Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198528 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Devianca
"Latar belakang: Prevalensi ketidakpatuhan pasien pada pengobatan epilepsi cukup besar. Penyebab ketidakpatuhan terdiri dari banyak faktor, yang dapat diklasifikasikan menjadi intensional ataupun non intensional. Perilaku kepatuhan pasien dibentuk oleh bagaimana pasien melakukan representasi terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) pasien epilepsi dinilai dapat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan tersebut.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Populasinya adalah pasien epilepsi yang berobat ke poli neurologi RSUPNCM bulan Agustus – September 2022. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan regresi logistik.
Hasil: Rerata nilai pengetahuan sebesar 15,41+/-3,827 dengan rentang 7-35 (nilai 7 mengindikasikan ukuran pengetahuan paling baik). Median nilai sikap adalah 18 (10-27)dengan rentang 8-40 (nilai 8 mengindikasikan sikap paling baik). Median nilai perilaku adalah 10 (5-20), dengan rentang 5-25 (nilai 5 menunjukkan perilaku paling baik). Nilai kepatuhan pasien pada penelitian ini adalah 55,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa semakin buruk nilai pengetahuan maka akan meningkatkan probabilitas terjadinya ketidakpatuhan sebesar 1,271 kali.
Kesimpulan: Pengetahuan mengenai epilepsi memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan, sedangkan sikap dan perilaku pasien epilepsi tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan

Background: There was a high prevalence of patient’s non-adherence to anti-seizure medication (ASM). It caused by many factors and classified as intentional or non intentional. Patient’s adherence was formed when they represent their ilness, so knowledge, attitudes, and behavior of patient with epilepsy (PWE) are considered to be related to their adherence. This study was aimed to assess this relationship.
Methods: We conducted a cross sectional study on PWE who came to RSUPNCM Neurology outpatient clinic from August to September 2022. All consecutive patients were asked to complete the given questionnaire. We used a logistic regression for statistical analysis.
Results: The mean score of knowledge was 15,41+/-3,827 (range, 7-35), with score of 7 indicated the best knowledge. The median score of attitudes was 18, interquartile range (IQR) 10-27 (range, 8-40), with score of 8 indicated the best attitudes. The median score of behavior was 10, IQR 5-20 (range, 5-25), with score of 5 indicated the best behavior. Fifty-five-point seven percent were estimated to be adherent. The multivariate analysis showed that with the worse score of knowledge, the probability of non-adherence will increase by 1,271 times.
Conclusion: Knowledge about epilepsy has a relationship with ASM adherence, while attitude and behavior of PWE has no relationship with ASM adherence
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryawati Sukmono
"Pada usia 3 tahun pertama kehidupan terjadi perkembangan yang sangat pesat baik pada ukuran fisik maupun fungsional otak. Faktor neuroplastisitas yang berlangsung pesat pada anak berusia <3 tahun mempengaruhi perubahan (evolusi) dalam perjalanan klinis epilepsi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi hubungan faktor risiko yang didapatkan saat awal pengobatan serta faktor perubahan (evolusi) yang terjadi selama pasien mendapat terapi dengan terjadinya drug resistant epilepsy. Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif pada subjek anak yang didiagnosis epilepsi saat berusia <3 tahun. Dari 150 subjek penelitian, didapatkan 33 subjek (22%) mengalami drug resistant epilepsy. Faktor risiko awal yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah hasil EEG yang abnormal (p=0,001; aOR 4,48; IK 95% 1,82-11,03). Faktor perubahan (evolusi) selama terapi yang berhubungan bermakna dengan terjadinya drug resistant epilepsy adalah evolusi frekuensi kejang yang buruk (p=0,048; aOR 7,1; IK 95% 1,01-49,7) dan respon awal terapi yang buruk (p= 0,01; aOR 10,92; IK 95% 2,6-45,87).

The brain is highly developed in first 3 year of life. The high neuroplasticity process during that period can influence clinical course of epilepsy. This study was aimed to evaluate initial risk factors and evolution risk factors during therapy to predict drug resistant epilepsy in children <3 year old. We used retrospective cohort method based on medical record data. There were 150 subjects, 33 of them (22%) met drug resistant epilepsy criteria. Abnormal EEG result was the only initial risk factor that significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old (p=0,001; aOR 4,48; CI 95% 1,82-11,03). We found bad evolution in seizure frequency (p=0,048; aOR 7,1; CI 95% 1,01-49,7) and bad initial response to therapy (p= 0,01; aOR 10,92; CI 95% 2,6-45,87) were significantly related with drug resistant epilepsy in children <3 year old."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Budikayanti
"Latar belakang: Pada semua sindrom epilepsi, epilepsi lobus temporal ELT memiliki kemungkinan paling besar untuk menjadi resisten terhadap obat. Polimorfisme gen multidrug resistant-1 MDR1 C3435T dicurigai sebagai salahsatu penyebabnya. Di RS Cipto Mangunkusumo RSCM, sebagai pusat rujukannasional, prevalensi ELT potensial resisten obat adalah 84.51 dan duapertiganya dalam terapi karbamazepin KBZ.
Tujuan: Mengetahui polimorfisme dan ekspresi gen MDR1 C3435T serta kadar plasma KBZ pada penderita epilepsi yang responsif dan resisten terhadap obat.
Metode: Penelitian potong lintang komparatif dilakukan di RSCM dari Juni 2015 sampai Desember 2016. Penderita ELT dipilih secara konsekutif. Kelompok kontrol terdiri dari subjek sehat tanpa riwayat epilepsi. Identifikasi genotipe menggunakan teknik restriction Fragment Length Polymorphism PCR dengan enzim restriksi Mbo1. Pemeriksaan kadar plasma KBZ menggunakan High Performance Liquid Chromatography. Ekspresi mRNA dengan metode sequencing and real time quantitative PCR.
Hasil: Didapatkan 61 subjek dan 25 kontrol. Sebaran genotipe TT 71,43 danalel T genotipe CT dan TT lebih tinggi pada grup resisten x= 10,41; p =0,001. Terdapat korelasi sangat kuat antara dosis dan kadar plasma KBZ padagrup responsif r = 0,75; p = 0,000 dengan rerata dosis 405,21 226,50mg dan kadar plasma 7,59 2,32mcg/mL. Ekspresi kuantitatif relatif Rq mRNA paling tinggi pada grup kontrol diikuti resisten dan responsif. Genotipe TT menunjukkan Rq yang berbeda pada tiap grup. Terdapat perbedaan bermakna antara dosis dan kadar plasma KBZ pada masing-masing genotipe tiap grup, terutama antara genotipe CT reponsif dengan semua genotipe grup resisten.
Kesimpulan: Genotipe TT dan alel T MDR1 C3435T secara statistik berhubungan dengan dosis dan kadar plasma KBZ yang lebih tinggi pada ELT resisten obat.

Background: Among epilepsy syndrome, temporal lobe epilepsy TLE has the highest probability to become drug resistant. Multidrug resistant 1 MDR1 C3435T polymorphism was suspected to be one of the caused. In CiptoMangunkusumo hospital RSCM, as the national reference hospital, potential drug resistant epilepsy prevalence was 84.51 and carbamazepine CBZ usage in two third of the patients.
Objective: This study was performed to learn about MDR1 C3435T polymorphism and expressions, and CBZ plasma concentration in drug responsive and resistant temporal lobe epilepsy patients.
Methods: A comparative cross sectional study was performed in RSCM. TLE patients were selected consecutively. Healthy people were also selected as the control group. Restriction Fragment Length Polymorphism PCR technique with Mbo1 restriction enzyme was used to identify the genes. High Performance Liquid Chromatography method was used to determine CBZ concentration in plasma.mRNA expressions identification were using sequencing and real time quantitative PCR methods.
Result: There were 61 subjects in study group and 25 in control group. Frequency of TT genotype 71.43 and T allele CT and TT genotype were higher inresistant one x2 10.41, p 0.001. There was a very strong correlations between CBZ plasma concentration in drug responsive epilepsy r 0.75, p 0.000 in mean dosage of 405,21 226,50mg and plasma concentration of 7,59 2,32mcg mL. mRNA expressions were highest in control group followed by resistant and responsive ones. TT genotype expression was relatively different ineach group. There were signifant differences between genotype in each group with CBZ dosage and plasma concentration, especially in CT responsive compare to all genotypes in resistant group.
Conclusion: TT genotype and T allele of MDR1 C3435T statistically associated with higher CBZ dosage and plasma concentration in drug resistant TLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Kurnia Salma S.
"Golongan obat antikonvulsan memerlukan perhatian khusus untuk dipantau karena tingkat konsekuensi kegagalan terapi yang tinggi dan beberapa obat memiliki indeks terapi sempit. Obat indeks terapi sempit dapat menimbulkan masalah terkait obat yang terdiri dari efektivitas pengobatan, efek samping obat, dan biaya pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan monitoring efek samping pada pasien epilepsi yang mendapatkan karbamazepin, fenitoin, asam valproat, atau kombinasi obat-obat tersebut di Instalasi Rawat Jalan RSUP Fatmawati periode Maret-Mei 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang dilakukan secara prospektif pada pasien dewasa yang memenuhi kriteria inklusi secara total sampling. Data didapatkan dari data primer yang berasal dari hasil wawancara dan data sekunder yang berasal dari rekam medis. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Algoritma Naranjo. Subjek penelitian yang didapatkan sebanyak 54 pasien dengan 38 pasien 70,37 mengalami efek samping dan 16 pasien 29,63 tidak mengalami efek samping. Kategori efek samping yang paling banyak ditemukan adalah probable dengan persentase 48,15. Tidak ada hubungan antara usia p=0,903 dan jenis kelamin p=1,000 dengan efek samping yang terjadi.

Anticonvulsant drugs must get special attention to be monitored due to the concequence's rate that they have. This group comprises of some drugs which have narrow therapeutic index. Thus, the group causes drug related problem, such as therapeutic efficiency, drug side effect, and cost of the treatment. The purpose of this research was to monitor drug side effects that were severed by adult patients of epilepsy who got carbamazepine, or phenytoin, or valproic acid, or combination of the drugs at Outpatient Department, Fatmawati Central General Hospital from March to May 2017. The research was running prospectively and the data were collected from patients who fit to inclusion criteria with total sampling. There were 54 patients selected as samples, 38 patients 70.37 experienced drugs side effects and 16 patients 26.93 didn't experience drugs side effects. The data of patients were from primer data's source that is the answer of interview and secondary data's source that is medical record that were analyzed with Naranjo Algorithm. The most drug side effect category that found is probable with percentage 53.70 . Age p 0.903 and gender p 1.000 didn't have correlation with the rising of side effects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlyani Khosama
"ABSTRAK
Latar belakang: Karbamazepin KBZ merupakan obat terpilih untuk epilepsi fokaldan dapat digunakan juga untuk pengobatan nyeri neuropatik dan gangguan bipolar,namun dapat menyebabkan reaksi obat yang berat berupa sindrom Stevens-Johnson SSJ /nekrolisis epidermal toksik NET . Saat ini banyak penelitian yangmembuktikan terdapat hubungan antara HLA-B 1502 dengan SSJ/NET yangdisebabkan oleh KBZ pada orang Asia.Tujuan: Meneliti apakah HLA-B 1502 dapat dijadikan marker terjadinya SSJ/NETyang disebabkan oleh KBZ di Indonesia.Metode: Subjek penelitian direkrut dari poliklinik saraf RSUPN CiptoMangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung 2 kasus dan RSUP Prof RDKandou Manado 2 kasus pada Mei 2015 sampai dengan Desember 2016. Subjekdengan riwayat SSJ/NET yang disebabkan KBZ dan toleran KBZ dilakukanpemeriksaan typing HLA-B dengan metode sequence specific oligonucleotidesprobes, dibaca dengan Luminex 200 dan dianalisis dengan perangkat lunak HLAfushion4.0. Dipilih beberapa subjek SSJ/NET dengan HLA-B 1502 positif dannegatif dan toleran dengan HLA-B 1502 positif dan negatif. Subjek yang dipilih inidilakukan kultur PBMC dengan perlakuan penambahan KBZ dan tanpa perlakuanselama 24 dan 48 jam, kemudian diukur kadar granulisin, granzim B dan perforindalam medium kultur dengan metode ELISA, untuk melihat peranan HLA-B 1502dalam terjadinya SJS/NET.Hasil: Total subjek 67 orang, 14 kasus dan 53 toleran. Pada semua subjek dilakukantyping HLA-B, sedangkan kultur dan pemeriksaan kadar granulisin, granzim B danperforin dilakukan pada 17 subjek 6 SSJ/NET dengan HLA-B 1502 positif dan 3negatif; 5 toleran HLA-B 1502 positif dan 3 negatif HLA-B 1502 positifditemukan pada 8 kasus 57,14 dan 14 toleran 26,42 , dengan rasio prevalensi2,73 dan p= 0,0353. Terdapat kecenderungan lonjakan kadar granulisin padakelompok subjek dengan SSJ/NET dibandingkan kelompok toleran KBZ.Kesimpulan: HLA-B 1502 dapat digunakan sebagai marker pada SSJ/NET karenaKBZ.Kata Kunci: HLA-B 1502, KBZ, SJS/NET, Indonesia

ABSTRACT
Background Carbamazepine CBZ is a drug of choice for focal epilepsy and canbe used for neuropatic pain and bipolar disorder, but it can also causes severe drugreaction in the form of Stevens Johnson Syndrome SJS toxic epidermal necrolysis TEN . Currently, there are many studies that prove the relationship between HLAB 1502and SJS TEN caused by CBZ in Asian ancestry.Objective To study whether HLA B 1502 can be used as marker for SJS TENcaused by CBZ in Indonesia.Method Subjects were recruited from neurology clinic RSUPN CiptoMangunkusumo, RS Hasan Sadikin Bandung two cases , and RSUP Prof. RDKandou Manado two cases , from May 2015 to December 2016. Subjectswith SJS TEN history caused by CBZ and CBZ tolerant went through HLA Btyping examination with sequence specific oligonucleotides probes method, readwith Luminex 200 and analyzed with HLA fusion 4.0 software. Some subjectswith SJS TEN with HLA B 1502 positive and negative, and tolerant subjects withHLA B 1502 positive and negative, were chosen. These subjects went throughPBMC culture with and without CBZ addition for 24 and 48 hours, then granulysin,granzyme B and perforin concentration in culture medium were measured usingELISA method to see the role of HLA B 1502 in SJS TEN occurrence.Result Total number of subjects were 67 with, 14 CBZ induced SJS NET cases and53 CBZ tolerants. All subjects went through HLA typing, while culture andgranulysin, granzyme B and perforin examination were conducted in 17 subjects 6with SJS TEN with HLA B 1502 positive and 3 negative 5 tolerant HLA B 1502positive and 3 negative . HLA B 1502 positive were found in 8 cases 57,14 and14 tolerant 26,42 , with prevalence ratio 2,73 p 0,035. There is a tendencyincreased of granulysin level in CBZ induced SSJ NET cases.Conclusion HLA B 1502 can be used as marker in SJS TEN induced by CBZ. "
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprida
"Pendahuluan: Jumlah penyandang epilepsi semakin meningkat, namun tidak disertai dengan edukasi sehingga masih terdapat stigma dan diskriminasi yang dapat menurunkan kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian sikap mahasiswa kedokteran preinternship, peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan perawat karena mereka merupakan sumber penting pengetahuan tentang epilepsi dan dapat memberikan contoh bagi masyarakat.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dari Juni 2020 hingga Januari 2021. Sampel penelitian yaitu mahasiswa kedokteran preintership, peserta PPDS dan perawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan kuesioner Public Attitude Toward Epilepsy (PATE) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi.
Hasil: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap positif pada pertanyaan yang bersifat umum, namun hal sebaliknya didapatkan sikap negatif pada pertanyaan yang bersifat pribadi yakni berkencan, menikah ataupun memberikan saran kepada keluarga untuk menikah dengan ODE. Faktor sosiodemografi tidak mempengaruhi sikap terhadap epilepsi.
Kesimpulan: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap yang negatif dalam hal berkencan maupun menikah dengan ODE.

Background: The number of people with epilepsy is increasing, but this not followed by education so that there is still stigma and discrimination that can reduce the quality of life of people with epilepsy (PWE). Thus, it is necessary to conduct research on the attitudes of preintership medical students, residents and nurses because they are an important source of knowledge about epilepsy and can provide an example for the community.
Method: This study used a cross sectional design from June 2020 until Januari 2021. The research sample were preintership medical students, residents and nurses at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted using a validated Indonesian version of the PATE questionnaire.
Results: Preintership medical students, residents and nurses gave a positive attitude to general questions, but on the contrary, a negative attitude was found on questions related to personalities, namely dating, getting married or giving advice to families to marry people with epilepsy. Sociodemographic factors did not influence attitude towards epilepsy.
Conclusion: Preintership medical students, residents and nurses give negative attitudes in dating and marrying PWE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Hadi Suwarno
"Epilepsi merupakan penyakit neurologis yang menyerang segala usia. Diperlukan pengobatan jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. Kepatuhan adalah hal yang penting dalam pengobatan epilepsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepatuhan minum obat pada pasien epilepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan desain crossectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 102. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner kepatuhan, kuesioner pengetahuan, kuesioner dukungan keluarga, kuesioner ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan, kuesioner, keyakinan, dan kuesioner motivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat masih rendah (49%). Analisis dengan chi square didapatkan ada hubungan antara jenis kelamin (p=0,003), ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan (p=0.036), dan keyakinan (p=0,038) dengan kepatuhan minum obat. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya meningkatkan edukasi dan pemberian informasi mengenai penyakit dan pengobatan terhadap pasien epilepsi.

Epilepsy is a neurological disease that affects all ages. Long-term treatment is needed to prevent recurrence. Adherence is important in the treatment of epilepsy. The purpose of this study was to determine the description of medication adherence in epilepsy patients and the factors that influence it. The method used is descriptive analytic with a cross-sectional design. The number of samples in this study was 102. The measuring instruments used were compliance questionnaires, knowledge questionnaires, family support questionnaires, questionnaires on the availability of health facilities and facilities, questionnaires, beliefs, and motivation questionnaires. The results showed that the level of adherence to taking medication was still low (49%). Chi-square analysis showed that there was a relationship between gender (p=0.003), availability of health facilities and facilities (p=0.036), and confidence (p=0.038) with medication adherence. The recommendation from this study is the need to increase education and provide information about the disease and treatment of epilepsy patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Raven Press, 1983
616.853 061 CRO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lamia Aisha
"

Latar belakang: Prevalensi wanita dengan epilepsi (WDE) usia reproduktif di Rumah Sakit Pusat Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah 61,7% pada tahun 2019. Pada sebagian WDE, frekuensi bangkitan dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Fungsi reproduksi WDE di RSCM sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik gangguan fungsi reproduksi pada WDE di RSCM.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data primer. Kriteria inklusi adalah WDE berusia diatas 18 tahun, yang didiagnosis epilepsi oleh spesialis saraf, yang berobat di RSCM dari bulan September 2020 – November 2021. Ganguan fungsi reproduksi terdiri dari ganngguan siklus menstruasi, infertilitas, gangguan kehamilan atau gangguan persalinan.

Hasil Penelitian: Dari 136 subjek penelitian yang didapatkan, 41,2% mengalami gangguan fungsi reproduksi. Gangguan siklus menstruasi didapatkan pada 31,6% subjek. Subjek yang sudah menikah sebanyak 34,6%, dengan gangguan fertilitas didapatkan pada 45,5% subjek. Dari subjek yang sudah menikah, 77,3% pernah hamil. Gangguan kehamilan didapatkan pada delapan (47,1%) subjek, berupa riwayat abortus sebanyak 23,5%. Perubahan frekuensi bangkitan selama kehamilan ditemukan pada 94,1% subjek, berupa frekuensi bangkitan meningkat (23,5%), frekuensi menurun (23,5%) dan bebas bangkitan (47,1%). Lima belas (68,2%) subjek pernah melahirkan, dan sebanyak 66,7% melahirkan dengan sectio sesaria. Dua subjek mengalami gangguan saat persalinan, berupa persalinan prematur dan kejang saat persalinan.

Kesimpulan: Gangguan fungsi reproduksi pada WDE didapatkan pada 41,2% subjek, dengan jenis gangguan terbanyak adalah gangguan siklus menstruasi dan gangguan fertilitas.

Kata Kunci: gangguan fertilitas, gangguan fungsi reproduksi, gangguan menstruasi, wanita dengan epilepsi.

 


Background: Women with epilepsy (WWE) in reproductive age prevalence at Cipto  Mangunkusumo Nasional Hospital (RSCM) is 61,7% in 2019. Seizure frequencies in WWE could be influenced by hormonal changes. Reproductive function of WWE in RSCM has not been exactly known until now. The purpose of this study is to know the characteristic of reproductive system disorder in WWE at RSCM.

Methods: A cross-sectional study using primary and secondary data. Inclusion criteria are WWE older than 18 years old and has been diagnosed with epilepsy by the doctors at RSCM from September 2020 until November 2021. Reproductive system disorder consist of menstrual cycle disorder, infertility, pregnancy problems or delivery problems.

Results: There were 136 subjects, 41,2% have reproductive system disorder. Menstrual cycle disorder found in 31,6% subjects. There were 34,6% married subjects, and 77,3% of them have pregnancy experience, while infertility found in 45,5% subjects. Eight (47,1%) subjects were having problem during their pregnancy. Spontaneous abortion found in 23,5%. Seizure frequency increased in 23,5% subjects, decreased in 23,5% subjects and 47,1% subjects. Seizure free during their pregnancy. Fifteen (68,2%) subjects have delivery experiences and 66,7% subjects were using C-section methods. Two subjects were having problem during their delivery. One subject has premature delivery while the other one was having seizure during delivery.

Conclusion: Reproductive system disorder found in 41,2% subjects. Menstrual cycle disorder and infertility are the greatest disorder found in this study.

Keyword: infertility, menstrual cycle disorder, reproductive system disorder, women with epilepsy

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Dameria Sri Indahwati
"Latar Belakang. Pasien epilepsi memerlukan obat antiepilepsi (OAE) dalam waktu lama, minimal 1-2 tahun.OAE yang terbanyak digunakan di Indonesi adalah OAE generasi lama yaitu karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan valproat.Karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital dapat menyebabkan stres oksidatif dan peningkatan kolesterol sedangkan menyebabkan resistensi insulin.Keempat OAE dapat menyebabkan peningkatan homosistein. Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan awal dari aterosklerosis.Ketebalan kompleks intima-media (KIM) karotis komunis dapat digunakan sebagai indikator dari aterosklerosis.Oleh karena itu diperlukan pengukuran ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama untuk deteksi awal aterosklerosis.
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk melihat perbandingan ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (pasien epilepsi) dengan kelompok kontrol (populasi normal) dengan usia dan jenis kelamin yang disesuaikan. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, dan durasi OAE.
Hasil. Didapatkan sampel masing-masing 46 subjek kelompok studi dan kontrol. Median ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (0,49 (0,36-1,40) mm) lebih dari kontrol (0,43 (0,35-0,77) mm) secara bermakna. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, durasi OAE dengan ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi.
Kesimpulan. Ketebalan KIM karotis komunis pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama lebih tebal dari kelompok kontrol.

Background. Epilepsy patients requires long-term antiepileptic drugs (AEDs) at least for 1-2 years. The most common AEDs used in Indonesia are first generation AEDs which are carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PB), and valproate (VPA). The first three AEDs may cause oxidative stress and increased cholesterol level while VPA causes insulin resistance. All AEDs cause increased homocysteine level. All those factors could cause endothelial dysfunction which is known as initial process in atherosclerosis. Common carotid intima-media thickness (CC IMT) is a well-known indicator of atherosclerosis. Therefore CC IMT measurement on epilepsy patients with old generation AEDs is required for early detection of atherosclerosis.
Methods. This was a cross-sectional study that comparing CC IMT of epilepsy patients and control group (normal subjects) with age and sex matched. The independent variables were age, sex, number of AEDs, type of AEDs, and duration of AEDs.
Results. There were 46 subjects for each group. The CC IMT median of epilepsy patients (0,49 (0,36-1,40) mm) were significantly thicker than control group (0,43 (0,35-0,77) mm). There were no association of age, sex, number of AEDS, type of AEDs, duration of AEDs with CC IMT.
Conclusions. CC IMT of epilepsy patients with first generation AEDs was higher than control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>