Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setiaji
"Proses penganggaran merupakan hal yang sangat penting, substansi anggaran dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh bagaimana proses penganggaran ini berlangsung. Kebijakan anggaran yang ditempuh akan sangat berimplikasi terhadap perkembangan daerah. Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya undarfinancing atau overfinancing yang akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran yang pada akhirnya akan menyebabkan layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana yang pada dasamya merupakan dana publik habis dibelanjakan seluruhnya. Kondisi ini akan memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan dinamisator dalam proses pembangunan.
Dalam usahanya menciptakan efisiensi alokasi, salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengunakan perencanaan strategik dan melakukan evaluasi terhadap program/kegiatan dalam prosedur penganggarannya. Perencanaan strategik dilakukan dalam upayanya melihat kedepan, apa yang ingin dikerjakan dan evaluasi dilakukan dengan melihat kebelakang untuk menilai hasil yang telah dicapai. Namun demikian, upaya tersebut masih sering menimbulkan kegagalan. Kegagalan terjadi dikarenakan usaha untuk meningkatkan efisiensi alokasi telah meningkatkan kebutuhan informasi, transaction cost, dan konflik politik. Kebutuhan informasi meningkat disebabkan adanya tuntutan terhadap tambahan informasi mengenai dampak program/kegiatan, sedangkan konflik politik meningkat disebabkan adanya upaya untuk mendistribusikan kembali anggaran belanja.
Penelitian ini memberikan gambaran upaya-upaya peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan memperbaiki ketentuan-ketentuan kelembagaan berupa aturan (rules), peranan (roles) dan informasi (information). Hal ini dilakukan dengan mengamati peranan yang diberikan oleh mereka yang menawarkan sumber daya, informasi yang ada pada mereka dan aturan organisasi yang ditugaskan kepada mereka.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa efisiensi alokasi di Propinsi DKI Jakarta belum memadai. Hal ini disebabkan belum sepenuhnya aturan, peranan dan informasi yang ada mendukung terlaksananya efisiensi alokasi.
Atas dasar kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang disampaikan yaitu pertama, melakukan pendekatan pembelanjaan dalam jangka menengah; kedua, memperbaiki aturan mengenai pemberian punishment and reward, memperjelas kewenangan DPRD, dan penyesuaian aturan/ketetapan; ketiga, menguatkan proses usulan kegiatan (top down versus bottom-up); keempat peningkatan keputusan dalam pengalokasian Iintas sektoral; dan kelima, peningkatan penyampaian informasi mengenai dampak dan efektifitas kegiatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurochman
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan relatif kecilnya proporsi alokasi belanja pembangunan (29,64 persen) dibanding belanja rutin (70,36 persen) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun Anggaran 1995/1996 - 2000. APBD bisa digunakan sebagai instrumen kebijakan makro yang dijalankan Pemerintah Daerah untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan daerah. Kebijakan perencanaan Anggaran Daerah yang dituangkan dalam APBD memerlukan perhatian terutama dalam pengalokasian anggaran pada sektor-sektor yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Dengan menggunakan pendekatan Input-Output, penelitian ini diawali dengan upaya mengidentifikasi sektor-sektor unggulan daerah. Pembahasan lebih lanjut mencoba mengungkap sejauh mana dampak belanja pembangunan APBD Propinsi DIY terhadap pembentukan output dan kesempatan kerja ?
Berdasarkan Tabel Input-Output Propinsi DIY Tahun 1995 dengan menggunakan klasifikasi 9 sektor, sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor-sektor unggulan di Propinsi DIY. Dari analisis angka pengganda (multiplier), ada dua sektor ekonomi di Propinsi DIY yang memiliki nilai di atas rata-rata nilai angka pengganda output, angka pengganda pendapatan dan angka pengganda kesempatan kerja. Sektor-sektor tersebut adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor industri pengolahan, sehingga sektor tersebut bisa disebut sebagai sektor pemacu pertumbuhan, pemacu pendapatan sekaligus penyerap tenaga kerja.
Dengan melakukan analisis secara parsial, kajian dampak belanja pembangunan APBD Propinsi DIY terhadap output perekonomian Propinsi DIY menempatkan sektor jasa sebagai sektor ekonomi yang tertinggi outputnya dan sektor listrik, gas dan air bersih sebagai sektor yang terendah outputnya dari Tahun Anggaran 1995/1996 - 2000. Adapun sektor pertanian menempati peringkat pertama dalam kemampuannya menciptakan kesempatan kerja. Sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menempati peringkat terendah dalam kemampuannya menciptakan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak mendapatkan alokasi belanja pembangunan APBD Propinsi DIY dalam penelitian ini."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T5017
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Edwin
"Skripsi ini membahas implementasi kebijakan electronic budgeting dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai suatu kebijakan untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta. Namun sejak diterapkan pada tahun 2014 hingga tahun 2016, implementasi electronic budgeting masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan secara post positivis dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi electronic budgeting belum berjalan baik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan ini antara lain kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, kurangnya fasilitas data dan sistem informasi serta teknologi, dan kurangnya disposisi pelaksana kebijakan.

This Thesis discussed about the implementation electronic budgeting in Local Government Budgeting Process DKI Jakarta Province as a policy to support transparency and accountability in budgeting process. However since implemented in 2014 until 2016, implementation electronic budgeting has not gone expected. This research is done in Post Positivist and with a descriptive design.
The result showed that system implementation influenced by the following factors, they are lack of quality and quantity of human resources, lack of data facilities and information system, lack of technology infrastructure, lack of disposition of the policy implementers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62371
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rufinus Djemana
"Terpusatnya kekuasaan dan kewenangan Pemerintahan di masa kepemimpinan Orde Baru yang mengabaikan kebebasan dan Hak Asasi Manusia menimbulkan berbagai ketimpangan dan kesenjangan regional antar wilayah daerah dan terjadinya kerusakan sistim sosial yang multi dimensional dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan nasional. Birokrasi yang tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan spesifik yang ada di setiap daerah mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat dan kecenderungan semakin menderasnya tuntutan untuk membangun kemandirian yang otonom dan babas dari tekanan pemerintah pusat.
Menderasnya arus reformasi yang mengedepankan pentingnya demokratisasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia yang bernuansa kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan yang hakiki dan bermartabat sesuai dengan tujuan terbentuknya negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kebutuhan akan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita demokratisasi yang bernuansa kebebasan dan Hak Asasi manusia. Karena perlakuan Pemerintah Pusat yang sentralistik, daerah-daerah tersebut merasa diperlakukan kurang adil dalam pembagian hasil pendapatan nasional dimana terjadinya kesalahan alokasi sumber-sumber daya nasional yang lebih banyak dinikmati oleh Pemerintah Pusat.
Lahirnya Undang-undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah merupakan koreksi dan suatu langkah maju untuk mempercepat reformasi dan penyempurnaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Sebagai hasil kajian dan koordinasi dari Departernen dan Lembaga yang terkait dalam urusan otonomi daerah yang mengedepankan suatu tatanan otonomi kepada dua jenis daerah otonom yang meletakkan kadar otonomi yang lebih besar kepada daerah Kabupaten/Kotamadya yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota. Kadar otonomi daerah propinsi menjadi lebih kecil didalam menjalankan fungsi Pemerintah Pusat di Daerah. Dengan ditetapkannya kedua undang-undang tersebut diharapkan manajemen sumber-sumber daya pada berbagai jenjang pemerintahan dapat ditata kembali secara mendasar sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan produktifitas dan daya saing masyarakat di daerah. Dalam kaitan ini kedudukan Gubernur dan Bupati menjadi sangat strategis sebagai posisi kunci karena bertindak sebagai Top Manager di dalam menata dan mengelola birokrasi pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel di dalam mengakomodasikan berbagai aspirasi dan tuntutan kebutuhan yang berkembang di daerah.
Sehubungan dengan itu upaya pembenahan dan pemberdayaan pengelolaan keuangan daerah di dalam merespons tuntutan aspirasi daerah merupakan langkah penting yang perlu segera dilaksanakan. Disadari, kapasitas keuangan Pemerintah Daerah akan menentukan kemampuan Pemerintah Daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya di dalam memberikan pelayanan dan mendorong terjadinya proses pembangunan daerah. Rendahnya kemampuan keuangan daerah akan menimbulkan siklus efek yang negatif yaitu rendahnya kemampuan pelayanan kepada masyarakat yang pada gilirannya akan mengundang campur tangan Pusat atau bahkan dalam bentuk ekstrim, menyebabkan dialihkannya sebagian fungsi-fungsi pemerintah daerah ke tingkat pemerintahan yang lebih atas yang tidak diharapkan oleh masing-masing daerah, Kebijakan keuangan daerah diharapkan mampu menata dan mengorganisir sistim perekonomian daerah dalam rangka perwujudan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis dan bertanggung jawab.
Kebijaksanaan keuangan daerah pada hakikatnya mencakup dua dimensi penataan sektor publik yaitu penataan aspek pendapatan (revenue side), dan aspek pengeluaran (expenditures side), seperti yang tercermin di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Anggaran Daerah (APBD). Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan salah satu wujud peran Pemerintah Daerah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi dengan merubah struktur pengeluaran atau pendapatan (Pajak Daerah) untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, anggaran daerah merupakan instrumen kebijakan penting Pemerintah Daerah untuk mengarahkan perkembangan sosia1 ekonomi, menjamin kesinambungan pertumbuhan dan meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat. Karena itu pemberdayaan anggaran daerah hares mampu mencerminkan dinamika perubahan prioritas keinginan masyarakat melalui penataan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam kerangka pengendalian pengeluaran maupun perpajakan serta retribusi di daerah. Mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang selama ini diatur dengan keputusan Mendagri no. 9 tahun 1982 tentang (P5D) menempatkan dominasi peranan Pusat, sedangkan tuntutan kebutuhan daerah kurang mendapat porsi yang seimbang, maka dengan berlakunya UU Otonomi Daerah yang baru, setiap daerah mendapatkan keleluasaan untuk mengembangkan kemandirian sesuai potensi dan peluangnya. Beberapa makna penting yang menyebabkan perlunya perubahan paradigma pembangunan daerah sesuai dengan UU Otonomi Daerah yang baru adalah sebagai berikut, Pertama, lebih ditingkatkannya proses demokrasi manajemen daerah. Kedua, lebih ditingkatkannya peran serta masyarakat dalam manajemen pembangunan daerah. Ketiga, lebih ditingkatkannya pemerataan dan keadilan pembangunan daerah. Keempat, lebih diperhatikannya potensi daerah dalam proses pengelolaan pembangunan daerah. Kelima, lebih diperhatikannya keanekaragaman daerah dalam pengelolaan pembangunan daerah. Dalam rangka pemberdayaan APBD sebagai instrumen kebijakan Otonomi Daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur agar menempatkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi dasar dan ukuran untuk menilai kemampuan kinerja Pemda Propinsi NTT. Dalam kaitan itu rumusan APBD harus melibatkan kelima kelompok kepentingan (stakeholders) secara solid dan utuh sesuai peran dan fungsinya, sehingga mampu menghasilkan keputusan perencanaan yang realistis sesuai aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Usaha penataan dan pembenahan anggaran daerah ditujukan agar Pertama, untuk memenuhi pertanggungjawaban (accountability) tugas-tugas keuangan pemerintah daerah kepada institusi pejabat yang berwenang dan kepada masyarakat. Kedua, keuangan daerah dikelola agar mampu melunasi kewajiban-kewajiban jangka pendek dari jangka panjang. Ketiga, pengurusan keuangan harus dilakukan oleh pegawai-pegawai yang jujur sehingga peluang untuk melakukan kecurangan bisa diperkecil. Keempat, prinsip pengelolaan keuangan daerah yaitu hemat dan mencapai sasaran (efektif). Kelima, adalah pengendalian harus dilakukan oleh keputusan keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD), serta petugas pengelolaan dan pengawasan keuangan yang dilakukan secara transparan. Kelima prinsip tersebut merupakan unsur-unsur pokok pada manajemen keuangan daerah yang mencerminkan terciptanya good governance pada tataran Pemerintahan Daerah.
Kajian tesis yang berjudul "Pemberdayaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Sebagai Instrumen Kebijakan Dtonomi Daerah Di Propinsi Nusa Tenggara Timor", merupakan suatu upaya untuk mencoba mengidentifikasi dan mencermati potensi, peluang dan permasalahan dasar di Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam merespon tuntutan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Otonomi yang baru terkandung maksud untuk melihat secara spesifik daya dukung Propinsi Nusa Tenggara Timur dan prospeknya ke depan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode LQ (Location Quotient) untuk mengolah data sekunder dan analisa SWOT untuk mengolah data primer (kuesioner) untuk kelima stakeholders yaitu kelompok masyarakat, kelompok DPRD, kelompok Kepala Daerah, kelompok Unit Penunjang dan Unit Pelayanan. Selain itu data dan informasi dari berbagai hasil pengalaman empirik penulis selama bekerja di propinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan analisa LQ menunjukkan bahwa kedudukan sektor pertanian masih merupakan sektor andalan di propinsi Nusa Tenggara Timur (LQ> I) kecuali kabupaten Kupang dan kabupaten Ende.
Hasil kajian tesis menunjukkan strategi tertinggi saat ini dan saat mendatang terletak pada kelompok DPRD dan Kepala Daerah. Dalam rangka pemberdayaan APBD maka tindakan penting dan mendesak untuk kelompok DPRD adalah pertama, perlunya program peningkatan mutu dan keterampilan sumber daya manusia. Kedua, memperluas forum konsultasi untuk menampung tuntutan aspirasi publik. Ketiga, meningkatkan mutu pembuatan Peraturan Daerah dan meningkatkan fungsi pengawasan umum. Keempat, meningkatkan fungsi pengawasan terhadap tugas pelayanan dasar yang dilakukan Pemerintah. Sedangkan untuk masa yang akan datang terletak pada kelompok Kepala Daerah, dengan rekomendasi kegiatan penting dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama, perlunya mempertegas penataan Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta standar kinerja sesuai karakteristik dan tuntutan kebutuhan lokal di NTT. Kedua, perlunya mempertajam analisa kebutuhan yang mendasari sistem alokasi APBD pada sektor yang menjadi prioritas (kompetensi unggulan) daerah. Ketiga, meningkatkan kemampuan profesional para SDM daerah sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Keempat, meningkatkan transparansi dan pemasyarakatan berbagai kebijakan dan Perda tentang APBD dan Kelima, berusaha meningkatkan mutu perencanaan dan pengembangan komoditi unggulan sesuai potensi dan peluang daerah pada upaya untuk mengembangkan kemampuan otonominya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1385
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririen Aryani
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
S25437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mediar Indra
"Penelitian ini membahas permasalahan hubungan keuangan pusat daerah dalam kaitannya dengan rencana implementasi otonomi daerah. Fokus yang dilakukan adalah terhadap penentuan bobot Dana Alokasi Umum untuk daerah Provinsi di seluruh Indonesia. Analisis penentuan pembobotan Dana Alokasi Umum adalah dengan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Adapun program Expert Choice (EC) dipakai untuk itu dengan cara memberikan pertanyaan kepada beberapa expert yang mengetahui tentang Dana Alokasi Umum berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antar pemerintah pusat dengan Daerah. Input yang dipakai berupa persepsi responden terhadap variabel-variabel kebutuhan Wilayah dan Potensi/Kapasitas Ekonomi Daerah yang di susun menurut hirarki.
Penelitian ini menggunakan data tahun 1993 sampai dengan 1998 dalam anggaran keuangan Negara. Informasi kuantitatif lain di dapat dari hasil publikasi dalam Nota Keuangan dan rancangan anggaran pendapatan belanja negara serta publikasi Statistik keuangan pemerintah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Biro Pusat Statistik dari beberapa tahun penerbitan.
Untuk perhitungan jumlah Dana Alokasi Umum digunakan rumus sesuai undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yakni :
∑DAU Daerah Ybs x Bobot Daerah Ybs/∑ Bobot seluruh Daerah
Untuk menentukan pembobotan masing-masing variabel sebehimnya dilakukan pembagian empat kriteria untuk Provinsi. Asumsi yang dipilih untuk Dana Alokasi Umum tergantung pada kategorinya yaitu kategori kecil, sedang, besar,sangat besar. Dengan di tentukannya empat kriteria tersebut dapat diperoleh hasil total jumlah bobot masing-masing Provinsi.
Dalam penentuan pembobotan distribusi dana alokasi umum untuk masing-masing Provinsi disusun berdasarkan hirarki yang ditentukan dalam analytic hierarchy process (AHP) berdasarkan kepada kebutuhan wilayah dan Patensi Ekonomi. Adapun variabel tersebut antara lain adalah Kebutuhan Wilayah yang terdiri dari : Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Panjang Jalan, Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Miskin (Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Penduduk Miskin). Sedangkan Variabel Potensi/Kapasitas Ekonomi terdiri dari Nilai Tambah Sektor Industri, PDRB, SDA (Migas, Kehutanan, Kelautan, Pertambangan lainnya), SDM (Jumlah Sekolah,Jumlah Pegawai Negeri, Ratio Murid Terhadap Guru). Dari hasil susunan berdasarkan hiraki tersebut, maka dapat ditentukan jumlah bobot pada masing-masing variabel yang terbesar sampai yang terkecil yang berdasarkan jawaban responden expert choice (EC) yakni variabel Tingkat Kesejahteraan masyarakat miskin dengan bobot sebesar 27,9 dan untuk yang kedua pada variabel PDRB dengan bobot sebesar 25,8.
Hasil perolehan perhitungan pembobotan masing-masing Provinsi dalam prioritas jumlah total pembobotan, mempunyai perbedaan antara versi penulis dengan versi Bappenas yakni prioritas pertama menurut versi penulis adalah Provinsi Sumatera Selatan dan kedua Provinsi Jawa Barat, sedangkan prioritas pertama pada versi Bappenas adalah Provinsi Jawa Barat dan kedua Provinsi Jawa Timur. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T3089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Heru Setianto
"Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 telah memberikan implikasi yang luas, terutama menyangkut perubahan dalam sistem penganggaran berbasis kinerja sehingga diharapkan akan Iebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah.
Dengan melakukan penelitian terhadap proses penyusunan anggaran kinerja pada APBD Kota Depok berdasarkan Kepmendagri No 29 tahun 2002 penulis mencoba untuk melihat proses pembahan sistem yang terjadi, akuntabilitas kinerja dari sistem baru serta kelebihan dan kekurangan dari penerapan sistem baru tersebut.
Dari hasil penelitian terhadap penerapan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 dalam Penyusunan RAPBD Kota Depok tahun 2003 didapati :
1. Unit-unit kerja telah dapat melakukan a) perubahan dalam format usulannya dari pola DIP/DIK menjadi format RASK, b) merubah struktur anggaran dari belanja rutin dan pembangunan menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan dan Belanja Modal c) merubah sistem pengkodean rekening anggaran serta d) membuat indikator dan target kinerja dalam usulan kegiatan yang dibiayai belanja langsung.
2. Masih rendahnya tingkat kelengkapan dokumen usulan Unit kerja (47 %), disebabkan terbatasnya tingkat pemahaman SDM, kurangnya waktu, kurang disiplinnya unit kerja dan tim anggaran dalam melengkapi dan mereview dokumen usulan anggaran. Unit kerja masih lebih berorientasi pada pembuatan dokumen usulan yang berkaitan dengan usnlan kegiatan (S3B1) dan usulan anggaran belanja administrasi umum (S3B2) seperti pola lama yang lebih berorientasi pada dokumen DIK dan DIP.
3. Rendahnya tingkat kesesuaian sistematika usulan anggaran unit kerja dengan sistematika perencanaan strategis dalam penyusunan anggaran kinerja menunjukkan masih kurang dipahaminya sistematika perencanaan strategis yang menjadi dasar bagi penyusunan anggaran kinerja.
4. Tidak ada informasi yang menggambarkan indikator-indikator dan terget kinerja yang harus dicapai oleh pemerintah daerah dalam RAPBD sebagai akibat tidak diaturnya hal tersebut dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002.
5. Masih kurangnya akuntabilitas dalam sistem penganggaran yang baru, karena hanya 43,47 % dari belanja dalam RAPBD yang diusulkan Unit-Unit Kerja yang disertai indikator kinerja yaitu dalam BOP dan BM sedang belanja lainnya tidak disertai indikator dan target kinerja.
Untuk lebih meningkatkan disiplin anggaran, trensparansi dan akuntabilitas kinerja penulis menyarankan agar untuk penyusunan anggaran tahun-tahun berikutnya perlu dilakukan pelatihan yang lebih mendalam tentang penyusunan perencanaan strategis dan penyusunan usulan kegiatan dan anggaran kinerja.
Tim anggaran Pemerintah Kota Depok agar lebih ketat dalam mereview usulan-usulan anggaran Unit Kerja sesuai dengan pedoman yang telah diberikan sehingga tujuan dari perubahan format-format usulan anggaran tersebut dapat tercapai.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, agar dalam RAPBD dimasukkan informasi tentang indikator dan target kinerja, sehingga masyarakat dan DPRD dapat menilai dan mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abirul Trison Syahputra
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan sekunder dan sumber bahan tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini ialah 1) Pengelolaan Dana Perimbangan di Indonesia, 2) Peran Dana Perimbangan dalam mendukung Otonomi Daerah di Indonesia dan 3) Perbandingan pengelolaan Dana Perimbangan di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban pada Tahun Anggaran 2008-2010. Penyelenggaraan otonomi daerah mebawa konsekuensi adanya penyerahan kewenangan dari Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus keuangannya sendiri. Sebagai salah satu bagian dari Transfer ke Daerah, Dana Perimbangan memegang peranan penting dalam mendukung otonomi daerah. Dana Perimbangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Dana Perimbangan terdiri Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Setiap komponen tersebut memiliki persentase dan variabel tertentu sebelum didistribusikan kepada pemerintah Daerah. Berdasarkan data APBD Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban Tahun Anggaran 2008-2010, persentase Dana Perimbangan terhadap total Pendapatan Daerah mencapai lebih dari 70% yang sebagian besar dipergunakan untuk penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan dengan mengedepankan sektor pendidikan. Kabupaten Bojonegoro mendapat porsi Dana Perimbangan lebih banyak dibanding Kabupaten Tuban karena ditetapkan sebagai daerah penghasil kehutanan dan pertambangan minyak bumi. Dapat disimpulkan bahwa Dana Perimbangan memang benar-benar sangat mendukung penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.

ABSTRACT
This study applying a normative juridical research method using secondary data, which is consist of the primary source of legal materials, secondary source material and tertiary source materials. This thesis is mainly discussed about 1) The Regulation of the Fiscal Balance in Indonesia; 2) The role of the Fiscal Balance in supporting of Regional Autonomy in Indonesia; and 3) Comparison of the management of the Fiscal Balance in Bojonegoro and Tuban in Fiscal Year 2008¬2010. The implementation of Regional Autonomy brought the consequences of the handover of authority from the Central Government to Local Government (expenditure assignment) to manage its own finances. As one part of the Intergovernmental Fiscal Transfer, Fiscal Balance holds an important role in supporting Regional Autonomy. Fiscal Balance regulated in Law of Local Government: Law of The Republic of Indonesia Number 32 of 2004, Law of Fiscal Balance between Central and Local Government : Law of The Republic of Indonesia Number 33 of 2004, and Government Regulation Number 55 of 2005 regarding the Fiscal Balance as well as several other laws and regulations related. Fiscal Balance consist of Revenue Sharing, General Allocation Fund, and Specific Allocation Fund. Each component has a certain percentage and variable before being distributed to local governments. Based on data from Bojonegoro and Tuban's Local Budget in Fiscal Year 2008-2010, the percentage of Fiscal Balance to total local revenue reached more than 70%, which is mostly used for the implementation of compulsory affairs and affairs of the option, with education sector as a main item. Bojonegoro get a portion of Fiscal Balance more than Tuban because forestry and mining of petroleum areas. The conclusion is the Fiscal Balance was indeed strongly support the implementation of Regional Autonomy in Indonesia, especially in Bojonegoro and Tuban. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S329
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Julian Ong
"Penelitian ini menganalisa dampak dari rencana perubahan formulasi Dana Alokasi Umum (DAU) dengan mengangkat kasus provinsi berciri kepulauan sebagai pokok bahasan dan menggunakan analisa regresi data panel untuk tahun 2003-2010. Selama ini formulasi DAU lebih mengandalkan luas daratan dan baru memulai memasukkan komponen lautan dalam formulasi DAU dengan bobot yang rendah. Rencana perubahan formulasi DAU sudah mulai bergulir untuk perencanaan anggaran, dan khususnya bagi provinsi berciri kepulauan diharapkan berdampak yang positif ke depan berupa peningkatan kinerja pembangunan ekonomi daerah, khususnya pertumbuhan ekonomi.
Hasil analisa menunjukkan bahwa IPM berpengaruh positif namun belum signifikan, penerimaan/pendapatan daerah (PAD dan Dana Perimbangan (DAU, DBH, dan DAK) dan PDRB tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan, luas wilayah berpengaruh negatif dan signifikan, dan, dummy provinsi berciri kepulauan berpengaruh negatif namun tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah provinsi.
Perubahan formulasi DAU, yaitu dengan meningkatkan bobot luas laut dalam perhitungan luas wilayah dari 30 persen sampai dengan 80 persen memberikan efek yang semakin memeratakan kondisi keuangan daerah provinsi dan meningkatkan penerimaan daerah Provinsi yang berciri kepulauan. Namun, peningkatan penerimaan akibat perubahan formulasi DAU tersebut belum signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi berciri kepulauan, sehingga diperlukan alternatif cara lain dalam mengoptimalkan kinerja pembangunan daerahnya.

This study analyzes the impact of general allocation fund reformulation plan with study case of islanding (archipelagic) province using the panel data regression model from 2003-2010. So far the DAU formulation has relied more on land spatial measurement and newly started to insert the sea spatial component into the DAU formulation with a low weight. The DAU reformulation plan has already run for running budget planning and onward, and an expectation to bring positive impact in the future for the islanding provinces through the regional economic development, especially its economic growth.
The analyze shows that human development index (HDI) has positive covers but insignificant, local government revenue (originally local government revenue (PAD), and transfer funds (DAU, revenue sharing (dana bagi hasil-DBH), and special allocation fund (dana alokasi khusus-DAK)) and the previous year regional gross domestic product (RGDP) have positive covers and significant, spatial measures have negative covers and significant, and, dummy of islanding province has negative covers and insignificant, in supporting the provincial economic growth.
The DAU reformulation, which to increase the weight of sea spatial measures from 30% to 80% provides a more distributional equality of provincial financial condition and improves the provincial revenue of islanding provinces. The increase revenue due from the DAU reformulation was insignificant to boost the islanding province economic growth, therefore other ways as alternative are needed to optimalised the local economic development performances.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T30165
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Kosim
"Studi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PADS, baik dari sudut normatif, potensi ekonomi daerah maupun dari segi pengelolaan sumber-sumbernya. Dari studi ini dapat diketahui bahwa faktor kewenangan, potensi ekonomi dan faktor pengelolaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja PADS. Faktor kewenangan dari data sekunder dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundangundangan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang mengatur tentang berbagai kewenangan daerah terhadap sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan pengolahan data primer dapat diketahui bobot penilaian kewenangan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 42,57%.
Faktor potensi ekonomi dengan indikator PDRB dari pengolahan data sekunder, memiliki koefisien korelasi yang kuat secara mutlak terhadap kinerja PADS yaitu sebesar 0,006251 atas dasar harga berlaku, dan sebesar 0,008644 bila menggunakan harga konstan 1988. Sedangkan bila diukur secara relatif/persentasenya memiliki koefisien korelasi sebesar 1,4774% atas dasar harga berlaku, dan sebesar 2,103825% atas dasar harga konstan, yang berarti bahwa setiap kenaikan 1% PDRB akan mengakibatkan kenaikan PADS sebesar 1,5% atas dasar harga berlaku dan sebesar 2,1% atas dasar harga konstan. Sedangkan dari pengolahan data primer menunjukkan bobot penilaian potensi ekonomi (PDRB) terhadap kinerja PADS adalah sebesar 38,51%.
Berdasarkan pengolahan data sekunder dapat diketahui bahwa kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dalam pengelolaan PADS selama satu dekade (1984-1994) telah meningkat dari 0,30% menjadi 0,54% atau mengalami kenaikan sebesar 80%. Sedangkan bobot penilaian pengelolaan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 18,92%.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa, penilaian masing-masing lembaga/instansi, politisi dan masyarakat terhadap ketiga faktor yang mempengaruhi PADS memiliki perbedaan yang tidak signifikan, dimana nilai χ2h = 1,203 dan χ2Tabe1=15,5073. Sedangkan bobot penilaian secara keseluruhan terhadap masing-masing faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PADS menunjukkan perbedaan yang berarti, dimana nilai χ2h = 9,596>χ2Tabe1 5,9915.
Rekomendasi untuk Pemerintah/Pemerintah Daearah agar dalam merumuskan kebijakan, perencana dan pelaksanaan tentang Keuangan Daerah khususnya PADS mempertimbangkan ketiga faktor yang berpengaruh tersebut diatas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>