Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93569 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Luther Holan Parasian
"Pendahuluan: Optimalisasi pelayanan resusitasi dapat dipadupadankan dengan teknologi yang berkembang saat ini, salah satunya adalah aplikasi seluler yang dapat diterapkan dengan mudah dalam sistem pelayanan resusitasi. Cardiac Arrest Resuscitation Mobile Application (CARMA) merupakan alat bantu dalam ACLS yang digunakan untuk membantu para praktisi dalam melakukan tindakan resusitasi. Penggunaan aplikasi dapat dimulai pada pelatihan berbasis simulasi. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak pada simulasi henti jantung dengan menggunakan manekin fidelitas tinggi. Simulasi dengan durasi dua belas menit dan berupa lima rangkaian ritme. Sejumlah 26 kelompok mahasiswa kedokteran dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok menggunakan aplikasi dan standar. Tujuan utama penelitian adalah untuk membandingkan kepatuhan panduan klinis pada kedua kelompok. Penilaian kepatuhan berdasarkan persentase pemenuhan daftar tilik yang sudah tervalidasi dan sudah dilakukan uji realibilitas sebelumnya. Tujuan sekunder untuk menilai kualitas kompresi dada dan waktu pemberian epinefrin. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kepatuhan panduan klinis pada kelompok aplikasi dibandingkan dengan kelompok standar (88,95 ± 6,86 vs 73,98 ± 6,40, p < 0,001). Variabel yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada penelitian ini antara lain adalah kedalaman kompresi dada dan interval waktu pemberian epinefrin.
Simpulan: Penggunaan aplikasi seluler dapat meningkatkan kepatuhan panduan klinis pada simulasi kasus henti jantung.

Background: The optimization of resuscitation services can be aligned with current technological advancements, including mobile applications that can be easily implemented in resuscitation services. The Cardiac Arrest Resuscitation Mobile Application (CARMA) is a tool in Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) designed to assist practitioners in performing resuscitation actions. The application's use can commence in simulation-based training.
Methods: This study is a randomized clinical trial on cardiac arrest simulation using a high-fidelity mannequin. The simulation lasted twelve minutes and included five rhythm sequences. Twenty-six groups of medical students were divided into two groups: one using the application and the other following standard procedures. The main objective of the study was to compare compliance with clinical guidelines in both groups. Compliance assessment was based on the percentage of validated checklist items, previously subjected to reliability testing. Secondary objectives included evaluating chest compression quality and epinephrine administration time. Results: There was a significant difference in compliance with clinical guidelines between the application group and the standard group (88.95 ± 6.86 vs. 73.98 ± 6.40, p < 0.001). Variables such as chest compression depth and epinephrine administration interval did not show significant differences in this study. Conclusion: The use of mobile applications can enhance compliance with clinical guidelines in cardiac arrest simulation cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aam Citrida Pramita
"Henti jantung adalah manifestasi umum yang paling fatal dari penyakit kardiovaskular dan menempati peringkat pertama dari penyebab kematian di seluruh dunia. Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan bekal mendasar untuk menyelamatkan jiwa seseorang ketika terjadi henti jantung. Pengetahuan yang tepat tentang pemberian BHD sangat diperlukan bagi semua perawat untuk dapat mengidenfikasi serta memberikan pertolongan kepada pasien-pasien yang mengalami henti jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang pemberian bantuan hidup dasar pada pasien henti jantung. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Teknik sampling yang digunakan adalah dengan cara total sampling yaitu berjumlah 48 perawat yang bekerja di ruang Intensive Care. Dari hasil uji statistik univariat didapatkan bahwa pengetahuan perawat tentang pemberian Bantuan Hidup Dasar pada pasien henti jantung di ruang Intensive Care yaitu sebanyak 24 perawat (50 %) memiliki pengetahuan yang baik dan sebanyak 24 perawat (50 %) memiliki pengetahuan yang kurang.

Cardiac arrest is the most common fatal manifestation of cardiovascular disease and is ranked first of the cause of death worldwide. Basic Life Support (BLS) is a fundamental provision to save lives in the event of cardiac arrest. Proper knowledge about the provision of BLS is necessary for all nurses to identify and provide right intervention to patients who suffered cardiac arrest. This study aimed to describe nurses' knowledge regarding the provision of basic life support in patients with cardiac arrest. The design of this study used a descriptive research design.. The sampling technique used the total sampling which amounted to 48 nurses working in Intensive Care Unit. From the results of univariate statistical tests showed that nurse’s knowledge about the provision of basic life support for cardiac arrest patients in the Intensive Care Unit as many as 24 nurses (50%) had good knowledge and as many as 24 nurses (50%) had less knowledge.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S57572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Novianto Putro
"Latar belakang. Iskemia miokard sering terjadi karena efek klem silang aorta selama bedah jantung terbuka dengan pemakaian mesin pintas jantung paru. Kardioplegia sebagai metode kardioproteksi, dapat berupa kardioplegia darah maupun kristaloid. Telaah sistematik ini bertujuan mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah.
Metodologi. Telaah sistematik dilakukan dengan melakukan pencarian literatur melalui database pada COCHRANE, PubMed, PMC, dan Google Scholar untuk mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah antara kardioplegia darah dan kristaloid pada seluruh prosedur operasi bedah jantung terbuka dewasa dengan mesin pintas jantung paru yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Artikel sekunder yang bukan merupakan jurnal dan research article akan dieksklusi. Cochrane Risk of Bias digunakan untuk menilai potensi bias.
Hasil penelitian. Kami mengidentifikasi 6 uji acak yang dengan total 796 pasien yang menjalani bedah jantung terbuka (CABG, bedah katup, transplantasi), 431 mendapatkan perlakuan kardioplegia darah, 365 lain mendapat perlakuan kardioplegi kristaloid. Subyek berkisar antara 60 hingga 297 pasien. Mayoritas membahas perbandingan kardioplegia darah dan kristaloid pada bedah jantung revaskularisasi koroner (CABG). Keseluruhan studi memiliki risiko bias rendah.
Kesimpulan. Kardioplegia darah menunjukkan luaran yang lebih baik dibandingkan kardioplegia kristaloid. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis dari hasil perlindungan miokard masing-masing larutan kardioplegia.

Background. Myocardial ischemia is commonly occured due to aortic cross-clamping during open-heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Cardioplegia, as cardioprotective method, can be divided into blood or crystalloid base. This systematic review aims to describe the effectiveness of two types of cardioplegic solutions in adult open-heart surgery procedures by focusing on their effects on cardiac enzyme, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, length of stay in ICU, and postoperative mortality
Methodology. We searched on several databases, including COCHRANE, PubMed, PMC, and Google Scholar to identify all randomized controlled trials published in English that compared levels of myocardial injury, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, intensive care length of stay, and mortality postsurgery between adults underwent CPB who received blood cardiolegia and crystalloid cardioplegia. Secondary publications were excluded. Cochrane Risk of Bias tool was used to assess for potential biases.
Outcome. We identified 6 randomized trials with a total of 796 patients underwent open heart surgery (CABG, valve surgery, transplantation), 431 receiving blood cardioplegia, another 365 receiving crystalloid cardioplegia. Subjects ranged from 60 to 297 patients. Most studies discussed the comparison of blood cardioplegia and crystalloids in CABG. The entire study had a low risk of bias.
Conclusion. Blood cardioplegia provided better outcome compared to crystalloid cardioplegia. However, further analysis should be developed to facilitate the conduct of high quality trials.
Keywords. Cardiac surgery, cardiac enzyme, blood cardioplegia, crystalloid cardioplegia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Ariyanto Sani
"Latar Belakang: Terdapat perdebatan mengenai strategi operasi modified Fontan/TCPC pada PJB univentrikel yaitu pendekatan primer atau bertahap pada pasien yang memenuhi kriteria operasi untuk memperoleh luaran pascaoperasi yang paling baik.
Tujuan: Tinjauan sistematik ini disusun untuk membuktikan bahwa operasi modified Fontan secara bertahap pada pasien PJB dengan fisiologi jantung univentrikel dan memenuhi kriteria operasi memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan secara primer.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Identifikasi terhadap penelitian yang relevan terhadap tujuan studi dilakukan melalui pencarian literatur pada Cochrane Library, PubMed, dan CINAHL (EBSCO) database. Setiap penelitian dinilai sesuai dengan tingkat bukti klinis sesuai dengan kriteria National Health and Medical Research Council (NHMRC).
Hasil: Tiga puluh artikel diikutsertakan dalam tinjauan sistematik ini. Morfologi ventrikel yang dilaporkan dari kelainan jantung univentrikel menunjukkan proporsi malformasi yang lebih besar dengan ventrikel sistemik kiri di sebagian besar studi yang disertakan. Data hemodinamik yang dilaporkan sebelum operasi Fontan menunjukkan distribusi yang hampir sama pada rerata tekanan arteri pulmonal (mean pulmonary arteriolar pressure, mPAP), tekanan diastolik akhir ventrikel sistemik (systemic ventricular end-diastolic pressure, EDPSV), dan tekanan transpulmonal (transpulmonary pressure gradient, TPG). Pendekatan operasi primer telah banyak ditinggalkan. Dijumpai mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi primer dengan kesintasan jangka panjang yang cukup sebanding. Tromboemboli lebih sering terjadi pada strategi operasi primer dengan insiden sebanyak 5,6% vs. 4,8% dibandingkan dengan operasi secara bertahap
Simpulan: Prosedur modified Fontan secara bertahap memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibanding dengan pendekatan primer

Background: Definitive palliation for univentricular heart usually involves different modifications of Fontan surgery / total cavopulmonary connection (TCPC). However, whether it should be done as a primary or staged procedure with an initial bidirectional Glenn shunt remains an area of debate.
Objective: This systematic review has been undertaken to prove that staged TCPC in Fontan candidates delivers better post-surgical results than the primary approach.
Method: This study was carried out according to the PRISMA-P protocol. Systematic searches identified studies in the Cochrane Library, PubMed, and CINAHL (EBSCO) database. According to the National Health and Medical Research Council (NHMRC) guideline, each study was critically appraised.
Results: A total of 30 studies were included in this systematic review. In most of the included studies, the reported ventricular morphology of univentricular heart defects showed a more significant proportion of the left systemic ventricle malformations. The hemodynamic data before Fontan surgery showed almost the same distribution of mean pulmonary arteriolar pressure (mPAP), systemic ventricular end-diastolic pressure (EDPSV), and transpulmonary pressure gradient (TPG). The primary surgical approach has mostly been abandoned because of its higher mortality rate than staged surgery. Long term survival has been comparable in both strategies. Thromboembolism was more common in the primary approach than in the staged surgery, with an incidence of 5.6% vs. 4.8%, respectively.
Conclusion: Staged modified Fontan procedure results in better post-surgical outcomes than the primary approach.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Ariyanto Sani
"Latar Belakang: Terdapat perdebatan mengenai strategi operasi modified Fontan/TCPC pada PJB univentrikel yaitu pendekatan primer atau bertahap pada pasien yang memenuhi kriteria operasi untuk memperoleh luaran pascaoperasi yang paling baik.
Tujuan: Tinjauan sistematik ini disusun untuk membuktikan bahwa operasi modified Fontan secara bertahap pada pasien PJB dengan fisiologi jantung univentrikel dan memenuhi kriteria operasi memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan secara primer.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Identifikasi terhadap penelitian yang relevan terhadap tujuan studi dilakukan melalui pencarian literatur pada Cochrane Library, PubMed, dan CINAHL (EBSCO) database. Setiap penelitian dinilai sesuai dengan tingkat bukti klinis sesuai dengan kriteria National Health and Medical Research Council (NHMRC).
Hasil: Tiga puluh artikel diikutsertakan dalam tinjauan sistematik ini. Morfologi ventrikel yang dilaporkan dari kelainan jantung univentrikel menunjukkan proporsi malformasi yang lebih besar dengan ventrikel sistemik kiri di sebagian besar studi yang disertakan. Data hemodinamik yang dilaporkan sebelum operasi Fontan menunjukkan distribusi yang hampir sama pada rerata tekanan arteri pulmonal (mean pulmonary arteriolar pressure, mPAP), tekanan diastolik akhir ventrikel sistemik (systemic ventricular end-diastolic pressure, EDPSV), dan tekanan transpulmonal (transpulmonary pressure gradient, TPG). Pendekatan operasi primer telah banyak ditinggalkan. Dijumpai mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi primer dengan kesintasan jangka panjang yang cukup sebanding. Tromboemboli lebih sering terjadi pada strategi operasi primer dengan insiden sebanyak 5,6% vs. 4,8% dibandingkan dengan operasi secara bertahap.
Simpulan: Prosedur modified Fontan secara bertahap memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibanding dengan pendekatan primer.

Background: Definitive palliation for univentricular heart usually involves different modifications of Fontan surgery / total cavopulmonary connection (TCPC). However, whether it should be done as a primary or staged procedure with an initial bidirectional Glenn shunt remains an area of debate.
Objective: This systematic review has been undertaken to prove that staged TCPC in Fontan candidates delivers better post-surgical results than the primary approach.
Method: This study was carried out according to the PRISMA-P protocol. Systematic searches identified studies in the Cochrane Library, PubMed, and CINAHL (EBSCO) database. According to the National Health and Medical Research Council (NHMRC) guideline, each study was critically appraised.
Results: A total of 30 studies were included in this systematic review. In most of the included studies, the reported ventricular morphology of univentricular heart defects showed a more significant proportion of the left systemic ventricle malformations. The hemodynamic data before Fontan surgery showed almost the same distribution of mean pulmonary arteriolar pressure (mPAP), systemic ventricular end-diastolic pressure (EDPSV), and transpulmonary pressure gradient (TPG). The primary surgical approach has mostly been abandoned because of its higher mortality rate than staged surgery. Long term survival has been comparable in both strategies. Thromboembolism was more common in the primary approach than in the staged surgery, with an incidence of 5.6% vs. 4.8%, respectively.
Conclusion: Staged modified Fontan procedure results in better post-surgical outcomes than the primary approach.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Henti jantung masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Walau telah ada kemajuan dalam hal tatalaksana kegawatdaruratan kardiovaskular, angka ketahanan hidup mereka dengan henti jantung di luar rumah sakit tetap rendah. Pedoman resusitasi jantung paru dan kegawatdaruratan kardiovaskular meski telah diperbaharui namun pendekatan terhadap keadaan henti jantung di luar rumah sakit masih jauh dari optimal. Hal ini memberi peluang bagi resusitasi kardioserebral untuk menjadi alternatif resusitasi pada keadaan henti jantung di luar rumah sakit. Resusitasi kardioserebral layak menggantikan resusitasi jantung paru pada keadaan henti jantung di luar rumah sakit karena telah terbukti memperbaiki ketahanan hidup dan fungsi serebral pada pasien dengan henti jantung.

Abstract
Cardiac arrest remains a leading cause of death in the world. Although advances in emergency cardiac care has been achieved, the survival rate of those with out-of-hospital cardiac arrest remains low. Guidelines for CPR and emergency cardiovascular care though have been updated, their approach to out-of-hospital cardiac arrest is far from optimal. This provides an opportunity to advocate cardiocerebral resuscitation as an alternative to traditional cardiopulmonary resuscitation for out-of-hospital cardiac arrest. Because cardiocerebral resuscitation results in improved survival and cerebral function in patients with witnessed cardiac arrest and a shockable rhythm whom have greatest chance of survival, it should replace CPR especially for out-of-hospital cardiac arrest."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Herwasto Kuncoroyakti Jatmiko
"ABSTRAK
Latar belakang: Epidemi infeksi human immunodeficiency virus (HIV) masih terus berlangsung di seluruh dunia. Infeksi HIV telah diketahui memengaruhi berbagai sistem organ termasuk jantung. Komplikasi jantung akibat infeksi HIV bersifat multifaktorial dan berperan pada morbiditas dan mortalitas anak. Seiring peningkatan ketersediaan anti retroviral therapy (ART), angka kesintasan pasien juga meningkat. ART selain mempunyai efek kardioprotektif melalui mekanisme penekanan replikasi virus, juga mempunyai efek kardiotoksik. Hingga saat ini belum ada studi pada anak yang membandingkan antara kelompok pasien yang belum mendapatkan terapi (ART-naïve) dan yang telah mendapatkan terapi (ART-exposed).Tujuan: Mendapatkan data prevalens komplikasi jantung pada anak dengan infeksi HIV, baik ART-naïve maupun ART-exposed. Komplikasi jantung yang diteliti antara lain kardiomiopati dilatasi, hipertensi pulmonal, efusi perikardial, dan kelainan elektrokardiografi (EKG).
Metode: Penelitian studi potong lintang dilakukan pada 106 anak dengan infeksi HIV usia 1-18 tahun yang datang ke Poliklinik Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari penelitian kohort berjudul ''Cardiovascular Consequences of Paediatric HIV infection: Early Life Cardiovascular Risk and Immediate Cardiac Complications'' yang dilakukan dari bulan Juni 2013 hingga September 2015. Hasil: Komplikasi jantung ditemukan pada 75 (70,8%) anak dengan infeksi HIV, dengan 34 (68%) anak dari kelompok ART-naive dan 41 (73,2%) dari kelompok ART-exposed. Prevalens kardiomiopati dilatasi dan efusi perikardial lebih tinggi secara bermakna pada kelompok ART-naïve (p=0,024; p=0,002), sedangkan prevalens hipertensi pulmonal lebih tinggi secara bemakna pada kelompok ART-exposed (p=0,004). Tidak ditemukan perbedaan bermakna prevalens kelainan EKG antara dua kelompok tersebut.
Simpulan: Prevalens komplikasi jantung pada anak dengan infeksi HIV adalah 70,8% dengan prevalens pada anak ART-naive sebesar 68% sedangkan pada anak ART-exposed sebesar 73,2%."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Therapeutic hypothermia has emerged as a very important treatment option for patients with cardiac arrest as it provides significant protection from developing neurologic injury once the patient has been successfully resuscitated. Studies have demonstrated over 15% absolute risk reduction in death and neurologic injury using this therapy. Although hospitals and medical centers have become familiar with this important intervention it still remains greatly under utilized due to an experience and lack of resources to safely and effectively deploy such a program. The objective of this book is to educate and familiarize both providers and institutions as to how to develop and deploy and provide therapeutic hypothermia to their patients. The current knowledge for this is provided by speakers and national experts and also by literature review. There are several courses being provided on this as well throughout the US. These are good venues for people to come and see and get hands on experience, but there still needs to be a concrete book with references on how to go about getting this program started.
"
London : Springer, 2012
e20425917
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Isman Firdaus
"

Kebutuhan akan dukungan sirkulasi mekaniksecara diniuntuk meningkatkan perfusi organ harus dipertimbangkandalam manajemen pasien pasca henti jantungPompa Balon Intra-Aorta (PBIA)merupakan alat bantu sirkulasi mekanik yang paling mudah dipakai dan tersedia di negara berkembang seperti Indonesia.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas insersi diniPBIA terhadap mortalitas pasien pasca henti jantungkarena sindrom koroner akut (SKA).

Penelitian uji klinis yang melibatkan 60 pasieninidilakukan pada pasca henti jantung karena SKA di dilakukan RSJPDHKperiodeOktober 2017Desember 2018K.Kriteria inklusi adalah semua pasien pasca henti jantung karena sindrom koroner akut, berusia 1875 tahun.Kriteria eksklusi adalah terdapat riwayat strokeberdasarkan anamnesis, pupil anisokor, sudah menggunakan PBIA sebelumnya, regurgitasi aorta, sindrom brugada dan congenital long QT.Pasien dirandomisasi menjadi kelompok pelakuan dan kontrol.Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu perlakuan (n= 30) dan kontrol (n =30). Kelompok perlakuan diberikan intervensi insersi PBIA sedini mungkin dalam 3 jam pertama setelah sirkulasi spontan kembali.Pemeriksaan kadar interleukin-6, bersihan laktat efektif (BLE)beklin-1, kaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vO2 diff, dan ScvO2 dilakukan di jam ke-0 dan jam ke-6 pasca kembali sirkulasi spontan.Luaran primer yang dinilai adalah mortalitas rumah sakit.,Luaransekunder yang dinilai adalahperbaikan hemodinamik, dan marka apoptosisdan kemampuanprediksi beklin-1, kaspase-3, interleukin-6 dan laktat jam ke-0 terhadap kematian. Analisisregresi cox dilakukan untuk menilai kesintasan pasien di RSdengan prinsip intention-to treat.

Sebanyak 60 pasien pasca henti jantung karena SKA, 30 di kelompok perlakuan dan 30 di kelompok kontroldiikutsertakan dalam penelitian ini.Mortalitas pada kelompok perlakuan adalah 18 (60%) pasien, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 17 (56,67%) pasien.  ([p=0,793; hazard ratio 1,29; [IK] 95% 0,662,52). Tidak terdapat perbedaan kadar IL-6, BLE, beclinbeklin-1, caspasekaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vOdiff, dan ScvO2di jam ke-6 pasca SSK antara dua kelompok.Laktat, IL-6dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA, sedangkan Beklin-1 tidak dapat memprediksi kematian.

Simpulan:Pemasangan PBIA dini tidakmemperbaiki mortalitas pasien SKA pasca henti jantung.Laktat, IL-6, dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA.


The need formechanical circulatory support to improve organ perfusion may be considered inthemanagement of post cardiac arrest syndrome patients. Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) is the most available and convenient used mechanical circulation aid especially in developing countries such as Indonesia.1This study aimed to find out whether early insertion of IABP can reduce in-hospital mortality, length of stay and death markers of cardiac arrest complicating acute myocardial infarction.

A randomized trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) Hospital from October 2017–December 2018. Inclusion criteria were all post cardiac arrest due to acute coronary syndrome (ACS) patients aged 18–75 years. Exclusion criteria were history of stroke, anisocoric pupil, previous IABP use, aortic regurgitation, brugada syndrome, and congenital long QT syndrome.The intevention group was given IABP inserted as early as possible in the first 3 hours after spontaneous circulation returned.  Patients were randomized into two groups, intervention and controls. Assessment of interleukin-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2 Diff, and ScvO2 was done in first hour and 6 hours afterreturn of spontaneous circulation (ROSC). Primary outcome was in-hospital mortality. Secondary outcome was improved hemodynamics, apoptotic markers, and predictive ability of beclin-1, caspase-3, IL-6 and lactate in first hour after ROSC to mortality. Cox regression analysis was performed to assess in-hospital survival with the intention-to-treat principle.

A total of 60 post cardiac arrest due to ACS patients, 30 in intervention group and 30 controls included in this study. In hospital mortality of intervention group vs control was 18 (60%) vs.17 (56.67%) respectively ([p=0.793; hazard ratio 1.29; [CI] 95% 0,662.52). There’s no difference in IL-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2Diff, and ScvO2in 6 hours after ROSC between two groups. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients while beclin-1 does not.

Conclusion:Early insertion of IABP is not improvemortality outcome of post cardiac arrest complicating acute myocardial infarctionpatients. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients.

"
2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>