Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162468 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efer Koritelu
"Kedudukan hukum pemohon judicial review di Indonesia hanya perorangan warga negara Indonesia menyebabkan warga negara asing tidak dapat mengajukan judicial review, meskipun hak asasi manusia warga negara asing dirugikan atau dilangar dengan berlakunya perundang-undangan pelaksana. Oleh karena itu dalam penulisan ini dibahas, Kedudukan hukum pemohon dalam sistem pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia, Perbandingan kedudukan hukum pemohon warga negara asing dalam mengajukan judicial review di beberapa negara, kedudukan hukum pemohon warga negara asing dalam mengajukan judicial review di Indonesia. Untuk menjawab itu, digunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan undang-undang, kasus, konsep dan perbandingan. Dari penelitian di peroleh hasil bahwa kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan judicial review di Indonesia dapat dilihat melalui kualifikasi pemohon dan kualifikasi kerugian, kualifikasi pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik dan privat serta lembaga negara dan kualifikasi kerugian terhadap hak-hak yang telah diatur dan dijamin dalam UUD 1945. Kedudukan hukum pemohon hanya perorangan warga negara Indonesia menyebabkan warga negara asing yang mengalami kerugian hak asasi manusia tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Namun ada beberapa hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda yang pada intinya menyatakan bahwa pemohon warga negara asing seharusnya diberikan kedudukan hukum jika substandi permohonan judicial review berkaitan dengan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Perbandingan kedudukan hukum pemohon judicial review di beberapa negara seperti Jerman, Mongolia, Ceko, Goergia, Hungaria, Austria, Korea Selatan, Africa Selatan, Rusia dan Amerika Serikat, yang tidak membatasi warga negara asing sebagai pemohon judicial review, bahkan beberapa pemohon warga negara asing yang diterima kedudukan hukum dan permohonan dalam oleh negara pembanding tersebut. Kedudukan hukum pemohon warga negara asing yang tidak diterima di Indonesia menyebabkan terjadinya pelangaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia, yaitu hak diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan pengadilan dan hak persamaan dihadapan hukum dan pengadilan, dimana hak ini telah dijamin dalam UUD 1945. Dalil konstitusional mengenai pembatasan hak asasi ternyata tidak dapan menjamin oleh karena hak yang dilangar merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun. Sehingga perlu tangung jawab negara untuk memberikan kedudukan hukum melalui pembentukan peraturan yang baru dengan mencantumkan pemohon adalah setiap orang yang mengalami kerugian konstitusional sedangkan terhadap warga negara asing hanya pada kerugian yang termasuk dalam katagori non derogable rights sedangkan derogable rights tidak.

The legal standing of the applicant for judicial review in Indonesia is only an individual Indonesian citizen, causing foreign nationals to be unable to apply for a judicial review, even though the human rights of foreign nationals have been harmed or violated by the enactment of the implementing laws. Therefore, in this paper discussed, the legal position of the applicant in the system of testing the laws and regulations in Indonesia, the comparison of the legal position of the applicant for foreign nationals in filing a judicial review in several countries, the legal position of the applicant for a foreign citizen in filing a judicial review in Indonesia. To answer that, legal research methods are used with the approach of laws, cases, concepts and comparisons. From the research, it is found that the legal position in applying for a judicial review in Indonesia can be seen through the qualifications of the applicant and the qualifications for losses, the qualifications of the applicants are individual Indonesian citizens, indigenous peoples, public and private legal entities and state institutions and qualifications of loss to rights. Right that has been regulated and guaranteed in the 1945 Constitution. The legal standing of the applicant is only an individual Indonesian citizen, which means that foreign nationals who experience human rights losses cannot be accepted by the Constitutional Court. However, there were several constitutional judges who put forward a different opinion which basically stated that the foreign citizen applicant should be given a legal standing if the substance of the application for judicial review relates to human rights which cannot be reduced under any circumstances. Comparison of the legal standing of the applicants for judicial review in several countries, such as Germany, Mongolia, Czech, Goergia, Hungary, Austria, South Korea, South Africa, Russia and the United States, which do not limit foreign nationals as applicants for judicial review, even some applicants are foreign nationals the legal standing and application received by the comparable country. The legal standing of the applicant for foreign citizens who is not accepted in Indonesia causes violations of the principles of the rule of law and human rights, namely the right to be recognized as a person before the law and court and the right to equality before the law and court, where this right has been guaranteed in the 1945 Constitution. Constitutional arguments regarding the limitation of human rights are not guaranteed because the rights that are violated are human rights that cannot be limited under any circumstances. So it needs the responsibility of the state to provide a legal position through the formation of a new regulation by including the applicant is everyone who experiences a constitutional loss while foreigners only suffer losses which are included in the category of non derogable rights while derogable rights are not."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Distinctly the 1945 Constitution has given authority to perform judicial power to the รข€œSupreme Court", that is the authority to perform judiciary. The authority to perform judiciary in concrete reality, means expressing what the law is for the case presented to him. Reviewing (testing) the law in principle is also an action for expressing its law, because this action means determining whether a law is conitradictory to the Constitution or not"
340 KANUN 11:29 (2001)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Hendro Santoso
"Siapapun yang mengajukan sengketa perdata ke pengadilan tentu berharap untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pemeriksaan perkara senantiasa diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Hakim adalah manusia biasa karena itu suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Mulai dari perlawanan, banding sampai kasasi yang merupakan upaya hukum biasa sampai dengan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa. Para pihak dalam perkara dapat menggunakan sarana ini, apakah itu karena alasan hukum atau bukan. Peninjauan kembali dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena merupakan upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan peninjauan kembali masih bisa menyisakan masalah apabila masih ada putusan peninjauan kembali yang bertentangan dengan putusan peninjauan kembali yang sudah ada karena obyek perkaranya sama. Untuk alasan itu Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2009 yang memberikan jalan keluar untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali atau permohonan peninjauan kembali yang kedua.

Whoever filing a civil suit to the court will surely expect to obtain solution or settlement. Based upon Law Number 48 Year 2009 regarding Judicial Authority, the Court shall be forbidden to refuse examining, hearing, and deciding upon a case filed on the argument that there is no rule of law or it is unclear, but on the contrary the court shall be obliged to examine and to hear it as well. The examination of a case shall be often ended with a decision, however, by handing down a decision, the problem has not been guaranteed to come to its end. In fact, a Judge is just a human being, and therefore the decision of a Judge can be wrong or erroneous, even it shall not be impossible to be one-sided. Accordingly, for the sake of truth and justice, every decision of a Judge should be re-examined in order to correct any possible error and mistake in handing down a decision. Generally, for any decision of a Judge, legal remedies have been provided namely the efforts or instruments to prevent or to correct the error in any decision, starting from resistance, appeal up to cassation which constitute ordinary legal remedies up to the judicial review which constitutes extra ordinary legal remedy. The parties in a case can take use of these legal remedies, either due to legal reason or not. The Judicial Review is called as extra ordinary legal remedy as it constitutes a legal remedy towards the decision of the court which has already had permanent legal force. The decision of Judicial Review still can leave problem behind if the decision of the Judicial Review is contrary to the existing decision of Judicial Review due to the similar object of the case. Accordingly, based on this fact, the Supreme Court has issued SEMA No. 10 Year 2009 providing the possibility to file an application for judicial review towards the decision of judicial review or the second judicial review application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadilah Achmad
"Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial "PA" juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known as "justice delayed is justice denied", in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of "PA" as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Lazuardi
"Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistematika kekuasaan yudisial dan kaitannya dengan indepedensi kekuasaan kehakiman ? dan bagaimana pengawasan hakim konstitusi pasca Judicial Review UU KY ? Salah satu unsur utama negara hukum adalah Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak. Hal ini membawa konswekensi tidak diperbolehkannya intervensi dalam bentuk apapun terhadap kekuasaan kehakiman yang terkait dengan kewenangan yudisial dari hakim yaitu memeriksa, memutus perkara dan membuat suatu ketetapan hukum. Namun dampak dari indepedensi hakim tersebut maka perlu diciptakan sistem pengawasan yang menyeluruh yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh kalangan hakim sendiri dan pengawasan eksternal dilakukan oleh kalangan di luar hakim dalam hal ini Komisi Yudisial. Dalam hal ini hakim konstitusi, maka hakim konstitusi harus mendapatkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini tercantum di dalam Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan dan di tegaskan di dalam UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Komisi Yudisial kehilangan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena Mahkamah Konstitusi menilai pengaturan mengenai pengawasan hakim konstitusi di dalam UU No.22 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu demi menjaga imparsialitas dari para hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Padahal kebebasan yang tidak diiringi oleh akuntabiltas sangat berpotensi untuk melahirkan korupsi yudisial. Oleh karenanya mewujudkan indepedensi kekuasaan kehakiman serta peradilan yang bebas dan tidak memihak, perlu diadakan pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial.

Abstract
The method used in this study is a juridicial normative method with a secondary data that consist of primary, secondary, and tertiary law's source. A things that being a problem in this study is how is a systematic of judicial power and its relation with independence of judiciary power. And how is a supervision of constitusional judge post Judicial Review Undang-Undang Komisi Yudisial? One of the main element in state law is a justice that independent and impartial. This point creates a consequence about prohibition to do an intervention in any form against judiciary power that has a relation with judicial authority of judge, namely checking, deciding upon, and making a legislation. However, because of there's an impact of the independence of judge, it have to created a comprehensive supervision system, namely internal and external supervision. An internal supervision is done by among judge themselves and external supervision is done by circle outside of judges, namely Komisi Yudisial. In this case, constitutional judges must get an external supervision by Komisi Yudisial. It listed in Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 results of change and it confirmed in UU No. 22 Tahun 2004 about Komisi Yudisial. However, post-verdict of Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Yudisial has lost an authority to do supervision against constitution judges. It happened because Mahkamah Konstitusi assessed that an adjustment about a supervision of constitutional judges in UU No. 22 Tahun 2004 is contradicted with UUD 1945. Moreover, to guarding an impartiality of constitutional judges, Mahkamah Konstitusi was declare that they can not be supervised by other state board. Whereas a freedom that not accompanied an accountability is potentially to create a judicial corruption. Because of this, to realize an independence of judicial power and an independent and impartial justice, it have to held a supervision of constitutional judges by Komisi Yudisial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S445
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elsaad Wirasah
"Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum, dan penerimaan pengajuan tersebut oleh Mahkamah Agung telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, ada yang berpendapat bahwa putusan-putusan tersebut telah mencederai asas kepastian hukum dan ada juga yang berpendapat bahwa putusan-putusan tersebut merupakan putusan yang tepat sekaligus sebagai wujud penerapan asas persamaan di hadapan hukum yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Atas kondisi ini Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 33/PUU-XIV/2016 berusaha mengakhiri pro dan kontra yang ada. Namun apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memenuhi asas kepastian hukum dan asas persamaan di hadapan hukum yang terdapat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan metode yuridis normatif dan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, penelitian ini hendak membahas 2 (dua) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai keterkaitan antara kepentingan korban dan kepentingan umum dengan peran dan wewenang jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kedua, mengenai bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XVI/2016 terhadap pemenuhan asas kepastian hukum dan asas persamaan di hadapan hukum. Penelitian ini menunjukkan bahwa jaksa penuntut umum berperan mewakili kepentingan korban dan kepentingan umum dengan tujuan utama untuk memperjuangkan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUUXVI/ 2016 telah memberikan kepastian kepada terpidana atau ahli warisnya dan jaksa penuntut umum bahwa mereka dapat mengajukan peninjauan kembali selama terdapat ketentuan tertulis yang dapat memberikan hak dan kewenangan itu. Walau demikian, ternyata putusan tersebut tidak dapat memenuhi asas persamaan di hadapan hukum karena tidak mempersamakan kedudukan antara jaksa penuntut umum dengan terpidana dan ahli warisnya.

Judicial review by the public prosecutor, and acceptance of these submissions by the Supreme Court have generated pros and cons in the community, some argue that these decisions have violated the principle of legal certainty and some are of the opinion that these decisions are correct decisions at the same time as a form of application of the principle of equality before the law contained in the criminal procedure law. Due to this condition, the Constitutional Court through decision number 33/PUU-XIV/2016 tried to end the existing pros and cons. However, whether the decision of the Constitutional Court has fulfilled the principle of legal certainty and the principle of equality before the law contained in the criminal justice system in Indonesia. Using the normative method and conducting interviews with several sources, this study intends to discuss 2 (two) research questions: First, regarding the relationship between the interests of victims and the public interest with the role and authority of prosecutors in the criminal justice system in Indonesia. Second, regarding how the decision of the Constitutional Court No. 33 / PUUXVI / 2016 regarding the fulfillment of the principle of legal certainty and the principle of equality before the law. This thesis observes that the public prosecutor has a role to represent the interests of victims and the public interest with the main objective of fighting for the sense of justice that is expected by society. In addition, the decision of the Constitutional Court No. 33 / PUU-XVI / 2016 has provided assurance to the convicted person or their heirs and the public prosecutor that they can submit a review as long as there are written provisions that can provide such rights and powers. However, it turns out that this decision does not fulfill the principle of equality before the law because it does not equalize the position of the public prosecutor and the convict and his heirs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Ellyzabeth Panjialita
"Skripsi ini membahas mengenai peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali yang sebelumnya telah dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2014 dengan memenuhi syarat-syarat, di antara putusan peninjauan kembali pertama telah diputus dengan tidak berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 2012 dan kewajiban terpidana atau pemohon untuk hadir dalam persidangan dikaitkan dengan menganalisis ketentuan dalam KUHAP dan Undang-Undang. Skripsi ini juga menjelaskan pertama, pengaturan peninjauan kembali terhadap peninjuan kembali yang amarnya dinyatakan tidak dapat diterima; kedua, penerapan dari putusan Peninjauan Kembali Kedua Kali No. 1 PK/Pid/2016, Putusan MA No. 17 PK/Pid/2018, dan Putusan MA No. 71/PK/Pid/2020 yang dikaitkan dengan SEMA No. 4 Tahun 2014; ketiga, konsep yang tepat atas peninjauan kembali kedua kali atas putusan peninjauan kembali yang pada amar sebelumnya telah dinyatakan tidak dapat diterima dikarenakan terpidana yang masih berada dalam tahanan sehingga tidak dapat hadir dalam persidangan peninjauan kembali. Penelitian ini adalah penelitian yuridis sosiologis yang dilakukan dengan menggunakan data baik data sekunder melalui beberapa literatur maupun data primer dari hasil wawancara, serta analisa data kualitatif yang memberikan deskriptif atas gejala yang terjadi adanya peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali yang dinyatakan tidak dapat diterima.

This study explains about Judicial review on a decision of the judicial review was have been declared unacceptable as stipulated in SEMA No. 4 of 2014 by fulfilling the conditions, among the first judicial review, decisions have not been decided on SEMA No. 1 of 2012. The obligation of the convict or applicant to be present at the trial is related to analyzing the provisions in the Criminal Procedure Code and the Law. This study also explains, firstly, the arrangement for reconsideration of judicial review whose verdict is declared unacceptable; second, the application of the decision of the Second Review No. 1 PK/Pid/2016, Supreme Court Decision No. 17 PK/Pid/2018, and Supreme Court Decision No. 71/PK/Pid/2020 which is associated with SEMA No. 4 of 2014; third, the correct concept of a second review of the judicial review decision which was previously declared unacceptable because the convict is still in detention and cannot attend the judicial review trial. This research is sociological juridical research conducted by using secondary data through several kinds of literature and primary data from interviews and qualitative data analysis, which provides a descriptive analysis of the symptoms that occur due to a review of the judicial review decision, which is declared unacceptable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Suwandy
"Notaris/PPAT dituntut mematuhi peraturan perundang-undangan serta Kode Etik. Mereka harus mengetahui tanggung jawabnya dan menjaga sikap serta perilaku dalam berpraktek. Namun, kewajiban yang seharusnya diimplementasikan dalam menjalankan jabatannya ternyata tidak dibarengi dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak terjadi pelanggaran yang membawa akibat hukum pada akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT, bahkan sampai pada gugatan di pengadilan.
Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan analisis data secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris/PPAT harus memperhatikan prosedur pembuatan akta menurut ketentuan yang berlaku, menaati Kode Etik serta mengedepankan itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Dengan integritas moral yang mantap Notaris/PPAT dapat menghindarkan diri dari tuntutan hukum.

Notary/Official Land Deed Maker must comply with legislation and Codes of Conduct. They must know their responsibilities and keep the attitude and behavior. But the obligation that should be implemented, do not accordance with the fact. Many violations of the deed made by Notary/Official Land Deed Maker even to the lawsuit in court.
This thesis use juridical normative research methods with qualitative data analysis technique. From the analysis it can be concluded that Notary/Official Land Deed Maker should pay attention to the procedure of making deed under the applicable provisions, adhere to the Codes of Conduct, priority to good faith and the precautionary principle. With good moral integrity, Notary/Official Land Deed Maker can avoid from lawsuit.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>