Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95662 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azalea Eka Imannia Intan Utomo
"Melihat semakin terbukanya pengetahuan masyarakat tentang LGBT, saat ini tidak hanya lesbian dan gay yang dikenal, tetapi juga biseksual. Oleh karena itu, Coming out sebagai biseksual juga dilakukan para dewasa muda untuk kebutuhan identifikasi. Coming out juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu biseksual. Maka penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran psychological well-being dewasa muda biseksual yang telah coming out. Psychological well-being diukur dengan menggunakan Skala Psychological Well-Being (Ryff & Singer, 2008) yang telah diadaptasi dan berjumlah 42 item. Kemudian untuk melihat orientasi seksual individu yang digunakan Skala Orientasi Seksual (Kanagaraj & Gopal, 2020) yang sudah diadaptasi dan berjumlah 32 item. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif. Berdasarkan analisa kepada 33 partisipan biseksual yang sudah coming out (usia 18-25 tahun, 60,6 % perempuan), hasil penelitian menunjukkan bahwa psychological well-being mayoritas partisipan berada pada tingkat sedang. Secara spesifik, hasil tersebut diperoleh pada hampir semua dimensi dari psychological well-being kecuali environmental mastery yang menunjukkan skor well-being yang tinggi dengan jumlah yang lebih banyak.

Seeing the public's increasing exposure to knowledge about LGBT, currently not only lesbians and gays are known, but also bisexuals. Therefore Coming out as bisexual was also carried out especially as a young adult as a need for identification. Coming out can also affect the psychological well-being of bisexual individuals. So this research was conducted to see how the psychological well-being of bisexual young adults who have come out is described. Psychological well-being is measured using the Psychological Well-Being Scale (Ryff & Singer, 2008) which has 42 items and has been adapted to Bahasa. Meanwhile to see the individual's actual sexual orientation, this research uses Sexual Orientation Scale (Kanagaraj & Gopal, 2020) which has 32 items that also has been adapted to Bahasa. This research was conducted using a descriptive quantitative approach. Through 33 bisexual participants who were already coming out (age 18-25 years, 60.6% female), the results showed that the psychological well-being of the majority of the participants was at a moderate level. Specifically, these results were obtained for almost all dimensions of psychological well-being except for environmental mastery which showed higher results."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Fransisca
"Penilaian dan penolakan dari masyarakat, menyebabkan kaum homoseksual sulit untuk menyatakan pada publik tentang orientasi seksualnya (coming-out). Hal yang terpenting dalam masa dewasa muda selain tugas perkembangan adalah kebutuhan akan intimacy. Untuk memenuhi tugas perkembangan tersebut, individu biasanya akan menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika kebutuhan intimacy dewasa muda tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat gambaran psychological well-being pada pria gay yang telah coming-out. Untuk mendapatkan gambaran kesejahteraan psikologis, peneliti menggunakan konsep psychological well-being dari Ryff. Dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara coming-out, intimacy dan kesejahteraan psikologis individu. Jika dalam proses coming-out individu mendapatkan dukungan sosial maka kaum homoseksual dewasa muda dapat memenuhi kebutuhan intimacy dengan baik, dan itu akan membuat kaum homoseksual mempunyai kualitas kesejahteraan psikologis yang baik. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi hambatan dalam proses coming-out yang menyebabkan individu sulit memenuhi intimacy-nya, hal itu akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis yang dimiliki.

Evaluation and denial from society causing homosexual have difficulty to declare to the public about their sexual orientation (coming-out). Most important thing in adult period other than growing up is necessity to for intimacy. To fulfill such growing task, individual usually create relationship with their opposite sex to select their spouse. If the adult intimacy necessity is not fulfilled, a person shall undergo loneliness, anxiety, and unconfident. This shows relationship between intimacy and psychological well-being.
In this research, researcher wishes to see image of psychological well-being at gay who has coming-out. To obtain image of psychological well-being, researcher using concept of psychological well-being from Ryff. In this research known that there is relationship between coming-out, intimacy and psychological well-being. If in the process of comingout a person receives social support, therefore young homosexual may fulfill intimacy with well, and it makes homosexual having good psychological well-being. On the contrary, if there is obstacle in coming-out process making a person difficult to fulfill their intimacy, it shall affect to their psychological well-being they had.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
155.5 MAY g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pandam Kuntaswari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya. Pengukuran perfeksionisme menggunakan alat ukur Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 63 seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionisme dan psychological well-being (r = -0.584; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi perfeksionisme yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah psychological well-being yang ia miliki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dimensi perfeksionisme yang memberikan sumbangan paling banyak terhadap psychological well-being adalah socially prescribed perfectionism. Berdasarkan hasil tersebut, perlu dilakukan intervensi lebih dini terhadap perfeksionisme, terutama pada socially prescribed perfectionism.

This research was conducted to find the correlation between perfectionism and psychological well-being in artists in their young and middle adulthood. Perfectionism was measured by using Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989), and psychological well-being was measured by using Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). The participants of this research were 63 artists currently in their young and middle adulthood.
The main result of this research showed that perfectionism is negatively significant correlated with PWB (r = -0.584; p = 0.000, significant in L.o.S 0.01). This meant that the higher the level of one's perfectionism, the lower the level of PWB in oneself. Other result of this research was that the dimension of perfectionism that contributed the most to PWB was socially prescribed perfectionism. Based on such results, there needs to be an early intervention about perfectionism, especially about the socially prescribed perfectionism.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Septiani
"Penelitian ini membahas mengenai gambaran psychological well-being pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan keadaan populasi tertentu dengan menganalisis data yang diolah menggunakan perhitungan statistik. Responden dalam penelitian ini adalah 112 orang remaja berusia 11 sampai 21 tahun yang tinggal di panti asuhan. Pengukuran psychological well-being dilakukan menggunakan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being yang berjumlah 18 item.
Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata psychological well-being seluruh responden sebesar 80,79 (SD=8,604). Dimensi psychologicial well-being yang menonjol adalah dimensi personal growth, sedangkan dimensi dengan skor paling rendah merupakan dimensi positive relations with others. Selanjutnya berdasarkan analisis tambahan ditemukan perbedaan yang signifikan antara skor psychological well-being remaja yang tinggal di panti asuhan dengan sistem asrama dan sistem cottage.

This research aims to depict psychological well-being in adolescents who live in orphanage. This is a descriptive research with a quantitative approach. Respondents of this research are 112 adolescents aged 11 to 21 years old who live in orphanage. The instrument that is used to measure psychological well-being is Ryff’s Scales of Psychological Well-Being which consists of 18 items.
The result shows that the mean score of psychological well-being is 80,79 (SD=8,604). The most prominent dimension is personal growth, while the dimension with the lowest score is positive relations with others. Furthermore, this research found a significant difference between respondents who live in orphanage with boarding system and cottage system.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Irene Natalia
"Penelitian ini bertujuan untuk mempcroleh gambaran kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dari wanita Iajang yang berkarir. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Karakteristik subjck dalam penelitian ini adalah wanita berstatus lajang, berkarir yang herusia 28-40 tahun. Basil penyelidikan menunjukkan bahwa wanita lajang yang berkarir memiliki kesejahteraan psikologis yang tcrgolong cukup baik. Aninya, wzmita lajang dalam pcnclitian ini dapat mcnerima kekuatan dan kelemahan did apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengcmbangkan potensi cliri secara berkclanjulan, mampu untuk mcngarahkan tingkah laku scndiri, mampu mengalur Iingkungan, dan mcmiliki tujuan dalam hidup. Adapun dimensi pertumbuhan diri (personal growth) menunjukkan hasil yang paling tinge
The objective of this research is to capture a description of psychological well-being among single career women. The method applied in this research is quantitative. Characteristic of subject in this research is single women, with age ranging iiom 28 to 40 years old. Research result indicates that single career women have psychological well being that can be categorized as good). It can be interpreted that single women in this research accept both their strength and weakness as they are, maintain positive relationship with other individuals, capable of continuously developing their potential, of directing her own attitude/behavior, of putting order into their environment and have a sense of direction and purpose in life. Among others, 'personal growth' dimension yields the highest score."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasya A.M.
"Berbagai macam alasan bisa menjadi motivasi seseorang untuk melakukan body modifications berupa tattoo dan body-piercing. Body modifications sendiri merupakan tindakan permanen maupun semi permanen yang menghasilkan perubahan fisik pada tubuh seseorang dan membutuhkan prosedur dalam pelaksanaannya (Featherstone, 1999 dalam Wohlrab, Stahl, dan Kappeler, 2006). Terdapat beberapa penelitian di Amerika dan Eropa yang menyatakan bahwa individu yang melakukan body modifications (tattoo dan/atau body-piercing) memiliki kecenderungan perilaku yang negatif dan aspek psikologis yang negatif pula.
Ada satu penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada penyimpangan perilaku pada individu yang melakukan body modifications. Namun belum ditemukan penelitian yang memfokuskan pada kesejahteraan psikologis individu, khususnya dewasa muda, yang melakukan body modifications di Indonesia. Untuk itu, penelitian ini ingin melihat apakah terdapat perbedaan psychological wellbeing pada dewasa yang melakukan dan tidak melakukan body modifications (tattoo dan/atau body-piercing).
Penelitian ini mengacu pada teori psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff (1989) yang terdiri dari enam (6) dimensi, yaitu otonomi, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Sampel dari penelitian ini adalah dua ratus sembilan (209) orang yang berusia 20 - 40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological wellbeing pada dewasa muda yang melakukan dan tidak melakukan body modifications.

There are so many reasons that motivate people to have their body modified with tattoo and body-piercing. Body modifications itself is defined as the (semi-) permanent, delibrate alteration of the human body and embraces procedures such as tattooing and body-piercing (Featherstone, 1999 in Wohlrab, Stahl, and Kappeler, 2006). The result of some researches in United State of America and Europe show that participants who got their body modified with tattoo and/or body-piercing tend to have negative behavior and psychologically ill.
There is one research that shows there is no behavior disorder on participant with body modifications. But still, there is no research in Indonesia that specifies and focuses on the psychological well-being of people, especially young adults, who got their body modified. Therefore, this research is conducted to see the differences of psychological well-being between young adults with and without body modifications (tattoo and/or body-piercing).
This research is based on Ryff's theory of psychological well-being (1989), which consists of six (6) dimentions: autonomy, environmental mastery, personal growth, positive relations with others, purpose in life and self-acceptance. The sample of this research are 209 participants, aged 20 - 40. The result of this research is that no difference of psychological well-being between young adults with and without body modifications.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardine Genoveva Saulina
"Tantangan penyesuaian peran ganda yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 memberikan dampak buruk pada psychological well-being ibu yang bekerja, khususnya pada ibu yang bekerja dengan anak kelas 1-3 sekolah dasar karena adanya tantangan perkembangan serta perubahan sistem pembelajaran akibat pandemi COVID-19. Mindful parenting merupakan gaya pengasuhan yang dapat diterapkan untuk menghindari penurunan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat kontribusi mindful parenting terhadap psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD. Mindful parenting dan psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD (N=310) diukur menggunakan Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale dan Ryff’s Scale of Psychological Well-being. Hasil analisis statistik regresi linear sederhana menunjukkan bahwa mindful parenting memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap psychological well-being.

The challenge of adjusting to multiple roles caused by the COVID-19 pandemic has a negative impact on the psychological well-being of working mothers. Especially for mothers who work with children in grades 1-3 of elementary school due to developmental challenges and changes in the learning system due to the COVID-19 pandemic. Mindful parenting is a parenting style that can be applied to avoid a decrease in psychological well-being. This correlational study aims to examine the contribution of mindful parenting to psychological well-being in working mothers with children who are in grades 1 to 3 of elementary school. Mindful parenting and psychological well-being of working mothers with children in grades 1 to 3 of elementary school (N=310) were measured using the Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale and Ryff's Scale of Psychological Well-being. The results of simple linear regression statistical analysis showed that mindful parenting had a positive and significant contribution to psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Larissa Dewi
"

Social comparison dalam bidang akademik mengacu pada kecenderungan individu untuk membandingkan kinerja akademik, kemampuan, atau prestasi mereka dengan rekan-rekannya dalam lingkungan akademik. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa social comparison dikaitkan dengan dampak negatif yang memengaruhi psychological well-being. Namun, temuan lain menunjukkan bahwa social comparison juga dapat menjadi faktor protektif. Memahami faktor protektif dan faktor risiko yang memengaruhi psychological well-being menjadi penting untuk mendukung kesejahteraan psikologis mahasiswa. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat peran social comparison dalam konteks akademik terhadap psychological well-being serta mengidentifikasi dimensi apakah yang paling berperan terhadap psychological well-being mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Penelitian ini melibatkan 152 partisipan mahasiswa dengan rentang usia 20-25 tahun, dari universitas negeri maupun swasta di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) dan Academic Social Comparison Scale (ASCS). Hasil menunjukkan social comparison berkontribusi sebesar 16,1% terhadap psychological well-being mahasiswa. Dimensi yang paling berperan terhadap psychological well-being mahasiswa adalah dimensi downward comparison dan upward comparison. Penelitian ini memberikan masukan kepada penelitian selanjutnya untuk lebih mendalami faktor-faktor lainnya yang memengaruhi psychological well-being pada tingkat pendidikan tinggi.

 

Social comparison in the academic setting to the tendency of individuals to compare their academic performance, abilities, or achievements with those of their peers within an academic setting. Previous research has shown that social comparison is associated with negative impacts on psychological well-being. However, other findings suggest that social comparison can also serve as a protective factor. Understanding the protective and risk factors influencing psychological well-being is crucial to supporting the psychological welfare of students. Therefore, the aim of this study is to examine the role of social comparison in the academic context on psychological well-being and to identify which dimensions most significantly affect the psychological well-being of students working on their theses. This study is quantitative research with a correlational design. It involves 152 student participants, aged between 20 and 25 years, from both public and private universities in Indonesia. The measurement tools used are the Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) and the Academic Social Comparison Scale (ASCS). The results indicate that social comparison contributes 16.1% to the psychological well-being of students. The dimensions that play the most significant role in students' psychological well-being are downward comparison and upward comparison. This study suggests that future research should further explore other factors that influence psychological well-being in higher education settings

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Ramdhanu
"Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program Sarjana Strata Satu dan Diploma Tiga Universitas Indonesia sebanyak 66 orang. Penggunaan Internet diukur dengan alat ukur Internet Attitude Scale yang dibuat oleh Eric B. Weiser pada tahun 2001.
Psychological well-being diukur dengan PWB Scale yang dikembangkan oleh Carol D. Ryff pada tahun 1995, dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh kelompok payung penelitian psychological well-being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 (Larasati, 2012). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi Pearson Product Moment, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.362 dengan nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.01). Ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada Mahasiswa Universitas Indonesia.

The objective of this study was to see the correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia students. Participants of this research were 66 students among undergraduate and vocational program of Universitas Indonesia. Internet use was measured using Internet Attitude Scale, constructed by Eric B. Weiser in 2001.
Psychological well-being was measured using PWB Scale constructed by Carol D. Ryff in 1995, and had been adapted by psychological well-being research group of Fakultas Psikologi Universitas Indonesia in 2011 (Larasati, 2012). The coefficient of Pearson Product Moment reported was 0.362, with 0.003 significance value (p<0.01). Those numbers indicated that there was significant correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia Students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>