Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71227 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ivana Supit
"Latar belakang: Botol susu saat ini sudah rutin digunakan, terutama pada ibu yang aktif dan bekerja. Penggunaan botol susu secara global mencapai 56%, sedangkan di Indonesia mencapai 37,9%. Penggunaan botol susu yang tidak tepat dapat mengakibatkan locking phenomenonkarena peningkatan tekanan negatif secara berlebih pada rongga nasofaring, yang berujung pada kejadian disfungsi tuba Eustachius. Penelitian ini menilai faktor yang berkaitan dan pengaruhnya terhadap disfungsi tuba Eustachius pada anak-anak yang menggunakan botol susu.Tujuan : mengetahui pengaruh dan hubungan faktor yang dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius pada penggunaan botol susu. Metode :Penelitian ini melibatkan 160 subjek berusia 24 – 48 bulan yang menggunakan botol susu. Fungsi tuba Eustachius setiap subjek dievaluasi menggunakan alat sonotubometer untuk menentukan ada tidaknya disfungsi tuba Eustachius. Pengolahan data dilakukan dengan uji chi square, menggunakan Pvalue <0,25 untuk melihat hubungan antar faktor dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius. Faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius dianalisis dengan uji regresi logistik untuk menentukan faktor determinan terhadap kejadian disfungsi tuba Eustachius.Hasil : Penelitian ini mendapatkan gambaran penggunaan botol susu yang baik dapat mencegah kejadian disfungsi TE hingga 6,8 kali. Hipertrofi adenoid memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE hingga 10,5 kali. Jenis susu memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE 4,1 kali. Kesimpulan : Cara penggunaan botol susu, hipertrofi adenoid dan jenis susu sebagai faktor determinan terhadap disfungsi tuba Eustachius.

Backgroud: Bottle feeding has been considered normal and widely used, preferably by active and working mother. Numbers of bottle feeding globally reach 56% of total population, while the Indonesian use of bottle feeding up to 37,9%. Improper use of bottle feeding may lead to locking phenomenon due to excessive pressure changes in nasopharynx area. This study aims to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Aims : to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Methods : This study involved 160 subjects 24 – 48 months old children with bottle feeding. We evaluated their Eustachian tube using a sonotubometer to determine the presence of Eustachian tube dysfunction. Data analysis was done using chi square method to determine the significant factors with Pvalue<0,25. Significant factors then analyzed by logistic regretion in order to determine determinan factors. Result : This study found that proper used of bottle feeding protect children from Eustachian tube dysfunction up to 6,8 times. Adenoid hypertrophy 10,5 times effected the Eustachian Tube, Type of milk consumed contributed up 4,1 times toward Eustachian tube dysfunction.Conclusion : Proper used of bottle feeding, adenoid hypertrophy and milk type are the determinant factors on Eustachian tube dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhwan
"ABSTRAK
Latar belakang: Fungsi dari tuba Eustachius (TE) adalah ventilasi, proteksi, dan pembersihan telinga tengah. Disfungsi TE berperan penting pada patogenesis terjadinya kasus otitis media, sehingga hasil pengobatan dan prognosis kasus ini sangat bergantung pada fungsi TE yang adekuat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi angka keberhasilan rekonstruksi telinga tengah. Data penelitian mengenai fungsi ventilasi TE masih sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi dan operasi pada kasus OMSK. Tujuan : Mendapatkan gambaran fungsional ventilasi TE pada pasien OMSK tipe aman dan subjek non otitis media serta mendapatkan modalitas lain untuk mengukur fungsi ventilasi TE pada pasien dengan membran timpani utuh maupun perforasi. Metode: Penelitian comparative cross sectional pada 36 subjek telinga OMSK tipe aman dan 80 telinga subjek non otitis media dengan sonotubometri dan dinilai parameter jumlah frekuensi pembukaan, peningkatan amplitudo, dan durasi pembukaan. Hasil : Gangguan fungsi ventilasi TE lebih banyak didapatkan pada kelompok OMSK tipe aman (47%) dibandingkan kelompok non otitis media (18,75%). Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) antara fungsi ventilasi TE subjek OMSK tipe aman dengan subjek non otitis media, dimana subjek OMSK tipe aman dapat mengalami gangguan fungsi ventilasi TE 3,88 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek non otitis media. Kesimpulan : Pasien OMSK tipe aman lebih berpotensi mengalami gangguan fungsi ventilasi TE dibandingkan subjek non otitis media

ABSTRACT
Background : The function of the Eustachian tube (ET) is ventilation, protection and cleaning of the middle ear. TE dysfunction plays an important role in the pathogenesis of otitis media cases, so that the treatment and prognosis of these cases is very dependent on adequate TE function that can ultimately affect the success rate of middle ear reconstruction. Data research on ventilation ET function is needed for the success of the therapy and surgery in the case of chronic suppurative otitis media (CSOM) Objective : To determine ventilation ET function on benign type chronic suppurative otitis media and non otitis media subject and get another modality to measure ventilation function TE in patients with intact and perforated tympanic membrane. Methods : Comparative Cross-sectional study in 36 subjects benign type CSOM and 80 non otitis media subjects with sonotubometry and rated parameter number of frequencies opening, increasing the amplitude and duration of the opening ET. Results : Malfunctioning ventilation ET function more obtained at benign type CSOM (47%) than among non otitis media subjects (18.75%). There is a significant difference (p = 0.002) ventilation ET function between benign type CSOM subject and non otitis media subject, where the benign type CSOM subject may be malfunctioning ventilation ET function 3.88 times larger than the non otitis media subjects. Conclusion : Patients with benign type potentially have malfunctioning ventilation ET function than non otitis media subjects."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiah Sari
"Tuba Eustachius berfungsi mengatur dan memodulasi status pneumatik dari telinga tengah dan mastoid untuk menjaga lingkungan yang sesuai untuk transmisi suara optimal oleh membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Fungsi TE merupakan faktor penting dalam patogenensis otitis media dan pembersihan ruang telinga tengah serta penting dalam keberhasilan operasi telinga tengah. Otitis media supuratif kronik OMSK adalah inflamasi kronik telinga tengah dan kavum mastoid dengan gambaran klinis adanya keluar cairan telinga berulang atau otorea melalui perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian ini ingin mengetahui sebaran dan kesesuaian hasil pemeriksaan fungsi ventilasi TE menggunakan sonotubometri dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee pada subjek OMSK tipe aman. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada 51 subyek yang diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini didapatkan proporsi hasil pemeriksaan ventilasi TE dengan sonotubometri normal sebanyak 35,5 dan audiometri impedans dengan automatic Toynbee normal sebesar 5,9 . Uji kesesuaian dengan Kappa antara kedua alat didapatkan kesesuaian yang lemah namun secara statistik bermakna. Perhitungan kesesuaian dengan proporsi confounding didapatkan hasil yang sesuai antara kedua alat sebesar 70,6 .

Eustachian Tube ET function is to regulate and modulate pneumatic status of middle ear and mastoid cavity for maintenance of appropiate environment for optimal noise transmision by the tympanic membrane and ossicular chain. ET function is the important factor in otitis media pathogenesis and clereance of middle ear cavity also for middle ear surgery prognosis. Chronic suppurative otitis media CSOM is chronic inflamation of middle ear and mastoid cavity with reccurent ear discharge or otorrhoea through tympanic membrane perforation which occurs more than 3 months.This study is intended to investigate the proportion and association of examination on ET ventilation function with sonotubometry and impedance audiometry using automatic Toynbee on CSOM benign type subject. This study is a cross sectional descriptive research in 51 subjecst which were taken by consecutive sampling. The results is that the normal proportion of ET ventilation function with sonotubometry is 35,5 and with impedance audiometri using automatic Toynbee is 5,9 . The correlation test with Kappa from the two devices is weak but is statistically significant. Another correlation test with confounding proportion indicates that the two devices match at 70,6 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55688
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Cahyania Intani
"Latar Belakang: Faktor predisposisi utama pada otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah gangguan fungsi tuba eustachius (TE). Adanya gangguan fungsi TE memungkinkan terjadinya OMSK berulang walaupun telah diterapi. Variasi anatomi dari telinga berupa ukuran TE berkaitan dengan perbedaan fungsi fisiologis  TE. 
Tujuan: Membantu memperkirakan status gangguan fungsi TE berdasarkan pemeriksaan HRCT mastoid. 
Metode: Data sekunder status fungsi TE berdasarkan pemeriksaan timpanometri automatic Toynbee Eustachian Tube Function Test 2 (ETF2) terdiri dari tanpa gangguan fungsi TE dan dengan gangguan fungsi TE, kemudian dilakukan pengukuran panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus pada pemeriksaan High Resolution Computed Tomography (HRCT) mastoid tebal irisan 1 mm potongan sagital oblik dan aksial berdasarkan bidang Ku-Copson dari sistem Picture Archiving and Communication System (PACS). Pasien dengan kolesteatoma dieksklusi. Rerata panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus dengan gangguan fungsi TE dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE dianalisis menggunakan uji-T tidak berpasangan. 
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata panjang TE, diameter TE pre-timpani, dan regio isthmus pada gangguan fungsi TE dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (p<0,001), dimana nilai rerata panjang TE dengan gangguan fungsi TE lebih pendek (35,2 ± 1,5 mm) dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (37,4 ± 1,7 mm) dan diameter pre-timpani serta diameter isthmus TE lebih kecil pada pasien dengan gangguan fungsi TE (diameter pretimpani: 3,5 ± 0,1 mm; diameter isthmus: 0,89 ± 0,09 mm) dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE (diameter pretimpani: 3,9 ± 0,1 mm; diameter isthmus: 1,08 ± 0,07 mm). 
Simpulan: Ukuran TE dengan gangguan fungsi TE lebih kecil dibandingkan tanpa gangguan fungsi TE pada pasien OMSK tipe aman. 

Background: The main predisposing factor in chronic suppurative otitis media (CSOM) is dysfunction of the eustachian tube (ET). The presence of ET function disorders allows CSOM to recur even though it has been treated. Anatomical variations of the ear in the form of ET size are related to differences in ET physiological function. 
Objectives: To estimate the status of impaired ET function based on mastoid HRCT examination. 
Methods: Secondary data on ET function status based on the Toynbee ETF2 automatic tympanometry examination consisted of without ET function disorder and with ET function disorder, then ET length, pre-tympanic ET diameter, and isthmus region were measured on HRCT mastoid examination with 1 mm thick slice of the mastoid oblique sagittal section and axial based on the Ku-Copson plane of the Picture Archiving and Communication System (PACS). Patients with cholesteatoma were excluded. The mean ET length, pre-tympanic ET diameter, and isthmus region with impaired ET function compared to those without impaired ET function were analysis using an unpaired T-test. 
Results: There were significant differences in the mean ET length, ET diameter in the pre-tympani region, and isthmus region in ET function disorders compared to those without ET function disorders (p<0.001), where the mean ET length with ET function disorders was shorter (35.2 ± 1 .5 mm) compared to those without ET function disorder (37.4 ± 1.7 mm) and the pre-tympani diameter and ET isthmus diameter were smaller in patients with ET function disorder (pre-tympanic diameter: 3.5 ± 0.1 mm; isthmus diameter : 0.89 ± 0.09 mm) compared to no ET function disorder (pre-tympanic diameter: 3.9 ± 0.1 mm; isthmus diameter: 1.08 ± 0.07 mm). 
Conclusion: ET size with impaired ET function is smaller than without impaired ET function in CSOM patients with benign type.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rossa Martiastini Ajiati
"ABSTRAK
Latar belakang. Sonotubometri merupakan tes fungsi ventilasi TE berdasarkan
prinsip kerjanya merupakan tes fungsi ventilasi tuba Eustachius yang paling
fisiologis, mudah dikerjakan, tidak memerlukan tekanan udara yang ekstrim,
tidak invasif, dapat dikerjakan pada membran timpani yang perforasi maupun
intak dapat dikerjakan. Dalam menilai fungsi ventilasi TE, terdapat 3 parameter
yang menjadi acuan yaitu amplitudo peningkatan suara yang terekam, frekuensi
dan durasi pembukaan lumen TE. Sedangkan timpanometri menilai fungsi
ventilasi TE berdasarkan perubahan pada tekanan telinga tengah. Tujuan:
Mengetahui kesesuaian sonotubometri dan timpanometri sebagai pemeriksaan
fungsi ventilasi tuba Eustachius pada subjek dewasa pendengaran normal.
Metode: Penelitian cross sectional ini dilakukan di Poliklinik Neurootologi dan
Rinologi THT pada bulan Desember 2015-Januari 2016 pada 40 subjek dewasa
pendengaran normal dilakukan pemeriksaan fungsi ventilasi tuba menggunakan
sonotubometri dengan perasat menelan air selama 10 detik dan menggunakan
timpanometri setelah perasat Toynbee dan Valsalva dengan timpanometri. Hasil:
Dilakukan analisa perbandingan dengan uji Mc Nemar dan kesesuaian dengan uji
Kappa. Didapatkan perbedaan proporsi serta kesesuaian yang lemah antara nilai
fungsi ventilasi TE yang diperiksa dengan sonotubometri dan timpanometri
Kesimpulan: Sonotubometri dapat menjadi metode pilihan dalam menilai fungsi
ventilasi TE karena mekanisme kerja yang menilai fungsi ventilasi TE secara
langsung dan paling fisiologis

ABSTRACT
Background: Sonotubometry is ventilation function test of Eustahian tube that
has the most functional mechanism, non invasif, easy-performed, no extreme of
air pressure and can be performed in intact or perforation timpanic membran.
For ventilation function of Eustachian tube evaluation, there are 3 komponen
measurement as parameter. These are increase of acoustik intensity so called
amplitudo, frequency and the duration of Eustachian tube opening. While
tympanometry measure the ventilation function of Eustachian tube based on the
change of middle ear pressure Objective: to examine the conformity between
sonotubometri and tympanometry as a test tool of Eustachian tube ventilation
function in adult subject with normal hearing. Methods: This cross sectional
research was performed on 40 subject who has normal hearing and then
performed sonotubometri using 10 seconds wet swallong and timpanometri
examination after Toynbee-Valsava manuver. The result of examination was
statistically analyzed by Mc Nemar and Kappa.Results: Tthere was statistically
significant of different proportion and weak conformity between Eustahian tube
ventilation function based on sonotubometri and tympanometry.Conclusion:
Sonotubometry can be an option for evaluation of eustahian tube ventilation
function according to the physiologically and directly evaluation of the
mechanisme."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliana Mangkuwerdojo
"Kemudahan Pemasangan Pipa Nasogastrik pada Pasien Terintubasi : Perbandingan antara Metode Digiti dengan Manuver Reverse SellickLiliana Mangkuwerdojo, Aida Rosita Tantri, RahendraDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesiae-mail: drliliana2012@gmail.comLatar Belakang:Pemasangan pipa nasogastrik pada pasien tidak sadar yang terintubasi memiliki kesulitan tersendiri. Berbagai teknik pemasangan pipa nasogastrik dilakukan untuk memudahkan pemasangan pipa nasogastrik pada pasien terintubasi. Salah satu teknik yang sudah dikenal untuk memudahkan pemasangan pipa nasogastrik pada pasien terintubasi adalah manuver reverse Sellick. Akan tetapi manuver reverse Sellick masih memiliki angka kegagalan yang cukup tinggi. Metode digiti merupakan teknik baru yang mudah dan memiliki angka keberhasilan yang tinggi serta angka komplikasi yang minimal. Kemudahan pemasangan dinilai dari angka keberhasilan pemasangan pada upaya pertama, lama upaya pemasangan yang lebih singkat pada upaya pertama, serta angka komplikasi berupa bercak darah yang lebih minimal.Metode:Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan kemudahan pemasangan pipa nasogastrik pada pasien terintubasi. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 210 subyek dengan consecutive sampling, subyekdirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subyek yang mendapatkan perlakuan dengan metode digiti dan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan manuver reverse Sellick. Dilakukan pencatatan keberhasilan pipa nasogastrik pada upaya pertama, lama upaya pemasangan yang diperlukan, serta angka komplikasi pemasangan pipa nasogastrik berupa bercak darah. Uji Chi-square dan Mann-Whitneydilakukan untuk menganalisis data.Hasil:Angka keberhasilan pada upaya pemasangan pertama dengan metode digiti adalah sebesar 81,6 dibandingkan denganmanuver reverse Sellick sebesar 60,7 p 0,002 . Nilai median lama upaya pertama pemasangan pipa nasogastrik dengan metode digiti adalah 13 detik sedangkan dengan manuver reverse Sellick 12 detik p.

Feasibility of Nasogastric Tube Insertion in Intubated Patient Comparison between DigitiMethod and Reverse Sellick Manuver Anesthesiology and Intensive Care Department, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesiae mail drliliana2012 gmail.comBackground Nasogastric tube insertion in an intubated unconscious patient has its own challenge. Various techniques are performed to improve the success rate. Reverse Sellick rsquo smanuver, well known technique facilitating the nasogastric tube insertion in intubated patient. However, reverse Sellick 39 s manuver has a high failure rate. Digiti rsquo s method, a new technique which is feasible, has a high success rate and minimal complication. Feasibility of nasogastric insertion is determined bythe success rate at first attempt, duration of first attempt insertion procedure and the occurrence of complication blood spot .Methods Single blinded randomized clinical trial were conducted to compare the feasibility of nasogastric tube insertion in intubated patient. Two hundred and ten patients were enrolled into the study with consecutive sampling. Subjects were randomized into two groups subject treated withdigiti rsquo s method and subject treated with reverse Sellick rsquo s manuver. The successful of first attempt nasogastric tube insertion, duration of first attempt insertion procedure and complication rate of nasogastric tube blood spots were recorded.Chi square and Mann Whitney analysis were used to analyze the data.Results Success rate was significantlyhigher indigiti rsquo sgroup 81,6 compared to reverse Sellick rsquo s manuver group 60,7 p 0,002 . The median value of first attempt duration with digiti rsquo s method was 13s, while the reverse Sellick rsquo s manuver was 12s p."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Suardi
"Vortex tube adalah sebuah ala( yang mampu memisahkan panes dari sebuah aliran udara bertekanan menjadi dua buah aliran, dimana temperatur aliran yang pertama menjadi Iebih panas sedangkan aliran yang lainnya menjadi febih dingin daripada ternperatur udara masuk.
Salah satu faktor terpenting n yang mempengaruhi karakterisfik dari vortex tube, adalah sisi inlet. Untuk mengetahui pengaruh sisi inlet terhadap perubahan temperatur udara panas dan udara dingin serta kapasitas pendinginan yang dihasilkan maka difakukan ` penelitian secara eksperimental, dengan menggunakan termokope! sebagai pengukur temperatur, manometer raksa untuk mengukur tekanan dan rotameter untuk mengukur flow ratenya.
Berdasarkan hasil penelitian pada setiap ni!ai tekanan udara masuk, didapatkan temperatur udara dingin akan minimum pada 0,5-0,6 nilai fraksi massa dingin sekitar temperatur udara panas akan maksimum pada nilai fraksi massa dingin sekitar 0,7 dan 0,8 kapasitas pendinginan akan maksimum pada nifai fraksi massa dingin sekitar 0,8. Kapasitas pendinginan yang akan dihasilkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan udara masuk. Pada tekanan udara masuk 10 bar dengan temperatur 29,4°C dan nilaf fraksi massa dingin aktual 0,41, vortex tube ini akan mampu menghasiH

Vortex tube is a device that can separate (heat from pressured air How) into 2 air How, where the temperature of lirst air tlow is hotter than the second air How compared to temperature of inlet How.
One important thing can effect the characteristics of vortex tube is inlet section. To tind how it effect the change of temperature of hot water and cold water and cooling capacity, then it must be done by done by doing research experimentally. This research utilites thennocouple to measure temperature, manorneter to measure pressure and rotameter to measure rate of air flow.
According to result of this research, for each value of inlet pressure, the temperature of cold air will be minimum cold mass fraction value 0,5-0,6 around the hot air temperature and will be max at cold mass fraction value 0, 7 and 0,8, and cooling capcity will be max at cold mass fraction value 0, 8. From the data, it is look like that the cooling capacity will keep increasing along with inlet air pressure. Vortex tube can produce hot air at 44,5°C and cold air at 9, 5°C when inlet air pressure 10 ban temperature 29,4°C and cold mass fraction value 0,41.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S37180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmadi
"Penelitian ini dilakukan untuk mencari penyebab kegagalan pada tube superheater. Tube superheater adalah alat bantu Boiler yang berfungsi untuk menghasilkan uap superheat dengan temperatur 462 ºC yang selanjutnya digunakan untuk penggerak turbin uap. Tube menerima panas dari gas alam dengan temperatur 919 ºC.
Material tube superheater adalah Baja Karbon Molybdenum (15 Mo3) yang direncanakan untuk beroperasi selama 12 tahun. Tetapi baru beroperasi 2 tahun, 4 bulan telah mengalami kegagalan.
Setelah dilakukan pemeriksaan fraktografi mikro dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) pada daerah pecah ditemukan retak mikro di permukaan pecah. Retak mikro ini terbentuk diperkirakan ketika dilakukan proses pengerolan panas sewaktu tube dibuat. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) ditemukan unsur S (sulphur) hanya di daerah pecah saja. Penambahan retak mikro ini dipicu oleh proses dan kondisi overheating yang mengakibatkan terjadinya peristiwa kegagalan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
T649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Ahmad Al Muhdar
"Kebutuhan akan sumber daya energi semakin meningkat tiap tahunnya. Kolektor surya mampu menyerap radiasi matahari dan sebagai pemanas air. Untuk mendapatkan energi yang banyak, maka diperlukan juga kolektor surya yang banyak. Kolektor surya dengan jenis evacuated tube solar collector  pada atap gedung MRC FTUI terpasang secara seri-paralel dengan detail dua kolektor surya dipasang secara seri baru diparalelkan. Penelitian ini akan melakukan simulasi dengan software bernama MATLAB dengan tujuan mengetahui apakah jika susunan rangkaiannya dirubah akan mendapatkan hasil temperatur akhir yang lebih baik. Dalam penelitian ini, dilakukan simulasi dengan beberapa kondisi, untuk mengetahui apabila susunan rangkaian dirubah dapat meningkatkan temperatur akhirnya. Setelah didapatkan hasil, dilakukan simulasi kembali untuk mencari susunan rangkaian yang memiliki temperatur keluar yang lebih tinggi dari susunan sebelumnya. Dengan menggunakan data rata-rata susunan rangkaian baru didapatkan dengan selisih temperatur masuk dan keluar sebesar  10,3 oC, sedangkan rangkaian aktual saat ini memiliki selisih temperatur sebesar 6,3 oC. Efisiensi yang didapatkan pada rangkaian baru sebesar 67,4% dan rangkaian aktual yang terpasang saat ini sebesar 67,9%.

The need for energy resources is increasing every year. The solar collector can absorb solar radiation and as a water heater. To get a lot of energy, we need a lot of solar collectors. Evacuated tube solar collectors on the roof of the FTUI MRC building installed in parallel-series with the details of the two solar collectors installed in a new series paralleled. This study will conduct a simulation with MATLAB software to know whether the arrangement of the circuit is changed will get a better final temperature. In this study, a simulation was carried out with several conditions to determine if the arrangement of the circuit altered could increase the final temperature. After the results obtained, the simulation performed again to find the circuits arrangement with a higher exit temperature than the previous arrangement. By using average data, the arrangement of the new circuit obtained by the difference in temperature in and out of 10.3 oC. In comparison, the actual circuit currently has a temperature difference of 6.3 oC. The efficiency obtained in the new circuit is 67.4%, and the currently installed circuit is 67.9%. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S37185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>