Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134962 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairunnisa Alkhawarijmi
"Paylater merupakan layanan pembayaran yang disedikan oleh pelaku usaha jasa keuangan untuk memenuhi keperluan konsumsi konsumen atas barang yang dibelinya dari e-commerce. Layanan Paylater memiliki persyaratan yang lebih mudah ketimbang kartu kredit perbankan. Persyaratan yang mudah berisiko pada kerugian terhadap masyarakat selaku pengguna layanan Paylater, salah satunya berupa pembobolan layanan Paylater. Penanganan kasus pembobolan pada layanan Paylater oleh pelaku usaha jasa keuangan tidak selalu berjalan dengan maksimal. Tujuan dari penelitian ini menganalisis bentuk respon yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan terhadap laporan terhadap kasus pembobolan layanan Paylater milik konsumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan didukung oleh data sekunder berupa hasil penelusuran studi kepustakaan atau literatur dan pendekatan metode kualitatif berupa observasi suatu fenomena dengan hasil penelitian yang deskriptif analitis dan preskriptif. Hasil penelitian ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan mengupayakan dua hak konsumen saat menangani kasus pembobolan yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan hak konsumen untuk didengar pendapatnya mengenai barang dan/atau jasa yang digunakan. Pelaku usaha jasa keuangan bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan terkait layanan penanganan pengaduan, serta memperkuat sistem elektronik. Tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan merujuk pada peraturan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, POJK Nomor 18/ POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, POJK Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, dan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.

Paylater is a payment service provided by financial service businesses to meet consumers' consumption needs for goods they buy from e-commerce. Paylater services have easier requirements than bank credit cards. Easy requirements risk harm to the community as users of Paylater services, one of which is in the form of Paylater service breaches. The handling of cases of break-ins in Paylater services by financial service businesses does not always run optimally. The aim of this study is to analyze the response that should be made by financial service businesses to reports on consumer Paylater service breaches. This research was carried out using a juridical-normative research form supported by secondary data in the form of results of library research or literature searches and a qualitative method approach in the form of observation of a phenomenon with descriptive analytical and prescriptive research results. The results of this study oblige financial service businesses to seek two consumer rights when handling fraud cases, namely the right to comfort, security, and safety in consuming goods and/or services and the consumer's right to have their opinion heard regarding the goods and/or services used. Financial services businesses are responsible for evaluating and improving policies related to complaint handling services, as well as strengthening electronic systems. The responsibilities of financial service businesses refer to the regulations of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, POJK Number 18/POJK.07/2018 concerning Consumer Complaint Services in the Financial Services Sector, POJK Number 35/POJK.05/2018 concerning Conducting Business of Financing Companies, and POJK Number 6/POJK.07/2022 concerning Consumer Protection in the Financial Services Sector."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqyana Agny Anisataqiyya
"Transaksi tol nirsentuh merupakan sistem transaksi tol baru di Indonesia, tetapi berpotensi problematis bagi konsumen dalam pengimplementasiannya. Konsumen dibebani oleh kewajiban yang belum diimbangi dengan kepastian hukum terkait pemenuhan hak-hak konsumen dan pertanggungjawaban hukum pelaku usaha apabila hak konsumen terlanggar sehingga besar kemungkinan terjadi ketimpangan hierarkis antara konsumen dan pelaku usaha apabila transaksi tol nirsentuh diimplementasikan. Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan konsumen selaku pengguna jalan tol. Begitu pula dengan Australia yang mengimplementasikan sistem transaksi tol serupa. Berbeda dengan Hungaria, peraturan perundang-undangan mengenai transaksi tol nirsentuh diatur secara khusus. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, diteliti aspek hukum pelindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap transaksi tol nirsentuh dengan turut mengacu pada hukum pelindungan konsumen dalam implementasi transaksi tol nirsentuh di Hungaria dan Australia berdasarkan Act CLV of 1997 on Consumer Protection serta Australian Consumer Law. Adapun hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya Indonesia tidak dapat berpedoman kepada Hungaria ataupun Australia dalam implementasi hukum pelindungan konsumen pada transaksi tol nirsentuh karena masih terdapat permasalahan pemenuhan hak-hak konsumen dan tidak jelasnya informasi-informasi yang akan diperoleh konsumen nantinya terkait pelaku usaha yang terlibat dalam penyelenggaraan sistem. Oleh karenanya, penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai transaksi tol nirsentuh di Indonesia perlu berprespektif melindungi konsumen dan memberikan kepastian hukum kepadanya. Tanggung jawab para pelaku usaha terkait juga perlu dipertegas kembali agar nantinya konsumen memperoleh informasi yang tepat serta dapat mengetahui hal-hal yang menjadi haknya

Contactless toll transaction is a new toll transaction system in Indonesia, but potentially problematic for consumers in its implementation. Consumers are burdened by obligations that have not been balanced with legal certainty regarding the fulfillment of consumer rights and the legal liability of business actors if consumers’ rights are violated, so there is a high probability of hierarchical imbalance between consumers and business actors if contactless toll transactions are implemented. Indonesia does not yet have laws and regulations that protect the interests of consumers as toll road users. The same applies to Australia, which implements a similar toll transaction system. Unlike Hungary, legislation on contactless toll transactions is specifically regulated. By using the normative juridical method, the legal aspects of consumer protection in Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection, contactless toll transactions are examined by also referring to consumer protection law in the implementation of contactless toll transactions in Hungary and Australia based on Act CLV of 1997 on Consumer Protection and Australian Consumer Law. The results of this study show that Indonesia cannot be guided by Hungary or Australia in the implementation of consumer protection law on contactless toll transactions because there are still problems in fulfilling consumers’ rights and unclear information that will be obtained by consumers later related to business actors involved in the implementation of the system. Therefore, the preparation of laws and regulations regarding contactless toll transactions in Indonesia needs to have the perspective of protecting consumers and providing legal certainty to them. The liabilities of the relevant business actors also need to be reaffirmed so that later consumers can obtain the right information and be able to know their rights as consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Brigita
"Jumlah penduduk yang padat mempengaruhi pola konsumsi dan kebutuhan masyarakat Indonesia menjadi lebih tinggi. Hal tersebut membuka peluang bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnis dengan mencari inovasi baru berkaitan dengan strategi pemasaran untuk memperoleh keuntungan sebesar- besarnya. Salah satunya, menerapkan strategi upselling. Upselling merupakan strategi pemasaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan berupaya menyakinkan konsumen untuk membeli barang dan/atau jasa yang mengalami peningkatan sehingga menyebabkan harga yang dibayarkan lebih mahal dari harga awal. Secara umum, praktik upselling tidak dilarang bagi pelaku usaha untuk menerapkannya. Akan tetapi, tidak semua pelaku usaha menerapkan praktik upselling dengan jujur dan adil. Ditemukan pelaku usaha yang menerapkan praktik upselling tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur serta transaksi yang dilakukan tidak berdasarkan persetujuan konsumen. Dalam hal ini, konsumen tidak memperoleh hak-haknya secara utuh. Indonesia secara umum tidak melarang penerapan strategi penjualan upselling dan belum mempunyai pengaturan secara spesifik mengenai upselling. Penulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai perbandingan pelindungan konsumen terhadap strategi upselling oleh pelaku usaha yang tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur serta tidak berdasarkan persetujuan konsumen di Indonesia dengan Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat melihat praktik upselling oleh pelaku usaha yang tidak memberikan informasi serta tidak berdasarkan persetujuan konsumen merupakan salah satu praktik usaha yang tidak adil (unfair pratices). Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode doktrinal. Dari hasil penelitian dapat dipahami bahwa Indonesia dan Amerika Serikat memiliki kesamaan yakni sama-sama tidak melarang upselling sepanjang tidak mencederai hak - hak konsumen serta dilaksanakan dengan jujur dan adil. Dibutuhkannya peran pemerintah untuk meningkatkan pengawasan kepada pelaku usaha serta membuat suatu pedoman lebih khusus mengenai strategi upselling untuk dijadikan landasan bagi pelaku usaha untuk melaksanakan praktik upselling. Tidak hanya itu, dibutuhkannya kesadaran pelaku usaha untuk melaksanakan kewajibannya dan konsumen harus lebih kritis dan teliti terhadap strategi upselling yang dilakukan oleh pelaku usaha.

The dense population influences the consumption patterns and needs of Indonesian society, making them higher. This creates opportunities for business operators to innovate in marketing strategies to gain maximum profits. One such strategy is upselling. Upselling is a marketing strategy where business operators try to convince consumers to buy goods and/or services that have increased in value, resulting in a higher price than the initial price. Generally, upselling practices are not prohibited for business operators. However, not all business operators apply upselling practices honestly and fairly. Some business operators do not provide accurate, clear, and honest information, and transactions are conducted without consumer consent. In these cases, consumers do not fully receive their rights. Indonesia does not generally prohibit the application of upselling strategies and does not have specific regulations regarding upselling. This writing aims to discuss the comparison of consumer protection against upselling strategies by business operators who do not provide accurate, clear, and honest information and do not obtain consumer consent in Indonesia and the United States. The United States views upselling practices by business operators who do not provide information and do not obtain consumer consent as an unfair practice. The method used in this writing is the doctrinal method. From the research results, it can be understood that Indonesia and the United States share a similarity in not prohibiting upselling as long as it does not harm consumer rights and is conducted honestly and fairly. There is a need for the government's role in increasing supervision of business operators and creating more specific guidelines regarding upselling strategies to serve as a basis for business operators to carry out upselling practices. Additionally, there is a need for business operators to be aware of their obligations and for consumers to be more critical and thorough regarding upselling strategies carried out by business operators."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Riski Julianti
"Perkembangan teknologi mempengaruhi berbagai bidang usaha untuk menerapkan sistem otomasi. Salah satunya adalah industri transportasi yang marak mengembangkan kendaraan otonom atau Autonomous Vehicle (AV). Seiring dengan perkembangan tersebut, penyelenggaraan AV tentu membutuhkan regulasi yang mendukung. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pelindungan konsumen terhadap pengguna jasa transportasi AV di Indonesia dan bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap potensi kerugian yang dialami oleh konsumen ketika menggunakan jasa layanan transportasi AV. Tulisan ini menggunakan metodologi hukum Doktrinal, dengan menelaah suatu norma dan penerapan asas hukum, serta pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, serta peraturan terkait lainnya. Walaupun ketentuan mengenai penyelenggaraan, pelindungan hukum, hingga pertanggungjawaban atas kerugian konsumen sebagai pengguna jasa transportasi AV belum diatur secara khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, namun adanya sistem otomasi dalam operasional kendaraan sudah disinggung dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Kecakapan Awak Sarana Perkeretaapian dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Transportasi Cerdas di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Technological developments have influenced various business fields to implement automation systems. One of them is the transportation industry which is rampant in developing Autonomous Vehicles (AV). Along with these developments, the implementation of AV requires supportive regulations. This paper aims to find out consumer protection for AV transportation service users in Indonesia and how business actors are accountable for potential losses experienced by consumers when using AV transportation services. This paper uses a doctrinal legal methodology, by examining a norm and the application of legal principles, as well as the implementation of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, Law Number 23 of 2007 concerning Railways, Law Number 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation, Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as last amended by Law Number 1 of 2024, and other related regulations. Although provisions regarding the implementation, legal protection, and liability for consumer losses as users of AV transportation services have not been specifically regulated in legislation in Indonesia, the existence of an automation system in vehicle operations has been mentioned in the Regulation of the Minister of Transportation Number 18 of 2023 concerning Certification of Railway Crew Proficiency and Regulation of the Minister of Transportation Number 76 of 2021 concerning Transportation Management Systems Smart in the Field of Traffic and Road Transportation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanathifal Salsabila Anggraeni
"Perkembangan teknologi blockchain salah satunya smart contract pada platform Ethereum, yang tersedia pada website Etherscan sering kali memuat klausula baku, salah satunya klausula baku pilihan hukum atau choice of law, yang menetapkan hukum dan yurisdiksi sesuai preferensi pengembang. Apabila terjadi sengketa, klausula baku choice of law ini menjadi tantangan sebab sering kali tidak mengakomodasi kepentingan pengguna dari yurisdiksi berbeda. Di Indonesia, Pasal 18A UU No. 1 Tahun 2024 menetapkan bahwa kontrak elektronik internasional harus tunduk pada hukum Indonesia. Penelitian ini mengkaji bagaimana UU No. 1 Tahun 2024 memberikan pelindungan hukum dalam sengketa terkait klausula baku choice of law dalam smart contract serta bagaimana UU No.1 Tahun 2024 memberikan pelindungan konsumen atas penggunaan klausula baku choice of law yang tidak selaras dengan asas kebebasan berkontrak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian doktrinal dengan sumber data sekunder serta analisis data deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan UU No. 1 Tahun 2024 perlu adanya peraturan tentang proses pelaksanaan sengketa mengetahui benturan yurisdiksi yang sering terjadi dalam sengketa lintas negara, yang berujung tidak pulihnya hak konsumen. Penelitian ini menemukan bahwa implementasi dari UU No. 1 Tahun 2024 dalam melindungi konsumen pada dasarnya tepat sasaran, asas kebebasan berkontrak yang sejatinya dibatasi harus dapat diterima oleh konsumen Indonesia.

The development of blockchain technology, one of which is the smart contract on the Ethereum platform, which is available on the Etherscan website, often contains standard clauses, one of which is the choice of law standard clause, which determines the law and jurisdiction according to the developer's preferences. If a dispute occurs, this standard choice of law clause becomes a challenge because it often does not accommodate the interests of users from different jurisdictions. In Indonesia, Article 18A of Law no. 1 of 2024 stipulates that international electronic contracts must comply with Indonesian law. This research examines how Law no. Law No. 1 of 2024 provides legal protection in disputes related to standard choice of law clauses in smart contracts and how Law No. 1 of 2024 provides consumer protection for the use of standard choice of law clauses that are not in line with the principle of freedom of contract. This research uses doctrinal research with secondary data sources and qualitative descriptive data analysis. The research results show that Law no. 1 of 2024, it is necessary to have regulations regarding the dispute implementation process, recognizing the clash of jurisdictions that often occur in cross-border disputes, which result in consumer rights not being restored. This research found that the implementation of Law no. 1 of 2024 in protecting consumers is basically right on target, the principle of freedom of contract which is actually limited must be accepted by Indonesian consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansto Ruben Gusti Oscar
"Penelitan ini membahas tentang pengaturan perlindungan konsumen pada transaksi apartemen yang dilakukan oleh WNI dalam Perkawinan Campuran. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum doktrinal untuk menganalisis perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen pasangan perkawinan campuran. Dengan teknik pengumpulan data berbasis studi kepustakaan dan analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa norma hukum positif, khususnya hukum agraria, perkawinan, dan perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hak-hak konsumen WNI dalam perkawinan campuran, penerapan peraturan hukum terkait transaksi apartemen, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam konteks tersebut. bahwa tanpa adanya perjanjian pranikah, harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama, sehingga WNI dalam perkawinan campuran dapat kehilangan hak atas properti yang berada di atas tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Hal ini menimbulkan konflik dengan peraturan agraria yang melarang WNA memiliki tanah atau bangunan di atas tanah HGB. Selain itu, pengembang sering kali gagal memberikan informasi yang lengkap dan transparan mengenai status legalitas tanah dan properti, yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan regulasi dan pengawasan terhadap pengembang, kewajiban memberikan informasi yang transparan, serta edukasi kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban hukum dalam transaksi apartemen. Pengembang juga wajib untuk memperhatikan lebih seksama calon pembeli, guna mencegah sengketa hukum di masa mendatang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen memerlukan sinergi antara regulasi yang tepat sasaran, pengawasan yang ketat, dan edukasi konsumen yang berkelanjutan untuk menciptakan transaksi yang adil dan transparan di sektor properti.

This study examines the regulation of consumer protection in apartment transactions conducted by Indonesian citizens (WNI) in mixed marriages. Using a doctrinal legal approach, the research analyzes consumer protection in apartment transactions involving mixed-marriage couples. Employing data collection techniques based on literature studies and qualitative descriptive analysis, this study highlights the challenges posed by positive legal norms, particularly agrarian, marital, and consumer protection laws. The research aims to analyze the regulation of WNI consumer rights in mixed marriages, the application of legal provisions related to apartment transactions, and the legal protection afforded to consumers in this context. Without a prenuptial agreement, assets acquired during marriage are considered joint property, potentially causing WNI to lose rights over properties built on land with a Right to Build (Hak Guna Bangunan, HGB) status. This conflicts with agrarian regulations prohibiting foreign nationals (WNA) from owning land or buildings on HGB land. Additionally, developers often fail to provide complete and transparent information about the legal status of land and property, leading to consumer losses. To address these issues, stronger regulations, enhanced oversight of developers, mandatory provision of transparent information, and consumer education on legal rights and obligations are required. Developers must also pay closer attention to prospective buyers to prevent future legal disputes. This study concludes that consumer protection in apartment transactions requires synergy between targeted regulations, strict oversight, and continuous consumer education to create fair and transparent transactions in the property sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aprina
"Chiropractic sejatinya merupakan bentuk dari kegiatan pengobatan tradisional yang mana bertitik fokus diagnosa, perawatan, dan pencegahan penyakit-penyakit pada sistem neuromuskuloskeletal serta dampak dari penyakit tersebut terhadap kesehatan secara umum yang di dalamnya terdapat penekanan pada teknik-teknik manual, termasuk penyesuaian dan/atau manipulasi sendi, dengan fokus khusus pada subluksasi. Penelitian ini dilatarbelakangi untuk dapat mengetahui terkait pengaturan dan juga bagaimana perlindungan hukum serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen atas chiropractic yang merugikan konsumen. Hal ini perlu dilakukan mengingat perkembangan informasi terkait chiropractic yang mana menarik minat masyarakat namun masih tidak jelas diketahui terkait keamanan, pengaturan dan juga pengawasan atas pengobatan tersebut. Berangkat dari hal tersebut muncul beberapa rumusan masalah antara lain: (1) Pengaturan terkait jasa pengobatan tradisional di Indonesia terkhususnya pengobatan chiropractic; (2) Perlindungan dan pertanggungjawaban terhadap konsumen atas praktik chiropractic, serta upaya hukum yang dapat diajukan atas praktik yang menyebabkan kerugian pada konsumen. Peneli Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan metode yuridis-normatif, tipe penelitian deskriptif,pendekatan kualitatif, dan bahan hukum primer, sekunder, serta tersier. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Dilakukan perbandingan dengan Amerika Serikat yang mana diketahui telah ada pengaturan dan pedoman secara lengkap dalam Chiropractic Medicare Coverage Modernization Act of 2022 dan Mercy Center Guidelines. Kedudukan pemberi layanan terapi chiropractic atauchiropractor berdasarkan hukum kesehatan dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang mana Chiropractic tergolong sebagai pengobatan tradisional. Kedudukan hukum klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan pemberi layanan chiropractic, dapat dikategorikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan komplementer dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional Komplementer. Selain itu diketahui bahwa pertanggungjawaban hukum dari pemberi layanan chiropractic di klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan yaitu secara administrasi, pidana, maupun perdata.

Chiropractic is actually a form of traditional medicine activity which focuses on the diagnosis, treatment and prevention of diseases of the neuromusculoskeletal system and the impact of these diseases on health in general in which there is an emphasis on manual techniques, including adjustments and/or manipulation. joints, with a particular focus on subluxations. The background of this research is to be able to find out about regulations and also how legal protection and legal remedies can be taken by consumers for chiropractic that is detrimental to consumers. This needs to be done considering the development of information related to chiropractic which attracts public interest but is still not clearly known regarding the safety, regulation and supervision of this treatment. Departing from this, several problem formulations emerged, including: (1) Regulations related to traditional medical services in Indonesia, especially chiropractic treatment; (2) Consumer protection and accountability chiropractic practices, as well as possible legal remedies for practices that cause harm to consumers. Researchers The research was conducted by researchers using juridical-normative methods, descriptive research types, qualitative approaches, and primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection tools used were literature studies and interviews. A comparison was made with the United States where it is known that there are complete arrangements and guidelines in the Chiropractic Medicare Coverage Modernization Act of 2022 and the Mercy Center Guidelines. The position of a chiropractic therapy serviceprovider or chiropractor based on health law can be found in Law no. 17 of 2023.The legal status of clinics and health service facilities providingchiropractic services can be categorized as complementary health service facilities in theRegulation of the Minister of Health Number 15 of 2018 concerning the Implementationof Complementary Traditional Medicine. In addition, it is known that the legal responsibilities of chiropractic service providers in clinics and health care facilities are administrative, criminal and civil."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nadya Cesaria
"Permasalahan pelindungan konsumen dapat terjadi dalam bidang bisnis wedding organizer, dimana wedding organizer selaku pelaku usaha dalam melaksanakan jasanya menimbulkan kerugian bagi calon pengantin selaku konsumen. Adapun skripsi ini membahas mengenai kerugian yang dialami oleh konsumen dari jasa wedding organizer karena tidak dipenuhinya prestasi dalam paket perkawinan, sedangkan konsumen telah memenuhi prestasinya. Kasus nyata yang terjadi mengenai hal tersebut adalah kasus antara Yunike dengan Eva Bun Bridal EBB , dimana video hasil perekaman pesta perkawinan Yunike sebagai salah satu prestasi dalam paket perkawinan yang diberikan oleh EBB tidak memiliki rekaman suara pada saat sakral di Gereja. Hal tersebut jelas merugikan Yunike.
Rumusan masalah dari kasus tersebut adalah apakah wedding organizer merupakan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelanggaran hukum apa saja yang dilakukan EBB, dan bagaimana kesesuaian dan ketepatan putusan BPSK DKI Jakarta dalam memutus sengketa antara Yunike dengan EBB.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa wedding organizer merupakan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, EBB melakukan pelanggaran hukum sehingga merugikan Yunike, dan putusan BPSK DKI Jakarta cukup dalam menghukum EBB. Disarankan baik pihak konsumen maupun pelaku usaha lebih memahami hak dan kewajibannya masing-masing agar tidak timbul kerugian dikemudian hari.

Consumer protection issue could happen in wedding organizer's field, where wedding organizer's as the service party causing losses for the future bride and groom as consumer. This essay talks about any losses that experienced by wedding organizer service's consumer, due to non fullfilment of the wedding's package, whereas consumer already fulfill its obligations. Case that occurred was case between Yunike and Eva Bun Bridal EBB . Yunike's wedding video which is one of the EBB's wedding package did not have any voice over recording when the party held at Church. It was very detrimental in Yunike's side as consumer.
The issues are, is wedding organizer corporate as mentioned in the law of consumer protection, what kind of violations are EBB committed, and is decision of BPSK DKI Jakarta conformity with the law.
In this study, the authors use the method of normative research with the data gathered from literature studies. Results showed wedding organizer is a corporate according to law of consumer protection, EBB has committed violation of the law that suffer a financial lose to Yunike, and the decision of BPSK DKI Jakarta has been conformity to the law. Both parties should understand their rights and obligations of each in order to avoid losses in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Pitono
"Berlakunya Undang-undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UUOJK) telah mengubah kelembagaan pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan pada satu lembaga bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu UUOJK telah memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan langkah dan upaya terkait dengan perlindungan konsumen jasa keuangan. Produk dan jasa keuangan dan kegiatan usaha jasa keuangan merupakan bidang/sektor yang sangat pesat mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemasaran produk dan jasa keuangan oleh lembaga jasa keuangan kepada masyarakat sangat beragam dan masif. Disisi lain, pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai sektor jasa keuangan sangat terbatas. Konsumen jasa keuangan terbagi dalam 2 segmentasi yaitu konsumen korporasi dan konsumen individual dengan perbedaan tingkat pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang rendah dan akses informasi yang benar dan transparan mengenai produk dan jasa serta lembaga jasa keuangan relatif terbatas.
Dengan demikian, adalah penting untuk mengkaji bagaimana peranan OJK dalam upaya meningkatkan pemahaman dan pengetahuan konsumen individual mengenai sektor jasa keuangan. Edukasi keuangan kepada konsumen individual merupakan upaya yang sangat penting agar konsumen dapat memilah dan memilih serta menentukan produk dan jasa keuangan apa serta lembaga jasa keuangan mana yang akan digunakan. Segmen konsumen individual sangat rentan terhadap kegiatan usaha jasa keuangan yang menyimpang karena jumlah konsumen individual sangat banyak dan beragam. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan kepanikan pasar keuangan dalam hal terjadi praktek-praktek jasa keuangan yang merugikan konsumen. Potensi kerugian tidak hanya disebabkan karena yang rendah pendidikan dan akses informasi yang benar dan transparan tetapi juga kegagalan lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan dan sengketa konsumen.
Dengan mendasarkan pada teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, penelitian ini menggunakan metode pendekatan diskriptif kualitatif berupa penelitian kepustakaan dengan analisis yuridis normatif.
Hasil penelitian menunjukkan edukasi untuk mencapai literasi keuangan oleh OJK sangat diperlukan dan menjadi langkah terpenting untuk melindungi konsumen jasa keuangan. Edukasi keuangan kepada masyarakat dan konsumen akan meningkatkan keyakinan konsumen terhadap sistem keuangan yang akan berdampak pada meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan dan menjaga stabilitas keuangan. Selain itu juga penanganan pengaduan dan keluhan konsumen secara pasti melalui mekanisme internal dispute resolution (IDR) dan mediasi merupakan upaya yang sangat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan.

Applicability of Act No. 21 of 2011 on the Financial Services Authority (hereinafter referred to UUOJK) has changed the institutional supervision and regulation of the financial services sector from Bank Indonesia and the Ministry of Finance on a body called the Financial Services Authority (FSA). Additionally, UUOJK has given authority to the FSA to undertake measures and efforts related to the protection of consumers of financial services. Financial products and services and business activities of financial services is an area / sector has developed very rapidly in line with the development of science and technology. Marketing of financial products and services by financial services institutions to the community is very diverse and massive. On the other hand, knowledge and understanding of the financial services sector is very limited. Consumer financial services is divided into two segments are corporate customers and individual consumers with different levels of education. This is due to poor education and access to proper and transparent information regarding products and services as well as financial services institutions are relatively limited.
Thus, it is important to examine how the role of FSA in an effort to increase understanding and knowledge of the individual consumer financial services sector. Consumer financial education efforts of the individual is very important so that consumers can pick and choose and determine what financial products and services as well as financial services institution which will be used. Individual consumer segments are particularly vulnerable to the financial services business activities which deviate due to the number of individual consumers are many and varied. This is potentially causing panic in the event of financial market practices that harm consumers of financial services. Potential losses are not only due to low education and access to information that is correct and transparent but also the failure of financial institutions to resolve consumer complaints and disputes.
With a legal system based on the theory of Lawrence M. Friedman, this study used a qualitative descriptive approach library research with normative analysis.
The results showed education to achieve financial literacy by the FSA becomes very necessary and important step to protect consumers of financial services. Financial education to the public and consumers will increase consumer confidence in the financial system that will result in increased community participation in development finance and maintain financial stability. In addition, the handling of complaints and consumer complaints with certainty through the internal dispute resolution mechanisms (CAD) and mediation is an attempt which help increase public trust in financial services institutions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>