Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jackson Kamaruddin
"Latar belakang. Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian terbesar kedua di dunia dengan tingkat kematian yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti nilai prediktif dari rasio neutrofil-limfosit (NLR) dan antigen carcinoembryonic (CEA) dalam memprediksi tingkat kelangsungan hidup pasien kanker kolorektal di Indonesia.
Metode. Ini adalah penelitian kohort retrospektif. Populasi penelitian terdiri dari pasien dengan kanker kolorektal tahap I-IV yang diobati di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo. Variabel independen adalah NLR dan CEA, sedangkan variabel dependen adalah kelangsungan hidup lima tahun pasien kanker kolorektal. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 20.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 96 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis menunjukkan bahwa 6,25% subjek memiliki NLR tinggi dan 66,6% memiliki kadar CEA tinggi. Tingkat kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan untuk semua subjek adalah 35,4%. Meskipun tidak signifikan secara statistik, proporsi subjek dengan NLR normal memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki NLR tinggi, dan pola yang sama juga teramati pada kadar CEA. Analisis subkelompok berdasarkan stadium kanker menunjukkan hubungan yang signifikan antara NLR tinggi dan peningkatan risiko kematian pada tahap TNM I-II, namun tidak terdapat perbedaan signifikan dalam kelangsungan hidup berdasarkan NLR pada tahap III-IV.
Kesimpulan. Rasio NLR praoperasi dan CEA praoperasi tidak menunjukkan peran prediktif dalam kelangsungan hidup kanker kolorektal. Namun, ketika dibagi berdasarkan stadium kanker, terdapat perbedaan signifikan dalam kadar NLR praoperasi antara kelompok yang meninggal dan tidak meninggal pada pasien dengan kanker kolorektal stadium I-II.

Background. Colorectal cancer is the second leading cause of death worldwide, with a high mortality rate. This study aims to investigate the predictive value of the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) and carcinoembryonic antigen (CEA) in predicting the survival rates of colorectal cancer patients in Indonesia.
Method. This is a retrospective cohort study. The study population consisted of patients with colorectal cancer stage I-IV treated at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The independent variables are NLR and CEA, while the dependent variable is the five-year survival of colorectal cancer. Data processing and analysis are conducted using SPSS version 20.
Results. This study included 96 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. Analysis revealed that 6.25% of the subjects had high NLR and 66.6% had high CEA levels. The overall five-year survival rate for all subjects was 35.4%. Although not statistically significant, the proportion of subjects with normal NLR had a higher five-year survival rate compared to those with high NLR, and the same pattern was observed for CEA levels. Subgroup analysis based on cancer stage showed a significant association between high NLR and increased risk of mortality in TNM stages I-II, but no significant difference in survival based on NLR was observed in stages III-IV.
Conclusion. The preoperative NLR ratio and preoperative CEA did not show a predictive role in colorectal cancer survival. However, when stratifying by cancer stage, there was a significant difference in preoperative NLR levels between the deceased and non-deceased groups in patients with stage I-II colorectal cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ermi Wahyu Haryani
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit multisistemik yang melibatkan kaskade imunologi, inflamasi, dan koagulasi. Biomarker di sirkulasi yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi inflamasi dan status imun dapat digunakan dalam mendiagnosis dan menilai prognosis pasien COVID-19. Parameter hematologi rutin, mudah dilakukan, biaya terjangkau dan cepat, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi awal sistem imun pasien yang dapat dihubungkan dengan outcome penyakit. Nilai RNL, RML dan RTL dapat mendeteksi dini kecurigaan perburukan kondisi pasien COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain nested case-control yang melibatkan 206 data subjek yang terdiri atas 141 subjek luaran baik dan 65 subjek luaran buruk. Dijumpai perbedaan bermakna nilai RNL, RML dan RTL antara kelompok luaran baik dan buruk. Nilai titik potong optimal RNL, RML dan RTL berturut-turut adalah ≥5,43; ≥0,46 dan ≥196,34 untuk mendiskriminasi luaran buruk. Area Under Curve (AUC) untuk RNL adalah 0,825 (0,766-0,884), sensitivitas 76,9%, spesifisitas 73,8%; AUC RML 0,763 (0,692-0,833), sensitivitas 73,8%, spesifisitas 68,1% dan AUC RTL 0,617 (0,528-0,705), sensitivitas 63,1%, spesifisitas 60,3%. Usia >30 tahun (OR=2,59; IK95% 1,34-5,02), adanya komorbid (OR=2,21; IK95% 1,28-3,81), RNL ≥5,43 (OR=4,60; IK95% 2,07-10,26) dan RML ≥0,46 (OR=2,09; IK95% 0,93-4,67) berhubungan dengan luaran buruk pasien COVID-19.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a multisystemic disease involving immunologic, inflammatory, and coagulation cascades. Biomarkers in circulation which can provide information on inflammatory conditions and immune status can be used in diagnosing and assessing the prognosis of COVID-19 patients. Hematology parameters are routinely performed, easy, affordable and fast, so it can provide preliminary information on the patient's immune system that linked to disease outcomes. NLR, MLR and TLR values can detect early suspicion of worsening conditions of COVID-19 patients. This study used a nested case-control design involving 206 subjects data consisting of 141 subjects with good outcomes and 65 subjects poor outcomes. A significant difference was found in the values of NLR, MLR and TLR between the two groups. The optimal cut-off point values of NLR, MLR and TLR were ≥5.43; ≥0.46 and ≥196.34, respectively, to discriminate against poor outcomes. The Area Under Curve (AUC) for NLR was 0.825 (0.66-0.884), sensitivity 76.9%, specificity 73.8%; MLR was 0.763 (0.692-0.833), sensitivity 73.8%, specificity 68.1% and TLR was 0.617 (0.528-0.705), sensitivity 63.1%, specificity 60.3%. Age >30 years (OR=2.59; 95% CI 1.34-5.02), presence of comorbidities (OR=2.21; 95% CI 1.28-3.81), NLR ≥5.43 (OR=4.60; 95% CI 2.07-10.26) and MLR ≥0.46 (OR=2.09; 95% CI 0.93-4.67) were associated with poor outcomes of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
"Latar Belakang : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit.
Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi.
Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92.3 %, 87.5%, 70.6%, dan 97.2%.
Simpulan : RNL memiliki korelasi positif terhadap derajat steatosis dan fibrosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Introduction : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome.
Objective : To know the diagnostic value of RNL as the indicator of steatosis and fibrosis severity.
Methods : This was a cross-sectional study using secondary data from the medical record, starting from 2016-2018 with the respective inclusion and exclusion criteria. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under The Curve (AUC) were done to know the outcome of the study.
Result: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with aged mean 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had average-severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r = 0.647 (p<0.001) and r = 0.621 (p<0.001) respectively. The use of NLR to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, 97.2% respectively.
Conclusion : NLR has a positive correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Denny Grecius
"ABSTRACT
Rasio neutrofil dan limfosit (NLR) dapat digunakan dalam mengukur progresivisitas kanker payudara seperti perubahan berat badan. Tujuan Maka dari itu, penelitian ini hendak menilai hubungan perubahan status indeks masa tubuh dengan NLR. Metode: Rancangan penelitian ini merupakan potong lintang. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang menjadi normoweight (indeks masa tubuh terakhir < 23,0) dan pasien yang menjadi overweight atau obese (indeks masa tubuh terakhir ≥ 23,0). Setiap sampel akan dihitung NLR pascadiagnosis dan pascaterapi minimal 6 bulan. Hasil: Pasien yang menjadi normoweight memiliki NLR pascadiagnosis median 2,510 (0,853-5,315) dan NLR pascaterapi median 2,652 (0,666-10,844). Pasien yang menjadi overweight atau obese memiliki NLR pascadiagnosis median 2,444 (0,318-21,000) dan NLR pascaterapi median 2,466 (0,632-22,750). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara perubahan indeks masa tubuh dengan NLR pascadiagnosis dan NLR pascaterapi. Tidak adanya hubungan mungkin disebabkan adanya keberagaman karakteristik sampel yang didapat.

ABSTRACT
Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) can be used to measure progressivity of breast cancer. One of the factor that also affect progression of breast cancer is body weight change. Therefore, this study wants to evaluate correlation between Body Mass Index (BMI) status change and NLR. Methods: Sample are divided into two groups, patients who became normoweight (latest BMI < 23,0) and patients who became overweight or obese (latest BMI ≥ 23,0). NLR value in postdiagnosis and post-treatment (minimum 6 months) are being evaluated in each sample. Results: Patients who became normoweight has postdiagnosis NLR median 2,510 (0,853-5,315) and post-treatment NLR median 2,652 (0,666-10,844); while in the patients who became overweight or obese has postdiagnosis NLR median 2,444 (0,318-21,000) and post-treatment NLR median 2,466 (0,632-22,750). Interpretation & conclusion: This study shows neither postdiagnosis NLR nor post-treatment NLR has correlation with BMI status change. This result may due to various sample characteristics."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Ely Sakti Panangian
"Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nila diagnostic kadar CEA serum sebagai indikator terjadinya metastasis hepar dari kanker kolorektal (KKR) pada usia dewasa muda Metode. Studi potong lintang dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa catatan pasien dalam rekam medis. Pasien berusia <50 tahun yang terdiagnosis kanker kolorektal primer secara histopatologis di Cipto Mangunkusumo Hospital direkrut dalam penelitian ini. Kami mengeksklusi pasien dengan riwayat keganasan lain, telah menjalani tatalaksana operatif untuk kanker kolorektal, dan memiliki komorbiditas penyakit hati. Luaran akhir dari penelitian ini adalah cut off nilai CEA yang didapat dengan kurva ROC, sensitivitas, dan spesifisitas nilai CEA dalam memprediksi metastasis hepar KKR. Hasil. Kami merekrut 181 pasien dengan proporsi 43.6% perempuan. 59 pasien (32.6%) diketahui memiliki metastasis hepar pada saat intraoperatif. Kadar CEA pasien metastasis ditemukan sebesar 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien non-metastasis 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). Nilai AUC tercatat sebesar 0,904, dan cut off optimal didapat pada kadar CEA ≥38,765 ng/mL (Indeks Youden = 1,718). Peneliti mencatat sensitivitas dan spesifisitas niali CEA serum ≥38,765 ng/mL, secara berturut-turut, sebesar 91,53% (IK 95%, 81,32%–97,19%) dan 80,3% (72,16%–86,97%). Rasio odds pasien kanker kolorektal usia muda untuk mengalami metastasis hepar adalah sebesar 44,10 (IK 95%, 15,92–122,20) bila nilai CEA serum pasien sebesar ≥38,765 ng/mL. Simpulan. Kadar CEA ≥38,765 ng/mL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, sehingga cukup efektif untuk digunakan sebagai prediktor metastasis hepar pada penderita KKR.

Introduction. This study aims to determine the diagnostic value of serum CEA levels as the liver metastases predictor of colorectal cancer (CRC) in young adults.. Method. A cross-sectional study was conducted using secondary data (patient medical records) from 2015–2021. Patients aged <50 years who were diagnosed histopathologically with primary colorectal cancer at Cipto Mangunkusumo General Hospital were recruited in this study. We excluded patients with a history of other malignancies, who had undergone operative management for colorectal cancer, and preexisting liver disease. The outcome of this study is the cut-off of the CEA value obtained by the ROC curve, the sensitivity and specificity of the CEA value in predicting CR liver metastases. Results. We recruited 181 patients with a proportion of 43.6% women. Fifty-nine patients (32.6%) had liver metastases. The CEA level of metastatic patients was 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL; this was much higher than the non-metastatic group, which was recorded at 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). The AUC value was recorded at 0.904, and the optimal cut-off was obtained at CEA levels 38.765 ng/mL (Youden's Index = 1.718). We noted the sensitivity and specificity of serum CEA values 38.765 ng/mL, respectively, of 91.53% (91.5 CI, 81.32%–97.19%) and 80.3% (72.16%– 86.97%). The odds ratio of young colorectal cancer patients to have liver metastases was 44.10 (95% CI, 15.92–122.20) if the patient's serum CEA value was 38.765 ng/mL. Conclusion. CEA level ≥38,765 ng/mL has good sensitivity and specificity in predicting liver metastases among young adults with CRC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawati Ganggaiswari
"Latar belakang : Beberapa data dari luar negri menunjukkan kanker kolorektal predominan terjadi pada populasi usia yang lebih tua (lebih dari 60 tahun). Kanker kolorektal yang terjadi pada usia lebih muda (kurang dari 40 tahun) hanya berkisar antara 3-6%. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa kanker kolorektal pada pasien usia muda cenderung memiliki gambaran perilaku tumor yang agresif dengan prognosis buruk. Pada beberapa penelitian, progresivitas dan prognosis yang buruk pada kanker kolorektal, dikaitkan dengan peristiwa angiogenesis. VEGF merupakan salah satu sitokin poten yang terlibat dalam proses angiogenesis seh.ingga tingginya kadar ekspresi VEGF berhubungan dengan progresivitas penyakit yang 1ebih tinggi dan prognosis yang burnk. Cancer-associated stroma mengalami perubahan-perubahan dinamis yang menyerupai reaksi penyembuhan luka, disebut sebagai reaksi desmoplastik. Reaksi ini didukung terutama oleh aktivasi "myofibroblas;'. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa myofibroblas mempuuyai peran untuk roemfasilitasi tumorigenesis dan progresi beberapa karsinoma, dan dikenal sebagai suatu petanda penting yang potensial untuk diagnosis, pengobatan dan prognosis kanker.
Hasil : Pada penelitian ini terlihat ekspreSi VEGFA tidak berbeda, namun terdapat perbedaan yang bennakna pada reaksi desmoplastik usia muda dibanndingkan pada usia tua. Nampak pula hubungan yang sejaJan antara ekspresi VEGF-A positif kuat dengan reaksi desmoplastik yang keras pada kanker kolorektal usia muda. Hal ini menyokong hepotesa kedua dan ketiga dari penelitian ini.
Kesimpulan : Progresivitas penyakit yang lebih tinggi dan prognosis yang buruk pada pasien kanker kolorektal usia muda kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain VEGF, yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32365
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Margaretha L. T
"Pada awalnya imunologi dianggap tidak memiliki peran dalam penyakit kanker, namun
berbagai penelitian saat ini telah membuktikan bahwa sel imun tubuh dapat menghambat
perkembangan sel kanker. Sel imun yang diketahui berperan dalam mematikan sel tumor
adalah sel limfosit T sitotoksik CD4+ dan CD8+.
Reseptor PD-1 atau programmed death 1 ligand (CD279) sebagai molekul yang bersifat
mensupresi proses imunologi dihasilkan pada membran plasma sel T dan jika berikatan
dengan PD-L1 akan menekan respon imun, ekspresi berlebihan dari PD-L1 akan
menekan respons dari sel imun terutama sel limfosit T.
Saat ini rasio neutrofil-limfosit (NLR) darah dikenal sebagai salah satu petanda untuk
prognosis maupun prediktor dalam terapi kanker. Peningkatan jumlah neutrofil di darah
perifer merupakan petanda dari inflamasi kronik yang menunjukkan gangguan dari
imunitas seluler, sedangkan jumlah limfosit darah menunjukkan respons dari sel T
sitotoksik yang baik.
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara NLR pra radiasi
dengan PD-L1 ELISA pasca radiasi (p=0.010) sehingga NLR pra radiasi dapat digunakan
sebagai prediktor untuk PD-L1 ELISA pasca radiasi. Tidak ditemukan hubungan
signifikan antara PD-L1 intratumoral ELISA dengan sebukan limfosit stromal tumor,
namun terdapat kecenderungan hubungan negatif antara PD-L1 intratumoral ELISA
dengan sebukan limfosit stromal tumor pasca radiasi.

Decades ago immunology was not considered to have role in cancer, but various studies
have now proven that immune cells can inhibit the development of cancer cells. Immune
cells that are known to play a role in killing tumor cells are CD4 + and CD8 + cytotoxic
T cells.
PD-1 receptor or programmed death 1 ligand (CD279) as a molecule that suppresses the
immunological process produced on the T cell plasma membrane and it binds to PD-L1
will suppress the immune response, thus excessive expression of PD-L1 will suppress
the response of immune cells especially T cell lymphocytes
Recently the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is known as one of the markers for the
prognosis and predictor of cancer therapy. An increase in the number of neutrophils in
peripheral blood is a sign of chronic inflammation which shows a disruption of cellular
immunity, whereas the number of blood lymphocytes shows a response from normal
cytotoxic T cells.
This study showed that there was a significant correlation between pre-EBRT NLR and
post EBRT PD-L1 ELISA (p = 0.010) so that pre-EBRT NLR could be used as a predictor
for post EBRT PD-L1 ELISA. No significant relationship was found between
intratumoral PD-L1 ELISA with a tumor stromal lymphocyte, but there was a trend of
negative relationship between intratumoral PD-L1 ELISA with a post-radiation tumor
stromal lymphocyte"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhri Ramadhan
"Sel kanker adalah sel yang berproliferasi secara progresif, dan salah satu dasar pengendaliannya hingga saat ini yaitu dengan menghambat kemampuan proliferasinya melalui intervensi sintesis nukleotida purin/pirimidin menggunakan analog purin/pirimidin. Avidin, suatu protein yang ditemukan pada putih telur, diketahui dapat mengikat biotin dengan sangat kuat, yang merupakan koenzim pada reaksi karboksilasi, suatu tahapan penting di biosintesis de novo nukleotida purin. Studi sebelumnya membuktikan bahwa viabilitas dan proliferasi sel mononuklear darah tepi (SMDT) dapat dihambat dengan penambahan avidin yang diakibatkan gangguan ketersediaan biotin. Studi ini bertujuan melihat efek pemberian avidin terhadap sel kanker kolorektal HT-29 dilihat dari viabilitas, proliferasi, ekspresi gen dan protein cyclin D1, serta siklus sel. Penelitian dilakukan dengan mengultur sel kanker kolorektal HT-29 dengan avidin, lalu dianalisis viabilitas, proliferasi, ekspresi gen dan protein cyclin D1, serta siklus selnya pada 24, 48, dan 72 jam. Didapatkan hasil bahwa avidin menghambat viabilitas dan proliferasi sel HT-29, serta menurunkan ekspresi gen dan protein cyclin D1 pada sel HT-29, namun tidak memengaruhi transisi fase G0/G1 ke fase S siklus sel HT-29.

Cancer cells are progressively proliferating cell, and up to now, one way to control its proliferation is by intervening the formation of purine/pyrimidine nucleotide using its purine/pyrimidine analog. Avidin, a protein from white egg, known to bind biotin strongly, whereas biotin is an important coenzyme in carboxylation reaction, a key step in purine nucleotide de novo pathway. Previous study showed that viability of peripheral blood mononuclear cells (PBMC) was reduced and its proliferation was inhibited caused by lack of biotin due to avidin administration. This study aims to observe the effect of avidin administration to HT-29 cells viability, proliferation, cyclin D1gene and protein expression, also the cell cycle. The experiment done by culturing HT-29 cells, then its viability, proliferation, cyclin D1 gene and protein expression, also the cell cycle analyzed at 24, 48, and 72 hours. The result showed that avidin halted HT-29 cells viability and proliferation, also lower its cyclin D1 gene and protein expression, but did not affect the transition between G0/G1 phase to S phase on HT-29 cell cycle"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisi Wilanda Syamsi
"

Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tertinggi kedua akibat kanker setelah kanker paru-paru. Pada tahun 2018 terdapat 1,8 juta kasus baru kanker kolorektal dan 892.000 mortalitas secara global. Sebagian besar kasus kanker kolorektal baru terdeteksi pada stadium lanjut. Hal ini dikarenakan mayoritas pasien tidak merasakan gejala yang serius pada fase awal (asimtomatik). Dari total kasus, sekitar 25% pasien kanker kolorektal diketahui telah mengalami metastasis pada diagnosis awal dan 60% lainnya setelah menjalani terapi, sehingga memerlukan pengobatan yang lebih serius dan spesifik. Salah satu jalur metastasis kanker kolorektal adalah melalui aliran darah. Proses pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis dipicu oleh Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Interaksi antara VEGF-A dengan protein reseptor VEGFR-2 kinase menginisiasi proses angiogenesis yang dapat mempercepat penyebaran sel kanker. Beberapa senyawa telah berhasil dikembangkan untuk menghambat protein VEGFR-2 kinase, namun sebagian besar bersifat multi target dan menghasilkan berbagai efek samping. Pada penelitian ini, dilakukan studi in silico untuk menemukan inhibitor VEGFR-2 kinase terbarukan dengan selektivitas dan afinitas yang tinggi melalui perancangan obat berbasis fragmen. Simulasi penambatan molekul dilakukan berdasarkan struktur 3D VEGFR-2 kinase yang diperoleh dari Protein Data Bank (PDB ID: 1Y6A). Fitur farmakofor dirancang berdasarkan ligan standar Pazopanib dan 2-anilino-5-aryl-oxazole yang diambil dari basis data ChemSpider. Sebanyak 22.727 senyawa diambil dari pangkalan data PubChem dan dipilih 4 fragmen yang paling potensial untuk dilakukan penumbuhan fragmen. Selanjutnya, dari hasil penumbuhan fragmen dan simulasi penambatan molekul diperoleh 10 senyawa baru yang dinilai paling berpotensi menghambat protein VEGFR-2 kinase. Uji farmakologi dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia dan toksisitas dari senyawa baru dengan menggunakan perangkat OSIRIS Data Warrior, SwissADME, pkCSM dan Toxtree. Berdasarkan interaksi molekular dan uji farmakologi diperoleh dua senyawa baru sebagai kandidat inhibitor VEGFR-2 kinase terbaik yaitu ligan 1070 dan ligan 1143.

 


Colorectal cancer is the second leading cause of cancer death after lung cancer. As of 2018, there are an estimated 1,8 new diagnoses and 892.000 mortalities worldwide. Most of colorectal cancer cases were identified at an advance stage. Approximately 25% of patients with colorectal cancer have developed metastases in early diagnoses and another 60% after undergoing therapy that requires more serious and specific treatment. Metastasis was caused by angiogenesis which mediated by Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Interaction between VEGF-A and receptor protein VEGFR-2 initiated the formation of new blood vessels that can accelerate the spread of cancer cells. Several compounds have been successfully developed to inhibit VEGFR-2 kinase, however most of them are multi target and result many side effects. In this research, in silico study was conducted to discover novel VEGFR-2 kinase inhibitor with high selectivity and affinity through fragment-based drug design. Molecular docking simulation was conducted based on 3D structure of VEGFR-2 kinase obtained from Protein Data Bank (PDB ID: 1Y6A). The standard ligands used in this research are pazopanib and 2-anilino-5-aryl-oxazole that acquired from ChemSpider databases. About 22.727 compounds were taken from PubChem database and 4 potential fragments were selected for fragment growing. From the result of fragment growing and molecular docking simulation, 10 new compounds that potential to inhibit VEGFR-2 kinase were obtained. Then pharmacological and toxicity tests are performed using OSIRIS Data Warrior, SwissADME, pkCSM and Toxtree. According to the molecular interaction and pharmacological tests, two new compounds are selected as the best candidate of VEGFR-2 kinase inhibitor that is ligand 1070 and ligand 1143.

 

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Maulina Ekawati
"ABSTRAK
Kanker kolorektal tetap menjadi ancaman kesehatan dunia dengan menyumbang sekitar 1-2 juta kasus baru dan 600.000 kasus kematian per tahun. Jalur pensinyalan Hedgehog Hh memiliki peran penting dalam mekanisme dan pembentukan kanker kolorektal. Protein Sonic Hedgehog Shh adalah protein Hh yang paling banyak dipelajari karena diekspresikan oleh beberapa jaringan dan secara umum dapat diaplikasikan pada homolog Hh lainnya. Dalam penelitian ini, sebanyak 56.336 senyawa terpenoid diseleksi melalui berbagai metode komputasi menggunakan metode virtual screening berbasis farmakofor, simulasi molecular docking, dan simulasi molecular dynamic untuk menentukan potensi inhibisi terhadap protein Shh. Dari hasil simulasi molecular docking, sepuluh ligan telah dipilih berdasarkan energi ikat bebas Gibbs Gbinding dan interaksi molekuler yang terbentuk selama pembentukan kompleks terpenoid-Shh. Tiga senyawa terpenoid, yaitu arganine J, asiaticoside A, dan clinoposide A, menunjukkan afinitas pengikatan yang sangat tinggi terhadap protein Shh karena senyawa tersebut memiliki ?Gbinding yang lebih rendah dari ligan standar robotnikinin. Selain itu, hasil ADME-Tox, bioaktivitas, bioavailabilitas, dan hasil uji farmakologi yang diperoleh pada senyawa ini memiliki aktivitas biologis dan farmakologi yang lebih baik daripada senyawa terpenoid lainnya. Kemudian, setelah dilakukan simulasi molecular dynamic, diketahui bahwa senyawa terbaik Clinoposide A bersifat stabil terhadap perubahan pelarut, temperatur, dan interaksi protein-ligan.

ABSTRACT
Colorectal cancer remains as the global health burden, which accounts for roughly 1 2 million new cases and 600,000 deaths per year. Hedgehog Hh signaling pathway has an imperative role in the mechanism and formation of colorectal cancer. Sonic hedgehog Shh protein is the most studied Hh protein because it is expressed by several tissues and experiments with Shh protein are generally applicable to other Hh homologs. In the present study, about 56,336 terpenoid compounds were screened through various computational methods using pharmacophore based virtual screening and molecular docking simulation to determine their inhibitory potency against Shh protein. From molecular docking simulation results, about ten ligands have been selected according to their Gibbs free binding energies Gbinding and the molecular interactions that formed during the formation of the terpenoid compound Shh complex. Three terpenoid compounds, namely arganine J, asiaticoside A, and clinoposide A, shown a very high binding affinity toward Shh protein due to their lower Gbinding than robotnikinin, the standard ligand. Moreover, ADME Tox, bioactivity, bioavailability, and pharmacology test results revealed that these compounds have better biological and pharmacological activity than the other terpenoid compounds. After a molecular dynamic simulation, it is known that the best compound Clinoposide A is stable against changes in solvent, temperature, and protein ligand interaction."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>