Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180176 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Fujiyono
"Latar Belakang: Mayoritas kasus kebutaan kornea dapat direhabilitasi dengan tindakan transplantasi kornea. Akan tetapi, tingkat donor kornea di Indonesia dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan transplantasi kornea.
Tujuan: Mengetahui hubungan faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap terhadap perilaku masyarakat mengenai donor kornea.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional study) untuk menilai hubungan antara faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap terhadap perilaku donor kornea.
Hasil: Komponen sosiodemografi yang berhubungan terhadap perilaku (P < 0,05) antara lain kategori responden, jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Pengetahan dan sikap juga memiliki hubungan terhadap perilaku. Berdasarkan analisis multivariat, jenis kelamin, kategori responden, agama, pengetahuan, dan sikap diduga mepengaruhi perilaku donor kornea. Sedangkan nilai OR terbesar yang diperoleh yaitu 7,305 pada variabel pengetahuan.
Kesimpulan: Tingkat pengetahuan sikap dan perilaku mengenai donor kornea relatif rendah pada subjek yang diamati. Tidak seluruh komponen sosiodemografi yang diamati berhubungan terhadap perilaku donor kornea. Pengetahuan dan sikap memiliki hubunngan terhadap perilaku. Pengetahuan merupakan variabel yang paling mempengaruhi perilaku donor kornea.

Background: The majority of cases of corneal blindness can be rehabilitated by a corneal transplant. However, the level of donor corneas in Indonesia is still insufficient to meet the needs for corneal transplants.
Objective: To determine the relationship between sociodemographic factors, knowledge, and attitudes towards people's behavior regarding corneal donors.
Methods: This study used a cross-sectional study design to assess the relationship between sociodemographic factors, knowledge, and attitudes towards corneal donor behavior.
Results: The sociodemographic components related to behavior (P < 0.05) included respondent categories, gender, religion, ethnicity, education level, and occupation. Knowledge and attitudes also have a relationship to behavior. Based on multivariate analysis, gender, respondent category, religion, knowledge, and attitudes are thought to influence the behavior of corneal donors. While the largest OR value obtained is 7.305 on the knowledge variable.
Conclusion: The level of knowledge, attitudes and behavior regarding corneal donors is relatively low in the subjects studied. Not all observed sociodemographic components are related to corneal donor behavior. Knowledge and attitudes have a relationship to behavior. Knowledge is the variable that most influences the behavior of corneal donors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parulian, Eko
"Latar belakang: Kelainan kornea merupakan salah satu penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia. Penanganan gangguan penglihatan karena kornea terhambat karena terbatasnya jumlah donor kornea. Pendekatan rumah sakit yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga kesehatan terhadap pelayanan donor kornea dapat menjadi strategi mengatasi kekurangan donor kornea. Tujuan: Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku perawat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangukusumo (RSCM) terhadap pelayanan donor kornea. Metode penelitian: Pemilihan subjek menggunakan teknik quota sampling dan pengisian kuesioner yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Hasil: Terdapat 422 responden dengan proporsi unit instalasi gawat darurat, ruang rawat inap intensif, ruang rawat inap non intensif, rawat jalan, dan ruang operasi secara berurutan sebesar 8,3%, 13,7%, 50%, 16,6%, dan 11,4%. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang (55,4%), sikap positif (50,2%), dan perilaku baik (59,5%). Terdapat hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dan sikap responden terhadap perilaku, namun tidak terdapat hubungan antara faktor demografi dengan perilaku. Usia ≤ 36 tahun, pengetahuan baik, dan sikap positif merupakan faktor prediktor perilaku baik. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku perawat RSCM terhadap pelayanan donor kornea di rumah sakit.

Background: Corneal blindness is one of the leading cause of blindness and visual disturbances in Indonesia. The management of corneal blindness in Indonesia is impeded by the rarity of corneal donor. Hospital approach affected by knowledge, attitude, and practice of health workers could be a strategy to improve the scarcity of corneal donor. Purpose: Determine the knowledge, attitude, and practice of nurses in RSCM toward hospital corneal procurement Methods: Subjects are chosen by quota sampling and surveyed with a valid and reliable questionnaire. Results: There were 422 respondents with the proportion of emergency ward, intensive care, non-intensive care, polyclinics of 8.3%, 13.7%, 50%, 16.6%, and 11.4% respectively. Most of the respondent were lacking in knowledge (55.4%), had positive attitude (50.2%), and had good practice (59.5%). There were significant correlation between knowledge and attitude towards practice but no significant correlation found between demographic factors to practice. Age ≤ 36 years old, good knowledge, and positive attitudes are predictor factors for good practice. Conclusion: There were correlation between knowledge and attitude of health workers in RSCM towards practice of corneal donor procurement in hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Devianca
"Latar belakang: Prevalensi ketidakpatuhan pasien pada pengobatan epilepsi cukup besar. Penyebab ketidakpatuhan terdiri dari banyak faktor, yang dapat diklasifikasikan menjadi intensional ataupun non intensional. Perilaku kepatuhan pasien dibentuk oleh bagaimana pasien melakukan representasi terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) pasien epilepsi dinilai dapat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan tersebut.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Populasinya adalah pasien epilepsi yang berobat ke poli neurologi RSUPNCM bulan Agustus – September 2022. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan regresi logistik.
Hasil: Rerata nilai pengetahuan sebesar 15,41+/-3,827 dengan rentang 7-35 (nilai 7 mengindikasikan ukuran pengetahuan paling baik). Median nilai sikap adalah 18 (10-27)dengan rentang 8-40 (nilai 8 mengindikasikan sikap paling baik). Median nilai perilaku adalah 10 (5-20), dengan rentang 5-25 (nilai 5 menunjukkan perilaku paling baik). Nilai kepatuhan pasien pada penelitian ini adalah 55,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa semakin buruk nilai pengetahuan maka akan meningkatkan probabilitas terjadinya ketidakpatuhan sebesar 1,271 kali.
Kesimpulan: Pengetahuan mengenai epilepsi memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan, sedangkan sikap dan perilaku pasien epilepsi tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan

Background: There was a high prevalence of patient’s non-adherence to anti-seizure medication (ASM). It caused by many factors and classified as intentional or non intentional. Patient’s adherence was formed when they represent their ilness, so knowledge, attitudes, and behavior of patient with epilepsy (PWE) are considered to be related to their adherence. This study was aimed to assess this relationship.
Methods: We conducted a cross sectional study on PWE who came to RSUPNCM Neurology outpatient clinic from August to September 2022. All consecutive patients were asked to complete the given questionnaire. We used a logistic regression for statistical analysis.
Results: The mean score of knowledge was 15,41+/-3,827 (range, 7-35), with score of 7 indicated the best knowledge. The median score of attitudes was 18, interquartile range (IQR) 10-27 (range, 8-40), with score of 8 indicated the best attitudes. The median score of behavior was 10, IQR 5-20 (range, 5-25), with score of 5 indicated the best behavior. Fifty-five-point seven percent were estimated to be adherent. The multivariate analysis showed that with the worse score of knowledge, the probability of non-adherence will increase by 1,271 times.
Conclusion: Knowledge about epilepsy has a relationship with ASM adherence, while attitude and behavior of PWE has no relationship with ASM adherence
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Bhaskara Wikanendra
"Usia awal kehidupan seorang bayi merupakan waktu terpenting dalam tumbuh kembangnya. Hingga usia 6 bulan, seorang bayi cukup mendapatkan sumber nutrisinya dari ASI, yang sering disebut sebagai periode pemberian ASI eksklusif. Namun sayangnya, hingga saat ini persentase ibu yang menjalani ASI eksklusif baru mencapai 34,5%. Kebanyakan ibu tidak mengikuti karena kurangnya edukasi mengenai ASI eksklusif dan adanya masalah menyusui yang keduanya bisa ditangani oleh dokter yang kompeten. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku Peserta Program Pendidikan Dokter spesialis (PPDS) Ilmu Kedokteran Anak (IKA) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengenai masalah menyusui dan juga berbagai faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional dengan data yang didapatkan melalui kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77,3% memiliki pengetahuan kurang, 64,9% memiliki sikap kurang namun 82,5% memiliki perilaku baik. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan (p=0,016), serta terdapat hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber pengetahuan dan asal universitas dengan perilaku, dengan nilai p berturut turut 0,036 dan 0,017. Tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku dan sikap dengan perilaku subjek tentang masalah menyusui.

The most important time in a baby?s development is in the first 6 months. Until the age of 6 months old, breastmilk is the only source of nutrition needed. In Indonesia, exclusive breastfeeding has only been done by 34,5% of mother. Majority of this situation was caused by lack of knowledge and breastfeeding problems. Both could be handled by competent doctors through education, thus good knowledge, attitude and practice is needed. This study was a cross-sectional research based on questionnaires to 97 participants of pediatric residents in the Cipto Mangunkusumo Hospital.
This study showed that the majority of residents lacked knowledge and attitude but showed good practice towards breastfeeding problems. There was significant relationship between gender and knowledge regarding breastfeeding problems (p=0,016). We found also significant relationship between graduate university (p=0,036) and source of knowledge (p=0,017) with behaviour regarding breastfeeding problems. There were no significant relationships between knowledge with attitude and practice and attitude with practice."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Alyaa Salma Ghozali
"Pengetahuan mengenai PD memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap pengasuh. Diketahui bersama bahwa meningkatkan taraf pengetahuan dapat membantu pengasuh mengatasi beban tertentu yang berkaitan dengan perawatan Pasien PD. Penelitian ini membahas tentang mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan perilaku di antara para perawat pasien PD. Delapan belas sampel diambil dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Setiap individu telah diwawancara melalui panggilan suara dan pembagian kuesioner. Di awal pengambilan survei, pihak yang diwawancara diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan biodata pengasuh dan informasi pasien; usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, hubungan dengan pasien, stadium PD Hoehn & Yahr, dan tanggal diagnosis PD. Diikuti dengan 10 pertanyaan benar atau salah tentang pengetahuan dasar PD dan diakhiri dengan 10 pertanyaan empat-skala Likert yang mencakup sikap dari para perawat pasien PD. Secara keseluruhan, para pengasuh mendapatkan hasil yang cukup tinggi (> 40%) di kedua kuesioner yang telah diberikan. Tidak ada signifikansi statistik dalam kaitannya dengan hubungan antara pengetahuan dan sikap. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pengasuh. Namun, hal itu bertentangan dengan penelitian lain. Perbedaannya mungkin karena ukuran sampel. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan dan dampak Pendidikan.

Knowledge may play an important role in influencing the caregivers’ attitudes and the overall quality of care towards PD patients. It was known that improving knowledge can help caregivers overcome certain burdens, relative to PD care. This study identifies and discusses the relationship between knowledge and the attitude amongst caregivers of PD patients in RSCM. 18 samples were collected from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Individuals were interviewed with a questionnaire via voice call. Caregivers were initially asked for their biodata and patient’s information; age, gender, occupation, education level, relationship to the patient, patient’s Hoehn & Yahr PD stage, and date of onset PD diagnosis. Afterward, they have given 10 true or false questions about basic PD knowledge and 10 four-point Likert Scale questions that covered the attitudes of the caregivers. Caregivers overall mostly achieved “moderate-high” (>40%) levels from both attitude and knowledge questionnaires given. It was found that there no statistical significance in the relationship between knowledge and attitude (p=0.316). The study shows that there is no significant relationship between knowledge and attitude of caregivers. The distinction may be due to the sample size. Further studies in regards to identifying the relationship and well the impact of education are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Kholifah
"Kebersihan mulut bagi lansia merupakan tindakan keperawatan mandiri yang dimiliki pengaruh penting terhadap status kesehatan lansia. Penerapan kebersihan mulut sering bukan prioritas dalam tindakan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan praktik perawat tentang oral hygiene pada orang tua di ruang rawat inap. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan melibatkan 75 perawat. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner administrasi mandiri. Hasil penelitian ini menggambarkan tingkat pengetahuan perawat 27 (36%) baik, 48 (64%) cukup dan tidak.
Ada perawat yang memiliki pengetahuan kurang, 42 (56%) bersikap buruk dan 33 (44%) baik, dan praktik perawat 51 (68%) buruk dan 24 (32%) baik. Hasil penelitian juga menunjukkan pengaruh pendidikan dan pengalaman kerja pada level pengetahuan, sikap, dan praktik perawat. Upaya menambah ilmu dan praktik perawat mengenai kebersihan mulut perlu ditingkatkan melalui pelatihan, seminar, dan lokakarya.

Oral hygiene for the elderly is an independent nursing action that has an important influence on the health status of the elderly. The application of oral hygiene is often not a priority in nursing actions. This study aims to describe the knowledge, attitudes, and practices of nurses about oral hygiene in parents in the inpatient room. The research method used is quantitative with a descriptive research design. This research was conducted in the inpatient room of RSUPN Cipto Mangunkusumo involving 75 nurses. The research instrument used was an independent administration questionnaire. The results of this study illustrate that the level of knowledge of nurses is 27 (36%) good, 48 (64%) sufficient and not There are nurses who have less knowledge, 42 (56%) have bad attitude and 33 (44%) are good, and the practice of nurses 51 (68%) is bad and 24 (32%) is good. The results also showed the effect of education and work experience on the level of knowledge, attitudes and practices of nurses. Efforts to increase the knowledge and practice of nurses regarding oral hygiene need to be improved through training, seminars, and workshops."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayudhia Kartika
"Pola penyakit di negara berkembang, termasuk Indonesia mengalami pergeseran, prevalensi diabetes melitus tipe 2 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh oleh peningkatan taraf sosioekonomi dan perubahan gaya hidup terutama di kota besar. Penyakit diabetes melitus tidak hanya dipengaruhi faktor lingkungan, seperti gaya hidup namun juga terdapat interaksi dengan faktor genetik. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai prevalensi diabetes melitus tipe 2 dan hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien unit rawat jalan RSCM pada tahun 2010. Analisis data dilakukan untuk menghitung prevalensi diabetes melitus tipe 2, kemudian dilakukan analisis statistik untuk mendapatkan faktor yang berhubungan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 6,7%. Berdasarkan uji hipotesis,didapatkan faktor yang berhubungan adalah variabel usia (p<0,001), berat badan (p<0,001), pekerjaan (p<0,001), asuransi pembiayaan (p=0,003) dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,008). Sedangkan variabel lain yaitu tinggi badan (p=0,189), jenis kelamin (p=0,343), status pernikahan (p=0,126), tingkat pendidikan (p=0,356), status gizi (p=0,648), gaya hidup (p=0,674), tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik.

Disease pattern in developing countries, including Indonesia is changed, type 2 diabetes mellitus prevalence is increased every year. This change of disease pattern is affected by the increase of socioeconomic level and the change of lifestyle especially in metropolis. Diabetes mellitus disease is not only affected by environment factor, such as lifestyle but also there is an interaction of the genetic factor. Because of that, we did research about type 2 diabetes mellitus prevalence and its relation with the related factors.
The method of this research is crosssectional study by taking secondary data from the medical record of outpatients RSCM in 2010. Data analysis is done to count the prevalence of type 2 diabetes mellitus, then hypothesis test is done on each variable.
Based on the result, the prevalence of type 2 diabetes mellitus is 6.7%. Based on the hypothesis test, factors that have a significant value are age variable (p<0,001), weight (p<0,001), occupation (p<0,001), cost assurance (p=0,003), and disease history (p=0,008). The other factors, height (p=0,189), gender (p=0,343), marriage status (p=0,126), education level (p=0,356), nutrient status (p=0,648), lifestyle (p=0,674) did not have significant value statistically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Anief Ferdianto
"Latar Belakang: Asam lemak rantai pendek (SCFA) merupakan metabolit utama yang diproduksi di kolon, hasil dari fermentasi bakteri terhadap serat dan resistant starch. SCFA diperkirakan memiliki peran pada patogenesis ensefalopati hepatik (EH), meskipun mekanisme yang mendasarinya belum sepenuhnya dimengerti. Disbiosis mikrobiota yang terjadi pada sirosis mengubah komposisi SCFA pada feses dan berperan dalam patogenesis EH.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan proporsi SCFA feses pasien sirosis yang mengalami EH dan non EH.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilaksanakan di Klinik Hepatobilier dan Ruang Prosedur Terpadu, IPINB Hepatobilier RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode 2023. Pasien sirosis akan dilakukan tes flicker atau stroop, pemeriksaan SCFA feses (asetat, butirat, dan propionat), dan kuesioner dengan teknik food recall untuk menilai pola diet. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan aplikasi SPSS Statistics (IBM, 2024).
Hasil: 86 pasien sirosis dengan rerata usia 53 tahun ± 8,10 dan jenis kelamin mayoritas (68,6%) laki-laki mengikuti penelitian ini. 20 pasien sirosis (23,25%) mengalami EH. Analisa bivariat tidak ditemukan perbedaan bermakna (p>0,05) antara jumlah SCFA feses, komponen SCFA, ataupun proporsi komponen SCFA. Analisa multivariat terhadap proporsi SCFA absolut [OR 2,47; IK95% (0,64 – 9,56); p=0,191], proporsi asetat absolut [OR 4,72; IK 95%(0,25 – 64,01); p=0,243], dan proporsi butirat [OR 1,91; IK 95% (0,450 – 8,09); p=0,381] bersifat sebagai prediktor kejadian EH, sekalipun tidak bermakna.
Simpulan: Prevalensi EH pada pasien sirosis rawat jalan di Poliklinik Hepatobilier RSCM adalah 23,3% dengan EH covert sebesar 19,8% dan EH overt sebesar 3,5%. Proporsi SCFA feses tidak berhubungan dengan kejadian EH pada pasien sirosis.

Background: Short chain fatty acids (SCFA) are the main metabolites of the intestinal microbiota which play a role as colonocyte trophic factors and maintain the integrity of the gastrointestinal tract and blood-brain barrier. Microbiota dysbiosis that occurs in cirrhosis changes SCFA composition in feses and plays a role in the pathogenesis of hepatic encephalopathy (HE).
Objective: This study aims to compare the amount and composition of fecal SCFA in cirrhotic patients with HE and non-HE.
Methods: This research is a cross-sectional study carried out at the Hepatobiliary Clinic and Integrated Procedure Room, IPINB Hepatobiliary Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta period 2023. Cirrhosis patients will undergo a flicker or Stroop test, fecal SCFA examination (acetate, butyrate and propionate), and a questionnaire with a food recall technique to assess dietary patterns. Bivariate and multivariate analyzes were carried out with the SPSS Statistics application (IBM, 2024).
Results: 86 cirrhosis patients with a mean age of 53 years ± 8.10 and the majority gender (68.6%) male took part in this study. 20 cirrhosis patients (23.25%) experienced EH. Bivariate analysis found no significant differences (p>0.05) between the amount of fecal SCFA, SCFA components, or proportion of SCFA components. Multivariate analysis of absolute SCFA proportions [OR 2.47; IK95% (0.64–9.56); p=0.191], absolute proportion of acetate [OR 4.72; IK95% (0.25- 64.01); p=0.243], and the proportion of butyrate [OR 1.91; CI 95% (0.450 – 8.09); p=0.381] is a predictor of EH events, even though it is not significant. Conclusions: The prevalence of HE in outpatients with cirrhosis at the Hepatobiliary Polyclinic of RSCM was 23.3% with covert HE of 19.8% and overt HE of 3.5%. The proportion of fecal SCFA was not associated with the incidence of HE in cirrhosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Ali Alamudi
"Latar Belakang: Hemofilia A adalah gangguan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor VIII (FVIII). Scientific and Standardization Committee (SSC), pada tahun 2021, mengeluarkan nomenklatur baru yang membagi perempuan menjadi lima kategori: hemofilia ringan, sedang, berat, serta pembawa sifat simptomatik dan asimptomatik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proporsi pasien dan pembawa sifat hemofilia A perempuan di RSCM, serta manifestasi dan derajat keparahan menggunakan kuesioner International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT).
Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan di RSCM selama Agustus-September 2024. Subjek penelitian adalah kerabat perempuan dari pasien hemofilia A berusia ≤18 tahun. Pemeriksaan FVIII dilakukan. Kuesioner ISTH-BAT yang telah diterjemahkan digunakan sebagai alat skrining untuk mengevaluasi manifestasi perdarahan.
Hasil: Berdasarkan 74 subjek yang diteliti, 5 orang terdiagnosis hemofilia A, terdiri dari 4 hemofilia ringan dan 1 hemofilia berat. 69 subjek yang diidentifikasi sebagai pembawa sifat, 62 orang merupakan pembawa sifat asimptomatik, sementara 7 orang adalah pembawa sifat simptomatik. Manifestasi perdarahan pada pasien hemofilia A perempuan bervariasi antara kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak, manifestasi paling umum adalah memar pada kulit, sedangkan pada kelompok dewasa, menoragia menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan. Pada pembawa sifat simptomatik, baik anak maupun dewasa, manifestasi perdarahan yang dominan adalah memar pada kulit dan menoragia. Skor ISTH-BAT pembawa sifat asimptomatik, simptomatik, dan pasien hemofilia berturut-turut adalah 0,83 ± 1,7; 6,2 ± 1,2 dan 3,25 ± 2,9.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi pasien hemofilia A perempuan di RSCM masih relatif rendah, dengan sebagian besar pembawa sifat bersifat asimptomatik. Manifestasi perdarahan tersering pada pasien dan pembawa sifat simptomatik hemofilia A perempuan adalah menoragia dan memar pada kulit.

Background: Hemophilia A is a hereditary bleeding disorder caused by factor VIII (FVIII) deficiency. In 2021, the Scientific and Standardization Committee (SSC) introduced a new nomenclature categorizing women into five groups: mild, moderate, and severe hemophilia, as well as symptomatic and asymptomatic carriers. This study aimed to identify the proportion of female patients and carriers of hemophilia A at RSCM, along with their manifestations and severity levels, using the International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT) questionnaire.
Methods: A cross-sectional analytical study was conducted at RSCM from August to September 2024. The study subjects were female relatives of hemophilia A patients aged ≤18 years. FVIII levels were measured, and the translated ISTH-BAT questionnaire was used as a screening tool to evaluate bleeding manifestations.
Results: Among the 74 subjects studied, 5 were diagnosed with hemophilia A, comprising 4 cases of mild hemophilia and 1 case of severe hemophilia. Of the 69 subjects identified as carriers, 62 were asymptomatic carriers, while 7 were symptomatic carriers. Bleeding manifestations in female hemophilia A patients varied between children and adults. In children, the most common manifestation was skin bruising, whereas in adults, menorrhagia was the most frequently observed manifestation. Among symptomatic carriers, both children and adults predominantly experienced skin bruising and menorrhagia. The ISTH-BAT scores for asymptomatic carriers, symptomatic carriers, and hemophilia patients were 0.83 ± 1.7, 6.2 ± 1.2, and 3.25 ± 2.9, respectively.
Conclusion: Results of this study indicate that the proportion of female hemophilia A patients at RSCM remains relatively low, with the majority of carriers being asymptomatic. The most common bleeding manifestations in symptomatic female hemophilia A patients and carriers are menorrhagia and skin bruising.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Juliandi
"ABSTRAK
Stroke iskemik berdampak negatif berupa cacat tetap. Cacat ini dapat dihindari dengan trombolisis cepat dengan aktivator plasminogen tipe rekombinan (rtPA). Pasien yang datang dengan onset > 6 jam dinyatakan mengalami pre-hospital delay. Keluarga sebagai orang terdekat dengan pasien berperan penting dalam membantu pengambilan keputusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan keluarga dengan keterlambatan pra-rumah sakit pada pasien stroke iskemik. Penelitian dengan desain cross sectional ini melibatkan 154 keluarga pasien stroke iskemik yang diperoleh melalui teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan keluarga dengan keterlambatan pra-rumah sakit pada pasien stroke iskemik (p = 0,000; <0,05). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keluarga pasien yang memiliki tingkat pengetahuan baik memiliki peluang 14,6 kali untuk tidak mengalami keterlambatan pra-rumah sakit dibandingkan dengan keluarga yang memiliki pengetahuan kurang baik. Penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan keluarga merupakan faktor penting dalam membantu pengambilan keputusan pasien stroke iskemik untuk dibawa ke IGD.
ABSTRACT
Ischemic stroke has a negative impact in the form of permanent disability. This defect can be avoided by rapid thrombolysis with recombinant type plasminogen activator (rtPA). Patients who came with onset > 6 hours were stated to have pre-hospital delay. The family as the closest person to the patient plays an important role in helping decision making. This study aims to determine the relationship between family knowledge and prehospital delay in ischemic stroke patients. This study with a cross sectional design involved 154 families of ischemic stroke patients obtained through purposive sampling technique. The results of this study found that there was a significant relationship between family knowledge and prehospital delay in ischemic stroke patients (p = 0.000; <0.05). Further analysis showed that the patient's family who had a good level of knowledge had a 14.6 times chance of not experiencing pre-hospital delays compared to families who had poor knowledge. This study proves that family knowledge is an important factor in helping ischemic stroke patients make decisions to be brought to the ER."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>