Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133300 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julius Abraham Aristoteles
"Rencana perdamaian yang telah dihomologasi oleh pengadilan niaga haruslah merupakan rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dijamin dan bersifat adil bagi seluruh pihak. Namun demikian, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pernah melakukan homologasi terhadap sebuah rencana perdamaian yang isinya memungkinkan dilakukannya perubahan terhadap rencana perdamaian tersebut di luar pengadilan, sebagaimana dibahas dalam tulisan ini. Permasalahan ini dianalisis secara yuridis-normatif dengan tujuan memberikan kontribusi pada diskursus hukum kepailitan mengenai kekuatan hukum suatu perubahan terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi dan menguji penerapan asas hukum dalam perubahan terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi tidak memiliki kekuatan hukum. Argumentasi tersebut dilandaskan pada fakta bahwa perjanjian perdamaian yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 285 ayat (2) huruf b Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selanjutnya, berbagai asas dalam hukum kepailitan, hukum perjanjian, dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak diterapkan. Penulis memberikan saran agar para legislator dapat mempertimbangkan untuk menyisipkan ketentuan mengenai perubahan terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi dalam peraturan pelaksana dan agar Komisi Yudisial meningkatkan pengawasan terhadap hakim pengadilan niaga yang menangani homologasi perdamaian.

A commercial court-legalised composition plan should be one whose implementation is legally guaranteed and able to provide justice to all parties involved. Yet, Central Jakarta Commercial Court has legalised a composition plan whose contents allow for an amendment of said composition plan to be made outside of the court, as is discussed in this paper. This particular problem is answered by utilising normative-juridical research approach where the Author seeks to examine the legal enforceability of an amendment of a legalised composition plan and identify the implementation of several legal principles within an amendment of a legalised composition plan. The outcome of the research showed that an amendment of a legalised composition plan does not have any legal enforceability. The argumentation is based on the fact that the composition plan violated the provision stated in Article 285 Section 2 of the Law regarding Bankruptcy. Furthermore, legal principles in the fields of bankruptcy law, contract law, and court decisions were not implemented. The Author suggests that legislators consider to include a provision regarding an amendment of a legalised composition plan in a regulation and that Judicial Commission exert a more thorough surveillance on commercial court judges who legalise composition plans."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Khairunnisa
"Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia yang menyatakan Akta Perdamaian yang merupakan hasil homologasi perjanjian perdamaian dapat diamandemen yang dilakukan diluar pengadilan. Namun ditemukan beberapa kasus dimana hal ini terjadi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum yang berlaku mengenai amandemen akta perdamaian di Indonesia serta tinjauan kesesuaian putusan hakim pada kasus amandemen akta perdamaian terhadap teori dan hukum kepailitan yang berlaku dan bagaimana perbandingan ketentuan mengenai amandemen akta perdamaian dalam hukum kepailitan Indonesia dan Amerika. Permasalahan ini dijawab dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa amandemen akta perdamaian diluar pengadilan tidak dapat dilakukan, walaupun tidak diatur secara khusus dalam UU Kepailitan dan PKPU. Argumentasinya ditinjau dari urgensi peran pengadilan dalam proses pengesahan akta perdamaian dan berdasarkan penafsiran sistematis antara Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Sehingga keberadaan akta perdamaian hasil amandemen di luar pengadilan tidak mengikat bagi debitor dan kreditor. Selanjutnya terhadap hasil perbandingan, hukum kepailitan Amerika membenarkan dan mengatur adanya amandemen akta perdamaian dan pembatalan perjanjian perdamaian bersifat opsional, sebaliknya Indonesia tidak mengatur dan melarang adanya amandemen akta perdamaian karena akan menghilangkan sanksi pembatalan akta perdamaian berupa dijatuhkannya status pailit bagi debitor. Saran Penulis terhadap isu ini adalah untuk memberikan pengaturan yang jelas dalam hukum kepailitan Indonesia tentang amandemen akta perdamaian, baik melalui perubahan UU yang sudah ada atau melalui pembentukan peraturan pelaksana.

There is no single provision in the Indonesian bankruptcy law which states that the accord can be amended outside the court proceeding. However, there are several cases where this is happened. The issues discussed in this research are how the applicable legal provisions regarding the amendment of the accord in Indonesia as well as a review of the suitability of the judge’s decisions in the accord amendment case against the prevailing bankruptcy law and theories also the comparison of the provisions regarding the issue in Indonesian and America bankruptcy law. These problems are answered with a normative juridical research method. The results of this study indicate that the amendment of the accord outside the court proceeding cannot be carried out, although it is not specifically regulated in the Law. The argument is viewed from the urgency of the court proceeding for homologation of accord and based on a systematic interpretation between Article 1320 of the Civil Code and Article 285 paragraph (2) of the Bankruptcy Act. So that the existence of the amended accord outside the court proceeding is not binding. On the comparison results, the US bankruptcy law justifies the amendment of the accord and the cancellation of the accord is optional, on the contrary, Indonesia does not regulate and prohibits the amendment of the accord because it will eliminate the effect of sanctions for cancellation of the accord which is imposition of bankruptcy status for debtors. The author’s suggestion on this issue is to provide clear regulations in the Indonesian bankruptcy law regarding amendments to accord, either through amendments of existing laws or through the formation of implementing regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Varida Megawati
"Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945 dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional.

This research focus on two main problems. First, the legal position of the Ratification of Treaties Act in Indonesian legal system. Second, Ratification of Treaties Act review toward UUD NRI 1945 by Constitutional Court by analyzing Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter. The method used in this research is judicial-normative, using secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-analytical.
The result shows that Law No. 12 year 2011 which regulates the hierarchy of legal norms not distinguish the legal position of ratification of treaties act and law in general. Regarding to Constitutional Court competence to review any Law alleged to be in conflict with the Constitution, therefore Constitutional Court has competence to review ratification of treaties act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia;Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1978
340.02 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Reno Gandakusuma
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pembuktian sederhana dalam kepailitan, dengan
studi kasus permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Multi Structure. Dalam
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) telah diatur bahwa
permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Penelitian ini
berbentuk penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1.
Apakah putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak
permohonan pernyataan pailit PT. Multi Structure karena perbedaan jumlah utang
telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU?; 2. Bagaimana penerapan
prinsip utang dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang
menolak permohonan pernyataan pailit PT. Multi Structure ditinjau dari
pembuktian sederhana? Berdasarkan kasus yang dianalisis, pada akhirnya penulis
memperoleh kesimpulan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat yang menolak permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Multi Structure
tidak sesuai dengan UUK-PKPU

ABSTRACT
The focus of this thesis is on the summary proof in bankruptcy, with a case study
the petition for a declaration of bankruptcy towards of PT. Multi Structure. In
Law Number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Obligation for
Payment of Debts (UUK-PKPU) in article 8 paragraph 4 has been regulated that
the petition for declaration of bankruptcy shall be granted if there are facts or
circumstances summarily proving that the conditions for a declaration of
bankruptcy as reffered in article 2 paragraph 1 have been met. This research is a
normative juridical with a descriptive tipology. Based on the problems, the writer
proposed the main issues, which are: 1. Are whether the decision of the Judges of
the Central Jakarta Commercial Court who refused the petition for a declaration of
bankruptcy towards PT. Multi Structure because differences in the amount of debt
in accordance with article 8 paragraph 4 UUK-PKPU?; 2. How the application of
debt principle in the decision of the Judges of the Central Jakarta Commercial
Court who refused the petition for a declaration of bankruptcy towards PT. Multi
Structure in terms of summary proof? Eventually, the writer came to the
conclusion that the decision of the Judges of the Central Jakarta Commercial
Court who refused the petition for a declaration of bankruptcy towards PT. Multi
Structure has not in accordance with UUK-PKPU"
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reno Gandakusuma
"Skripsi ini membahas mengenai pembuktian sederhana dalam kepailitan, dengan studi kasus permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Multi Structure. Dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) telah diatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Apakah putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pernyataan pailit PT. Multi Structure karena perbedaan jumlah utang telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU?; 2. Bagaimana penerapan prinsip utang dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pernyataan pailit PT. Multi Structure ditinjau dari pembuktian sederhana? Berdasarkan kasus yang dianalisis, pada akhirnya penulis memperoleh kesimpulan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Multi Structure tidak sesuai dengan UUK-PKPU.

The focus of this thesis is on the summary proof in bankruptcy, with a case study the petition for a declaration of bankruptcy towards of PT. Multi Structure. In Law Number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts (UUK-PKPU) in article 8 paragraph 4 has been regulated that the petition for declaration of bankruptcy shall be granted if there are facts or circumstances summarily proving that the conditions for a declaration of bankruptcy as reffered in article 2 paragraph 1 have been met. This research is a normative juridical with a descriptive tipology. Based on the problems, the writer proposed the main issues, which are: 1. Are whether the decision of the Judges of the Central Jakarta Commercial Court who refused the petition for a declaration of bankruptcy towards PT. Multi Structure because differences in the amount of debt in accordance with article 8 paragraph 4 UUK-PKPU?; 2. How the application of debt principle in the decision of the Judges of the Central Jakarta Commercial Court who refused the petition for a declaration of bankruptcy towards PT. Multi Structure in terms of summary proof? Eventually, the writer came to the conclusion that the decision of the Judges of the Central Jakarta Commercial Court who refused the petition for a declaration of"
2016
S62734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dami Lail Hanifah
"Kepailitan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang antara debitor dan para kreditor, upaya kepailitan yang demikian sering juga ditempuh oleh para kreditor terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang ada di Indonesia. Hal demikian wajar adanya, namun di antara pailitnya perusahaan-perusahaan tambang tersebut, ada kurator yang mengupayakan agar perusahaan pertambangan batubara yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia tersebut tetap dilanjutkan olehnya (going concern) demi meningkatkan nilai harta pailit guna melunasi utang-utang yang dimiliki oleh debitor pailit tersebut. Akan tetapi, upaya going concern tersebut ialah bertentangan dengan hukum, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta asas dan ketentuan yang terkandung di dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara, dan juga teori tentang barang yang mengandung makna kepentingan publik (public interest) berupa public ownership, diketahui bahwa batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan milik bangsa Indonesia atau dalam hal ini ialah milik seluruh rakyat Indonesia, yang penggunaan dan pemanfaatannya tidaklah boleh berorientasi kepada kepentingan individu atau golongan semata, namun harus berorientasi kepada kepentingan bangsa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dari itu, batubara yang masih ada di dalam perut bumi Indonesia ataupun yang iuran produksi atau royaltinya belum dibayarkan lunas sebelum perusahaan pertambangan batubara tersebut dinyatakan pailit tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan dari debitor pailit dalam konteks kekayaan yang sudah ada maupun dalam konteks kekayaan yang baru akan ada di kemudian hari selama berlangsungnya kepailitan.

Bankruptcy is one of the options for resolving debt problems between debtors and creditors. In Indonesia, creditors occasionally file for bankruptcy against coal mining companies. This is understandable, but among the bankruptcies of these mining companies, there is a curator who strives for the coal mining company that has been declared bankrupt by the Indonesian Commercial Court to be continued by him (going concern) that one may increase the value of the bankrupt assets in order to pay off the bankrupt debtor's debts. On the other hand, this type of going concern exercise is against the law, because it is based on Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, as well as the principles and provisions of the Mineral and Coal Mining Law, along with the theory about goods that contain the meaning of public interest, in the form of public ownership, it is well known that coal is a non-renewable natural resource that belongs to the Indonesian people, or in this case, to the entire Indonesian people, and that its use and utilization should not be oriented solely to the interests of individuals or groups, but must be oriented to the interests of the nation for the maximum benefit and prosperity of the people. As a result, coal that is still in Indonesia's bowels or whose production fees or royalties have not been paid in full before the coal mining company is declared bankrupt cannot be considered the bankrupt debtor's wealth in the context of existing assets or new assets to be acquired at a later date during the course of the bankruptcy. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rusmy Mustari
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Dalam hukum kepailitan debitor dapat dimohonkan pernyataan pailit apabila debitor tersebut sudah dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang). Keadaan insolven adalah keadaan dimana aset yang dimiliki oleh debitor sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban membayar utang. Syarat Kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya mensyaratkan terdapatnya lebih dari dua kreditor dan utang yang jatuh tempo tanpa syarat insolvensi. Hal tersebut menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia yang masih solven dipailitkan seperti yang terjadi pada PT. Telkomsel dan PT. AJMI. Pengaturan tersebut jelas berbeda apabila dibandingkan dengan pengaturan kepailitan yang diterapkan di Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda. Ketiga negara tersebut mengatur syarat keadaan tidak mampu membayar utang sebagai syarat permohonan pailit. Insolvensi tes merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh pernyataan apakah debitur dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.

This Thesis is aimed to explain insolvency as a the terms of bankruptcy. Debtor could be filed for a petition of bankruptcy if the debtor is already insolvent (unable to pay the debt). Insolvent is a condition where the assets owned by the debtor are not sufficient to meet the obligation to pay the debt. Terms of bankruptcy stated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment only requires more than two creditors and the debt maturity without the insolvency condition. It causes many companies in Indonesia which are still solvent are being bankrupt as in PT. Telkomsel and PT. AJMI. The regulation is clearly different if it is compared with bankruptcy arrangements applied in the United States, Japan, and the Netherlands. The three countries set the term ?unable to pay the debt? as a condition for bankruptcy. Insolvency test is a method used to obtain the statement of whether the debtor is unable to pay its debts again.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Hardanu Ikwan
"Latar belakang dalam penulisan tesis ini yaitu membahas kepailitan PT. Istaka Karya (Persero) yang berstatus BUMN dalam bentuk Persero berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan permasalahan terkait syarat sah, akibat hukum dan apakah asset PT. Istaka Karya termasuk ke dalam asset Negara. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif serta multi disipliner dengan analisa kualitatif.
Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa harus ada sinkronisasi antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang BUMN dengan jalan Judicial Review Undang-Undang terkait kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung selaku Pengadilan NegaraTertinggi harus konsisten dalam mengeluarkan Fatwa sehingga Proses Kepailitan BUMN khususnya Persero menjadi jelas.

Background in the writing of this thesis is to discuss the bankruptcy PT. Istaka Karya (Persero) with the status of State-own enterprises in the form of Corporation under the Bankruptcy Act and related issues, legal requirements, legal consequences and whether the assets of PT. Istaka Karya (Persero) included in the assets of the State. This study was descriptive and normative law and multi disciplinary with qualitative analysis.
Of this study concluded that there must be synchronization between the Bankruptcy Act with state law by Judicial Review Act related to the Constitutional Court and the Supreme Court as the state supreme court must be consistent in issuing Fatwa that the Bankruptcy Process Enterprises Limited becomes particularly clear."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30354
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hisar Johannes
"Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”), telah mengatur bahwa tidak dikenal adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU. Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 23/PUU-XIX/2021 yang telah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU tersebut sebagai inkonstitusional bersyarat pun nyatanya tidak menyebabkan perubahan pada praktek Peradilan, dimana terhadap putusan PKPU tetap tidak dapat diajukan upaya hukum. Di luar itu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu perkara di Pengadilan, terdapat berbagai alasan yang bisa saja menyebabkan pihak Termohon PKPU tidak hadir ke dalam persidangan meski telah berulang kali dipanggil secara sah dan patut sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata, misalnya alamatnya Termohon yang terbaru tidak diketahui atau secara operasional perusahaan Termohon telah pindah ke tempat yang baru tapi domisili hukum belum diubah, sehingga relaas panggilan sidang tersebut tidak pernah diterima langsung oleh Termohon PKPU. Dalam hal Termohon PKPU tidak pernah hadir selama persidangan tersebut, maka Termohon menjadi kehilangan kesempatan untuk membela diri dan Majelis Hakim menjadi memiliki hak untuk dapat menjatuhkan putusan PKPU secara verstek (tanpa dihadiri Termohon PKPU). Dalam keadaan tersebut, maka Termohon PKPU secara hukum berubah statusnya menjadi Debitor PKPU yang mau tidak mau harus mengikuti seluruh proses PKPU selanjutnya tanpa diperkenankan untuk melakukan upaya hukum apapun, termasuk perlawanan verzet sebagaimana yang berlaku di dalam perkara perdata pada umumnya. Lebih lanjut, keadaan PKPU tersebut juga suatu waktu juga dapat berujung pada status kepailitan jika Debitor PKPU keliru bersikap dan gagal berdamai dengan para kreditor di dalam proses PKPU, sehingga Debitor PKPU dinyatakan pailit dan akibatnya harus segera dimulai pemberesan oleh Kurator karena sudah tidak ada kesempatan lagi bagi debitor untuk menawarkan perdamaian. Hal demikian ini tentu saja bisa menjadi malapetaka bagi kelangsungan suatu bisnis yang mungkin saja masih memiliki prospek cukup baik tapi harus hancur hanya karena perkara permohonan PKPU yang dimulai cukup oleh 2 kreditor saja tanpa diketahui perkaranya oleh si debitor karena telah berpindah alamat secara operasional.

Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment ("UUK-PKPU"), have stipulated that there is no known legal remedy against PKPU decisions. Even the Indonesian Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 which has declared Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of the UUK-PKPU as conditionally unconstitutional has no effect for judicial practice, where legal action cannot still be taken against PKPU decisions. Apart from that, it cannot be denied that sometimes in a particula civil case, there are various reasons which could cause the PKPU Defendant does not attend the hearing even though he has been repeatedly summoned in legal and approptiate way folowing the Civil Procedure Law, for example the Defendant's most recent address is unknown or the Defendant’s company has operationally moved to a new location but the legal domicile has not been changed yet, so that the court summons was never received directly by the Defendant. If the PKPU Defendant has never attended the trial, the Defendant loses the opportunity to defend himself and the Panel of Judges has the right to hand down the PKPU decision in verstek way (without the presence of the PKPU Respondent). In these circumstances, the PKPU Defendant legally has turned become a PKPU Debtor who inevitably must follow the entire subsequent PKPU process without being permitted to take any legal action, including verzet option as applies in general civil cases. Furthermore, the PKPU situation can also lead to bankruptcy status at some point if the PKPU Debtor misbehaves and fails to reconcile with the creditors in the PKPU process, so that the PKPU Debtor is declared bankrupt and as a result, the Curator must immediately start resolving its asset because there is no longer chance for debtors to offer composition plan. Of course, this could be a disaster for a running business which may still have quite good prospects but must be destroyed just because the PKPU case initiated by only 2 creditors while the debtor has no idea about the case, because it has changed the operational address."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>