Ditemukan 123364 dokumen yang sesuai dengan query
Alfian Anditya
"Kerja sama waralaba pada prinsipnya ialah skema usaha yang dilaksanakan oleh perseorangan atau badan usaha melalui pemanfaatan sistem bisnis dengan ciri khas usaha yang telah dikembangkan oleh pelaku usaha berpengalaman dalam rangka pemasaran barang dan/atau jasa. Kerja sama tersebut haruslah didasarkan pada suatu perjanjian waralaba yang telah disusun para pihak dengan memperhatikan ketentuan penyelenggaraan waralaba yang telah diatur oleh Pemerintah. Ketidak-patuhan penyusunan perjanjian waralaba terhadap ketentuan dimaksud sejatinya akan mengakibatkan perjanjian yang bersangkutan menjadi batal demi hukum, akan tetapi implementasinya dalam praktek peradilan kerap kali tidak sesuai dengan norma hukum yang seharusnya berlaku. Salah satu contoh dari permasalahan ini terlihat dalam kasus waralaba “HH” di mana terdapat suatu perjanjian waralaba yang dinilai penerima waralabanya sebagai perjanjian yang cacat hukum berikut digugat ke pengadilan untuk dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi gugatan tersebut tidak dikabulkan oleh hakim yang lebih mengedepankan pemenuhan unsur kesepakatan para pihak sebagaimana ditemukan dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI. Berkaca pada kasus waralaba HH, penelitian ini menganalisis pertimbangan hakim terhadap materi gugatan pembatalan perjanjian waralaba yang diajukan oleh penerima waralaba HH serta konsekuensi yang timbul bagi para pihak apabila perjanjian yang bermasalah tersebut tetap berlaku. Untuk menjawab permasalahan dimaksud, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris guna menjelaskan dan menganalisis fakta hukum yang ada dalam contoh yang diangkat berdasarkan ketentuan hukum perjanjian dan peraturan waralaba yang berlaku di Indonesia. Dengan mengacu pada pengkajian atas masalah tersebut, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim yang kurang memperhatikan aspek kepatuhan hukum dalam perjanjian waralaba HH merupakan suatu pertimbangan yang keliru serta keabsahan perjanjian dimaksud dapat menimbulkan berbagai macam konsekuensi komersial maupun hukum bagi para pihak. Adapun saran yang dapat diberikan berupa pentingnya kehati-hatian dalam melakukan penyusunan perjanjian berikut memastikan telah dimuatnya klausula pembatalan perjanjian secara tegas. Lebih lanjut, penggunaan jasa profesi hukum penunjang dalam pembuatan perjanjian waralaba dapat menjadi opsi guna memastikan terwujudnya ketaatan hukum dari perjanjian waralaba yang dibuat.
In principal franchise is a business scheme that is implemented by individuals or business entity through the utilization of a business system with specific business characteristic that is developed by an experienced business player in the context of marketing of goods and/or service. Such cooperation must be based on a franchise agreement that has been prepared by the parties with due observance on franchise provisions that have been regulated by the Government. Incompliance against the regarding regulation during the preparation of franchise agreement will result for such agreement to be null and void, yet its implementation in judicial practices is often not in accordance with the legal norms that should be applied. One example of this problem can be seen in the “HH” franchise case where there is a franchise agreement that is considered to be legally defective by the franchisee and further sued to the court to be declared null and void, yet such lawsuit was not granted by the judge who prioritized the fulfillment of consensuality between the parties as found in the Decision of High Court of DKI Jakarta Number 321/PDT/2021/PT.DKI. Reflecting on the HH franchise case, this research analyze the judge’s consideration of the substance of the HH franchisee’s lawsuit and the consequences for the parties if such agreement remains in effect. To answer this issue, this research use a judicial normative approach with an explanatory type of research to explain and analyze the legal facts that exist in the case based on the provisions of contract law and franchise regulations that prevailed in Indonesia. By referring to the study on the given issue, this research concludes that the consideration of the judge who pays less attention to the aspect of legal compliance in the HH franchise agreement shall be considered to be inaccurate and the validity of such agreement results for various commercial and legal consequences for the parties. The advice that can be given from this case is the importance of caution in drafting a franchise agreement and ensure that the cancellation clause is expressly included in the agreement. Further, the use of supporting legal profession in making franchise agreement can be an option to ensure the realization of the agreement’s legal compliance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rachelle Valencia
"Manusia selama hidupnya tidak akan lepas dari adanya suatu perjanjian. Adapun perjanjian tersebut harus dibuat dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pada zaman sekarang ini, salah satu perjanjian yang paling sering dibuat adalah perjanjian waralaba yang merupakan perjanjian tidak bernama. Pengaturan mengenai waralaba diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (PP 42/2007) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019). Walaupun tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembuatan perjanjian waralaba harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, termasuk syarat sahnya perjanjian. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya terdapat kasus mengenai perjanjian waralaba yang melanggar ketentuan KUHPerdata, PP 42/2007 dan Permendag 71/2019. Kasus tersebut seperti yang terjadi antara para pihak dalam Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai ketentuan mengenai hukum perjanjian di Indonesia, ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan usaha waralaba, serta analisis hukum terhadap Putusan Nomor 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI menurut Permendag 71/2019. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak dalam perkara tersebut melanggar salah satu syarat sah perjanjian, yaitu syarat sebab yang halal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba dibuat bertentangan dengan PP 42/2007 dan Permendag 71/2019
Humans during their lives will not be separated from the existence of an agreement. The agreement must be made by fulfilling the legal requirements of the agreement. In this current era, one of the most frequently made agreements is the franchise agreement which is an innominaat agreement. Regulations regarding franchising are specifically regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising (PP 42/2007) and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising (Permendag 71/2019). Although not specifically regulated in the Civil Code (KUHPerdata), the making of a franchise agreement must follow the provisions stipulated in Book III of the Civil Code, including the legal terms of the agreement. However, it is possible that in reality there are cases regarding franchise agreements that violate the provisions of the Civil Code, PP 42/2007 and Permendag 71/2019. This case is like what happened between the parties in Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI. Therefore, this research will discuss the legal provisions regarding agreement law in Indonesia, positive legal provisions in Indonesia which regulate the implementation of a franchise business, as well as a legal analysis of Decision Number 546/PDT.G/2018/PN Jkt.Pst jo. Decision Number 321/PDT/2021/PT.DKI according to Permendag 71/2019. This research is a normative juridical research with a statutory and case study approach. From this research it can be found that the franchise agreement made by the parties in the case violates one of the legal terms of the agreement, namely the terms of a lawful cause. This is because the franchise agreement was made contrary to PP 42/2007 and Permendag 71/2019"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ardila Rahmanita
"Seiring dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan akan pemenuhan sarana kegiatan ekonomi masyarakat, maka lahirlah lembaga keagenan di Indonesia. Hubungan keagenan adalah hubungan antara agen yang merupakan perusahaan nasional dengan prinsipal yang merupakan perusahaan yang berasal dari luar negeri, yang diawali dengan dibentuknya suatu kesepakatan atau suatu perjanjian yang mengatur mengenai hal apa yang akan mereka perdagangkan. Perjanjian keagenan muncul apabila prinsipal, menunjuk agen untuk bertindak sebagai wakil perusahaan luar negeri tersebut dalam wilayah Indonesia.
Dalam hal membuat suatu perjanjian, didalamnya terdapat suatu asas yang menyatakan, bahwa pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan isi perjanjiannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut namun tetap dalam ketentuan hukum yang berlaku dan tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, serta norma kesusilaan dan kepatutan. Dalam melakukan suatu perjanjian haruslah orang yang memiliki kapasitas, kewenangan dan kemampuan untuk melakukan perjanjian tersebut.
Along with the business development and the need for community economic activities, it brings out agency relationship in Indonesia. Agency is a relationship between an agent who is a national company with a principal who is a company that comes from abroad, it begins with an agreement that organize what will be traded. Agency agreement existed whereby the agent is authorized by the principal to act as the representative company in Indonesia. In conducting an agreement, there are one principle that said, that the parties who make the agreement can decide the content of the agreement suitable for their needs, as long as the content is not contradictory to the law, norms, and public policy. In conducting an agreement, that should be someone who has the capacity, authority and ability to perform the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57030
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Widia Salwa Putri Santira
"Waralaba menjadi salah satu kegiatan usaha yang digemari oleh pebisnis pemula karena tidak membutuhkan modal yang terlalu banyak. Waralaba dilakukan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba yang diatur syarat formilnya dalam undang-undang mengenai waralaba salah satunya mengenai klausul minimal yang harus tercantum dalam Perjanjian Waralaba.Ketika perjanjian waralaba tidak memenuhi syarat formil perjanjian waralaba yang telah ditentukan dalam undang-undang maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum sebagai perjanjian waralaba. Dalam praktik ditemukan Perjanjian Waralaba yang tidak memuat klausul minimal dalam perjanjian waralaba tetapi Majelis Hakim tidak membatalkan Perjanjian Waralaba antara para pihak. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan jenis data sekunder. Hasil penelitian ditemukan perjanjian waralaba merupakan perjanjian formil sehingga keabsahannyaharus memenuhi syarat formil dari perjanjian waralaba. Majelis Hakim pada tingkat pertama dan tingkat banding dalam Putusan Nomor 321/PDT/2021/PT DKI kurang tepat dalam memberikan pertimbangan dan putusannya karena seharusnya perjanjian waralaba antara para pihak batal demi hukum. Karena Perjanjian waralaba antara para pihak tidak memenuhi syarat formil dari perjanjian waralaba sebagaimana ditentukan dalam PP 42/2007 dan Permendag 53/2012. Para pihak harus melakukan penelaahan sebelum membuat perjanjian waralaba dan pemerintah sebaiknya merubah peraturan mengenai perjanjian waralaba sehingga perjanjian waralaba dibuat menjadi suatu akta notaril dan pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan penyelenggaraan waralaba yang sesuai dengan undang-undang
Franchising is one of the business activities that is favored by novice business people because it does not require too much capital. Franchising is carried out based on a Franchise Agreement which is regulated by formal conditions in the law regarding franchising, one of which is regarding the minimum clause that must be included in the Franchise Agreement. When the franchise agreement does not meet the formal requirements of the franchise agreement that have been specified in the law, the agreement becomes null and void as a franchise agreement. In practice, it was found that the Franchise Agreement did not contain a minimum clause in the franchise agreement but the Panel of Judges did not cancel the Franchise Agreement between the parties. This writing uses normative juridical research methods and secondary data types. The results of the study found that the franchise agreement is a formal agreement so that its validity must meet the formal requirements of the franchise agreement. The Panel of Judges at the first level and appellate level in Decision Number 321/PDT/2021/PT DKI was not quite right in giving their considerations and decisions because the franchise agreement between the parties should have been null and void. Because the franchise agreement between the parties does not fulfill the formal requirements of the franchise agreement as specified in PP 42/2007 and Permendag 53/2012. The parties must conduct a review before making a franchise agreement and the government should change the regulations regarding franchise agreements so that the franchise agreement is made into a notary deed and the government must provide socialization to the public regarding the implementation of franchising in accordance with the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Florianus S.
"Tesis ini membahas pengaruh pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan RI (?Permen?) No. 53/2012 dan Permen 07/2013 terhadap formil dan materil Perjanjian Waralaba antara Pemberi dan penerima waralaba. Bagaimana Indonesia mengatur penyelenggaraan waralabanya dan perhatian utama pengaturan waralaba di Indonesia serta perbandingan dengan beberapa negara ASEAN. Indonesia merupakan negara yang mengatur waralaba dan penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri serta kewajiban bagi Pemberi Waralaba untuk bekerjasama dengan usaha kecil dan menengah sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa. Khusus untuk perjanjian waralaba jenis usaha makanan dan minuman Perjanjian waralaba telah diatur pembatasan pada jumlah tertentu outlet/gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri (company owned outlet) dengan kewajiban Diwaralabakan; dan/atau dikerjasamakan dengan pola penyertaan apabila outlet/gerai melebihi jumlah pembatasan; Dalam penyelenggaraan waralaba terlihat Pemerintah berperan dan turun mengatur kebijakan dalam penyelenggaraan waralaba di Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Sedangkan Singapura dan Filipina pengaturannya pada asosiasi yaitu Franchising And Licensing Authority Singapore (FLA) dan Philippine Franchise Assocition (PFA).Negara-negara anggota ASEAN cenderung menerbitkan aturan khusus yang mengatur bisnis franchisenya. Kedepan, Indonesia perlu memberikan bantuan dan kebijakan yang berkaitan dengan memperkuat peran asosiasi franchise dalam penyelenggaraan waralaba untuk menggantikan peran negara agar negara tidak terlalu mengintervensi kegiatan ekonomi.
This thesis discusses the impact of the enforcement of Regulation of the Minister of Trade of Republic of Indonesia ("Minister Regulation") No. 53/2012 and Minister Regulation No 07/2013 to the formal and materil of Franchise Agreement between the franchisor and the franchisee of a franchise. How Indonesia arrange the maintenance of its franchise and the main concern of the franchise regulation in Indonesia, and the comparison with some ASEAN countries. Indonesia is a country that regulates franchises and the use of raw materials, business equipment as well as sells merchandise order at least 80% of goods and / or services of domestic production and the obligations of the Franchisor to work with small and medium enterprises as the franchisees or suppliers of goods and / or services. Especially for the franchise agreement on the food and beverage business type, the franchise agreement has been arranged its certain limitations of the number of outlets / stalls owned and managed their own (company owned outlets) with the obligations that it must be franchised; and / or cooperated with the participation patterns if the outlets / stalls exceeds the limitation; In the maintenance of franchise, it looks that the government has a role and regulate the policy in the maintenance of franchises in Indonesia, Malaysia and Vietnam. While in Singapore and Philippines, its organization is in the association namely Franchising And Licensing Authority Singapore (FLA) and Philippine Franchise Assocition (PFA). The ASEAN members tend to issue specific rules that govern its franchise bussiness. Franchisor and franchisee should improve the role of associations in the franchising activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35247
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sitorus, Tioma Nurshinta Margareth
"
ABSTRAKWaralaba di Indonesia berawal dari upaya pemerintah yang melihat waralaba sebagai suatu cara untuk menggiatkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Perkembangan waralaba tentunya harus didukung dengan kepastian hukum yang mengikat bagi para pihak, baik pihak pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee). Kerjasama antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba harus didasari oleh sebuah perjanjian, dimana dalam hal ini dibutuhkan jasa seorang notaris dalam pembuatannya. Dalam penelitian ini, permasalahan yang diangkat adalah mengenai peran dan tanggung jawab notaris terhadap akta perjanjian waralaba yang dibuatnya serta implikasi hukum atas pembatalan akta tersebut oleh pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder, alat pengumpulan data yaitu melalui studi literatur dan metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapatlah diketahui bahwa peran notaris dalam hal ini adalah membuat akta autentik dengan tidak memihak kepada pihak manapun, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan akta yang dibuatnya, serta bertindak secara saksama atau teliti. Sehingga notaris memiliki tanggung jawab secara keperdataan dengan didasari Pasal 1366 KUHPerdata dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUJN dan Pasal 6 ayat (1) Kode Etik Notaris. Kelalaian notaris yang menyebabkan akta menjadi batal demi hukum menimbulkan kerugian bagi para pihak dalam akta tersebut, yaitu kerugian secara materil dan immateril. Notaris yang telah lalai sebaiknya mendapatkan pembinaan atau penyuluhan, serta harus bekerjasama dalam sidang-sidang atau penyelidikan. Selain itu notaris seharusnya menunjukkan itikad baik dengan mencoba bermusyawarah bersama para pihak untuk mengambil jalan keluar atas batalnya akta tersebut.
ABSTRACTFranchising in Indonesia stems from the government's efforts to see franchising as a way to stimulate the economy and create jobs. Franchise development must be supported by legal certainty that is binding on the parties, both the franchisor and the franchisee. Cooperation between the franchisor and the franchisee should be based on an agreement, which in this case requires the services of a notary in the making. In this research, the issue raised is about the role and responsibility of the notary to the deed of the franchise agreement and the legal implications of the deed that was canceled by the court. The research method used is juridical-normative by using secondary data, data collection tool is through literature studies and data analysis used is a qualitative method. Based on the results of this research, it can be seen that that the role of the notary in this case are to make an authentic deed is not partial to any party, provide legal counseling in connection with the deed made, and act carefully or thoroughly. So that the notary has civil responsibility based on Article 1366 of the Civil Code and can be subject to sanctions under Article 16 paragraph (1) UUJN and Article 6 paragraph (1) Notary Code of Ethics. Notary negligence that causes the deed to become null and void causes harm to the parties in the deed, the material and immaterial losses. Notaries who have been negligent should get coaching or counseling, as well as the need to cooperate in hearings or investigations. In addition, the notary should show good faith by trying to consult with the parties to take a solution to the revovation of the deed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52280
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Dhafin Almanda Fauzan
"Waralaba adalah suatu metode bisnis yang dalam penyelenggaraanya terdapat pemberian izin penggunaan hak kekaayaan intelektual dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam penyelenggaraannya waralaba didasari dengan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba dan prospektus penawaran waralaba merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam prosedur pendaftaran waralaba. Pendaftaran waralaba sendiri merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh para pihak dalam waralaba yang didasari dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam penelitian ini menggunakan metode peneltian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan terhadap peraturan penyelenggaraan waralaba. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai pelindungan hukum yang didapatkan atas pendaftaran waralaba dan bagaimana Peraturan penyelenggaraan waralaba telah memberikan suatu kontruksi pelindungan hukum kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba. Adanya kehadiran pelindungan hukum untuk para pihak dalam waralaba dalam hal ini memberikan suatu kepastian pelindungan yang akan didapatkan. Hal ini juga kemudian mendorong hadirnya penyelenggaraan waralaba yang lebih baik lagi. Dalam hal ini terdapat juga salah satu contoh perjanjian kerja sama waralaba yang tidak didaftarkan yakni perjanjian kerja sama Restoran X dengan Pengusaha Y yang dianalisis hak dan kewajibannya serta meninjau bagaimana pelindungan hukum untuk para pihak yang ada dalam perjanjian tersebut.
Franchising is a business method in which there is a grant of permission to use intellectual property rights from the franchisor to the franchisee. In the arrangement of franchising against the franchise agreement The franchise agreement and franchise offer prospectus are integral parts of the franchise registration procedure. Franchise registration is an obligation that the franchisees must fulfill in accordance with the provisions of the applicable regulations. In this study, a normative juridical research method was used using an approach to the rules of franchising. Furthermore, this paper will specifically discuss the legal protection of acquisitions for franchise registration and how the Franchise Administration Regulations have provided a construction of legal protection for franchisors and franchisees. The presence of legal protection for the parties to the franchise in this case provides a certainty of protection that will be obtained. This also then encourages the presence of a better franchising. In this case, there is also an example of a unregistered franchise cooperation agreement, namely the cooperation agreement between Restaurant X and Entrepreneur Y, which rights and obligations are analyzed, as well as how legal protection is provided for the parties involved in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fahira Zahara Ghassani
"Sebelum menjalankan bisnis waralaba, para pihak harus membuat perjanjian waralaba dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila para pihak adan yang melakukan wanprestasi. Namun, masih terdapat pelaku usaha waralaba yang membuat perjanjian dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, meskipun PP 42/2007 dan Permendag 71/2019 menghendaki perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang menjadi pertentangan diantara franchisor dan para franchisee yang terlibat dalam bisnis waralaba sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam Putusan No. 52/Pdt.G/2019/Pn. Jkt. Pst jo. Putusan No. 396/PDT/2021/PT DKI. Selain itu, perjanjian waralaba tersebut melibatkan pihak asing sebagai franchisor dan pihak di Indonesia sebagai franchisee. Akan tetapi selama kegiatan usaha waralaba berlangsung, para pihak juga telah membuat suatu perjanjian term sheet yang hanya ditulis dalam bahasa Inggris, meskipun hal tersebut bertentangan dengan UU 24/2009. Hal inilah yang memicu pertentangan mengenai keabsahan dari perjanjian waralaba dan perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Selain itu, franchisor dalam kasus ini melakukan pemutusan kerjasama secara sepihak tanpa meminta pembatalan melalui permohonan di pengadilan yang merugikan franchisee . Oleh karena itu, perlu meneliti mengenai keabsahan perjanjian waralaba yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum franchisor dan franchisee.
Franchising is a business system that makes it easy for entrepreneurs to expand their marketing. Therefore, before running a franchise business, the parties must make a franchise agreement that aims to protect the interests of the parties properly. A franchise agreement made in written form can be the basis or evidence if one of the parties defaults. However, there are still franchise businesses that make agreements in the form of unwritten or verbal actors, even though PP 42/2007 and Permendag 71/2019 require written agreements. This is what becomes between the franchisor and the franchisees involved in the franchise business as stated in verdict No. 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. verdict No. 396/PDT/2021/PT DKI. In addition, the franchise agreement involves a foreign party as the franchisor and a party in Indonesia as the franchisee. However, during the franchise business activity, the parties have also made a term sheet agreement which is only written in English, even though this is contrary to Law 24/2009. This only applies to the validity of agreements and agreements made in foreign languages. In addition, the franchisor in this case terminates the cooperation unilaterally without asking for a request through the court which is detrimental to the franchisee. Therefore, it is necessary to examine the validity of the franchise agreement which is the basis for the legal protection of franchisors and franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hasnah
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana penerapan pengaturan mengenai waralaba di Indonesia. Pelaksanaan waralaba di Indonesia selain mengacu kepada peraturan mengenai waralaba juga harus tunduk dan patuh terhadap pengaturan di bidang lain yang terkait dengan waralaba itu sendiri. Di Indonesia terdapat pengecualian waralaba terhadap pengaturan mengenai persaingan usaha, namun terhadap pengecualian tersebut, masih terdapat pembatasannya.
Dalam perjanjian waralaba yang dibuat antara PT Eatertainment International, Tbk dan PT Cahaya Hatindo masih terdapat beberapa ketentuan yang berpotensi menyebabkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu seharusnya Penerapan pengecualian pemberlakuan ketentuan Hukum Persaingan Usaha di dalam klausul perjanjian waralaba antara PT. Eatertainment Tbk dan PT. Cahaya Hatindo hendaknya harus dilakukan dengan benar agar tidak menciptakan celah bagi terjadinya praktek persaingan usaha yang tidak sehat.
The focus of this study is how the implementation of franchise rule in Indonesia. Franchises in Indonesia should be conducted based on the franchise rules and another rules related to franchise. There are exceptions to the rules of Indonesian Competition Law where franchise is included in, nevertheless there are still restriction to that exception.In the Franchise Agreement between PT Eatertainment International, Tbk and PT Cahaya Hatindo, there are any clauses that could be potentially causing unfair business practice. The exception to the rules of Indonesian Competition Law in that clauses should be implemented in good way to conduct fair business practice between them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Iwan Setiawan
"Ketentuan mengenai waralaba di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Walaupun telah diatur dalam peraturan yang bersifat khusus, namun sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian waralaba juga harus tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Penyelenggaraan waralaba dilakukan berdasarkan perjanjian waralaba yang dibuat oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba sebagai individu yang independen dan berdiri sendiri. Sebagai pihak yang memiliki keahlian terhadap metode usaha yang dilakukannya, Pemberi Waralaba memiliki kecenderungan untuk mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan dari Penerima Waralaba sebagai pihak yang minim pengalaman bisnis. Selain itu, Perjanjian waralaba juga merupakan perjanjian baku yang dibuat secara apriori oleh Pemberi Waralaba mengakibatkan Penerima Waralaba hanya memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai isi dari perjanjian waralaba. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya kedudukan Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba adalah tidak seimbang seperti halnya dalam kasus Waralaba Restoran Hoghock dalam Putusan Nomor 3/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Utr. Berkaca kepada kasus Waralaba Restoran Hoghock, penelitian ini akan membahas mengenai pelindungan hukum bagi Penerima Waralaba serta menganalisa legalitas perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian eksplanatoris untuk menjelaskan dan menganalisis fakta hukum yang terdapat pada kasus berdasarkan ketentuan hukum perjanjian dan hukum waralaba di Indonesia. Dengan mengacu kepada analisis atas permasalahan tersebut, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa perjanjian waralaba dalam kasus Waralaba Restoran Hoghock adalah merupakan perjanjian waralaba yang tidak terdaftar sehingga berakibat kepada tereduksinya hak-hak dan pelindungan hukum bagi Penerima Waralaba.
The Provision regarding franchise in Indonesia are regulated by Government Regulation Number 42 of 2007 on Franchise, and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 on Franchise Implementation. Although it has been regulated in specific regulations, as with agreements in general, franchise agreements must also comply with the provisions stipulated in Book III of The Civil Code (KUHPerdata) concerning Contracts. The implementation of the franchise businesses are based on franchise agremeents made by the Franchisor and the Franchisee as independent and stand-alone individuals. As a party with expertise in the business methods employed, the Franchisor tends to prioritize its own interests and may overlook the interests of the Franchisee as a party with minimal business experience. Additionally, the franchise agreement is a standard agreement pre-drafted by the Franchisor, resulting in the Franchisee having limited opportunities to negotiate the contents of the franchise agreement itself. Therefore, it is possible that in reality, the positions of the Franchisor and the Franchisee are imbalanced, as seen in the case of the Hoghock Restaurant franchise in Decision Number 3/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Utr. Reflecting on the Hoghock Restaurant franchise case, this research will discuss legal protection for the Franchisee and analyze the legality of unregistered franchise agreements. To address these issues, this research uses doctrinal research method with explanatory research type to explain and analyze legal facts found in the case based on the provisions of franchise agreements and franchise law in Indonesia. Based on the analysis of these issues, this research concludes that the franchise agreement in the case of the Hoghock Restaurant Franchise is an unregistered one, resulting in the reduction of rights and legal protection for the Franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library