Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134112 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai
tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu,
ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap
kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa
terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan
memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions
to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that
disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on
the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if
the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Desembra
"Berita bohong menjadi permasalahan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat. Pengertian mengenai berita bohong yang luas, dapat menimbulkan perbedaan pemahaman antara satu pihak dan pihak lainnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat tiga rumusan masalah yang akan dibahas, yakni: bagaimana aturan mengenai berita bohong dalam UU No. 11 Tahun 2008? Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penyebaran berita bohong? Serta bagaimana penerapan pasal berita bohong dalam penyelesaian kasus 'Muhammad Faizal Tanong'?
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dengan menggunakan data yang bersumber dari undang-undang, buku, artikel, majalah dan jurnal. Untuk melengkapi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara terkait dengan penyebaran berita bohong. Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama belum ada definisi yang disepakati mengenai berita bohong menyebabkan belum bisa dibuatnya suatu kategori khusus mengenai perbuatan pidana yang masuk kedalam berita bohong, sehingga aturan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan berita bohong adalah pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan penodaan. Kedua, pihak yang membuat dan menyebarkan berita saja sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyebaran berita bohong. Padahal media yang menjadi sarana penyebaran berita bohong seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban. Ketiga, dalam kasus ujaran kebencian yang dilakukan 'Muhammad Faizal Tanong' penerapan pasal telah secara tepat.

Fake news is a problem that currently faced by community. A broad sense of fake news, can lead to differences understanding between one side and the other. Based on this matter there are three problems that will be discussed, namely how the rules about fake news in the Law no. 11 in 2008 How is criminal liability for the crime of spreading fake news And how is the application of the fake news article in the verdict of the case Muhammad Faizal Tanong.
To answer the problems authors are using juridical normative research methods, where authors use data derived from regulations, books, articles, magazines and journals. To complete the data, authors also conducted interviews related to the spread of fake news. As the result, there are three answers that author can get. First, there is no mutually agreed about the definition of fake news. Because of that matter, the category of fake news is not yet been made. That is why the rules used to solve the problem of spreading fake news are using articles such as defamation, humiliation, and desecreation. Secondly, until now the subject who are being responsible for spreading fake news are the newsmaker and the one who is spreading the fake news. In fact, the media used to spreading fake news also have a responsible. Third, based on 'Muhammad Faizal Tanong' case, the judge already did a proper application of article 28 paragraph 2.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Hendrawan
"ABSTRAK
Perkembangan yang menarik di Indonesia saat ini adalah banyaknya
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Undang-undang
administrasi seperti perbankan, lingkungan hidup, dan lain-lain mengandung
pidana yang sangat berat, yang mestinya khusus untuk rumusan deliknya dibuat
undang-undang pidana tersendiri.Hukum pidana dalam perkembangannya
ternyata semakin banyak digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan
menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Pencantuman
bab tentang ketentuan sanksi pidana tersebut bagi beberapa kalangan
menimbulkan keresahan karena dikhawatirkan akan menimbulkan
overkriminalisasi. Kekhawatiran ini dikarenakan tidak adanya kebijakan
kriminalisasi yang jelas yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang.
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimanakan kedudukan
administrative penal law di Indonesia dalam kerangka kebijakan kriminal,
bagaimanakah kebijakan formulasi pemidanaan yang ada di dalam
administrative penal law di Indonesia, dan upaya apa yang dapat dilakukan
untuk mencegah overkriminalisasi dalam administrative penal law. Penelitian ini
merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
penggunaan sanksi pidana di dalam undang-undang yang bersifat administratif
masih merupakan pilihan utama. Pola pemidaan yang terdapat dalam berbaga
administrative penal law, ternyata tidak memiliki keseragaman pola pemidanaan.
Pidana penjara ternyata masih menjadi pilihan utama dalam pengenaan sanksi di
dalam hukum administrasi. Perlu diupayakan re-evaluasi pada tahap formulasi
sehingga tidak terjadi overkriminalisasi di dalam undang-undang yang bersifat
administrasi.

ABSTRACT
Currently, there is an interesting phenomena in Indonesia.There are so
many administrative law containing criminal sanctions. Administrative law such
as banking law, environmental law, and others contain many criminal sanctions,
which suppose to be regulated specially. Criminal law used as a tool to control
and regulate the society by the laws. Some of the expert thought that the use of
criminal sanction in the administrative penal law, for some reasons can make
overcriminalization condition. Overcriminalization can arise because the
regulator (government and legislative) do not have no one clear criminal policy.
This researchobliged to answer the research questions such as how is the
position of administrative penal law in frame of criminal policy, how is the penal
formulation in the administrative penal law in Indonesia, and what efforts can be
done to prevent overcriminalization in administrative penal law. This is a
normative juridical research.Based on the research, the use of criminal sanction
in the administrative penal law is still the main choice for the regulator. There is
no specific pena formulation that used in the administrative penal law. The
prison sanction still become the main choice in admnistrative penal law. By the
conditions, we need to re-evaluate the formulation step in order to prevent
overcriminalization. The formulation step is a strategic step in criminalize or not
a conduct."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Anto Wibowo
"Program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dimaksudkan untuk membantu bank-bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas pada saat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 justru disalahgunakan oleh bank-bank penerimanya. Fenomena ini telah membuka dimensi baru dalam wajah kejahatan dan pelakunya di Indonesia, yang semula hanya melihat bank sebagai pihak yang dirugikan (korban) namun kini telah menempatkan bank (maupun pengurusnya) sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kebijakan hukum pidana dalam hukum positif terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan, kemudian dikaitkan dengan kebijakan pemberian release and discharge, serta bagaimana sebaiknya perumusan kebijakan hukum pidana dalam rangka pembaharuan perundang- undangan di masa yang akan datang. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam hukum positif, kemudian menganalisa penerapan (aplikasi) kebijakan hukum pidana berkaitan dengan pemberian release and discharge, serta mengevaluasi konsep kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan dalam rangka pembaharuan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang tentang Perbankan (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) ternyata lebih ditujukan kepada subjek manusia (pengurus bank, yang diperluas hingga mencakup pihak terafiliasi), sedangkan terhadap bank (korporasi) adalah berwujud pada kebijakan yang sifatnya non penal (sanksi administratif). Selanjutnya berkaitan dengan pemberian release and discharge berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, dilihat dari sudut kebijakan (policy) merupakan kebijakan yang sifatnya integral dengan program pembangunan nasional pada saat itu, sehingga membawa perubahan arah kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi (penegakan hukum). Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan pada tahap legislasi maupun tahap aplikasi ternyata dirasakan masih lemah dan cenderung berpihak kepada kepentingan korporasi. Untuk itu perlu dilakukan pembaharuan undang-undang perbankan yang meliputi kriminalisasi beberapa perbuatan sebagai tindak pidana perbankan, pertanggungjawaban pidana korporasi, serta penjatuhan sanksi pidana dengan mekanisme penyelesaian di luar persidangan (put of court) terhadap bank sebagai sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan.

Bank Indonesia Liquidity Support program (BLBI) that is meant to help banks that strucking a snag liquidity upon happening monetary crisis on year 1997 but misused by bank its receiver. This phenomenon have opened new dimension in criminal offenders at Indonesia, which just originally see bank as side as harmed (victim) but is now have placed bank (and also its executive corporate) as subject at criminal banking. One that as about problem is how penal policy that most decants in law to bank as the offender of criminal banking, then concemed by application release and discharge policy, and how better penal policy formulation to bank as the offender of criminal banking in order to reconditioned legislation at proximately. Observational intent thus it is analyses penal policy that is decanted in positive law, then analyses implementation (application) penal policy gets bearing with application release and discharge, and evaluates penal policy concept to bank as the offender of criminal banking in order to jurisdictional reconditioned. This research utilize bibliographical research method with secondary data as source of its data. Result observationaling to point out that penal policy to bank as the offender of criminal banking as it were that there be on Banking Act (Act Number 7/1992 as it were changed by Act Number 10/1998) apparently more being addressed to subjek man (bank administrator, one that expanded until ranges the affiliation person), meanwhile to bank (Corporation) are tangible on policy that its character non penal (administrative sanction). Hereafter gets bearing with application release and discharge base Presidential Instruction Number 8/2002, seen from policy perspective, its constituting policy that its character integral with nationa! program development at that moment, so taking in changing penal policy aim on application phase (criminal law enforcement) to arsonists at banking area. On eventually gets to be concluded that criminal law policy to bank as as the offender of criminal banking on legislation phase and also application phase apparently been felt still frail and tend gets to side to Corporation behalf. So it needs to update the rules (Banking Act) with that covers criminalisation some conduct as acts banking crime, inserted its corporate criminal liability, and punishment with a mechanism of out of court system to bank (Corporation) as the offender of criminal banking."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26063
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Josua Paruhum P
"Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat secara global termasuk di Indonesia membawa dampak kemudahan terhadap kegiatan yang semula merupakan aktifitas konvensional yang dilakukan oleh masyarakat, seperti praktik perjudian online. Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru termasuk perjudian online merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan perkembangan IPTEK masa kini yang perlu ditanggulangi dengan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih efektif. Semakin komplek permasalahan yang dihadapi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan modern perlu diiringi dengan pembedahan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana dengan demikian jelas bahwa kebijakan hukum pidana memainkan peran yang strategis dalam menangani permasalahan kejahatan demi kepentingan pembangunan hukum modern Namun kebijakan hukum pidana dalam memberantas perjudian online menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut diantaranya memastikan penegakan hukum yang efektif dan konsisten terhadap agen dan pemain perjudian online di Indonesia. Penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada pembahasan menelaah kebijakan penegakan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana perjudian online di Indonesia serta implementasi kebijakan penegakan hukum dalam upaya memberantas dalam tindak pidana perjudian online di Indonesia berdasarkan analisis studi putusan. Penelitian ini juga melakukan perbandingan kebijakan hukum pidana terhadap perjudian online di negara Australia dan Inggris sebagai contoh negara yang memiliki peraturan yang mengizinkan dan mengatur perjudian secara legal. Berbeda dengan di Indonesia, Perjudian di Australia dan Inggris dianggap sebagai industri yang sah dan diatur oleh lembaga pengawas yang berwenang. Dengan memahami realita kebijakan hukum pidana yang dihadapi, penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat penegakan hukum dan menekan perjudian online di Indonesia. Upaya ini diharapkan dapat melindungi masyarakat, meminimalisir kerugian ekonomi dan menjaga integritas hukum di negara Indonesia.

The rapid development of information technology globally, including in Indonesia, has brought about the ease of activities that were previously conducted conventionally by society, such as online gambling practices. The emergence of new dimension crimes, including online gambling, is a negative impact of societal and technological advancements that need to be addressed with more effective crime prevention efforts. The increasingly complex problems faced by society and law enforcement agencies in dealing with modern crimes need to be accompanied by a comprehensive examination of the development of the criminal law system, which includes the development of the culture, structure, and substance of criminal law. Thus, it is clear that criminal law policies play a strategic role in addressing crime issues for the sake of modern law development. However, the criminal law policy in eradicating online gambling faces several challenges, including ensuring effective and consistent law enforcement against online gambling agents and players in Indonesia. This research focuses on discussing the policy of criminal law enforcement in combating online gambling offenses in Indonesia and the implementation of law enforcement policies in efforts to combat online gambling offenses in Indonesia based on the analysis of court decision studies. This research also compares the criminal law policies on online gambling in Australia and the UK as examples of countries that have regulations allowing and regulating gambling legally. Unlike in Indonesia, gambling in Australia and the UK is considered a legitimate industry and is regulated by authorized regulatory bodies. By understanding the reality of the criminal law policies faced, this research is expected to provide policy recommendations that can strengthen law enforcement and suppress online gambling in Indonesia. These efforts are expected to protect society, minimize economic losses, and maintain legal integrity in the country of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Fitriza Adriyanti
"Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan yang melindungi hewan peliharaan dari penganiayaan, yaitu KUHP dan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ternyata peraturan tersebut belum efektif mencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan yang dapat menyakiti, melukai, maupun menyebabkan penderitaan lainnya terhadap hewan peliharaan. Pasal 302 KUHP merupakan ketentuan yang sudah lama diatur, namun dipandang masih kurang memuaskan dalam menanggulangi perbuatan penganiayaan hewan peliharaan. Semakin maraknya kasus penganiayaan hewan peliharaan di Indonesia membuat aktivis pecinta hewan dan segenap masyarakat lainnya menghendaki pemberian sanksi pidana yang lebih berat dalam RKUHP. Akan tetapi, pengambilan kebijakan hukum pidana harus tetap dilakukan secara rasional dan upaya tersebut dapat dilakukan dengan melihat pada pengaturan yang telah ada di Indonesia, ketentuan dalam KUHP negara lain, serta dari rancangan ketentuan untuk masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan historis dan perbandingan hukum. Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukan bahwa penganiayaan hewan peliharaan masih dipandang sebagai perbuatan yang layak untuk dipidana dan sanksi pidana yang dikenakan di Indonesia lebih rendah daripada yang dikenakan oleh negara lain. Pengaturan tindak pidana penganiayaan hewan peliharaan yang ada di Indonesia sudah dapat menjerat perbuatan – perbuatan yang terjadi dalam praktik. RKUHP pun masih memiliki ketentuan tentang penganiayaan hewan, namun terdapat beberapa perubahan, baik dalam bentuk perbuatan yang termasuk penganiayaan hewan, maupun ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku. Satu perbuatan yang sebaiknya tetap dipertahankan sebagai tindak pidana adalah penelantaran hewan peliharaan, sebab hal ini akan mendorong pemeliharaan dan kepemilikan hewan secara bertanggungjawab.

Indonesia has several provisions to protect pets from abuse that can be found in Criminal Code and Husbandry and Animal Health Act. The regulation has not been effective to prevent people from doing actions that can hurt, injure, or cause other suffering to pets. Article 302 of the Criminal Code (KUHP) is a provision that has been regulated for a long time, but it is still dissatisfying to overcoming pet abuse. The increasing number of pet abuse cases in Indonesia has affected animal lover activists and all other members of the society want the criminal sanctions in the draft of Criminal Code (RKUHP) more severely punished than before. However, criminal law policy must be carried out rationally, and it can be done by looking at the existing laws (ius constitutum) in Indonesia, regulations in the Criminal Code of other countries, and the draft privisions for the future law (ius constituendum). The research is a juridical-normative research with historical and comparative law approach. The results of the research shows that pet abuse is still seen as an act that deserves to be punished and the criminal sanction in Indonesia is lower than those imposed by other countries. The regulation of pet abuse in Indonesia has been able to ensnare the actions that occur in practice. The draft of Criminal Code still has a provision regarding to animal abuse, but there are some changes in the form of acts that include animal abuse and the threat of criminal sanctions that can be imposed to the perpetrators. One act that should be kept as criminal offense is the neglect of pets in order to encourage responsible animal care and animal ownership. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Indah Chairunnisa
"Penelitian ini membahas tentang pengaturan hukum pidana terhadap kasus-kasus investasi ilegal dengan skema money game seperti Skema Ponzi, Skema Piramida, dan skema lainnya, mengingat hukum pidana di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai tindakan tersebut dan investasi berskema money game belum dilihat sebagai suatu kejahatan yang berdiri sendiri dan hanya dipandang sebagai isu temporer belaka. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini membahas permasalahan yang dituangkan dalam 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, apa itu money game dalam bentuk investasi ilegal; Kedua, bagaimana pengaturan money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain; Ketiga, bagaimana penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain. Penelitian ini membandingkan pengaturan dan penegakan hukum terhadap money game di Indonesia dengan 3 (tiga) negara lain yaitu Malaysia, Persemakmuran Australia, dan Amerika Serikat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa money game belum diatur secara khusus di Indonesia, begitu pula di tiga negara yang menjadi pembanding. Pengaturan yang ada di Indonesia juga dinilai belum dapat mengakomodasi kejahatan skema money game secara keseluruhan. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk regulator untuk mengatur skema money game sebagai suatu kejahatan berdiri sendiri, atau setidak-tidaknya melakukan perubahan terhadap rumusan pasal-pasal yang dapat menghukum pelaku money game. Rumusan pasal-pasal tersebut harus mencakup karakteristik dari sebuah skema money game pada praktik.

This study discusses the criminal law regulation against cases of illegal investment with money game schemes such as Ponzi Scheme, Pyramid Scheme, and other schemes, considering that Indonesian criminal law has not specifically regulated money game and an investment using money game scheme is not seen as a stand-alone crime, yet is only seen as a temporary issue. By using normative research methods, this study discusses the problems outlined in 3 (three) research questions: First, what is a money game as an illegal investment; Second, how money game is regulated in Indonesia and its comparison with other countries; Third, how is the law enforcement against money game in Indonesia and its comparison with other countries. This study compared the regulation and law enforcement against money game in Indonesia with 3 (three) other countries, which comprised of Malaysia, Commonwealth of Australia, and United States. The findings of the study show that money game has not been specifically regulated in Indonesia, as well as in the three comparison countries. The existing regulation in Indonesia are considered not to be able to accommodate the crime of money game entirely. Therefore, there is an urgency for the regulators to stipulate the money game scheme as a stand-alone crime, or at least amend the elements of the regulation that could punish the actors of money game. The elements amendment must cover the characteristics of a money game scheme in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasori
"Di Indonesia, usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM memiliki peran sangat penting dan strategis dalam perekonomian. Ini ditunjukkan dengan kontribusi sektor usaha tersebut terhadap produk domestik bruto PDB yang hampir mencapai 60 dan penyerapan tenaga kerja di atas 95 . Kendati demikian, akses pelaku UMKM mdash;terlebih usaha mikro UMi mdash;terhadap pendanaan bank masih sangat terbatas. Dari total kredit yang dikucurkan oleh bank umum di Tanah Air hingga Mei 2013, hanya 19,47 yang disalurkan untuk sektor UMKM. Dari jumlah tersebut, yang dikucurkan untuk usaha mikro tercatat hanya 3,68 dari total kredit. Sementara itu, bagi pelaku UMKM yang mendapatkan akses pun harus membayar suku bunga pada level yang jauh lebih tinggi. Selain inefisiensi di industri perbankan nasional, ditengarai hal itu terjadi karena adanya masalah asymmetric information. Merespons kondisi ini, Bank Indonesia BI kemudian mewajibkan bank untuk mempublikasikan suku bunga dasar kredit SBDK mikro mereka sebagai upaya memitigasi masalah asymmetric information itu. Berikutnya, suku bunga diharapkan turun dan akses pelaku UMKM terhadap kredit semakin terbuka. Dengan menggunakan regresi linier berganda dengan metode OLS ordinary least square , penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas kebijakan SBDK itu dengan melihat pengaruhnya terhadap outstanding penyaluran kredit mikro bank umum. Hasil Uji-t menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan kebijakan pengumuman SBDK terhadap kenaikan outstanding penyaluran kredit mikro bank umum. Di samping itu, terdapat variabel lain yang berpengaruh signifikan terhadap kenaikan outstanding penyaluran kredit mikro bank umum, yakni rata-rata suku bunga kredit mikro, CAR, NPL kredit mikro, inflasi, dan indeks produksi manufaktur IPM.

Micro, small and medium sized enterprises SMEs has very important and strategis role in economy of Indonesia. Those are shown by business sector 39 s contribution of gross domestic product GDP is nearly 60 and employment above 95 . Nevertheless, SMEs access mdash especially to micro enterprises mdash to bank financing is still very limited. Total loans disbursed by commercial banks in the country, until May 2013, only 19.47 that channeled to the SMEs sector. Of these, recorded that the disbursed of micro enterprises only 3.68 of total loans. Not only that, to gain access for the perpetrators of SMEs, they must pay interest rates at a level that is much higher. In addition to inefficiencies in the national banking industry, it is suspected that occurs because of the asymmetric information problem. Respond to these conditions, Bank Indonesia BI then require banks to publish their prime lending rate SBDK of micro loan as an effort to mitigate the asymmetric information problem. Next, interest rates are expected to go down and SMEs access to credit become more open. By using multiple linear regression with OLS ordinary least square , this study aims to assess the effectiveness of measures the prime lending rate by looking at its effect on micro outstanding loan portfolio of commercial banks. The test result indicate a significant effect on prime lending rate policy announcement for the increasing in micro loans outstanding of commercial banks. In addition, there are other variables that significantly influence the increasing in outstanding microcredit of commercial banks, i.e. average interest rates on microcredit, CAR, NPL of microcredit, inflation, and the manufacturing production index HDI.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T47499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iftar Aryaputra
"Gagasan tentang permaafan hakim dalam RKUHP tidak bisa dilepaskan dari kekakuan sistem pemidanaan dalam KUHP. Sistem pemidanaan dalam KUHP mensyaratkan bahwa pidana akan dijatuhkan apabila terpenuhi syarat "perbuatan" dan "kesalahan". Dengan hanya bertumpu pada dua syarat tersebut, maka pemidanaan dalam KUHP dirasakan sangat kaku, akibatnya adalah banyak kasus-kasus kecil yang harus dijatuhi pidana, seperti yang terjadi dalam kasus pencurian kakao, pencurian sandal, pencurian semangka. Di beberapa negara, dalam keadaan yang demikian, hakim bisa untuk tidak menjatuhkan pidana. Ketentuan tersebut dikenal dengan istilah judicial pardon/rechterlijk pardon/dispensa de pena. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tesis ini terkait dengan permaafan hakim dalam hukum pidana positif, praktik permaafan hakim, dan kebijakan formulasi permaafan hakim. Tujuan dari penulisan tesis ini untuk mengetahui permaafan hakim dalam hukum pidana positif, menganalisis permaafan hakim dalam penegakan hukum pidana, serta memberikan suatu bentuk formulasi yang sesuai dengan kebijakan kriminal di Indonesia. Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perbandingan dan pendekatan kasus, serta dianalisis secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analitis dan preskriptif.
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa dalam KUHP, permaafan hakim terwujud dalam ketentuan pidana percobaan yang diatur Pasal 14a-14f KUHP, sedangkan di luar KUHP, permaafan hakim diatur dalam Pasal 70 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Walaupun dalam hukum positif (khususnya KUHP) permaafan hakim terwujud dalam pidana bersyarat, ada beberapa putusan pemidanaan dan putusan lepas yang mengandung nilai-nilai permaafan hakim, seperti dalam kasus Ny. Ellya Dado, kasus pencurian sandal (Sudarmadi). Sampai di sini dapat dikatakan, terdapat putusan pengadilan yang secara prinsip menerapkan nilainilai permaafan, walaupun dalam putusannya tidak dijatuhkan masa percobaan. Dalam konteks kebijakan hukum pidana, formulasi permaafan hakim dirasakan belum lengkap, karena hanya diatur dalam hukum pidana materiil. Seharusnya permaafan hakim juga diatur dalam hukum pidana formil. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permaafan hakim.

The idea of judicial pardon in the Draft of Penal Code, can not be separated from absolutism of sentencing in the Criminal Code. A sentencing in the Criminal Code need "act" and "guilt". From this condition, we can conclude that the punishment in the Criminal Code showing a rigid sentence. There are some case in Indonesia which are became an interest of the people, for example the case of Minah who stealed 3 kilogram of cacao, case of theft of sandal, case of theft of watermelon. In some countries, in such circumstances, a judge can be not to impose a sanction. The provision is known as judicial pardon/rechterlijk pardon/dispensa de pena. The research questions raised in this thesis related to judicial pardon in positieve criminal law, the practice of judicial pardon, and the formulation of the judicial pardon. The purpose of this thesis to determine judicial pardon in positieve criminal law, to analyze judicial pardon in criminal law enforcement, and also providing a form of policy formulation in accordance with the criminal policy in Indonesia. This research belong into a normative juridical, that be supported the comparation approach and the case approach. Data is obtained from research, analyzed qualitatively which is described with descriptive-analytically and prescriptively.
From the research, it was found that in the Penal Code, judicial pardon embodied in conditonal sentence, set forth in Article 14a-14f. While outside of the Penal Code, judicial pardon regulated in Article 70 of Law no. 11 of 2012 on the Criminal Justice System of Children. Although the positive law (in particular the Pena; Code) judicial pardon in conditonal sentence materialized, there are some the imposition of a penalty or a judgement dismissal all charges (onstlag), contained the values of judicial pardon, as in the case of Mrs. Ellya Dado, sandal theft case (the case of Sudarmadi). Up here it can be said, there is a court decision in principle to apply the values of forgiveness, although the decision was not conditional sentence. In the context of penal policy, judicial pardon formulation felt incomplete, because it only regulated in material penal law. It should set in the formal penal law. The design of the Code of Criminal Procedure Act does not regulate on matters relating to the judicial pardon.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>