swasta."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marzuki
"Penyakit tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia sebagai salah satu negara yang prevalensinya cukup tinggi. Di Propinsi DI Aceh jumlah tersangka TB paru (1995-1998) sebanyak 41.612 orang, dimana 2.444 orang (5,9%) dinyatakan BTA positif, 2.300 orang telah diobati dan 1.547 orang (67,3%) dinyatakan sembuh. Di Kabupaten Aceh Besar jumlah tersangka TB paru 5.576 orang, 385 orang (6,9%) dinyatakan BTA positif, dan 379 orang penderita telah diobati, dimana 264 orang (69,6%) dinyatakan sembuh. Salah satu upaya dalam pengobatan TB Paru dilakukan dengan pendekatan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Namun prevalensi TB pain juga tetap masih tinggi. Keberhasilan pengobatan dan penyembuhan penyakit berhubungan dengan kepatuhan penderita minum obat selama 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan sehingga memberikan dukungan dalam keberhasilan. Tujuan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru di Puskesmas dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar tahun 1998. Waktu penelitian bulan November sampai Desember 1999 dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah penderita TB pain yang berobat di 7 Puskesmas dengan menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) untuk waktu 6 bulan selama tahun 1998. Jumlah sampel sebanyak 112 orang dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 52 orang (46,4%) tidak patuh berobat dan 60 orang (53,6%) patuh berobat. Hasil analisis menghasilkan 4 variabel yang hubungan bermakna (p < 0,05). Pertama pengetahuan baik dibandingkan pengetahuan kurang berhubungan dengan kepatuhan dengan nilai odds ratio 12,25 (95% Cl; 1,09-7,99; p=0,02). Kedua, ketersediaan obat berhubungan dengan kepatuhan dengan nilai odds ratio 0,44 (95% Cl; 0,18-1,02; p=0,04). Ketiga, hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan kepatuhan dengan nilai odds ratio 3,57 (95% Cl; 1,09-12,38; p=0,02). Keempat, pengawasan minum obat dengan kepatuhan dengan nilai odds ratio 2,81 (95% Cl; 1,05-7,68; p=0,02).
Dari hasil multivariat dengan metode regresi logistik, dari 12 variabel bebas hanya 7 variabel yang masuk sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasilnya menunjukan 2 variabel yang berhubungan (p<0,05), yaitu variabel pengetahuan dengan nilai odds ratio 4,24 (p-0,0099) dan variabel pengawasan minum obat dengan nilai odds ratio 3,30 (p=0,0497) terhadap kepatuhan setelah dikontrol oleh variabel pendidikan, pekerjaan, transportasi, ketersediaan obat dan pelayanan petugas kesehatan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan berbagai upaya intervensi, terutama peningkatan pengetahuan terhadap penderita melalui penyuluhan, peningkatan pelayanan petugas dalam memberikan pengobatan, serta perlunya pengawasan terhadap penderita saat minum obat sebagai upaya yang tepat dalam meningkatkan kepatuhan penderita.

The Factors Related to Treatment Compliance of Tuberculosis Patients in Public Health Center of District Area of Aceh Besar, Year 1998Indonesia, as one of developing country, still facing Tuberculosis (TB) as main Public Health problem, Indonesia is one of the country with high prevalence of tuberculosis disease. In Aceh's Province, the suspect's of tuberculosis are 41.612 patients for 1995 - 1998. The result of laboratory confirmed that 2.444 people (5,9%) are positive of tuberculosis. From 2.300 patient who have got treatment, it was confirmed that 1.547 (67,1%) were recovered. In district of Aceh Besar the total of tuberculosis suspect is 5.576 people, 385 people (6,9%) are stated positive Acid Flaccid Bacilli (AFB positive) of tuberculosis, 379 patient who have been treated, using 264 people (69,6%) were recovered. The government?s carried out tuberculosis treatment using Directly Observed Treatment Short course (DOTS). Prior to 1993, the prevalence rate of tuberculosis disease is still high. The successfulness of disease control and treatment program is related closely to patient's compliance. Based on this consideration, the purpose of this study is to explore of the factors related to treatment compliance of tuberculosis patients in Public Health Center Aceh Besar district during the period of the 1998. The study was conducted on November to December 1998 by using cross-sectional design. The population in this study was patient of tuberculosis treated with short course regiment at 7 Public Health Center that have got tuberculosis drugs for 6 months. Sample of 112 patients were taken from the perspective population. Data were collected by interviewing tuberculosis patients using structured questionnaire.
The result of the study showed that only 60 (53,6%) patients compliant to the treatment and 52 persons (46,4 %) incompliant, The result of analysis found 4 variables significantly related to compliance (p<0,05). First, good knowledge compare to less knowledge is related to treatment compliance with odds ratio 12,25 (95% CI : 1,09-317,99: p=0,02), Second, preparing the drugs is also related to treatment compliance with odds ratio value 0,44 (95% Cl : 0,18-1,02 : p=0,04). Third, health providers services is also related to patient compliance with odds ratio value 3,57 (95% Cl : 1,09-12,38 : p-0,02). Fourth, the control of drinking drugs, with odds ratio value 2,81 (95% Cl : 1,05-7,68 : p=0,02).
The result of multivariate analysis with logistic regression method found 7 candidate variables from 12 independent variables, and 2 variables statistically significant (p<0,05). They are knowledge with odds ratio 4,24 (p-0,0099), and treatment's control of drugs, with odds ratio 3,30 (p=0,0497) related to compliance. The analysis was done by controlling the others variables, such as occupation, drugs availability and health providers services. The study concluded that knowledge and treatment control have more contribution to treatment compliance of tuberculosis disease in Public Health Centre than of tuberculosis disease than the others variables. Based on the results of the study, it is recommended to increase patients? knowledge in tuberculosis by health education, to increase patients? compliance, treatment observer must be accessible and acceptable to the patient and accountable to the health system. Beside that, health providers? services in health centre need to be increase and direct observation."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T4631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aniek Nurfitriani
"Skripsi ini membahas kebijakan ekonomi Orde Baru mengenai industrialisasi dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Karawang pada tahun 1989-1997. Hasil penelitian mendapati fakta bahwa Pemda Kabupaten Karawang membagi Karawang menjadi dua bagian, yaitu bagian selatan dikhususkan untuk kawasan industri dan bagian utara untuk pertanian. Pembagian ini mempengaruhi pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Kabupaten Karawang, khususnya petani. Urbanisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan percampuran budaya menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan kehidupan sosial dan ekonomi petani ini. Kondisi ini baru terjadi di Karawang bagian selatan pada periode ini. Sedangkan petani di bagian utara Karawang belum terpengaruh industrialisasi hingga tahun 2000-an.
This research discusses Orde Baru economic policy of industrialization and its impact on the lives of peasant society in Karawang Regency at 1989-1997. The Writer found the fact that Karawang Regency Local Government split Karawang into two parts, the southern part for industrial area and the northern part for agricultural area. The division affects the economic and social life of Karawang Regency, especially peasants. Urbanization, opportunity to work, and culture acculturation are causing changes of economic and social life of peasant society. This condition just happen at southern part that period. Whereas northern part peasants no influent yet until 2000s."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42918
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Husna Natanegara
"Penelitian ini menyajikan hubungan kredit UMKM dan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2010-2013. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hasil dari penyaluran kredit UMKM demi mencapai pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti yang tertera pada New Economic Policy Package 2007 dan financial inclusion Indonesia 2012. Penelitian ini menggunakan metode data panel dengan 33 provinsi di Indonesia dan rentang waktu 4 tahun, hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kredit UMKM, kredit non UMKM, suku bunga riil, dan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi. Namun tidak ada hubungan signifikan antara tenaga kerja dan pertumuhan ekonomi regional. Hasil menunjukkan terdapat signifikansi positif yang kuat antara kredit UMKM dan pertumbuhan ekonomi regional. Hal tersebut mengindikasikan rencana Pemerintah RI sudah menuju ke arah yang benar, tetapi masih dibutuhkan pembenahan upaya-upaya penyaluran kredit UMKM agar dampaknya ke perekonomian dapat ditingkatkan.

This study presents relations between SME loans and economic growth in Indonesia period 2010-2013. The main objective of this study is to evaluate the results of MSME loan portfolio in order to achieve economic growth as stated in the New Economic Policy of 2007 and financial inclusion Package Indonesia 2012. This study uses panel data of 33 provinces in Indonesia and a time span of 4 years, the results indicate that there is a significant correlation between SME loans, non MSME credit, real interest rates, and infrastructure to economic growth. However, there is no significant relation between labor and regional economic growth. Results showed that there was a strong positive significance between MSMEs and regional economic growth. This indicates that the strategy developed by Indonesian government is heading to the right direction, but still need much effort MSME loan program in order to achieve greater impact on the economy.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S60652
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammas Arif Tasrif
"Ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia telah membentuk suatu pola makro dimana Sumatera, Jawa dan Bali menjadi pusal (core) bagi Kalimantan, Sulawesi dan Wilayah Lain di bagian timur nusantara yang berperan sebagai sekitar (periphery) yang marjinal.
Dekomposisi dengan metoda Block Structrural Path Analisis (BSPA) terhadap IRIO Indonesia membuktikan bahwa ketimpangan tersebut secara umum disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam struktur economic influence, yang terdiri atas economic self-influence dan transfers of economic influence. Membandingkari kedua struktur tersebut, kontribusi economic self-influence yang jauh lebih besar menunjukkan bahwa perekonomian setiap wilayah sangat bertumpu pads permintaan intrawilayah, dengan kata lain produksi di setiap wilayah sebagian besar berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan lokal. Proses produksi itu jugs sebagian besar memanfaatkan suplai input barang dan jasa lokal, karena jarak geografi maupun jarak ekonomi memiliki implikasi biaya tersendiri. Selain itu, kecilnya kontribusi transfers of economic influence terjadi karena wilayah-wilayah dalam studi ini pada dasarnya mewakili daratan yang sangat luas, yang terkendala oleh kondisi geografis karena terpisahkan oleh laut, selat atau samudera.
Meski kontribusi relatifnya sangat kecil, struktur feedback mengkonfirmasikan bahwa perekonomian Sumatera sangat terikat dengan Jawa. Sebaliknya, Jawa lebih terbuka dengan membagi keterkaitan ekonominya hampir secara berimbang dengan Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, Kalimantan dan Sumatera sangat terkait dengan Jawa dalam struktur ini. Pala keterkaitan ekonomi yang melibatkan ketiga wilayah tersebut menunjukkan bahwa integrasi ekonomi Jawa dan Sumatera cenderung berlanjut dengan melibatkan Kalimantan. Di sisi lain, struktur feedback yang diperlihatkan Sulawesi dan Wilayah Lain secara urnum mengisyaratkan adanya tarikan terhadap perekonomian di kedua wilayah tersebut yang relatrif berimbang antara untuk terintegrasi kedalam (ke kawasan timur Indonesia) dan keluar (ke kawasan barat Indonesia), khususnya ke Jawa dan Kalimantan.
Kombinasi masalah tipikal tingkat rata-rata pendapatan perkapita yang rendah, dan distribusi spasial pendapatan yang sangat tidak merata antarwilayah maupun intrawilayah, rnenyebabkan upaya mengatasi ketimpangan struktural di Indonesia menjadi lebih remit dibandingkan pengalaman negara-negara maju dalam mengatasi ketimpangan antarwilayah. Oleh sebab itu dibutuhkan sinergi pendekatan dalam menyusun rekomendasi kebijakan bagi pembangunan ekonomi wilayah, khususnya dalam menciptakan keseimbangan antara pendekatan sektoral dan spasial dalam perencanaan pembangunan. Kebijakan pembangunan ekonomi wiIayah hares bertujuan mendorong spesialisasi di satu sisi, dan meningkatkan perdagangan antarwilayah di sisi lain. Tujuan pertama menyangkut aspek sektoral, sedangkan yang kedua menekankan aspek spasial."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>