Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73809 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angela Nadya Vaniavashti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji simbol alam pada lagu Barami Bureooneun Got (바람이 불어오는 곳, Tempat dari Mana Angin Berhembus) karya Kim Kwang-seok yang dirilis pada tahun 1994. Teori yang digunakan adalah teori semiotika Roland Barthes. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan sumber data primer lirik lagu Barami Bureooneun Got, dan sumber data sekunder berupa penelitian terdahulu terkait penggunaan simbol alam pada karya sastra yang berasal dari negara-negara barat dan Korea Selatan, serta Kamus Bahasa Korea Dasar (Hangugeo Gicho Sajeon, 한국어기초사전) dan Kamus Lengkap Bahasa Korea (Pyojun Gugo Daesajon, 표준국어대사전). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tujuh simbol alam pada lirik lagu tersebut yakni angin, sinar matahari, ombak, langit, garis cakrawala, pohon, dan daun. Ketujuh simbol alam itu menyiratkan harapan akan lingkungan hidup yang subur dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik, serta sifat masyarakat korea yang gigih dalam mencapai harapan tersebut. Secara keseluruhan, simbol-simbol tersebut menjadi representasi dari aspek-aspek kemanusiaan.

This article analyzes nature symbolism in Barami Bureooneun Got (바람이 불어오는 곳, Where the Wind Blows) song lyrics by Kim Kwang-seok that was released in 1994. Roland Barthes’ theory of semiotics was applied to explain the meaning of the nature symbols. This article used descriptive qualitative method. Song lyrics, literature reviews about the usage of nature symbolism in western and South Korean literature, as well as Basic Korean Dictionary (Hangugeo Gicho Sajeon, 한국어기초사전) and Standard Korean Dictionary (Pyojun Gugo Daesajon, 표준국어대사전) were utilized to collect data. Result showed that there are 7 nature symbolism used in the song lyrics: wind, sunshine, waves, sky, horizon, tree, and leaves. Those symbolism were implying the hope Korean people have for a better environment with fertile soil to live in and a better society, as well as their persistence to achieve that hope. Overall, the symbols represent the aspects of humanity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bosch, F.D.K.
New York: Mouton, 1960
709.54 BOS g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Embu Eletherius Henriquez
"Penelitian tentang gaya tulisan media cetak dengan studi kasus pada harian Kompas menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Unit analisisnya adalah tulisan tajuk Kompas yang diambil dari rentang waktu tahun 1991-2001. Disain dalam metode penelitian studi kasus adalah single case multilevel analisis. Ada tiga tahapan analisis: mikro, yaitu pada teks tajuk; messo, yaitu pada struktur internal Kompas; dan anlisa pada level makro, yaitu pada struktur kekuasaan politik dan masyarakat.
Dari hasil studi pada tingkat teks ditemukan bahwa gaya tulisan tajuk Kompas memiliki karakter sebagai gaya yang tidak straight to the point. Dan gaya ini sangat menonjol pada era Orde Baru. Cara Kompas mengkritik lewat tajuknya dikenal sebagai cara yang tidak langsung, memutar. Gaya ini sedikit berubah, artinya tajuk kompas menjadi sedikit lebih lugas, pada era reformasi. Namun karakter aslinya tetap ada.
Gaya tulisan ini merupakan sebuah simbol antara kebebasan agensi, yaitu para pelaku dalam tubuh media cetak Kompas, yang berupaya melalui kebebasannya untuk mewujudkan apa yang menjadi visi dan filosofi yang dianutnya melalui tulisan tajuk dengan opini maupun kritik-kritiknya di satu pihak, dan tekanan struktur di lain pihak. Visi dan filosofi Kompas adalah humanisme dan demokrasi. Ekspresi dari kebebasan melalui tulisan tajuk untuk mewujudkan humanisme dan demokrasi itu harus berhadapan dengan kekuatan struktur yang menekan.
Jadi tulisan tajuk kompas itu berada pada posisi in between. Saling pengaruh antara struktur dan agensi itu dalam istilah Bourdieu dinamakan Habitus. Karena itu, Cara membaca kritik Kompas lewat tajuk-tajuknya, mengandaikan sebuah kemampuan to read between the lines, Ketika Kompas menghimbau secara normatif, itu artinya ada yang tidak beres dengan kenyataan. Sebaliknya, jika tajuk menulis sesuatu yang faktual, itu artinya secara normatif ada pelanggaran. Jadi tulisan itu bergerak antara yang normatif, melalui himbauan atau ajakan, dan yang faktual. Gaya penyampaian seperti ini, dalam teori speech act Jean Austin digambarkan sebagai say something in saying something. Itulah yang disebut sebagai perlocutionary act. Adanya saling interaksi itu, maka tajuk dan seluruh halaman Kompas dapat disebut sebagai public sphere (Habermas), juga dapat dilihat, menurut kacamata Bourdieu, sebagai field, yaitu arena untuk saling bersaing dan mempengaruhi antara agensi dan struktur.
Karena Jakob Oetama adalah tokoh paling berpengaruh di Kompas yang berlatarbelakang budaya Jawa, maka peran budaya dan latarbelakang pendidikan Jakob merupakan faktor lain yang juga ikut memberi warna pada gaya tulisan tajuk Kompas.
Melalui kritik-kritik yang disampaikan dalam tajuk, walaupun dengan gayanya yang halus dan memutar, Kompas sesungguhnya ingin membangun demokrasi dan sekaligus menguak mitos-mitos dan ideologi para penguasa. Persoalannya adalah sejauhmana itu bisa efektif. Bahasanya yang begitu halus dan rumit, membuat Kompas dikesankan sebagai bahasanya kaum elit. Bahkan, dengan cara mengkritik seperti ini jangan-jangan, demikian salah satu kecurigaan yang muncul, Kompas bukannya menguak mitos dan ideologi tetapi malah menciptakan mitos dan ideologi baru."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dillistone, F. W. (Frederick William)
Yogyakarta: Kanisius, 2002
001.51 DIL pt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dumatubun, Agapitus Ezebio
"Kebudayaan Malin anim di Merauke, Papua", lebih ditekankan pada analisa simbol kekuasaan. Unsur karona mempengaruhi timbulnya berbagai aktivitas adat dalam kehidupan orang Malin anim dan menjadikan karona sebagai obyek yang panting. Orang Malin anim berdasarkan aliran pemujaaan Ezam, Zozom, Ima, dan Mayo mendukung karona sebagai simbol kekuasaan yang didukung oleh seperangkat hubungan relasi-relasi kekuasaan yakni: (1) relasi kekuasaan berdasarkan keyakinan (Ezam, Zozom, Ima, Mayo) terpusat pada : (a) keyakinan pada Alawi, Afli, Azz, Anep, Demo, Torem; (b) Animha (manusia sejati); dan (c) Ritus Alngi-Alngi. (2) Berkaitan dengan relasi kekuasaan dalam struktur sosial, terpusat pada: (a) Subordinasi wanita; (b) kekuasaan benahor anem, mitawal boon anem, dan pakas anem, dan (c) Yemesrau Data yang diperlukan, dihimpun melalui suatu penelitian lapangan dengan menggunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara secara mendalam.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini berupa pelukisan mendalam tentang adat kebiasaan, pranata yang mengatur karona sebagai simbol kekuasaan yang berhubungan dengan makna ilahi (Mahi kalau), sakral (Aman), perkasa (Mahi Kasis), kekuasaan (Mahi Kalau), kekuatan (Kasis), penyeinbuh (Mahi Mboa), penyubur (Mahi), dan pembunuh (Mahi Lavay) yang diaplikasikan dalam kehidupan orang Malin anim. Sedangkan analisa penulisan dengan menggunakan pendekatan empirik kualitatif Adapun kesimpulan teoritisnya yaitu bahwa Karona simbol kekunsaan.
The dissertation under the title of: ?THE SYMBOL OF POWER: Karono in Malin Anim Culture in Merauke, Papua", has more emphasis to the symbol of power analysis. The karono element has influenced the arising of various traditional activities in the life of Malin anim people and making karono as an important obyect. The Malin anim people based on the stream of workshipping Ezam, Zozom, Imo, and Mayo have supported karona as the symbol of power as well as supported by a set of interconnected relationships with the power, namely: (1) power relationship based on faith (Ezam, Zozom, Imo, Mayo) which is concentrated in: (a) faith in Alawi, Aili, Azz, Anep, Demo, Totem; (b) Animha (genuine human being); and (c) Alngi-Alngi ritual. Relating to the power relationship in social structure, it is concentrated in: (a) women subordination; (b) the power of benahor anem, mitawal boon anem and palms anem, and (c) yemesrov. The required data is collected through a field research by applying the method of involved observation and in-depth interview.
The result as expected from this research in the form of in-depth description on traditional customs, protocol which regulates karona as the symbol of power as associated with the meaning of divinity (mohi kolau), sacral (amun), might (mahf kosis), power (mahi kalau), strength (kasis), healer (mahi mboa), fertilizer (mahr), and killer (mahi lavay) as applied in the life of Malin anim people. Whereas the analysis on the writing is conducted by applying qualitative empirical approach. As for its theoretical conclusion, namely that of karona as the symbol of power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D897
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"In relation to death, the burial is one of the procession of the human life cycle for every culture. Therefore, the procession of death have a very important role with the special treatment of the deceased. In relation to social life, the various aspects raised is a sign of the procession meant. To understand the various social aspects can be observed presumably conceived through the ymbols on coffin and grave mark."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bosch, F.D.K.
's-Gravenhage: Mouton, 1960
709.54 BOS g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salmony, Alfred, 1890-1958
Ascona: Artibus Asiae, 1954
931 SAL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mullany, Francis
Korea : Global Oriental, 2006
KOR 751.425 36 MUL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eberhard, Wolfram, 1909-1989
London and New York: St Edmundsbury Press, 1996
302.2223 EBE d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>