Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Mufid
"Peneliti tertarik membahas interaksi kekuasaan seputar penyusunan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sebagai upaya demokratisasi dunia penyiaran. Regulasi sebelumnya yakni UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran merupakan personifikasi otoriterianisme dan represifme rezim terhadap dunia penyiaran mengingat dunia penyiaran merupakan dunia yang dinamis, penelitian ini secara tegas membatasi diri hingga tanggal 12 Maret 2003. Pertimbangannya, karena pada tanggal sejumlah organisasi yang merepresentasikan kepentingan kalangan industri penyiaran mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung RI.
Regulasi media pasca reformasi tersebut tentu tidak Iahir begitu saja, melainkan muncul dari pergulatan panjang berbagai kepentingan dan kekuatan yang mendeterminasi keseluruhan proses penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk itu sangat relevan jika peneliti mengungkapkan: Bagaimana menjelaskan interaksi konfliktual struktur (variasi negara dan pasar) vis-a-vis agensi (organisasi jurnalis dan anggota civil society lainnya) seputar penyusunan regulasi penyiaran media pasca reformasi? Bagaimana pihak-pihak tersebut mengkonstruksi realitas UU Penyiaran 2002 dalam konteks kepentingan masing-masing? Serta bagaimana menjelaskan relasi saling mempengaruhi (interplay) antara strktur dan agensi seperti di atas, serta bagaimana kepentingan ekonomi-poiitik pihak-pihak yang terkait dileburkan ke dalarn UU Penyiaran 2002 tersebut?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sementara tipe penelitiannya bersifat kualifatif. Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik; analisa dokumen dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada baik berupa berbagai draft RUU Penyiaran versi DPR, pemerintah, publik (berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai publik) serta dari kalangan industri penyiaran, juga risalah berbagai rapat yang berlangsung di DPR seputar isu dimaksud, wawancara mendalam, wawancara mendalam dengan nara sumber yang relevan dengan substansi masalah penelitian, dan pengamatan tak restruktur, observasi tidak terstruktur dengan mengamati perkembangan seputar penyusunan UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Data yang didapat kemudian dianalisa dengan perspektif critical political economy dengan varian konstruktivisme. Untuk membantu mempertajam analisa, juga digunakan Teori Konstruksi Sosial yang dikembangkan oleh Berger&Luckrnann (1966) untuk memahami UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai sebuah realitas sosial.
Hasil temuan di Iapangan menunjukkan bahwa terdapat 2 aspek historical siruaredness yakni pertama, gerakan reformasi yang menumbuhkan tuntutan desentralisasi penyiaran. Reformasi menumbuhkan semangat kedaerahan sedemikian kuat sehingga dunia penyiaran juga terkena implikasinya. Terutama sistem penyiaran yang sentralistik Jakarta, dipandang tidak sesuai dengan semangat kedaerahan. Kedua, ekspansi kapitalisme global yang mengambil noe-liberalisme sebagai ruh. Pada sisi ini, kecenderungan untuk mengubah regulasi penyiaran yang state oriented diarahkan sedemikian rupa-menjadi melulu berorientasi pada pasar (marker oriented), tidak lain adalah bentuk ekspansi kapitalisme global yang pada titik tertentu mengatasnamakan publik untuk menggeser peran negara.
Sejumlah interaksi konfliktual muncul dan berkembang seiring dengan proses penyusunan UU N032 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Secara keseluruhan, terdapat tida poros kekuatan yang terlibat dalam perguiatan tersebut, yakni negara (variansi eksekutif dan legislatif), publik dan pasar. Terdapat kekuatan saling mempengaruhi (interplay) antara satu kekuatan dengan yang lainnya, sehingga pada satu titik masing-masing negara, publik dan pasar dirugikan, namun pada titik yang lain sebaliknya. Interaksi konfliktuil tersebut, selain dikarenakan perbedaan kepentingan, juga dikarenakan terdapat perbedaan dalam mengkonstruksi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai suatu realitas sosial.
Satu hal yang pasti, secara keseluruhan tidak ada yang paling diuntungkan dalam pergulatan kepentingan tersebut karena selalu saja terjadi kompromi dalam setiap isu, hanya kalau dilihat dari aspek kerugian, maka pasarlah (baca: industri penyiaran) yang paling dirugikan, terutama dengan penerapan sistem siaran berjaringan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Reza
"Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahirnya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal penting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publik. Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan unstructure observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu (false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement? (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan netral untuk memposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik.
Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasai-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik. Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini menunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal. Implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga dihambat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksamana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian.
Situasi sejarah lahimya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik. Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-perrnintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hastati
"Tesis ini membahas tentang Fungsi Legislasi DPR-RI : Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan Bagaimana DPR-RI menjalankan Fungsi Legislasi yaitu Usul Inisiatif RUU Penyiaran. Penelitian ini membahas tentang faktor internal dan ekstemal yang mempengaruhi Fungsi Legislasi DPR-RI.
Pendekatan teori yang digunakan adalah komprehensif integralistik. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam dan dokumentasi. Untuk menganalisa menggunakan analisis data secara induktif, agar lebih dapat menemukan pengaruh yang mempertajam hubungan-hubungan dan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembahasan RUU Penyiaran terjadi polarisasi antara eksekutif dan legislative yakni mereka yang pro terhadap RUU Penyiaran (F-PDI Perjuangan, F-PG, F-PPP, F-Reforrnasi, F-PDU) dan. yang kontra terhadap RUU Penyiaran (F-KKI), sedangkan yang netral (F-PBB dan F-TN1/Polri). Pansus RUU Penyiaran keanggotaannya didasarkan pada perimbangan fraksi-fraksi. Masyarakat penyiaran menjadi terpolarisasi yang saling berhadapan.
Mekanisme pembahasan dilakukan secara terbuka, serta pengambilan keputusan dengan menggunakan voting, secara musyawarah/mufakat dan lobby apabila tidak mencapai titik temu.
Dilihat dari kepentingan mayoritas fraksi menginginkan terciptanya Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang demokratis, karena Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 dinilai sangat sentralistik sehingga tidak sesuai dengan perkembangan demokratisasi. Oleh sebab itu, DPR RI mengajukan Hak Usul Inisiatlf tentang Penyiaran.
Dewan Perwakilan Rakyat RI telah menjalankan fungsi legislasi sesuai dengan UUD 1945 dalam suasana keterbukaan dan demokratis, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan hasil tertinggi yang dapat Pansus putuskan melalui proses dan prosedur yang berlaku."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Maimun Wakhid Irma
"Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahimya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal panting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat, dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic yang berkelindan dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publl Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan zinstruchire observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement" (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang babas dan netral untuk mernposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik.
Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasal-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini rnenunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga terdapat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada RRI sebagai lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksaunana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian selama 2 tahun untuk RRI sebagai penyiaran publik. Contoh pada Radio Berita Namlapanha dalam situasi yang serba transisi ini sesungguhnya mungkin untuk menjadi penyiaran publik, ketika secara konseptual dan prinsip-prinsip meleburkan diri pada penyiaran publik, dan harus didukung oleh payung undang-undang yang secara ekplisit dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 ini belum memberi tempat yang kondusif. Pada tataran inilah bahwa konstruksi sosial tentang penyiaran publik belum berakhir dan final, karena itu butuh perjuangan yang melibatkan interplay antara struktur dan agency dalam sebuah distribusi sumberdaya ekonomi politik yang seimbang (demokrasi).
Historical situatedness lahirnya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-permintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital acumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rahmi Yetri Kasri
"Sejak didirikannya televisi di Indonesia pada tahun 1962, isu kepentingan daerah selalu muncul dan menjadi ajang konflik. Berbagai kelompok berusaha memasukkan agenda dan kepentingannya dalam regulasi penyiaran. Dalam penelitian ini kelompok yang dimaksud akan dibagi tiga, yaitu kelompok pemerintah, kelompok pemodal, dan kelompok masyarakat. Selama 40 tahun (1962-2002), dominasi di bidang penyiaran bergeser dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana agen-agen penyiaran televisi di Indonesia berjuang menempatkan dominasi dan posisinya dalam struktur penyiaran televisi di Indonesia. Untuk melihat tarik-menarik kepentingan yang dikaitkan dengan pengakomodasian kepentingan daerah, terutama dalam kesempatan dan legitimasi pendirian televisi swasta di daerah (lokal) dalam regulasi penyiaran, penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah komunikasi (historical method of Communicationi) dengan pendekatan kritis. Model sejarah yang digunakan adalah model sistematis yang lebih menekankan pada perubahan-perubahan yang terjadi selama periode sejarah dibandingkan pada data-data dan detail-detail sejarah yang berkaitan dengan orang, waktu, dan tempat secara spesifik. Oleh karena itu, perubahan-perubahan dan hubungan antara kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat Indonesia selama 40 tahun menjadi penting. Dan untuk menganalisis hasil temuan yang ada, penelitian ini menggunakan konsep ekonomi politik komunikasi, khususnya konsep ekonomi politik Mosco, dan konsep strukturasi Giddens. Penelitian yang menjadikan cumber pustaka dan wawancara sebagai basis data terbesarnya ini menemukan bahwa selama 40 tahun (1962-2002) dominasi penyiaran televisi bergeser dari sentralisme pemerintah (1962-1987) menuju sentralisme pemodal (1987-1997) dan menuju kepada desentralisme dengan penguatan dominasi masyarakat (1997-2002). Penelitian ini menemukan bahwa pada masa sentralisme pemerintah, isu kepentingan daerah diakomodasi tidak lebih dari upaya untuk menjaga hegemoni pemerintah. Di masa dominasi pemodal, isu ini hanya muncul di awal untuk memudahkan pihak pemodal terjun ke dalam dunia penyiaran. Di masa penguatan dominasi masyarakat, isu ini muncul untuk menempatkan kembali kepentingan daerah dan masyarakat dalam dunia penyiaran televisi di Indonesia. Akhirnya bisa dikatakan, penelitian ini berhasil menjelaskan bagaimana agen-agen penyiaran televisi membentuk struktur penyiaran televisi di Indonesia. Penelitian ini juga berhasil menunjukkan bahwa kepentingan daerah selalu ada dan mempengaruhi kebijakan penyiaran televisi di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4235
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursatyo
"Tesis ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang mendalam dan menyeluruh tentang dinamika interaksi yang terjadi antara agen dan struktur penyiaran di Indonesia dalam menata sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia, terutama sejak munculnya kasus akuisisi PT IDKM oleh PT EMTEK hingga proses persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi selama tahun 2011-2012. Teori strukturasi Anthony Giddens dikaitkan dengan konsep strukturasi ekonomi politik Vincent Mosco menjadi teori utama penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang memandang struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia amat dipengaruhi oleh kekuasaan modal (kapital). Pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan desain penelitian Studi Kasus (Case Study) digunakan untuk dapat memberikan deskripsi yang komprehensif akan dinamika tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi korporasi IDKM oleh EMTEK mencerminkan pemusatan/ konsentrasi kepemilikan media yang merupakan konsekuensi dari sistem kapitalisme global. Struktur kapitalisme inilah yang mendominasi sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia saat ini dimana upaya peningkatan akumulasi modal dilakukan melalui praktik penguasaan saham beberapa media televisi swasta pada level perusahaan induk (holding company). UU Penyiaran no.32 tahun 2002 yang memiliki prinsip diversity of ownership itu sendiri tidak mampu mencegah praktik konsentrasi tersebut karena adanya celah penafsiran terutama pada pasal 18 ayat (1) tentang pembatasan pemusatan kepemilikan dan pasal 34 ayat (4) tentang larangan pemindahtanganan izin penyiaran. Meski demikian, struktur kapitalisme tersebut terus mendapat perlawanan dari beberapa agensi yang menentang pemusatan kepemilikan media televisi di Indonesia
This research aims to provide a comprehensive description about the dynamics interaction between agent and structure of Indonesian broadcasting system particularly in order to organize commercial television media ownership. Our observation is since the case of acquisition PT IDKM by PT EMTEK until the Judicial Review proceedings in the Constitutional Court. Giddens‟s Structuration Theory combining with Political Economy Structuration Vincent Mosco is became the main theory.
Critical paradigm is used to see the dominance of capital power in media ownership structure in Indonesia, especially commercial television. Descriptive qualitative approach with a case study research design is used to provide a comprehensive description about these dynamics process. The data were collected by means of interview and documents review.
The results showed that the acquisition of IDKM by EMTEK reflect the concentration of media ownership as a consequence of the global capitalism system. The structure of capitalism were the dominant system of commercial television ownership in Indonesia effort to increase the accumulation of capital through stock purchase practices at holding company level. Broadcasting Act 2002 which has a principle of diversity of ownership itself cannot prevent the practice of the concentration is due to the multi interpretation of article 18 paragraph (1) about the restrictions of ownership concentration and article 34 paragraph (4) about the prohibition of transfer of broadcasting licenses. However, the structure of capitalism continue to get resistance from some agencies against the television media ownership concentration in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursatyo
"Tesis ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang mendalam dan menyeluruh tentang dinamika interaksi yang terjadi antara agen dan struktur penyiaran di Indonesia dalam menata sistem kepemilikan media televisi svasata di Indonesia, terutama sejak munculnya kasus akuisisi PT IDKM oleh PT EMTEK hingga proses persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi selama tahun 2011-2012. Teori strukturasi Anthony Giddens dikaitkan dyngan konsep strukturasi ekonomi politik Vincent Mosco menjadi teori utama penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang memandang struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia amat dipengaruhi ollen kekuasaan modal (kapital). Pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan desain penelitian Studi Kasus (Case Study) digunakan untuk dapat memberikan deskripsi yang komprehensif akan dinamika tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi korporasi IDKM oleh EMTEK mencerminkan pemusatan/ konsentrasi kepemilikan media yang merupakan konsekuensi dari sistem kapitalisme global. Struktur kapitalisme inslag yang mendominasi sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia saat ini dimana upaya peningkatan akumulasi modal dilakukan melalui praktik penguasaan saham beberapa media televisi swasta pada level perusahaan induk (holding company). UU Penyiaran no.32 tahun 2002 yang memiliki prinsip diversity of ownership itu sendiri tidak mampu mencegah praktik konsentrasi tersebut karena adanya celah penafsiran terutama pada pasal 18 ayat (1) tenten pembatasan pemusatan kepemilikan dan pasal 34 ayat (4) tenten larangan pemindahtanganan izin penyiaran. Meski demikian, struktur kapitalisme tersebut terus mendapat perlawanan dari beberapa agensi yang menentang pemusatan kepemilikan media televisi di Indonesia

This research aims to provide a comprehensive description about the dynamics interaction between agent and structure of Indonesian broadcasting system particularly in order to organize commercial television media ownership. Our observation is since the case of acquisition PT IDKM by PT EMTEK until the Judicial Review proceedings in the Constitutional Court. Middens's Structuration Theory combining with Political Economy Structuration Vincent Mosco is became the main theory.
Critical paradigm is used to see the dominance of capital power in media ownership structure in Indonesia, especially commercial television. Descriptive qualitative approach with a case study research design is used to provide a comprehensive description about these dynamics process. The data were collected by means of interview and documents review.
The results showed that the acquisition of IDKM by EMTEK reflect the concentration of media ownership as a consequence of the global capitalism system. The structure of capitalism were the dominant system of commercial television ownership in Indonesia effort to increase the accumulation of capital through stock purchase practices at holding company level. Broadcasting Act 2002 which has a principle of diversity of ownership itself cannot prevent the practice of the concentration is due to the multi interpretation of article 18 paragraph (1) about the restrictions of ownership concentration and article 34 paragraph (4) about the prohibition of transfer of broadcasting licenses. However, the structure of capitalism continue to get resistance from some agencies against the television media ownership concentration in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Riswanto Mateka
"Skripsi ini memiliki sebuah pertanyaan penelitian, yakni bagaimana peran Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dalam proses perumusan RUU Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran? Pada akhir kesimpulan skripsi ini, jawaban pertanyaan penelitian tersebut terjawab bahwa ATVSI memiliki peran langsung dan aktif terhadap proses perumusan RUU Revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kesimpulantersebut diperoleh dengan melakukan penelitian kualitatif dengan data yang diperoleh melalui wawancara dan studi literatur. Teori dan konsep yang digunakan sebagai pisau analisisdalam skripsi ini ialah konsep peran dari Soerjono Soekanto (1986), konsep elitedari Yamokoski dan Dubrow (2008), taktik media oleh Cooper (2002). Terdapat tiga temuan pendukung yang memperkuat kesimpulan penelitian skripsi diatas. Temuan pertama menunjukkan bahwa terdapat pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta. Pemusatan kekuasaan ini menjadikan beberapa pemilik Lembaga Penyiaran Swasta sebagai aktor elitedalam lembaga penyiaran swasta di Indonesia. Temuan kedua menunjukkan peran langsung dan aktif ATVSI terhadap RUU dapat dilihat pada pasal-pasal yang dimaksudkan untukmemperketat pengawasan terhadap LPS. Temuan ketiga menunjukkan peran langsung dan aktif yang dilakukan oleh ATVSI menyebabkan terjadi relasi kuasa antara ATVSI dan Panja Penyiaran, ATVSI dan Baleg, serta Baleg dan Panja Penyiaran. Diantara ketiga relasi tersebut, relasi antara ATVSI dan baleglah yang kemudian membuat kepentingan ATVSI terakomodir dan tertuang dalam naskah RUU."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>