Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143845 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Katubi
"Tindak tutur meminta maaf merupakan tindak tutur yang mengemban fungsi perbaikan jika berkaitan dengan permintaan maaf retrospektif. Sementara itu, tindak tutur meminta maaf dapat mengemban fungsi pelunakan jika berkaitan dengan permintaan maaf antisipatoris atau prospektif. Penelitian ini bertolak dari tindak tutur meminta maaf sebagai tindak retrospektif.
Agar penutur dan petutur tidak kehilangan muka, dalam interaksi penutur perlu memilih strategi meminta maaf. Dengan menggunakan parameter solidaritas dan kekuasaan dalam tiga jenis pelanggaran, penelitian ini melihat strategi meminta maaf dan ungkapannya dalam bahasa Indonesia oleh kelompok etnis Minangkabau. Setelah itu, hasil penelitian dianalisis dari perspektif gender.
Responden penelitian ini berjumlah 196 orang yang terdiri atas 102 responden wanita dan 94 responden pria. Semua responden berusia 27--50 tahun dan semuanya staf pengajar di Universitas Bung Hatta, Padang. Hal itu dimaksudkan agar ada kesamaan kelompok usia, latar sosial, dan profesi karena variabel itu turut berperan dalam penelitian bahasa dan gender.
Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden kelompok wanita dan pria. Perbedaan penggunaan strategi itu tampak, baik pada pelanggaran I, II, dan III maupun secara keseluruhan berdasar penghitungan statistik uji F.
Perbedaan penggunaan strategi meminta maaf itu dapat dijelaskan dari perspektif gender. Dalam pandangan adat Minangkabau, wanita dikonstruksi secara berbeda dengan pria dalam konteks sosial budaya. Salah satu aturan dan pantangan yang harus dipatuhi wanita Minangkabau adalah aturan dan pantangan berbahasa. Aturan seperti itu tidak ditemukan pada kelompok pria. Oleh sebab itu, sangat mungkin perbedaan itu berpengaruh terhadap penggunaan strategi berbahasa, termasuk meminta maaf."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T3673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filia
"ABSTRAK
Tuturan yang mengungkapkan tindakan merupakan salah satu fungsi bahasa sebagai instrumen tindakan. Austin (1962:12) mengatakan: "Say something is to do something; or in which by saying or in saying something we are doing something". Dengan demikian ketika seseorang melakukan tindakan dengan bahasa, secara bersamaan mengungkapkan tindak itu sendiri. Tindakan dalam bahasa disebut juga tindak tutur. Searle (1969) juga mengatakan bahwa tindak tutur itu sendiri merupakan tindakan.
Ada pelbagai tindak tutur, salah satu tindak tutur yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama adalah tindak tutur meminta maaf. Tindakan meminta maaf dilakukan ketika ada prilaku yang melanggar norma sosial, antara lain apabila penutur berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan atau telah melukai perasaan petutur. Jika hal ini terjadi hubungan kedua belah pihak menjadi tidak seimbang. Salah satu cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan itu ialah dengan meminta maaf (Cohen dan Clshtain, 1983).
Jika hal itu dikaitkan dengan konsep muka yang dikemukakan Brown dan Levinson (1978;1987), meminta maaf merupakan salah satu upaya menghargai muka penutur (karena muka petutur terancam oleh tindakan penutur), akan tetapi di sisi lain muka penutur pun terancam. Untuk menyelamatkan muka kedua belah pihak, penutur dapat memilih cara atau strategi dalam mengungkapkan permintaan maaf.
Berkaitan dengan hal di atas, penulis memfokuskan penelitian tindak tutur meminta maaf dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Memang, Jepang memiliki latar budaya yang berbeda dengan Indonesia. Nakane (1973: 31) mengatakan, dunia orang Jepang terbagi dalam tiga kategori, sempai (senior), kohai (junior), doryo (pangkat yang sama). Dengan demikian, ada perbedaan kadar perhatian orang atas kaidah-kaidah penghormatan rnenurut pribadi tiap-tiap orang (Nakane, 1973:37).
Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, tiap-tiap suku memiliki budayanya sendiri. Jika dalam masyarakat Jepang secara tegas dikatakan terdiri dari tiga kategori seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak demikian halnya dengan masyarakat Indonesia"
2006
T16840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Fitriani
"Tindak tutur meminta maaf adalah tindak tutur yang ditujukan untuk memperbaiki suatu tindak pelanggaran dan mengembalikan keharmonisan hubungan sosial antara penutur dan petutur. Untuk mencapai tujuan itu, penutur perlu memilih strategi yang sesuai. Pemilihan strategi bertutur dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor kuasa dan solidaritas yang dimiliki oleh penutur dan petutur. Penelitian ini membahas strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar dan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta. Penelitian ini adalah penelitian sosiopragmatik yang menerapkan teori Olshtain dan Cohen (1983), Blum-Kulka dan Olsthain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), dan Aijmer (1996) mengenai strategi meminta maaf.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta,(2) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta, (3) menjelaskan pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap pemilihan strategi meminta maaf, (4) mencari petunjuk apakah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf. Data penelitian ini diambil dari kuesioner survei yang telah diisi oleh 23 orang pengajar bahasa Inggris dan 88 orang pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih memilih strategi gabungan meminta maaf daripada strategi dasar meminta maaf. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pengajar berbeda dengan strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pemelajar. Selain itu, ditemukan pula adanya pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap penggunaan strategi meminta maaf. Temuan lain dari penelitian ini adalah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden.

The Speech act of apologizing is the speech act which is aimed at providing remedy for an offence and restoring social harmony between an addresser and an addressee. An addresser needs to decide appropriate strategies to achieve such goals. There are some factors that influence addresser in choosing appropriate strategies, such as power and solidarity the addresser or addressee has. This study employs sociopragmatic approach, applying theories of Olshtain and Cohen (1983), Blum-Kulka and Olshtain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), and Aijmer (1996) on apologizing strategy.
This study aims at (1) describing and explaining apologizing strategies used by English lecturers at Jakarta State University, (2) describing and explaining apologizing strategies used by English learners at Jakarta State University, (3) explaining the influence of power and solidarity on apologizing strategies used by the respondents, (4) identifying the influence of gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of studying English, and teaching experience on apologizing strategies that are used by the respondents. The data of this study are derived from the questionnaires which had been completed by 23 English lecturers and 88 English learners at Jakarta State University.
The result of the study reveals that the majority of the respondents prefer to use combined apologizing strategies to main apologizing strategies. The finding further reveals that apologizing strategies used by English lecturers are different from those used by English learners. The finding also shows that power and solidarity influence the respondents in choosing apologizing strategies. Furthermore, gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of learning English, and teaching experience influence the respondents in choosing apologizing strategies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T39178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Diah Soelistyarini
"ABSTRAK
Sehubungan dengan semakin pentingnya peran bahasa Inggris di dalam era globalisasi ini semakin banyak orang Indonesia mempelajari bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para pembelajar ini menjadi fokus di dalam skripsi saya, yang khususnya membahas tentang tindak tutur permintaan maaf di dalam bahasa Inggris yang direalisasikan oieh penutur bahasa Indonesia sebagai pembelajar bahasa Inggris. Bentuk ujaran yang digunakan untuk merealisasikan tindak tutur ini akan dikaitkan dengan strategi-strategi tertentu (Olshtain dan Cohen, 1983) yang diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melindungi keterancaman muka para peserta tutur serta dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan dan prinsip keseimbangan dalam hubungan antarpeserta tutur (Brown and Levinson, 1992). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden. Dipilih sebagai responden adalah para mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang sedang atau telah menempuh tahun ketiga. Berdasarkan hasil analisis dari data yang terkumpul, saya sampai pada kesimpulan bahwa para responden mempunyai kecenderungan untuk menggunakan IFID (Illocutionary Force Indicating Device) di dalam tindak tutur permintaan maaf yang mereka lakukan, atau dengan kata lain mereka cenderung untuk mengungkapkan permintaan maaf secara eksplisit dengan verba-verba tertentu yang menjadikan daya ilokusioner ujaran-ujaran tersebut jelas. Satu temuan yang menarik dari penelitian ini adalah munculnya sebuah strategi dalam meminta maaf secara tidak langsung yang tidak ada dalam penelitian Olshtain dan Cohen yang terdahulu, yakni penutur menyatakan harapannya agar petutur bersedia untuk menerima permintaan maafnya, seperti dalam ujaran I hope you're not angry with me. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya responden sebagai orang Indonesia yang cenderung untuk menjunjung norma-norma kesopanan. Miskinnya khazanah tutur (repertoire) yang tampak dari pilihan kata untuk mengungkapkan permintaan maaf dapat dikaitkan dengan kompetensi komunikatif yang dimiliki responden. Hal ini juga mengandung implikasi bahwa perlu adanya perbaikan dan peningkatan mutu pengajaran bahasa Inggris sehingga pengajaran bahasa Inggris pada masa-masa mendatang lebih berlandaskan pada aspek-aspek sosiologis dan komunikatif bahasa.

"
1996
S14229
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asim Gunarwan
"ABSTRAK
Pandangan yang berterima di kalangan pakar pragmatik (dan juga di kalangan pakar sosiolinguistik) setakat ini ialah bahwa jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frase atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebagai tindakan berbicara, tindakan berujar atau tindakan bertutur. Istilah yang sekarang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu ialah tindak tutur, yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris speech act. Yang lebih penting, yang juga berterima di kalangan pakar pragmatik, adalah pendapat bahwa di dalam melakukan tindak tutur itu, si penutur tidaklah asal buka mulut (kecuali jika ia memang abnormal, gila, sedang mabuk atau tidak radar). Artinya, sebelum melakukan meta tindak tutur, si penutur perlu mempertimbangkan beberapa hal, misalnya bagaimana hubungan sasial di antara si penutur dan si petutur, di mana peristiwa kominikasinya berlangsung, untuk apa tindak tutur itu dilakukan; tentang apa tindak tutur itu; dsb.
Faktor-faktor seperti mitra bicara dan latar komonikasi itulah yang perlu dipertimbangkan penutur sebelum bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan itu dapat juga bersumber dari prinsip kesantunan bertutur (kesopanan. berbahasa) yang berlaku di dalam masyarakat tutur atau masyarakat bahasa yang si penutur adalah anggotanya Prinsip kesantunan ini tentunya berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat itu, dan berdasarkan hal ini dapat kita sebutkan kesamaan pendapat di kalangan sosiolinguis bahwa perilaku berbahasa anggota -anggota suatu masyarakat tutur mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat itu. Dengan perkataan lain, ada hubungan di antara perilaku berbahasa dan nilai budaya atau kebudayaan itu sendiri. Walaupun ini bukan hal yang baru, tampaknya akan menarik untuk mengetahui seberapa jauh hal itu didukung oleh data empiric.
Setakat ini, tampakaya di Indonesia belum ada kajian yang membandingkan perilaku berbahasa dua (atau lebih) kelompok etnis dengan mengaitkannya dengan nosi kebudayaan. Ini dugaan. Yang tampaknya memang benar adalah bahwa setakat ini di Indonesia balum ada tulisan yang dipublikasikan yang melaporkan hasil penelitian mengenai topik tersebut (yakni perbandingan perilaku berbahasa sebagai cerminan perbedaan pandangan hidup) dengan pendekatan pragmatik. Jika asumsi ini benar, penelitian tampaknya mempunyai kemaknawian (significance) yang cukup.
Dipilihnya kelompok etnis Jawa dan Batak sebagai objek penelitian bukanlah tanpa alasan. Pemilihan itu berdasarkan pendapat awam bahwa, pada umumnya, di dalam perilaku berbahasa orang Batak itu lebih langsung (dalam anti lebih berterus terang) daripada orang Jawa Bahwa pendapat itu sudah "berterima" di kalangan masyarakat awam tidak berarti bahwa topik ini tidak boleh Jika kita bersikap ilmiah, pendapat itu perlu dibuktikan dengan mencari data empiris. Yang juga perlu didukung oleh data empiris ialah apakah perbedaan perilaku berbahasa orang Jawa dan orang Batak itu signifikan atau tidak dan, jika signifikan, berapakah derajat signifikansinya lagipula, perlu diketahui kemungkinan adanya keterpengaruhan budaya, yang dapat diinferensikan dengan membandingkan perilaku-perilaku berbahasa kelompok-kelompok Jawa Jakarta vs Batak Jakarta, Jawa Jakarta vs Jawa Semarang & Yogyakarta, Batak Jakarta vs Batak Medan, misalnya Di samping itu perlu dicari data empiris yang mungkin mendukung dugaan bahwa ada penibahan perilaku berbahasa menurut dimensi umur pada kedua kelompok etnis ini.
1.2 Permasalahan
Seperti halnya istilah perkampungan mengacu ke sejumlah kampung (jadi bukan satu kampung), istilah permasalahan di dalam penelitian ini diartikan sebagai merujuk ke sejumlah masalah, yakni sejumlah masalah penelitian. Di dalam hal ini, sesuai dengan uraian di dalam buku-buku penelitian yang baik, permasalahan dibagi menjadi beberapa masalah tambahan, yang kesemuanya berkaitan dengan masalah utama tersebut.
Masalah utama dalam penelitian ini, di dalam bentuk pertanyaan, ialah: adakah perbedaan realisasi tindak tutur melarang di antara orang Jawa dan orang Batak pada umuinnya seperti yang tersirat dari pendapat awam bahwa orang Batak cenderung lebih berterus terang dalam mengungkapkan pikiran mereka daripada orang Jawa? Dengan menggunakan istilah pragmatik, pertanyaan itu dapat diparafrasekan .menjadi: adakah perbedaan di dalam hal kelengkungan/kelurusan garis ilokusi melarang di kalangan orang Batak dan di kalangan orang Jawa?
Masalah (utama) itu dapat dijabarkan menjadi sub-submasalah, yaitu:
1. Jika memang ada, seberapa signifikankah perbedaan itu?
2. Di mana letak perbedaannya (dan juga kesamaannya, jika ada)?
3. Apakah perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan di dalam world view yang wujud di dalam perbedaan struktur sosial?
4. Adakah indikasi yang mengisyaratkan adanya pergeseran atau perubahan perilaku berbahasa? "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Santy
"This study investigated the use or the strategies or the speech act of criticizing by learners of English as a foreign language using a modified discourse completion. The purpose of this study was to know the realization of the speech act of criticizing by learners of English in four given speech situations. The speech situations differed in three contextual variables, i.e. power, solidarity, and the presence of a third party in every speech situation.
The subjects of this study were the students of the English Department, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, sitting in semesters 2, 4, 6, and 8. This was a case study. The subjects consisted in 128 respondents. They were grouped by sex, class of semester, duration of stay in English speaking countries, duration of learning English in an English course, and their TOEFL score in the last one or two years, all of which were treated as independent variables in this study. However, as only a few respondents stayed in an English speaking country, the duration of stay in the English speaking country was not analyzed in this study.
This study revealed that the strategies of criticizing performed by learners of English as a second language, especially by students of the English Department, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, differed in terms of the categories, such as sex, class of semester, duration of stay in English speaking countries, duration of learning English in an English course, and their TOEFL score in the last one or two years. The differences were caused by power and solidarity in the four speech situations. However, the public parameter investigated by the presence of a third party in every speech situation did not affect the realization of the speech act of criticizing in the four given situations. There was a tendency that the respondents used solidarity parameter when expressing criticism. In a speech situation where the hearer was superior to the respondent and they had close relationship, the respondents tended to express criticism baldly and off record. On the contrary, in the circumstances where the hearers were superior to the respondents and they did not have close relationship, the respondents tended to choose the strategy of criticizing by using negative politeness. Sub-strategies of negative politeness the respondents often used included the use of hedges, terms of deference, conventionally indirect utterance, and apologizing expression.
By using the T-test, this study revealed that there was no significant difference in four given speech situation between semester 2/4 respondents and semester 6/8 respondents. The same is true in the four speech situations between male and female respondents. By using ANOVA, this study found out that there was no significant difference in the four given speech situations between the respondents that learned English in an English course for 1 year, 1 until 3 years, and more than 3 years. In addition, ANOVA revealed that there was no significant difference in the four speech situations between the respondents with TOEFL score of 400-450, 451-500, and 501-550. Furthermore, although there were no substantial differences between respondents in terms of dependent variables, the performance of criticizing reflected communicative styles and interference of Indonesian as L1 socio-cultural strategies in their second language behavior. In other words, the respondents failed to use communicative competence in interaction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Laksita
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas pemakaian ungkapan maaf sumimasen bahasa Jepang dalam beberapa situasi tutur. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan adanya pemakaian ungkapan maaf sumimasen oleh orang Jepang yang berdomisili di Tokyo selain sebagai ungkapan maaf, yaitu sebagai ungkapan terima kasih, ungkapan pengantar saat meminta tolong, dan ungkapan saat memanggil atau menarik perhatian. Hasil penelitian menyarankan pentingnya pemahaman akan pemakaian sumimasen bagi orang asing pemelajar bahasa Jepang, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Jepang Universitas Indonesia karena sumimasen memiliki beberapa makna berbeda dan tidak hanya dipakai sebagai ungkapan maaf, untuk menghindari terjadinya kesalahan komunikasi.

Abstract
The Focus of this study is the usage of apology expression of Japanese sumimasen in several speech situations. The research result shows the usage of sumimasen by the Japanese living in Tokyo in the situation other than as apology expression, such as gratitude expression, request, and to call or get other_s attention. This research is quantitative qualitative descriptive. The data were collected by means of questionnaire and interview. The researcher suggests that the Japanese-learning foreigner, as well as the students of Japanese Study Program of University of Indonesia should understand the usage of sumimasen very well to avoid miscommunication."
2010
S13708
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ngusman Abdul Manaf
"This study discusses the relationship between indirect speech act and politeness in directive speech act. To get the data, questioners with personal indormastion of respondents and nine directive speech acts which must be assessed by these Indonesian speakers in Jakarta are employed. The analysis shows that there is a positive correlation between the indiirectness of a dierctive speech act and the degree of politeness. The more indirect a directive speech act, the more polite it is. Neverthless, the correlation is not absolute. There are other parameters that determine the degree of politeness such as intonation, choice of words, and cultural values of the speakers."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2002
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Daniel Frits Maurits
"Jika kita mengajukan suatu permintaan, biasanya permintaan itu akan mendapat reaksi yang meluluskan atau menolaknya. Skripsi ini membahas bentuk-bentuk reaksi terhadap tindak bahasa meminta yang terdapat dalam komik berbahasa Belanda dan juga penyebab diluluskannya atau ditolaknya suatu permintaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan komik sebagai bahan analisis karena percakapan antara tokoh-tokoh dalam komik merupakan cerminan percakapan nyata yang kita lakukan sehari-hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada empat tindak bahasa meminta, tiga prapermintaan (ujaran yang muncul mendahului permintaan) dan sepuluh bentuk reaksi. Keempat tindak bahasa meminta tersebut adalah permintaan langsung, permintaan langsung konvensional, permintaan tidak langsung serta isyarat dan anjuran. Ketiga prapermintaan tersebut adalah prapermintaan yang mengandung isi permintaan, prapermintaan formal dan prapermintaan yang tujuannya baru diketahui setelah pendengar memberikan reaksinya. Sedangkan kesepuluh bentuk reaksi tersebut adalah pernyataan, pertanyaan, permintaan, ajakan, anjuran, interjeksi, isyarat, reaksi verbal yang bertentangan dengan tindakan, reaksi non-verbal dan reaksi non-verbal yang disertai ujaran yang tidak ada hubungannya dengan permintaan. Di samping itu terbukti juga bahwa dalam komik terdapat juga tindak-tindak bahasa meminta yang tidak mendapat dan tidak diketahui reaksinya."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
S15917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Nurhasanah
"ABSTRAK
Gita Nurhasanah. Tindak tutur mengeluh dalam bahasa Jepang. Skripsi ini menganalisis tindak tutur mengeluh dalam bahasa Jepang yang terdapat dalam drama seri Jepang yang berjudul Shokojo Seira. Tuturan mengeluh ini di teliti melalui pendekatan sosiolinguistik yang dikaitkan dengan konsep strategi mengeluh Anna Trosborg. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuai strategi-strategi yang digunakan oleh penutur jati bahasa Jepang dalam mengungkapkan keluhannya tersebut. Dari penelitian ini diperoleh tiga strategi mengeluh, yaitu keluhan dengan isyarat, keluhan dengan menyatakan kekesalan, dan keluhan dengan cara menyalahkan. Hasil analisis data menunjukkan hubungan sosial yang terjalin antar peserta tutur mempengaruhi strategi mengeluh yang digunakan.

Abstract
This Undergraduate thesis focuses on the Japanese Speech Act of Complaint that is used in dorama (Japanese soap operas) tittle Shokojo Seira. This complaining utterance is analyzed by using sociopragmatic approach which is connected of complaining strategies by Anna Trosborg. The aim of this Research is to know some strategies that are used by the native speaker of Japanese in expressing their complaining act. The result show that there are three strategies of complaining act which are giving hint, stating annoyance, and blaming. And this research show that the social relationship among the member of speakers influences the uses of complaining strategies."
2010
S13618
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>