Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Kusumawardhani
"Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA.

TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rachmawati
"

ABSTRAK

 

Nama                   : Yenny Rachmawati

Program studi      : Dermatologi dan Venereologi

Judul                    : Perbandingan Efektivitas serta Keamanan antara Krim Pelembap Niasinamid 4% dan Virgin Coconut Oil 30% untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Perawat Intensive Care Unit : Uji Klinis Acak Tersamar Ganda

 

Latar belakang:  Dermatitis tangan akibat kerja (DTAK) sering terjadi pada perawat Intensive Care Unit (ICU) terutama pada individu yang rentan akibat pajanan iritan berupa hand rub alcohol dan aktivitas cuci tangan berulang. Penggunaan pelembap adalah salah satu rekomendasi untuk perawatan kulit pada DTAK. Niasinamid memiliki efek antiinflamasi dan dapat memperbaiki fungsi sawar kulit. Vigin coconut oil (VCO) kaya akan kandungan lipid dan asam laurat, serta memiliki efek oklusif. Sampai saat ini belum ada panduan dan referensi jenis pelembap untuk pencegahan sekunder pada DTAK.

 

Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas serta keamanan antara krim pelembap niasinamid 4% dan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU.

 

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap perawat ICU dengan DTAK pada bulan September hingga Oktober 2019. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian, mendapat niasinamid 4% atau VCO 30% sesuai dengan randomisasi blok. Pengolesan pelembap dilakukan dua kali sehari selama 28 hari. Perbaikan klinis dinilai dengan parameter skor Hand Eczema Scoring Index (HECSI) dan penilaian sawar kulit dinilai dengan transepidermal water loss (TEWL) serta hidrasi kulit dengan skin capasitance (SCap) pada hari ke-14 dan hari ke-28. Keamanan dinilai berdasarkan efek samping selama penelitian.

 

Hasil: Didapatkan 46 SP pada masing-masing kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%. Terdapat penurunan skor HECSI pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28. Median skor HECSI  di kelompok niasinamid 4% dan VCO 30%  pada hari ke-14 yaitu 6,5 dan 6 (p 0,160), serta pada hari ke-28 yaitu 4 dan 3 (p 0,046). Pada hari ke-28, perbedaan skor HECSI kedua kelompok secara statistik bermakna, namun secara klinis tidak bermakna. Terdapat penurunan nilai TEWL pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline, namun pada area palmar di kelompok niasinamid 4% terdapat sedikit peningkatan nilai TEWL pada hari ke-28. Terdapat peningkatan nilai SCap pada kedua kelompok perlakuan di hari ke-14 dan hari ke-28 dibandingkan baseline. Kedua pelembap dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.

 

Kesimpulan: Niasinamid dan VCO efektif memperbaiki klinis DTAK pada perawat ICU, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara krim pelembap niasinamid 4% dengan VCO 30% untuk pencegahan sekunder dermatitis tangan akibat kerja pada perawat ICU

 

Kata kunci: dermatitis tangan akibat kerja, efektivitas, keamanan, pelembap, niasinamid 4%, VCO 30%

 


ABSTRACT

 

Name                 : Yenny Rachmawati

Study Program : Dermatologi dan Venereologi

Title                   : Comparison of the Effectiveness and Safety between Moisturizing Cream Containing Niacinamide 4% and Virgin Coconut Oil 30% for Secondary Prevention of Occupational Hand Dermatitis in Intensive Care Unit Nurses: a Double Blind Randomized Clinical Trial

 

Background:  Occupational hand dermatitis (OHD) often occurs in intensive care unit (ICU) nurses, especially in individuals who are vulnerable due to irritant exposure e.g. hand rub alcohol and repeated hand washing activities. The use of moisturizer is one of the recommendations for skin care in OHD. Niacinamide which has anti-inflammatory effects and can improve the skin sawar function. Virgin coconut oil (VCO) is rich in lipids and lauric acid, and has an occlusive effect. Until now there are no guidelines and reference types of moisturizers for secondary prevention in OHD.

 

Objective: To assess the difference of effectiveness and safety between moisturizing cream containing niacinamide 4% and VCO 30%  for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses

 

Methods: A double blind randomized controled trial was performed in ICU nurses with OHD during September–October 2019. Patients who fulfilled inclusion criteria and willing to be involved in the study were allocated to niacinamide 4% or VCO 30% based on block randomization.  Moisturizer were applied twice daily for 28 days. Measurement of Hand Eczema Scoring Index (HECSI) scores were conducted to evaluate the clinical improvement . Measurement of transepidermal water loss (TEWL) were conducted to evaluate the barrier skin and skin capacitance (SCap) values were conducted to evaluate skin hydration on 14th and 28th day. Safety were assessed based on side effects during research.

 

Results: There were 46 subjects in each arms of intention, the niacinamide 4% arm and in the VCO 30% arm. There were a decrease in HECSI scores in both treatment groups on 14th and 28th  day. The median score of HECSI in niacinamide 4% and VCO 30% on 14th day were 6.5 and 6 (p 0.160), and on 28th day were 4 and 3 (p 0.046). On 28th day, the difference in HECSI scores of the two groups were statistically significant, but clinically not significant. There were a decrease in TEWL values in both treatment groups on 14th and  28th day compared to baseline, but there were a slight increase in TEWL values in the palmar area in the niacinamide group on 28th day. There were an increase in SCap values in both treatment groups on 14th and 28th day compared to baseline. Both moisturizers were well tolerated with minimal side effects.

 

Conclusion: Niacinamide 4% and VCO 30% were effective in improving clinical OHD in ICU nurses, although there were no significant difference between moisturizing cream containing niacinamide 4% and virgin coconut oil 30% for secondary prevention of occupational hand dermatitis in ICU nurses.

 

Keywords: occupational hand dermatitis, effectiveness, safety, moisturizer, niacinamide 4%, VCO 30%

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vashty Amanda Hosfiar
"Melasma adalah kelainan pigmentasi didapat akibat disfungsi melanogenesis yang sering ditemukan pada wajah. Belum ada modalitas terapi melasma yang memberikan hasil yang memuaskan dan kekambuhan sering terjadi. Asam traneksamat diketahui dapat menghambat melanogenesis pada melasma. Pada beberapa studi, terbukti bahwa asam traneksamat oral dapat memperbaiki melasma, namun efek samping lebih banyak dilaporkan pada pemberian per oral sehingga asam traneksamat intradermal lebih dipilih. Belum pernah dilakukan uji klinis yang membuktikan efektivitas dan keamanan injeksi asam traneksamat intradermal sebagai terapi melasma di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas dan keamanan injeksi asam traneksamat intradermal sebagai terapi ajuvan pada tata laksana melasma. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2021 di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM). Sebanyak 32 subjek penelitian (SP) dirandomisasi untuk mendapatkan injeksi asam traneksamat 10 mg/ml atau plasebo intradermal pada salah satu sisi wajah. Penelitian dilakukan selama 12 minggu dengan interval terapi injeksi 2 minggu. Seluruh SP mendapatkan terapi krim hidrokuinon 4% yang dioleskan sekali sehari malam hari dan tabir surya SPF 33 dua kali sehari selama 12 minggu. Penilaian skor MASI modifikasi (mMASI) dan pemeriksaan mexameter yang terdiri atas indeks melanin (IM) dan eritema (IE) dilakukan pada setiap kunjungan. Tiga puluh satu SP menyelesaikan penelitian, didapatkan rerata usia SP 49,9 tahun dengan median durasi melasma adalah 42 bulan, sebagian besar memiliki melasma tipe campuran. Penurunan skor mMASI lebih besar dan cepat pada pemberian terapi ajuvan asam traneksamat dibandingkan dengan plasebo sedangkan besar dan kecepatan penurunan skor IM dan IE tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Mayoritas SP tidak mengalami efek samping akibat pemberian asam traneksamat. Penilaian kepuasan SP terhadap terapi dengan patient global assessment menunjukkan respons sangat baik pada kelompok intervensi dan respons baik pada kelompok plasebo. Berdasarkan hasil penelitian ini, terapi ajuvan injeksi asam traneksamat intradermal 10 mg/ml efektif dan aman dalam menurunkan skor mMASI pada pasien melasma dengan tipe kulit IV – V.

Melasma is an acquired pigmentary disorder caused by melanogenesis dysfunction which is often identified on face. There has been no satisfying modality for melasma treatment and recurrence often occurs. Tranexamic acid is known to inhibit melanogenesis in melasma. Several studies found that oral tranexamic acid can improve melasma but a lot of side effects have been associated with oral administration. Therefore, intradermal tranexamic acid is preferred. There has never been a clinical trial that has proven the effectiveness and safety of intradermal tranexamic acid injection as melasma therapy in Indonesia. Thus, we conducted this study to evaluate the effectivity and safety of intradermal tranexamic acid as an adjuvant therapy for melasma treatment. A double-blind randomised controlled trial was performed with split face method from February to May 2021 in Dermatology and Venereology Clinic Faculty of Medicine Universitas Indonesia/dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. A total of 32 subjects were randomised to receive whether intradermal tranexamic acid 10 mg/ml or placebo either on the right or the left side of their face. The study was performed for 12 weeks with injection interval of 2 weeks. All subjects were provided with 4% hydroquinone cream to be used once daily at night and sunscreen SPF 33 to be used twice daily for 12 weeks. Assessment for modification MASI (mMASI) score and mexameter examination which includes melanin index (MI) and erythema index (EI) were performed on every visit. Thirty-one subjects completed the study. All subjects had mean age of 49.9 years old. Median of melasma duration was 42 months. Almost all subjects had mixed type melasma. The decrease of mMASI score was larger and faster in tranexamic acid group compared to placebo while the decrease of MI and EI score was not significantly different between both groups. Majority of subjects did not experience any side effects due to tranexamic acid injection. Subjects overall treatment satisfaction assessed with patient global assessment showed very good response on most of the subjects in intervention group and good response in placebo group. On the basis of these results, adjuvant therapy with intradermal injection of 10 mg/ml tranexamic acid is effective and safe in reducing mMASI score in melasma patients with Fitzpatrick skin type IV-V."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Siphra
"Latar belakang: Diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kulit kering yang berkorelasi dengan pembentukan ulkus pada pasien DM. Pemakaian pelembap sebagai bagian dari perawatan kaki dapat mencegah pembentukan ulkus. Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan pelembap yang mengandung krim urea 10% dan vaselin album untuk mengatasi kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 68 pasien DM tipe 2 dengan kulit kering pada bulan Juli-Oktober 2018. Setiap subjek penelitian mendapat terapi krim urea 10% atau vaselin album untuk masing-masing tungkai. Perbaikan kulit kering dilihat dari skor klinis specified symptom sum score (SRRC), hidrasi kulit (korneometer) dan fungsi sawar kulit (tewameter) pada minggu kedua dan keempat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara kelompok krim urea 10% dan vaselin album. Kedua pelembap ini tidak menimbulkan efek samping. Kesimpulan: Kedua jenis pelembap ini sama efektif dan dapat dipertimbangkan untuk terapi kulit kering pada pasien DM tipe 2.

Background: Diabetes mellitus (DM) could cause xerotic skin which correlates with ulcer formation in DM patients. Daily use of moisturizer as part of foot care were expected to prevent it. Objective: To asses the effectiveness and safety of moisturizers containing 10% urea cream and white petrolatum in overcoming dry skin in type 2 DM patients. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted on 68 diabetes patients with xerotic skin in July-October 2018. Each study subject received 10% urea cream or white petrolatum for each leg. Repair of xerotic skin assessed from the specified symptom sum score (SRRC), skin hydration (corneometer) and skin barrier function (tewameter) in the second and fourth weeks. Results: There was no significant difference in effectiveness between the two groups. Both moisturizers were well tolerated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Rodinda Marsha Ruth
"Pendahuluan: Berbagai modalitas terapi yang tersedia untuk melasma belum memberikan hasil yang memuaskan serta kekambuhan sering terjadi setelah terapi dihentikan. Asam traneksamat merupakan penghambat plasmin yang dapat mencegah melanogenesis. Beberpa studi telah membuktikan efek injeksi asam traneksamat (AT) intradermal sebagai terapi melasma, namun belum ada sebuah konsensus yang menentukan konsentrasi injeksi AT intradermal yang paling tepat dan efektif. Di Indonesia, belum pernah dilakukan uji klinis yang membandingkan efektivitas dan keamanan injeksi AT intradermal dengan konsentrsi yang berbeda untuk tata laksana melasma. Tujuan Penelitian: Membandingkan efektivitas dan keamanan injeksi AT intradermal konsentrasi 25 mg/ml dengan 10 mg/ml sebagai terapi ajuvan pada tata laksana melasma. Metodologi penelitian: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split-face. Sebanyak 30 subjek penelitian (SP) dirandomisasi untuk mendapatkan injeksi AT intradermal 25 mg/ml atau 10 mg/ml pada salah satu sisi wajah. Penelitian dilakukan selama 8 minggu dan terapi injeksi diberikan sejak minggu ke-2 dengan interval 2 minggu. Seluruh SP mendapatkan terapi krim tabir surya SPF 45 dan krim tretinoin 0,05% yang dioleskan sekali sehari malam hari selama 8 minggu. Penilaian skor MASI modifikasi (mMASI) dan pemeriksaan mexameter yang terdiri atas indeks melanin (IM) dan eritema (IE) dilakukan pada setiap kunjungan. Hasil penelitian: Terdapat 27 SP yang menyelesaikan penelitian dengan rerata usia 49,67 tahun dan sebagian besar memiliki melasma tipe campuran. Terdapat penurunan bermakna skor mMASI dan IM pada pemberian terapi ajuvan injeksi AT intradermal 25 mg/ml dan 10 mg/ml, namun besar dan kecepatan penurunan skor tersebut tidak berbeda bermakna pada konsentrasi 25 mg/ml dibandingkan dengan 10 mg/ml. Mayoritas SP tidak mengalami efek samping bermakna akibat injeksi AT. Kesimpulan: Terapi ajuvan injeksi AT intradermal 25 mg/ml dan 10 mg/ml efektif dan aman dalam menurunkan skor mMASI dan IM pada pasien melasma dengan tipe kulit Fitzpatrick IV dan V.

Background: The various treatment modalities available for melasma have yet to provide satisfactory results, and recurrence often occurs after discontinued therapy. Tranexamic acid (TA), a plasmin inhibitor, can prevent melanogenesis. Several studies have demonstrated the effectiveness of intradermal injections of TA as a treatment for melasma. However, there is no consensus on the most appropriate and effective concentration for these injections. In Indonesia, no clinical trials have been conducted to compare the effectiveness and safety of intradermal TA injections at different concentrations to manage melasma. Research Objective: Comparing the effectiveness and safety of intradermal TA injections at 25 mg/ml and 10 mg/ml concentrations as adjuvant therapy for melasma. Methods: A double-blind, randomized controlled trial was performed with the split-face method. A total of 30 subjects were randomized to receive intradermal TA 25 mg/ml or 10 mg/ml either on the right or the left side of their face. The study research was conducted over eight weeks, with injection therapy administered starting from the second week at 2-week intervals. All subjects received SPF 45 sunscreen and 0.05% tretinoin cream for eight weeks. Assessment for modification MASI (mMASI) score and mexameter examination, which includes melanin index (MI) and erythema index (EI), were performed on every visit. Results: Twenty-seven subjects completed the study, with an average age of 49.67 years, and most had mixed-type melasma. There was a significant decrease in mMASI and MI scores with adjuvant therapy using 25 mg/ml and 10 mg/ml intradermal tranexamic acid injections. However, the score reduction did not significantly differ between the 25 mg/ml and 10 mg/ml concentrations. The majority of subjects did not experience significant side effects from the tranexamic acid injections. Conclusion: Adjuvant therapy with intradermal injection of TA 25 mg/ml and 10 mg/ml effectively and safely reduces the mMASI and MI scores in melasma patients with Fitzpatrick skin types IV and V."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Parrol
"Tindakan bedah listrik (BL) dapat menghasilkan jaringan nekrotik yang berpotensi sebagai tempat berkembangbiaknya mikroorganisme. Pemberian antibiotik topikal sebagai upaya pencegahan infeksi memiliki kekurangan, yaitu meningkatkan resistensi, risiko efek samping, dan biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas salep natrium fusidat dibandingkan dengan vaselin album dalam penyembuhan luka yang berukuran 4 – 10 mm dalam 14 hari pasca-bedah listrik. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda within person. Terdapat 22 SP dengan masing-masing 45 luka yang dirandomisasi pada tiap kelompok. Berdasarkan hasil pemantauan, kedua kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna dalam hal eritema, edema, krusta, reepitelisasi, total nilai penyembuhan luka, gejala subjektif, dan infeksi pada hari ke-3, 7, dan 14 setelah tindakan BL. Sehingga salep natrium fusidat dan vaselin album memiliki efektivitas yang sama dalam penyembuhan luka pasca-bedah listrik.

Electrosurgery can produce necrotic tissue which is potential niche for microorganism development. Use of topical antibiotics as a prevention measure for infection has several limitations, which are increasing resistance, potential side effects, and cost. We conducted a within person double-blind randomized controlled study to assess the effectiveness of sodium fusidate ointment compared to white petrolatum for healing of wound with size 4 mm – 10 mm in 14 days following electrosurgery. A total of 22 subjects were recruited into the study. There were 45 wound that been randomized each on sodium fusidate group and white petrolatum group. Based on the monitoring results, both groups did not have significant difference in erythema, edema, crusts, reepithelization, total wound healing score , subjective symptoms, and infection appearance on day 3, 7, and 14 following electrosurgery. Therefore, sodium fusidate ointment and white petrolatum have similar effectiveness for wound healing following electrosurgery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
"ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis

ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Suryani Sobur
"

Latar Belakang: Perdarahan akut gastrointestinal bagian atas memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Asam traneksamat telah terbukti bermanfaat dalam kasus perdarahan postoperatif dan postpartum. Namun, data mengenai efektivitas asam traneksamat untuk kasus ini masih terbatas.

Metode: Kami telah melakukan uji klinis terkontrol acak tersamar. Pasien yang memenuhi kriteria adalah dewasa (usia ≥ 18 tahun) dengan gejala hematemesis, melena, atau keduanya baik yang datang ke unit gawat darurat atau sedang dirawat di rumah sakit antara 1 Juli 2018 sampai 31 Desember 2019. Pasien secara acak dimasukan ke dua kelompok (asam traneksamat dan plasebo). Luaran utama yang diamati adalah perdarahan ulang yang didefinisikan sebagai kejadian hematemesis, melena, atau keduanya yang berkaitan dengan takikardia atau syok hipovolemik atau pengurangan hemoglobin > 2 g/dL setelah keberhasilan terapi endoskopi atau farmakologis. Perdarahan ulang ini diamati sampai 28 hari pascarandomisasi. Uji klinis ini teregistrasi di clinicaltrials.gov, NCT03540368
Hasil: Terdapat 42 pasien yang masuk dalam uji klinis ini, 19 di kelompok asam traneksamat dan 23 di plasebo. Penggunaan asam traneksamat tidak berhubungan dengan penurunan kejadian perdarahan ulang (hazard ratio 1,055 [IK 95% 0,284 – 3,923]) maupun mortalitas (hazard ratio 0,960 [IK 95% 0,218 – 4,229]). Terdapat
satu kasus tromboemboli pada masing-masing kelompok. Uji klinis dihentikan lebih awal karena kemungkinan futilitas yang signifikan dan risiko kejadian tromboemboli.
Kesimpulan: Tidak diperoleh perbedaan bermakna frekuensi perdarahan ulang kasus perdarahan akut saluran cerna bagian atas antara kelompok asam traneksamat dibandingkan plasebo.


Background: Acute upper gastrointestinal bleeding (AUGIB) has a significant mortality and morbidity rate. Tranexamic acid has been shown to be beneficial in postoperative and postpartum hemorrhage cases. However, there are limited data exist regarding the effectiveness of tranexamic acid in AUGIB.

Method: We carried out a double-blind randomized controlled trial. Eligible patients were adults (aged  ≥ 18 years) with hematemesis, melena, or both who presented to the emergency department or were hospitalized between July 1, 2018 and December 31, 2019. Patients were randomly assigned to two treatment groups (tranexamic acid or placebo). The primary endpoint was rebleeding, defined as the occurrence of hematemesis, melena, or both associated with tachycardia or hypovolemic shock or reduction in hemoglobin (> 2 g/dL) after successful endoscopic or pharmacological therapy. The occurrence of rebleeding was monitored up to 28 days after randomization. This study was registered at clinicaltrials.gov, NCT03540368
Results: Forty-two patients were enrolled, 19 to the tranexamic acid and 23 to the placebo group. Tranexamic acid use was not associated with a reduction in rebleeding (hazard ratio 1.055 [95% CI 0.284 – 3.923]) or mortality (hazard ratio 0.960 [95% CI 0.218 – 4.229]). One thromboembolic event occurred in each group. Clinical
trials were terminated early because of the significant possibility of futility, and the risk of thromboembolic events.
Conclusion: No significant difference was noted in the frequency of rebleeding after AUGIB between patients treated with tranexamic acid compared with placebo.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Rabker Jefrey Tuhulele
"Latar Belakang: Sedasi yang efektif adalah terjaganya kedalaman sedasi dan analgesia serta mengendalikan pergerakan pasien selama prosedur ERCP berlangsung. Propofol merupakan obat anestetik sedasi yang tidak memiliki efek analgesia dan memiliki efek depresi kardiovaskular dan respirasi yang tergantung dosis. Penambahan ketamin dosis kecil diharapkan dapat menurunkan kebutuhan dosis propofol dalam mempertahankan kedalaman sedasi dan analgesia serta kestabilan hemodinamik dan respirasi. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan sedasi antara campuran ketamin dan propofol (ketofol) konsentrasi 1:4, dan propofol - fentanil pada prosedur ERCP.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 36 pasien yang menjalani prosedur ERCP, dengan usia 18-60 tahun, ASA I-III, BMI 18-30 kg/m 2, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok KF (n=18) dan kelompok PF (n=18). Kedua kelompok obat menggunakan metode infus kontinyu dengan syringe pump. Kedalaman sedasi diukur dengan menggunakan Ramsay Sedation Scale (RSS).
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan rerata konsumsi propofol permenit kelompok campuran ketamin propofol (ketofol) ( 93,71±11,82) lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan kelompok propofol fentanil (141,18±19,23) (p<0.05). Jumlah median kebutuhan fentanil pada kelompok ketofol ( 0,00(0-25)) lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok propofol fentanil (25,00 (25-50)) (p<0.05). Mula kerja dan waktu pulih pada kelompok propofol fentanil (3,00(2-4)) dan (5,00(2-15)) lebih cepat dibandingkan kelompok ketofol (4,50(2-5)) dan (15,00 (5-20)) (p<0.05). Kejadian hipotensi pada kelompok ketofol 1,00 (5,56%) tidak berbeda bermakna secara statistik dengan kelompok propofol fentanil 3 (16,67%) (p=0,603). Tidak didapatkan kejadian desaturasi dan mual/muntah pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Campuran ketamin propofol (ketofol) efektif dalam menjaga kedalaman sedasi dan analgesia serta memiliki efek samping yang minimal.

Background: The effectiveness of sedation is the ability of the drugs to maintain the depth of sedation and analgesia as well as to control the patient movement during the ERCP procedure. Propofol is a sedation agent that has no analgesia effect and has cardiovascular and respiratory depressant effect which is dose dependent. The addition of small dose of ketamin is expected to reduce the dose required to maintain hemodinamic and respiratory stability. This study will compare the effectiveness of sedation between the used of 1:4 of ketamin propofol mixtures (ketofol) and propofol fentanyl in ERCP procedure.
Methods: This study is a double blind randomised clinical trial in 36 patients who underwent ERCP procedure, aged 18-60 y.o, ASA I-III, BMI 18-30 kg / m2, which is divided into two groups: KF (n = 18) and the PF group (n = 18). Both group is using continuous syringe pump infusion. The depth of sedation was measured by using Ramsay Sedation Scale (RSS).
Results: From the results, the average consumption of propofol per minute of group propofol ketamine mixtures (ketofol) (93.71 ± 11.82) was significantly lower than fentanyl propofol group (141.18 ± 19.23) (p <0.05). The median fentanyl consumption of ketofol group (0.00 (0- 25)) was significantly lower than fentanyl propofol group (25.00 (25-50)) (p <0.05). The onset and the time to recover in fentanyl propofol group (3.00 (2-4)) and (5.00 (2-15)) were faster than ketofol group (4.50 (2-5)) and (15.00 (5-20)) (p <0.05). The incidence of hypotension in group ketofol 1.00 (5.56%) was not significantly different from fentanyl propofol group 3 (16.67%) (p = 0.603). There were no desaturation events or nausea/vomiting in both groups.
Conclusion: The mixture of ketamine propofol (ketofol) is effective in maintaining the depth of sedation and analgesia and has minimal side effects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55722
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>