Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178947 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedy Hendry
"Studi tentang konflik tanah ini dilakukan terhadap program pembangunan
perkebunan pola kemitraan antara PT. Gatra Kembang Paseban dengan masyarakat di
Mersam. Program ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup pekebun rakyat
menjadi lebih baik. Masyarakat menyerahkan tanahnya kepada perusahaan untuk
dibangun kebun kelapa sawit. Sementara itu, perusahaan selain membangun kebun,
juga berkewajiban untuk membantu petani dalam alih teknologi, pengolahan dan
pemasaran hasiI. Namun, kenyataannya program ini sampai kini belum dapat
mencapai tujuan tersebut.
Hal ini disebabkan oleh beberapa permasalahan yang dihadapi diantaranya
terlambatnya proses konversi lahan, membengkaknya biaya pembangunan dan
pemeliharaan kebun, dan pemahaman konsep kemitraan yang belum sama antara
petani dengan perusahaan dan pemerintah. Adapun yang menjadi kajian disini adalah
masalah konflik tanah.
Untuk memahami bagaimana konflik tanah tersebut terjadi, dilakukan suatu
kajian mengenai teori-teori tentang konflik yang dibangun oleh para sosiolog seperti
Marx, Simmel, Coser dan Dahrendorf. Menurut Coser, konflik adalah suatu
petjuangan diantara dua atau lebih kelompok terhadap nilai, status, kekuasaan dan
sumber daya yang langka. Kontlik yang teijadi dibedakan atas dua yaitu konflik yang
bersifat manifest dan konflik yang bersifat laten. Konflik yang bersifat manifest ini
dibedakan pula menjadi konflik yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Dalam
konflik yang bersifat manifest ini, dapat dilihat lamanya konflik tersebut berlangsung,
dan kerasnya konflik.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun
pertimbangannya adalah konflik tanah yang terjadi antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat hanya dapat diketahui melalui penelusuran kembali proses
terjadinya konflik dengan mewawancarai pihak-pihak yang terlibat konflik. Untuk
mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai konflik yang terjadi, digunakan
informan kunci. Kemudian dengan metode pengumpulan data snowlball sampling
didapat responden berikutnya.
Dari penelitian dilapangan diketahui bahwa konflik tanah dalam
pembangunan perkebunan pola kemitraan di Mersam ini telah berlangsung sejak awal
pembangunan tahun 1994 sampai sekarang dengan berbagai macam bentuk, intensitas
dan kualitasnya. Konflik tersebut terjadi selain antara perusahaan dengan masyarakat,
juga terjadi antara masyarakat dengan masyarakat. Konflik tanah antara perusahaan
dengan masyarakat meliputi hilangnya lahan petani yang telah diserahkan untuk
dibangun kebun kepada perusahaan, berkurangnya lahan yang akan diterima petani
diluar potongan 30 %, penggusuran kebun karet rakyat walaupun tidak ikut program,
kelemahan administrasi pemsahaan mengenai data pemilik dan luas lahannya
sehingga terjadi perbedaan data antara data awal, data ekspose dan data topografi.
Sementara konflik diantara masyarakat meliputi konflik dalam keluarga yaitu tidak
adanya kesepakatan dalam keluarga untuk ikut PIR Kernitraan, pembagian tanah yang
tidak adil, diantara anggota keluarga, terjadinya jual beli tanah keluarga sementara
pembagian tanah diantara anggota keluarga belum jelas/selesai, penguasaan tanah
keluarga cenderung oleh salah seorang anak, dan konflik tanah karena penggunaan
nama anggota keluarga atau orang lain untuk mendaftarkan tanah. Selain itu konflik
tanah antara masyarakat dengan masyarakat meliputi konflik tanah yang terjadi
karena tumpang tindihnya lahan, kontlik tanah karena penjualan sebidang tanah yang
berulang-ulang, konflik tanah karena pembukaan hutan. Hingga tahun ke- 7 ini,
petani belum mengetahui dimana kebun yang akan menjadi milik mereka.
Dari hasil temuan dilapangan tersebut dan kemudian dianalisa secara kualitatif
dapat disimpulkan bahwa konflik tanah pada pembangunan perkebunan kelapa sawit
PT. Gatra Kembang Paseban tersebut disebabkan oleh masalah pengadministrasian
tanah yang kurang baik, makin terbatasnya tanah hutan yang dapat dibuka, dan
munculnya kesadaran masyarakat akan hak atas tanah. Bila dilihat dari waktu
terjadinya konflik maka dapat dikatakan konflik telah berlangsung lama. Hal ini
terjadi karena tidak adanya pemimpin formal maupun informal yang mampu
menyelesaikan konflik, sulitnya tercapai kesepakatan pemecahan masalah diantara
pihak-pihak yang berkonflik, banyaknya tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang
berkonflik. Selain itu bila dilihat dari intensitas terjadinya kontlik maka dapat
dikatakan bahwa konflik tersebut relatif keras, karena adanya keterlibatan emosional,
tidak realistisnya konflik, dan adanya ketidaksamaan dalam penguasaan tanah."
2001
T2487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 41(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan Bangsa Indonesia maupun dalam pelaksanaan pembangunan Nasional khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah yang luas dan untuk itu pengadaan tanahnya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pengadaan tanah adalah merupakan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Salah satu arah kebijaksanaan pembangunan adalah pembangunan perumahan dan pemukiman yang merupakan kebutuhan dasar dari manusia selain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan dan pendidikan.Untuk itu perlu diperhatikan bahwa bagaimana praktik pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan di PT. CIGEDE GRIYA PERMAI dan apa tindakan yang dapat dilakukan oleh PT. CIGEDE GRIYA PERMAI tersebut apabila terjadi penolakan dari masyarakat yang tanahnya terkena pembebasan. Metode penelitian yang dipergunakan adalah bersifat yuridis normatif dan tipe penelitian eksplanatoris, dengan sifat penelitian yang evaluatif-analitis. Pengumpulan data dilakukan melalui metode kepustakaan dan penelitian data yang kemudian dianalisis secara kualitatif.Dari pokok permasalahan dalam tesis ini dapat disimpulkan bahwa praktik pengadaan tanah untuk perumahan Griya Alam Sentul dilakukan dengan tata cara pembebasan tanah karena status tanah yang tersedia adalah tanah Hak Milik dan yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sebagai subjek pemegang hak atas tanah dan dengan dilakukannya musyawarah secara intensif dengan masyarakat sehingga memperkecil timbulnya penolakan dari masyarakat. Saran yang ingin disampaikan adalah bahwa pembentukan tim penilai berkaitan dengan masalah ganti rugi diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidakadilan dalam hal pemberian ganti kerugian."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Pratiwi
"Pembangunan daerah merupakan isu yang paling sering kita temui dalam beberapa dekade kepemimpinan di Negara ini, seiring dengan bergantinya kepemimpinan pemerintahan, pembangunan daerah tetap merupakan salah satu tugas yang turun temurun ingin diwujudkan agar dapat bertahan dalam era global yang serba dinamis dan selalu berkembang demi menunjang kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan pembangunan daerah tersebut tentunya harus membutuhkan tanah yang menjadi tapak dari terciptanya suatu pembangunan, namun pada kenyataannya tanah yang tersedia seringkali tidak memadai, sehingga diperlukan tanah masyarakat guna pembangunan tersebut, yang disebut juga pengadaan tanah yang menurut undangundang dilakukan oleh pemerintah dengan memberi ganti rugi kepada masyarakat yang memegang hak atas tanah tersebut. Dalam pengadaaan tanah demi kepentingan umum inilah yang sering menimbulkan masalah penentuan ganti rugi yang dilakukan melalui konsinyasi (penitipan). Penggunaan lembaga konsinyasi merupakan salah satu cara untuk memaksa masyarakat dalam rangka pengambilan tanah masyarakat. Konsinyasi seperti diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan opsi yang ditawarkan oleh undang-undang bagi debitur untuk melunasi piutang terhadap kreditur, dengan kondisi kreditur menolak penawaran mempayaran yang dilakukan oleh debitur, sehingga jika berpedoman pada pengertian konsinyasi pada Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita wajib menelaah lebih jauh apakah penerapan lembaga konsinyasi memang dapat diterapkan dalam masalah penentuan ganti rugi yang belum memenuhi syarat musyawarah untuk mufakat. Karena hal tersebut lembaga konsinyasi yang diterapkan dalam hal pengadaan tanah sesungguhnya adalah suatu masalah yang karenanya peraturan harus dikaji ulang oleh pemerintah agar tidak lagi terjadi perampasan tanah masyarakat yang seolah-olah diperoleh sesuai prosedur, sehingga pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan peraturan-peraturan yang berpihak pada rakyat sehingga kepantingan rakyat dapat terwakili.

Regional development is an issue that most often come across us in decades of leadership in this country, along with turnover of leadership of government, regional development remains as one of hereditary task to be realized in order to survive in a global era that completely dynamic and evolving in order to support welfare community. To achieve such regional development, it certainly need land that became the site of development creation, but in reality the available land is often inadequate, so that community land needs to be used in the development, also called as land acquisition according to the laws made by government by giving compensation to people who hold rights of the land. This land procurement for public interest is often occuring problematic determination of compensation made through consignment (deposit). The use of consignment institute is one way to force people in order to acquisite community land. Consignment as set out in Article 1404 of Civil Act, is an option offered by the law for debtor to repay its debts toward creditors, in condition that creditors rejected the payment offered by debtor, so if guided by consignment definition at Article 1404 of Civil Act we must further examine whether the application of consignment institute can be applied in compensation determining problem that have not qualified for deliberation and consensus. Because of that, consignment institute which is applied in land acquisition matter is indeed a problem that made the rules should be reviewed by government so that community land expropriation is no longer happening that seems obtained according to procedure, so government is expected to create regulations that support people so that people?s interest can be represented."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 41 (2013) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
David Towansiba
"Sektor pertanian merupakan salah satu sector yang perlu ditumbuhkembangkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Atas pertimbangan hal tersebut pengembangan sector ini juga dilaksanakan di masyarakat yang mana pada gilirannya akan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Distrik Prafi. Pelaksanaan program pembangunan pengembangan komodity perkebunan banyak pola yang dikembangkan, dimana salah satunya adalah pengembangan masyarakat melalui Perusahan Inti Rakyat Perkebunan ( Pola PIR-BUN). Dimana dalam pelaksanaan program ini diharapkan terjadinya transfer teknotogi perkebunan dan perusahan inti/perusahan pengelolaan kepada masyarakat yang berada di sekeliling lokasi dilaksanakan proyek.
Dalam pelaksanaan program pembangunan perkebunan kelapa sawit pola PR tersebut peran petugas penyuluh lapangan ( PPL), sangat panting, karena mengingat kondisi masyarakat local yang mendiami dataran Prafi yang dinilai masih sangat terbelakang, tertinggai dan masih merniliki pola pendidikan yang sangat rendah. Karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang peran petugas penyuluh lapangan dalam program pembangunan perkebunan kelapa sawit pola PIR-Bun (Perusahan Inti Rakyat Perkebunan) serta faktor - faktor pendukung dan faktor - faktor penghambat peran petugas penyuluh lapangan (PPL) dalam program pembangunan perkebunan kelapa sawit pola PIR-Bun.
Melalui pendekatan kualitatif digambarkan secara akurat dari pengamatan yang dilakukan secara lengkap tentang gejala atau situasi sosial diantaranya melalui pengamatan dan wawancara dengan mengunakan teknik purposive sampling dimana informan dipilih oleh peneliti sendiri guna memperoleh data dari informan tersebut secara akurat sesuai dengan permasalahan penelitian. Beberapa informan yang dipilih adalah Bupati Manokwari, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Manokwari, Kepala Distrik Prafi, dan Petani Plasma. Analisis dilakukan dengan menelah data - data yang diperoleh dari berbagai sumber dan informan.
Hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa selama pelaksanaan program pembanganan perkebunan kelapa sawit pola PIR-Bun tahap III tahun 2001/2008, telah berjalan melalui beberapa tahapan yang meliputi; tahapan persiapan lahan, tahapan pembibitan dan pengamman dan tahapan pemeliharaan serta perawatan lahan.
Dalam tiga tahapan tersebut, Peran petugas penyuluhi lapangan (PPL) lebih berperan sebagai tenaga pendidik (educator) karena kondisi sosial masyarakat yang diniIai masih membutuhkan pembinaan, pelatihan, dan pemberian contoh contoh kongkritnyata bagi masyarakat lokal. Hal tersebut dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) mengingat rata rata masyarakat di Distrik Prafi adalah masyarakat yang baru rnengalami proses perpindahan penduduk dui wilayah - wilayah pegunungan Arfak, masyarakat yang masih memiliki pola hidup sederhana, masyarakat yang masih hidup terasing, terbelakang maupun kebodohan. Sehingga pola pendekatan yang dilakukan oleh tenaga penyuluh lapangan adalah pola pendekatan educator ( mendidik, membina, melatih) dalam ketiga tahapan tersebut diatas.
Dalain pelaksanaan program pembangunan perkebunan kelapa sawit pola PIR- Bun di Distrik Prafi tersebut ada beberapa faktor yang memberikan dukungan dalam menunjang keberlangsungan program seperti halnva dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari, peran serta masyarakat dan dukungan kepala - kepala suku. Dari ketiga dukungan tersebut, tentunya sangat memberikan respons yang sangat positif terhadap keberhasilan program. Namun disisi faktor pendukung tersebut, tentunya juga ada beberapa faktor yang sangat menghambat proses pelaksanaan program dilapangan. Faktor - faktor penghambat tersebut adalah factor sumber daya manusia (SDM), faktor tradisi adat komunitas masyarakat lokal dan faktor iklim/cuaca."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tawakal Abdi Utomo
"ABSTRAK
Konflik tata ruang di wilayah perkotaan mdash;yang bisa berujung pada konflik lahan mdash;tidak hanya melibatkan antar masyarakat saja, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah. Pada praktiknya, pemerintah seringkali menggunakan penggusuran paksa sebagai strategi untuk menertibkan lahan-lahan ilegal mdash;seperti tempat berjualan informal dan pemukiman kumuh mdash;agar peruntukannya sesuai dengan rencana tata kota. Melihat hal ini, terdapat dua pola yang terlihat pada studi-studi yang membahas penggusuran paksa. Pertama, pemerintah dan rulling group yang ada melihat bahwa pemanfaatan ruang kota harus secara legal dengan mengikuti rencana tata kota. Kedua, masyarakat miskin kota melihat bahwa ruang kota merupakan tempat yang dapat dan boleh dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat. Kedua pandangan yang saling berlawanan ini tidak pernah menemui titik temu yang solutif, oleh karenanya penulis berargumen bahwa dibutuhkan suatu lembaga mediasi untuk menjembatani kepentingan di antara keduanya agar tidak timpang. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam, peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana konflik lahan yang berujung penggusuran paksa ini terjadi antara masyarakat miskin kota dengan pemerintah daerah. Selain itu, artikel ini juga ingin melihat lebih jauh peran LSM dalam kasus penggusuran paksa. Temuan dari artikel ini menunjukan bahwa LSM memiliki peranan penting tidak hanya sebagai mediator, tetapi juga sebagai pembangun kesadaran ruang masyarakat dalam konflik ruang yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat.

ABSTRACT
Spatial conflict in urban areas which can lead to land conflicts involves not only inter community groups but also between communities and governments. In practice, governments often use forced evictions as a strategy to discipline illegal lands such as informal selling places and slums so that their designations are in accordance with urban planning. Looking at this, there are two patterns seen in studies that deal with forced evictions. First, the government and the existing rulling group see that the utilization of urban space must legally follow the city planning plan. Secondly, the urban poor see that city space is a place that can and can be utilized by all elements of society. These two opposing views have never met a solvent point of view, and therefore the authors argue that a mediating body is required to bridge the interests between the two in order not to be unbalanced. Using a qualitative approach with an in depth interview method, researchers wanted to see further how land conflicts that led to forced evictions occurred between the urban poor and local governments. In addition, this article also wants to see further the role of NGOs in cases of forced evictions. The findings of this article show that NGOs play an important role not only as mediators, but also as builders of spatial awareness in spatial conflict between government and society."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Maududah
"Pembangunan Bandar Udara baru di Kabupaten Kulon Progo untuk mengatasi kejenuhan yang terjadi di Bandar udara Adisutjipto menarik banyak perhatian karena lokasi yang ditentukan kemudian ditolak oleh warga dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional dan provinsi sehingga diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dan Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan analisis kualitatif dan bersifat eksplanatoris. Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat tindakan PT. Angkasa Pura dan Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta yang tidak sesuai prosedur pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum karena dalam dokumen perencanaan pengadaan tanah tidak dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditentukan.

The construction of new airport in Kulon Progo Regency overcome to the saturation that occurred at Adisutjipto Airport attracted a lot of attention because the location determined then rejected by the citizens and not in accordance with the spatial plan of national and provincial area so that submitted to the Yogyakarta State Administrative Court and Supreme Court . This research is a juridical-normative research with qualitative and explanatory analysis. Based on the result of this research, there is action of PT. Angkasa Pura and Local Government of Yogyakarta Province which is not in accordance with the procedure of land procurement for development for public interest because in land acquisition planning document is not equipped with Environmental Impact Analysis (AMDAL) and not in accordance with Spatial Plan which has been specified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Subchan Maghfur
"ABSTRAK
Penyelesaian pekerjaan pengurukan pasir di PT.X pada proyek green field mengalami keterlambatan 40 minggu atau 233% dari jadwal yang telah ditentukan. Keterlambatan pekerjaan ini sangat berpengaruh terhadap penyelesaian pekerjaan-pekerjaan lainnya, baik dari aspek pekerjaan konstruksi maupun jadwal kedatangan alat, yang secara tidak langsung juga meningkatkan biaya penyimpanan material akibat tertundanya jadwal pengiriman.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penerapan metode pekerjaan pengurukan pasir berbasis risiko untuk meningkatkan kinerja waktu pekerjaan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yang terdiri atas wawancara terstruktur dan kuisioner yang kemudian diolah secara statistik dengan SPPS 22 serta analisa risiko sesuai PMBOK 2013.
Hasil analisa data menunjukkan terdapat enam (6) faktor risiko yang berkorelasi dan berpengaruh kuat terhadap kinerja waktu pengurukan pasir. Dengan demikian, mengelola faktor - faktor risiko tersebut akan meningkatkan kinerja waktu penyelesaian pekerjaan pengurukan pasir.

ABSTRACT
The completion of sand filling work has delayed 40 weeks or 233% from baseline schedule at PT X. It has given significant impact to others completion activity which are construction and delivery of equipments where incresing storage fee indirectly due to delivery delay.
This study aims to evaluate implementation of sand filling work methodology based on risks factor to increase time performance of sand filling work.
The research methode of this study are interview, conducting quisionare survey, risk analyst refer to PMBOK 2013 and statistic analyst by using SPSS 22 software.
The result of this research are found that there are six (6) risks factor that has strong correlation and influence to time performance of sand filling work. Therefore, managing this risks factor can be increased time performace of completion sand filling work.
"
2016
T45381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>