Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112508 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Kusumawardhani
"Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA.

TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rachmawati
"

ABSTRAK

 

Nama                   : Yenny Rachmawati

Program studi      : Dermatologi dan Venereologi

Judul                    : Perbandingan Efektivitas serta Keamanan antara Krim Pelembap Niasinamid 4% dan Virgin Coconut Oil 30% untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Perawat Intensive Care Unit : Uji Klinis Acak Tersamar Ganda

 

Latar belakang:  Dermatitis tangan akibat kerja (DTAK) sering terjadi pada perawat Intensive Care Unit (ICU) terutama pada individu yang rentan akibat pajanan iritan berupa hand rub alcohol dan aktivitas cuci tangan berulang. Penggunaan pelembap adalah salah satu rekomendasi untuk perawatan kulit pada DTAK. Niasinamid memiliki efek antiinflamasi dan dapat memperbaiki fungsi sawar kulit. Vigin coconut oil (VCO) kaya akan kandungan lipid dan asam laurat, serta memiliki efek oklusif. Sampai saat ini belum ada panduan dan referensi jenis pelembap untuk pencegahan sekunder pada DTAK.

 

Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas serta keamanan antara krim pelembap niasinamid 4% dan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU.

 

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap perawat ICU dengan DTAK pada bulan September hingga Oktober 2019. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian, mendapat niasinamid 4% atau VCO 30% sesuai dengan randomisasi blok. Pengolesan pelembap dilakukan dua kali sehari selama 28 hari. Perbaikan klinis dinilai dengan parameter skor Hand Eczema Scoring Index (HECSI) dan penilaian sawar kulit dinilai dengan transepidermal water loss (TEWL) serta hidrasi kulit dengan skin capasitance (SCap) pada hari ke-14 dan hari ke-28. Keamanan dinilai berdasarkan efek samping selama penelitian.

 

Hasil: Didapatkan 46 SP pada masing-masing kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%. Terdapat penurunan skor HECSI pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28. Median skor HECSI  di kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%  pada hari ke-14 yaitu 6,5 dan 6 (p 0,160), serta pada hari ke-28 yaitu 4 dan 3 (p 0,046). Pada hari ke-28, perbedaan skor HECSI kedua kelompok secara statistik bermakna, namun secara klinis tidak bermakna. Terdapat penurunan nilai TEWL pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline, namun pada area palmar di kelompok niasinamid 4% terdapat sedikit peningkatan nilai TEWL pada hari ke-28. Terdapat peningkatan nilai SCap pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline. Kedua pelembap dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.

 

Kesimpulan: Niasinamid dan VCO efektif memperbaiki klinis DTAK pada perawat ICU, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara krim pelembap niasinamid 4% dengan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU

 

Kata kunci: dermatitis tangan akibat kerja, efektivitas, keamanan, pelembap, niasinamid 4%, VCO 30%

 


ABSTRACT

 

Name                 : Yenny Rachmawati

Study Program : Dermatologi dan Venereologi

Title                   : Comparison of the Effectiveness and Safety between Moisturizing Cream Containing Niacinamide 4% and Virgin Coconut Oil 30% for Secondary Prevention of Occupational Hand Dermatitis in Intensive Care Unit Nurses: a Double Blind Randomized Clinical Trial

 

Background:  Occupational hand dermatitis (OHD) often occurs in intensive care unit (ICU) nurses, especially in individuals who are vulnerable due to irritant exposure e.g. hand rub alcohol and repeated hand washing activities. The use of moisturizer is one of the recommendations for skin care in OHD. Niacinamide which has anti-inflammatory effects and can improve the skin sawar function. Virgin coconut oil (VCO) is rich in lipids and lauric acid, and has an occlusive effect. Until now there are no guidelines and reference types of moisturizers for secondary prevention in OHD.

 

Objective: To assess the difference of effectiveness and safety between moisturizing cream containing niacinamide 4% and VCO 30%  for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses

 

Methods: A double blind randomized controled trial was performed in ICU nurses with OHD during September–October 2019. Patients who fulfilled inclusion criteria and willing to be involved in the study were allocated to niacinamide 4% or VCO 30% based on block randomization.  Moisturizer were applied twice daily for 28 days. Measurement of Hand Eczema Scoring Index (HECSI) scores were conducted to evaluate the clinical improvement . Measurement of transepidermal water loss (TEWL) were conducted to evaluate the barrier skin and skin capacitance (SCap) values were conducted to evaluate skin hydration on 14th and 28th day. Safety were assessed based on side effects during research.

 

Results: There were 46 subjects in each arms of intention, the niacinamide 4% arm and in the VCO 30% arm. There were a decrease in HECSI scores in both treatment groups on 14th and 28th  day. The median score of HECSI in niacinamide 4% and VCO 30% on 14th day were 6.5 and 6 (p 0.160), and on 28th day were 4 and 3 (p 0.046). On 28th day, the difference in HECSI scores of the two groups were statistically significant, but clinically not significant. There were a decrease in TEWL values in both treatment groups on 14th and  28th day compared to baseline, but there were a slight increase in TEWL values in the palmar area in the niacinamide group on 28th day. There were an increase in SCap values in both treatment groups on 14th and 28th day compared to baseline. Both moisturizers were well tolerated with minimal side effects.

 

Conclusion: Niacinamide 4% and VCO 30% were effective in improving clinical OHD in ICU nurses, although there were no significant difference between moisturizing cream containing niacinamide 4% and virgin coconut oil 30% for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses.

 

Keywords: occupational hand dermatitis, effectiveness, safety, moisturizer, niacinamide 4%, VCO 30%

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Siphra
"Latar belakang: Diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kulit kering yang berkorelasi dengan pembentukan ulkus pada pasien DM. Pemakaian pelembap sebagai bagian dari perawatan kaki dapat mencegah pembentukan ulkus. Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan pelembap yang mengandung krim urea 10% dan vaselin album untuk mengatasi kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 68 pasien DM tipe 2 dengan kulit kering pada bulan Juli-Oktober 2018. Setiap subjek penelitian mendapat terapi krim urea 10% atau vaselin album untuk masing-masing tungkai. Perbaikan kulit kering dilihat dari skor klinis specified symptom sum score (SRRC), hidrasi kulit (korneometer) dan fungsi sawar kulit (tewameter) pada minggu kedua dan keempat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara kelompok krim urea 10% dan vaselin album. Kedua pelembap ini tidak menimbulkan efek samping. Kesimpulan: Kedua jenis pelembap ini sama efektif dan dapat dipertimbangkan untuk terapi kulit kering pada pasien DM tipe 2.

Background: Diabetes mellitus (DM) could cause xerotic skin which correlates with ulcer formation in DM patients. Daily use of moisturizer as part of foot care were expected to prevent it. Objective: To asses the effectiveness and safety of moisturizers containing 10% urea cream and white petrolatum in overcoming dry skin in type 2 DM patients. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted on 68 diabetes patients with xerotic skin in July-October 2018. Each study subject received 10% urea cream or white petrolatum for each leg. Repair of xerotic skin assessed from the specified symptom sum score (SRRC), skin hydration (corneometer) and skin barrier function (tewameter) in the second and fourth weeks. Results: There was no significant difference in effectiveness between the two groups. Both moisturizers were well tolerated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
"ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis

ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Suryani Sobur
"

Latar Belakang: Perdarahan akut gastrointestinal bagian atas memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Asam traneksamat telah terbukti bermanfaat dalam kasus perdarahan postoperatif dan postpartum. Namun, data mengenai efektivitas asam traneksamat untuk kasus ini masih terbatas.

Metode: Kami telah melakukan uji klinis terkontrol acak tersamar. Pasien yang memenuhi kriteria adalah dewasa (usia ≥ 18 tahun) dengan gejala hematemesis, melena, atau keduanya baik yang datang ke unit gawat darurat atau sedang dirawat di rumah sakit antara 1 Juli 2018 sampai 31 Desember 2019. Pasien secara acak dimasukan ke dua kelompok (asam traneksamat dan plasebo). Luaran utama yang diamati adalah perdarahan ulang yang didefinisikan sebagai kejadian hematemesis, melena, atau keduanya yang berkaitan dengan takikardia atau syok hipovolemik atau pengurangan hemoglobin > 2 g/dL setelah keberhasilan terapi endoskopi atau farmakologis. Perdarahan ulang ini diamati sampai 28 hari pascarandomisasi. Uji klinis ini teregistrasi di clinicaltrials.gov, NCT03540368
Hasil: Terdapat 42 pasien yang masuk dalam uji klinis ini, 19 di kelompok asam traneksamat dan 23 di plasebo. Penggunaan asam traneksamat tidak berhubungan dengan penurunan kejadian perdarahan ulang (hazard ratio 1,055 [IK 95% 0,284 – 3,923]) maupun mortalitas (hazard ratio 0,960 [IK 95% 0,218 – 4,229]). Terdapat
satu kasus tromboemboli pada masing-masing kelompok. Uji klinis dihentikan lebih awal karena kemungkinan futilitas yang signifikan dan risiko kejadian tromboemboli.
Kesimpulan: Tidak diperoleh perbedaan bermakna frekuensi perdarahan ulang kasus perdarahan akut saluran cerna bagian atas antara kelompok asam traneksamat dibandingkan plasebo.


Background: Acute upper gastrointestinal bleeding (AUGIB) has a significant mortality and morbidity rate. Tranexamic acid has been shown to be beneficial in postoperative and postpartum hemorrhage cases. However, there are limited data exist regarding the effectiveness of tranexamic acid in AUGIB.

Method: We carried out a double-blind randomized controlled trial. Eligible patients were adults (aged  ≥ 18 years) with hematemesis, melena, or both who presented to the emergency department or were hospitalized between July 1, 2018 and December 31, 2019. Patients were randomly assigned to two treatment groups (tranexamic acid or placebo). The primary endpoint was rebleeding, defined as the occurrence of hematemesis, melena, or both associated with tachycardia or hypovolemic shock or reduction in hemoglobin (> 2 g/dL) after successful endoscopic or pharmacological therapy. The occurrence of rebleeding was monitored up to 28 days after randomization. This study was registered at clinicaltrials.gov, NCT03540368
Results: Forty-two patients were enrolled, 19 to the tranexamic acid and 23 to the placebo group. Tranexamic acid use was not associated with a reduction in rebleeding (hazard ratio 1.055 [95% CI 0.284 – 3.923]) or mortality (hazard ratio 0.960 [95% CI 0.218 – 4.229]). One thromboembolic event occurred in each group. Clinical
trials were terminated early because of the significant possibility of futility, and the risk of thromboembolic events.
Conclusion: No significant difference was noted in the frequency of rebleeding after AUGIB between patients treated with tranexamic acid compared with placebo.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Rabker Jefrey Tuhulele
"Latar Belakang: Sedasi yang efektif adalah terjaganya kedalaman sedasi dan analgesia serta mengendalikan pergerakan pasien selama prosedur ERCP berlangsung. Propofol merupakan obat anestetik sedasi yang tidak memiliki efek analgesia dan memiliki efek depresi kardiovaskular dan respirasi yang tergantung dosis. Penambahan ketamin dosis kecil diharapkan dapat menurunkan kebutuhan dosis propofol dalam mempertahankan kedalaman sedasi dan analgesia serta kestabilan hemodinamik dan respirasi. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan sedasi antara campuran ketamin dan propofol (ketofol) konsentrasi 1:4, dan propofol - fentanil pada prosedur ERCP.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 36 pasien yang menjalani prosedur ERCP, dengan usia 18-60 tahun, ASA I-III, BMI 18-30 kg/m 2, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok KF (n=18) dan kelompok PF (n=18). Kedua kelompok obat menggunakan metode infus kontinyu dengan syringe pump. Kedalaman sedasi diukur dengan menggunakan Ramsay Sedation Scale (RSS).
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan rerata konsumsi propofol permenit kelompok campuran ketamin propofol (ketofol) ( 93,71±11,82) lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok propofol fentanil (141,18±19,23) (p<0.05). Jumlah median kebutuhan fentanil pada kelompok ketofol ( 0,00(0-25)) lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok propofol fentanil (25,00 (25-50)) (p<0.05). Mula kerja dan waktu pulih pada kelompok propofol fentanil (3,00(2-4)) dan (5,00(2-15)) lebih cepat dibandingkan kelompok ketofol (4,50(2-5)) dan (15,00 (5-20)) (p<0.05). Kejadian hipotensi pada kelompok ketofol 1,00 (5,56%) tidak berbeda bermakna secara statistik dengan kelompok propofol fentanil 3 (16,67%) (p=0,603). Tidak didapatkan kejadian desaturasi dan mual/muntah pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Campuran ketamin propofol (ketofol) efektif dalam menjaga kedalaman sedasi dan analgesia serta memiliki efek samping yang minimal.

Background: The effectiveness of sedation is the ability of the drugs to maintain the depth of sedation and analgesia as well as to control the patient movement during the ERCP procedure. Propofol is a sedation agent that has no analgesia effect and has cardiovascular and respiratory depressant effect which is dose dependent. The addition of small dose of ketamin is expected to reduce the dose required to maintain hemodinamic and respiratory stability. This study will compare the effectiveness of sedation between the used of 1:4 of ketamin propofol mixtures (ketofol) and propofol fentanyl in ERCP procedure.
Methods: This study is a double blind randomised clinical trial in 36 patients who underwent ERCP procedure, aged 18-60 y.o, ASA I-III, BMI 18-30 kg / m2, which is divided into two groups: KF (n = 18) and the PF group (n = 18). Both group is using continuous syringe pump infusion. The depth of sedation was measured by using Ramsay Sedation Scale (RSS).
Results: From the results, the average consumption of propofol per minute of group propofol ketamine mixtures (ketofol) (93.71 ± 11.82) was significantly lower than fentanyl propofol group (141.18 ± 19.23) (p <0.05). The median fentanyl consumption of ketofol group (0.00 (0- 25)) was significantly lower than fentanyl propofol group (25.00 (25-50)) (p <0.05). The onset and the time to recover in fentanyl propofol group (3.00 (2-4)) and (5.00 (2-15)) were faster than ketofol group (4.50 (2-5)) and (15.00 (5-20)) (p <0.05). The incidence of hypotension in group ketofol 1.00 (5.56%) was not significantly different from fentanyl propofol group 3 (16.67%) (p = 0.603). There were no desaturation events or nausea/vomiting in both groups.
Conclusion: The mixture of ketamine propofol (ketofol) is effective in maintaining the depth of sedation and analgesia and has minimal side effects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55722
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
"Latar belakang : Insidens kutil anogenital KA terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini belum ada terapi yang efektif untuk semua jenis KA. Terdapat berbagai macam pilihan terapi KA, antara lain terapi yang dapat diaplikasikan sendiri, contohnya krim 5-fluorourasil 5-FU 1 dan 5-FU 5 dan terapi yang diaplikasikan oleh dokter, contohnya larutan asam trikloroasetat TCA 90 . Larutan TCA 90 merupakan terapi standar KA, memerlukan kurang lebih 4-6 kali kunjungan tiap minggu untuk mencapai kesembuhan. Hingga saat ini terapi KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien sendiri, belum tersedia di Indonesia. Tujuan : Mengetahui efektivitas dan keamanan krim 5-FU 1 dan krim 5-FU 5 dibandingkan dengan larutan TCA 90 untuk terapi KA pada genitalia eksterna dan atau perianus. Metode : Uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap pasien KA pada bulan Januari hingga Mei 2018. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian akan mendapat terapi 5-FU 1 , 5-FU 5 , atau larutan TCA 90 sesuai dengan randomisasi blok. Pasien dicatat identitas, jumlah, dan ukuran lesi KA kemudian diamati respons terapi dan efek samping subyektif dan obyektif setiap minggu, hingga minggu ketujuh. Dilakukan analisis intention to treat. Hasil : Didapatkan total 72 subjek. Terdapat 5 SP drop out, dua dari kelompok 5-FU 1 dan tiga dari kelompok TCA 90 . Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara kelompok 5-FU 1 dengan TCA 90 p=0,763 . Respons sempurna pada 5-FU 1 adalah 671 , sedangkan TCA 90 adalah 63 . Begitupula dengan perbandingan efektivitas antara kelompok 5-FU 5 dengan TCA 90 . Pada awalnya saat minggu kedua TCA 90 tampak lebih cepat memberikan kesembuhan daripada 5-FU 5 p=0,036 , namun setelah enam minggu terapi ternyata tidak ada perbedaan efektivitas antara keduanya p=0,274 . Didapatkan bahwa respons sempurna pada 5-FU 5 adalah 46 dan 63 pada TCA 90 . Terdapat perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,004 . Terdapat pula perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 5 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,001 . Efek samping gatal ketika evaluasi minggu keempat pada kelompok 5-FU 1 adalah 21 dan 33 pada kelompok 5-FU 5 . Efek samping tersering pada kelompok TCA 90 adalah nyeri 96 ketika aplikasi TCA 90 pertama kali. Terdapat perbedaan efek samping obyektif yang lebih ringan secara bermakna ketika evaluasi minggu kedua, keenam, dan ketujuh pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan TCA 90 p

Background: Anogenital wart incidence is increasing lately. Up till now there is no effective therapy for every type of anogenital wart. There are various kind of anogenital wart therapy, such as self applied therapy e.g. 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream and physician-applied therapy e.g. trichloroacetic acid 90 solution . Trichloroacetic acid is the standard therapy for anogenital wart, need around 4-6 times until totally improved. Currently, there is no self applied anogenital wart therapy available in Indonesia. Objective: To know the effectivity and safety of 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream compared to trichloroacetic acid 90 solution in the treatment of anogenital wart. Methods: A randomized control study of adult patients with anogenital wart during the period of January-Mei 2018. Patients who fulfiled inclusion criteria and willing to follow this research, allocated to receive 5-fluorouracil 1 cream, 5-fluorouracil 5 cream, or trichloroacetic acid 90 solution in accordance with block randomization. The identity, number and size of the anogenital wart were recorded, then the response of therapy and side effect subjective and objective were observed each weeks, up to seventh week. The data was analyzed with intention to treat analysis. Result: A total of 72 subjects were enrolled, two subjects from 5-FU 1 and three subjects from TCA 90 dropped out. There was no diference in the effectivity between 5-FU 1 group compared to TCA 90 p=0,763 . Total response in 5-FU 1 was 67 and 63 in TCA 90 . Likewise the comparison of effectivity between 5-FU 1 group and TCA 90 group. On the second week TCA 90 gave faster improvement than 5-FU 5 p=0,036 , but after 6 weeks treatment there was no difference between both groups p=0,274 . Total response in 5-FU 5 was 46 and 63 in TCA 90 . There was significant milder subjective side effect on 5-FU 1 compared to TCA 90 group p=0,004 , as well as significant milder subjective side effect on 5-FU 5 compared to TCA 90 p=0,001 . On the fourth week there was 21 in the 5-FU 1 group felt itchy and 33 in TCA 90 group. The most common side effect in TCA 90 group was painful, 96 of the subjects experienced it while their first TCA application. We also found significant milder objective side effect in 5-FU 1 group on the second week, sixth week, and seventh week evaluation compared to TCA 90 group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiana
"Latar belakang: Pitiriasis versikolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial kronik dengan prevalensi tinggi. Belum ada data yang membandingkan sampo SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2% pada terapi PV. Tujuan: Mengetahui efikasi mikologis, keamanan, kekambuhan, dan efikasi biaya antara sampo selenium sulfida 1,8% dibandingkan dengan ketokonazol 2% pada PV. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien PV bulan September hingga Desember 2018, dengan terapi sampo SeS2 1,8% atau ketokonazol 2% sesuai dengan alokasi random. Dilakukan pemeriksaan fisik, uji provokasi skuama, lampu Wood, dan kalium hidroksida. Efikasi mikologis dianalisis dengan intention to treat dan kekambuhan dengan analisis per-protokol. Efikasi biaya dengan menghitung Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Hasil: Efikasi mikologis lebih tinggi pada ketokonazol 2%, yaitu sebesar 94% vs 86%, tetapi tidak berbeda secara statistik (RR=2,3(95%IK0,6-8,5), p=0,182). Efek samping pada ketokonazol 2% lebih tinggi, yaitu 22% vs 8%. SeS2 1,8% lebih murah 14.880 rupiah, dengan risiko KOH masih positif sebesar 8% lebih tinggi dibanding ketokonazol 2%. Kekambuhan sebulan didapatkan lebih besar pada SeS2 1,8%, yaitu sebesar 8% vs 14%. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efikasi mikologis, efek samping, dan kekambuhan sebulan, antara SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2%. Penggunaan SeS2 1,8% pada terapi PV lebih murah dengan risiko gagal terapi lebih tinggi dibandingkan ketokonazol 2%.

Background: Pityriasis versicolor (PV) is a chronic superficial fungal infection which highly prevalent. There is no data comparing SeS2 1.8% with 2% ketoconazole shampoo in the treatment of PV. Objective: To assess the mycological efficacy, safety, relaps, and cost-efficacy of SeS2 1.8% and ketoconazole 2% shampoo for the treatment of PV. Methods: A double blind randomized controled trial was performed in patients with PV during September-December 2018, based on block randomization. Physical examinations, scale provocation test, Woods lamp and potassium hydroxide examination were conducted. Intention to treat analysis was performed to evaluated mycological efficacy and per-protocol analysis to evaluated relaps. Cost-efficacy was analyzed by calculating the Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Result: The mycological efficacy, side effect and relaps were higher in the ketoconazole group; 94% vs 86% (RR=2.3(95%CI 0.6-8.5), p= 0.182), 22% versus 8%, and 14% versus 8%. We found lesser cost for SeS2 1.8% of about 14.880 rupiah with risk of persistent positive KOH smear is 8% higher than ketoconazole. Conclusion: There were no significant differences of mycological efficacy, side effect, and relaps, between both arms. The cost-efficacy revealed a lesser cost for SeS2 1.8% with higher risk of persistent positive KOH as compared to ketoconazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prahara Yuri
"Pendahuluan: Pengobatan analgesik yang ideal pasca operasi harus dapat membantu untuk menghilangkan rasa nyeri yang cepat dan efektif.
Metode Penelitian: 80 pasien yang menjalani tindakan endoskopi urologi di Rumah Sakit Kardinah. Efek analgesik dinilai menggunakan Skala Analog Visual VAS.
Hasil Penelitian: Pada kelompok eksperimen, tidak ada perbedaan antara kelompok B phenazopyridine HCl dan C natrium diklofenak p> 0,05. Grup A asam pipemidat menunjukkan efek analgesik yang lebih menguntungkan daripada B dan C p

Introduction: The ideal postoperative analgesic treat ment should provide rapid and effective pain relief.
Methods: The 80 patients who underwent endoscopic urological surgery at Kardinah Hospital. The analgesic effects were assessed using the Visual Analog Scale VAS.
Results: In the experimental group, there was no difference between groups B phenazopyridine HCl and C sodium diclofenac p 0.05. Group A pipemidic acid demonstrated a more favourable analgesic effect than B and C p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>