Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunifianti
"Tenaga kesehatan berperan penting dalam penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Alat pelindung diri (APD) diperlukan saat mereka bekerja. Waktu kerja maksimal penggunaan APD adalah enam jam, dan harus digunakan sesuai dengan risiko di lokasi kerja. Sayangnya, dalam praktiknya, APD sering digunakan lebih dari enam jam. Selain itu, bahan gaun terbuat dari bahan yang tidak dapat menyerap keringat. Para tenaga kesehatan juga mengenakan masker berlapis-lapis. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur prevalensi kelelahan kronis dan faktor APD yang dapat mempengaruhi kelelahan kronis. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kami menggunakan skala penilaian kelelahan untuk memperkirakan prevalensi kelelahan kronis. Kami menemukan bahwa prevalensi kelelahan kronis di antara petugas kesehatan sangat tinggi (82,8%). Namun, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara tingkat APD, bahan gaun, jenis masker dan kelelahan kronis (p>0,05). Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara masker ganda (masker tidak/ya) dengan kelelahan kronis (p <0,05). Penelitian lebih lanjut untuk memasukkan pengukuran yang lebih objektif dalam penggunaan APD harus dilakukan di masa depan.

Healthcare workers play a crucial role in the management of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). When working, personal protective equipment (PPE) is required. The maximum working time while wearing PPE is six hours, and it should be worn in accordance with the risk at the work site. Unfortunately, in practice, PPE is frequently worn for longer than six hours. In addition, the gown is made from nonabsorbent materials. Layered masks are also worn by the healthcare workers. These factors may result in fatigue. This study aims to determine the prevalence of chronic fatigue and PPE factors that may contribute to it. This study was conducted using a cross-sectional design with secondary data gathered by the Master of Occupational Medicine Program, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. We used the Fatigue Assessment Scale (FAS) to measure chronic fatigue. We found a very high prevalence of chronic fatigue among healthcare workers (82.8 percent). However, there was no significant correlation between the level of PPE, gown material, mask type and chronic fatigue (p > 0.05). Nevertheless, there was a significant relationship between double mask (no/yes mask) and chronic fatigue (p < 0.05). Future research should incorporate more objective measurement for the use of PPE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangara
"Latar Belakang: Penggunaan peralatan pelindung diri (PPE) dalam jangka panjang oleh tenaga kesehatan selama pandemi Covid-19 telah menimbulkan kekhawatiran tentang munculnya gejala stres panas. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara durasi penggunaan PPE dan munculnya gejala stres panas pada tenaga kesehatan di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi potong lintang oleh Departemen Kesehatan Kerja Universitas Indonesia. Kuesioner disebarkan kepada tenaga kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia untuk menentukan prevalensi gejala terkait panas dan menguji hubungannya dengan durasi penggunaan PPE. Dari tiga ratus lima puluh enam partisipan (n=356), tiga ratus sepuluh partisipan memenuhi kriteria untuk analisis lebih lanjut (n=310).
Hasil: Sebagian besar responden mengalami gejala stres panas sedang hingga berat, dengan haus (n= 61,0%) dan kelelahan (n=44,5%) menjadi yang paling umum. Nilai p kurang dari 0,05 menunjukkan signifikansi statistik. analisis multivariat menunjukkan bahwa hanya usia (p=<0,001) dan level PPE 2 (p=<0,010) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap gejala-gejala ini. Faktor-faktor lain, seperti durasi penggunaan PPE (p=0,548), jenis kelamin (p=0,397), pekerjaan (p=0,521), bahan jubah (p=0,742), bekerja di ruangan ber-AC (p=0,383), melepaskan PPE selama istirahat (p=1,000), dan memiliki area istirahat khusus (p=0,112), tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan: Penting bagi institusi layanan kesehatan untuk menerapkan tindakan pencegahan, menyediakan APD yang sesuai, memastikan akses ke tempat istirahat yang ditunjuk, dan mempertimbangkan usia,penyakit penyerta, dan kebutuhan individu petugas layanan kesehatan untuk meminimalkan risiko tekanan panas. Pemantauan dan penilaian paparan panas secara berkala dengan Menentukan ISBB dengan Menambahkan Faktor Penyesuaian Pakaian untuk Menentukan Tingkat Kerja Metabolik Efektif dengan mempertimbangkan Nilai Ambang Batas atau Batas Tindakan untuk Paparan Stres Panas untuk mencegah gejala stres panas di antara petugas kesehatan juga disarankan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan mereka selama kondisi kerja yang panas. Penelitian lebih lanjut direkomendasikan untuk membahas pengukuran objektif, desain longitudinal, dan studi intervensi untuk lebih memahami dan mengurangi tekanan panas dalam pengaturan perawatan kesehatan.

Introduction: The prolonged use of personal protective equipment (PPE) among healthcare workers during the Covid-19 pandemic has raised concerns about the occurrence of heat stress symptoms. This study aims to investigate the relationship between the duration of PPE usage and the occurrence of heat stress symptoms among healthcare workers in Indonesia.
Methods: This cross-sectional study used secondary data collected through a cross-sectional study by the Department of Occupational Health, University of Indonesia. Questionnaires were distributed to health workers in various health facilities in Indonesia to determine the prevalence of heat-related symptoms and examine the relationship with the duration of PPE use. Out of three hundred and fifty-six participants (n=356), three hundred and ten participants met the criteria for further analysis (n=310).
Results: Most of the respondents experienced moderate to severe symptoms of heat stress, with thirst (n= 61.0%) and fatigue (n=44.5%) being the most common. A p value of less than 0.05 indicates statistical significance. multivariate analysis showed that only age (p=<0.001) and PPE level 2 (p=<0.010) had a significant effect on these symptoms. Other factors, such as duration of use of PPE (p=0.548), gender (p=0.397), occupation (p=0.521), robe material (p=0.742), working in an air-conditioned room (p=0.383), releasing PPE during rest (p=1.000), and having a specific resting area (p=0.112), did not show a significant relationship.
Conclusion: It is crucial for healthcare institutions to implement preventive measures, provide suitable PPE, ensure access to designated rest areas, and consider the age, underlying disease and individual needs of healthcare workers to minimize the risk of heat stress. Regular monitoring and assessment of heat exposure by Determine WBGT Add with Clothing Adjustment Factor (CAF) to Determine WBGT Effective Metabolic Work Rates and consider the Threshold Limit Value or Action Limit for Heat Stress Exposure in order to prevent heat stress symptoms among healthcare workers are also recommended to ensure their health and well-being during hot working conditions. Further research is recommended to address objective measurements, longitudinal designs, and intervention studies to better understand and mitigate heat stress in healthcare settings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Elizabeth
"Kelelahan atau merupakan perasaan dimana seseorang merasa sangat lelah, letih atau mengantuk yang disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti jam tidur yang kurang, tuntutan kerja yang tinggi, periode tugas yang lama, adanya tuntutan sosial dan kemasyarakatan, atau mengalami stres dan depresi yang berkepanjangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor – faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Kecamatan Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur saat masa pandemi COVID-19. Adapun faktor – faktor yang diteliti antara lain faktor karakteristik individu (jenis kelamin, usia, dan status kesehatan) dan faktor pekerjaan (jam istirahat, shift kerja, kuantitas tidur, pekerjaan sampingan dan commuting times). Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dan pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online. Dari 131 tenaga kesehatan yang menjadi responden dalam penelitian ini, didapatkan 50.4% tenaga kesehatan merasakan kelelahan. Selain itu, terdapat hubungan antara status kesehatan (P value = 0,041) dan commuting times (P value = 0,039) dengan kejadian kelelahan.

Fatigue is a feeling where a person feels very tired or sleepy caused by various risk factors such as insufficient sleep hours, high work demands, long periods of work, social demands, or experiencing prolonged stress and depression. This study aims to analyze the factors related to fatigue among healthcare workers working at the East Jakarta District Health Center during the Pandemic COVID-19. The factors studied included individual characteristics (gender, age, and health status) and occupational factors (rest hours, work shifts, sleep quantity, side jobs and commuting times). This study used a cross sectional research design and data was collected by distributing online questionnaires. Among 131 healthcare workers who were respondents in this study, it was found that 50.4% of healthcare workers felt fatigue. In addition, there is a relationship between health status (P value = 0.041) and commuting times (P value = 0.039) with the incidence of fatigue."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caleb Leonardo Halim
"Pandemi COVID-19 berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental. Hal ini disebabkan karena semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik masyarakat selama pandemi berlangsung. Rendahnya tingkat aktivitas fisik juga berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Tidak terkecuali pada petugas layanan kesehatan yang memiliki risiko untuk terpapar COVID-19 lebih tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tingkat aktivitas fisik dan kesehatan mental (depresi, ansietas, stres) pada petugas layanan kesehatan di masa pandemi COVID-19. Metode: Penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Pengambilan data di bulan Mei-Juni 2022 dan melalui metode kuesioner hybrid (daring dan luring). Aktivitas fisik dinilai dengan GPAQ (Global Physical Activity Questionaire) dan kesehatan mental dengan DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Hasil: Terdapat sebanyak 107 subjek yang ikut kedalam penelitian ini. Tingkat aktivitas fisik kurang didapatkan pada 55,1% petugas layanan kesehatan. Gejala kesehatan mental pada petugas layanan kesehatan didapatkan sebesar 23,4% untuk depresi, 31,8% untuk ansietas, dan 22,4% untuk stres. Dilakukan analisis bivariat untuk hubungan tingkat aktivitas fisik dengan depresi (PR = 0,881 (0,444-1,750); p>0,05), ansietas (PR = 0,915 (0,525-1,595); p>0,05), dan stres (PR = 0,961 (0,474-1,949); p>0,05). Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan tingkat depresi, ansietas, dan stres. Kata Kunci: aktivitas fisik; ansietas; depresi; kesehatan mental; petugas layanan kesehatan; stres.

The COVID-19 pandemic has devastating impact both on physical and mental health. This is due to decreasing level of physical activity among people during the pandemic. Low level of physical activity also affect a person's mental health. Healthcare workers are no exception, who might have higher risk of being exposed to COVID-19. The purpose of this study was to describe the level of physical activity and mental health (depression, anxiety, stress) among healthcare workers during the COVID-19 pandemic. Methods: Cross-sectional study using primary data. Data collection was conducted in May-June 2022 and using questionnaire delivered through hybrid method (online and offline). Physical activity was assessed by GPAQ (Global Physical Activity Questionnaire) and mental health by DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Results: There were 107 subjects who participated in this study. Inadequate levels of physical activity were found in 55.1% of health care workers. Mental health symptoms among healthcare workers was 23.4% for depression, 31.8% for anxiety, and 22.4% for stress. Bivariate analysis was conducted for the association between levels of physical activity and depression (PR = 0.881 (0.444-1.750); p>0.05), anxiety (PR = 0.915 (0.525-1.595); p>0.05), and stress (PR = 0.961 (0.474-1.949); p>0.05). Conclusion: There was no significant association between the level of physical activity and the level of depression, anxiety, and stress."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reza Aditya
"Pendahuluan: Selama pandemi COVID-19, terjadi peningkatan beban kerja, serta kewaspadaan dan kepatuhan yang lebih besar dalam bekerja. Tenaga kesehatan harus menjalankan tugasnya dalam menghadapi ketakutan terhadap infeksi COVID-19 yang dapat memicu dan/atau memperparah stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan stres petugas kesehatan pada masa pandemi dengan menekankan pada perubahan situasi psikososial di rumah sakit.
Metode penelitian: Studi potong lintang ini dilakukan dari bulan Januari sampai Maret 2021 dengan menggunakan kuesioner online yang terdiri dari kuesioner pribadi dan pekerjaan, serta kuesioner stres dan stres yang divalidasi menggunakan uji validitas dan reliabilitas (Cronbach's alpha 0,8 dan 0,9). Untuk analisis multivariat, digunakan regresi logistik multinomial untuk mengidentifikasi faktor determinan (p<0,05). Data dianalisis menggunakan software SPSS versi 20 (IBM Corp, USA).
Hasil: Gambaran perubahan stresor pada responden adalah peningkatan stresor ringan 59,7%, peningkatan stresor sedang 20,6%, peningkatan stresor berat 5,1%, stresor tetap 11.1%, penurunan stresor 3,3%. Dengan gambaran persepsi stres adalah stres sedang 56,1%, stres berat 27,2%, stres ringan sebanyak 16,7%. Faktor determinan pada kejadian stres berat adalah tingkat perubahan stresor sedang berat dibandingkan dengan stresor menetap [aOR 8(95% CI, 2.2–29.7)], stresor tetap dibandingkan dengan stresor yang menurun [aOR 11(95% CI, 0.01–0.9)] dan lokasi kerja zona merah[aOR 3.2(95% CI, 0.1–0.8)], faktor determinan pada kejadin stres sedang adalah stresor menetap dibandingkan dengan yang menurun [aOR 25(95% CI, 0.7–0.9)], lokasi kerja zona merah[aOR 2.6(95% CI, 0.2-0.9)] dan usia kurang dari 3030[aOR 1.8(95% CI, 1.1-3.2)].
Kesimpulan: Faktor determinan kejadian stres berat pada tenaga kesehatan adalah perubahan stresor kerja dan zona kerja, untuk kejadian stres sedang adalah perubahan stresor kerja, zona kerja dan usia

Background: During the COVID-19 pandemic, there has been an increase in workload, as well as greater vigilance and compliance at work. Healthcare workers must perform their duties while facing fear of COVID-19 infection, which can trigger and/or aggravate stress. This study aimed to obtain the determinant factor of stress among the healthcare workers during the pandemic by emphasizing the change in the psychosocial situation at the hospital.
Methods: This cross-sectional study was conducted from January to March 2021 using an online questionnaire consisting of personal and occupational questionnaires, as well as a validated stressor and stress questionnaires using validity and reliability tests (Cronbach's alpha 0.8 and 0.9). For the multivariate analysis, multinomial logistic regression was used to identify the determinants factor (p<0.05). Data were analyzed using SPSS software version 20 (IBM Corp., USA).
Results: More than half of respondents had a moderate stress (56.1%) and then followed by severe and mild stress. Determinant factors in the occurrence of severe stress are the alteration of stressors, moderate-severe stressors compared to constant stressors [aOR 8(95% CI, 2.2–29.7)] constant stressors compared to decreased stressors [aOR 11(95% CI, 0.01–0.9)], and working in the red zone [aOR 3.2(95% CI, 0.1–0.8)].The determinants of moderate stress events were constant stressors compared to decreased stressors [aOR 25(95% CI, 0.7–0.9)], working in the red zone [aOR 2.6(95% CI, 0.2-0.9)] and age less than 30[aOR 1.8(95% CI, 1.1-3.2)].
Conclusions: The determinant factors for the occurrence of severe stress in health workers are changes in work stressors and work zones, for moderate stress events are changes in work stressors, work zones and age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Naufal Darydzaky
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara spesifik hubungan antara jenis-jenis tuntutan kerja (quantitative job-demand,cognitive demand, &emotional demand) dengan burnout serta melihat jenis tuntutan kerja mana yang paling dirasanakan tenaga kesehatan. Penelitian dilakukan kepada 317 tenaga kesehatan (Perawat 75%, 77.3% Perempuan, rentang usia berkisar dari 20-65 tahun) Menggunakan alat ukur Oldenburg burnout inventoryuntuk mengukur burnout, dan bagian dari Copenhagen Psychosocial Questionnaire-II untuk mengukur tuntutan kerja. Pengambilan data dilakukan secara daring dan menggunakan teknik convenient sampling dan dilakukan selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara quantitative demand dan burnout (r = .46, p < .01), lalu terdapat hubungan positif yang signifikan antara cognitive demand dan burnout (r = .31, p < .01) dan terdapat hubungan positif yang signifikan antara emotional demand dan burnout (r = .37, p < .01). Tuntutan kerja dengan jenis emotional demand yang tinggi dirasakan oleh 84% tenaga kesehatan, diikuti dengan cognitive demand yang tinggi dirasakan oleh 64% tenaga kesehatan, dan quantitative job demand yang tinggi dirasakan oleh 30% tenaga kesehatan.

This study aim to analyze the specific relationship between various type of job-demand (quantitative job-demand, cognitive demand, & emotional demand) with burnout and seek which type that healthcare workers experienced the most. The study was conducted on 317 healthcare workers (75% nurse, 77.3% female, age range 20-65 years) using the Oldenburg Burnout Inventory to measure burnout, and several part of the Copenhagen Psychosocial Questionnaire-II to measure job-demand. The data were collected using online questionnaire, we also used convenient sampling method, the data collection we’re took seven days. We founded that quantitative job-demand corelates with burnout (r = .46, p <.01), cognitive demand also corelates with burnout (r = .31, p <.01) and emotional demand also corelates with burnout (r = .37, p <.01). The majority of healthcare workers experienced that emotional demand are the worse. We also founded that 84% of healthcare workers felt high emotional demand, 64% of healthcare workers felt a high cognitive demand, and 30% of healthcare workers felt high quantitative job demand."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuga Pamahayu Widhi
"Selama masa pandemi COVID-19, perawat yang bekerja di rumah sakit wajib menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada tingkatan APD yang berbeda sesuai dengan pekerjaannya. Penggunaan APD selama ini diketahui tidak nyaman dan dapat meningkatkan tingkat tekanan pada perawat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mental well-being antara penggunaan APD tingkat satu dua, dan tiga. Mental well-being diukur menggunakan Warwick Edinburgh Mental Well-being Scale dengan total 14 item. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada saat puncak gelombang ketiga pandemi virus COVID-19 varian Omicron pada tanggal 7 Februari 2022 sampai dengan 20 Februari 2022. Data yang diambil juga merupakan data-data dalam rentang waktu dua minggu terakhir. Dengan menggunakan pendekatan hospital-based study, Sejumlah 188 perawat di sebuah rumah sakit swasta di Provinsi Tangerang Selatan, dengan rentang usia 20-56 tahun, berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan mental well-being yang signifikan berdasarkan penggunaan APD pada para perawat. Salah satu penjelasan dari hasil ini kemungkinan karena beberapa faktor, seperti kurangnya aturan yang ketat mengenai penggunaan APD sesuai dengan area pelayanan, kurangnya kepatuhan dalam menggunakan APD, kondisi lingkungan kerja di Rumah Sakit X, dan rendahnya persepsi risiko terhadap varian COVID-19 tertentu.

During COVID-19 pandemic, nurses who work in hospitals are required to use Personal Protective Equipment (PPE) at different levels according to their workload. The usage of the PPE has been known to be uncomfortable and may increase stress level among the nurses. Therefore, this study aims to find the differences in mental well-being between the usage of PPE level 1, 2, and 3. The mental well-being was assessed using the Warwick Edinburgh Mental Well-being Scale with a total of 14 items. Data collection in this study was carried out at the peak of the third wave of the Omicron variant of the COVID-19 virus pandemic on February 7, 2022 to February 20, 2022. The data taken is also data within the last two weeks. Using a hospital-based study approach, 188 nurses in a private hospital in Tangerang Selatan province, range of 20-56 years old, participated in this study. Results showed there was no significant difference in mental well-being by the usages of PPE among the nurses. One explanation of this result is possibly due to several factors, such as lack of PPE guidelines according to service areas, lack of compliance in using PPE, working environment conditions at Hospital X, and the low risk perception of the certain COVID-19 variant."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan
"Alat pelindung diri atau APD menjadi salah satu perhatian dalam masa pandemi Covid-19. Tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi masyarakat juga makin banyak yang menggunakan alat pelindung diri untuk mencegah penularan dari SARS-CoV-2. Namun, hingga saat ini, belum diketahui bagaimana kesesuaian penggunaan alat pelindung diri di Indonesia, terutama oleh tenaga kesehatan yang menjadi pertahanan terdepan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data sekunder dari penelitian di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI pada tahun 2021. Terdapat 317 subjek dari data sekunder tersebut yang merupakan tenaga kesehatan yang bekerja selama masa pandemi Covid-19 di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Kesesuaian penggunaan alat pelindung diri subjek dianalisis berdasarkan tingkat penggunaan alat pelindung diri menurut standar alat pelindung diri yang berlaku saat subjek bekerja. Pada penggunaan alat pelindung diri tingkat satu, 88,95% subjek sesuai dan 11,05% tidak sesuai. Di tingkat dua, 79,17% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung dirinya dan sisanya tidak sesuai, yaitu 20,83%. Didapatkan 63,63% subjek sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri tingkat tiga dan 36,37% subjek tidak sesuai. Proporsi hasil analisis kesesuaian penggunaan alat pelindung diri tingkat satu sampai tiga yang sesuai adalah 78,55% dan yang tidak sesuai adalah 21,45%. Mayoritas penggunaan alat pelindung diri pada tingkat satu sampai tiga sudah sesuai. Persentase subjek yang sesuai dalam penggunaan alat pelindung diri diperoleh tertinggi pada tingkat satu diikuti dengan tingkat dua dan tiga. Secara total, sekitar seperlima subjek tidak sesuai dalam menggunakan alat pelindung diri berdasarkan tingkatannya masing-masing.

Personal protective equipment, or PPE, has become a concern during the Covid-19 pandemic. It is not only the healthcare workers, but also the general public who are increasingly using personal protective equipment to prevent the transmission of SARS-CoV-2. However, up to this point, it is not known how well the suitability of personal protective equipment usage in Indonesia, especially by healthcare workers who are on the front lines in facing the Covid-19 pandemic. This research began with the collection of secondary data from a study conducted in the Department of Community Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia in 2021. There were 317 subjects from this secondary data, who were healthcare workers working during the Covid-19 pandemic in various healthcare facilities in Indonesia. The suitability of the subjects' use of personal protective equipment was analyzed based on the level of personal protective equipment usage according to the prevailing standards at the time the subjects were working. For the use of level one personal protective equipment, 88.95% of subjects were appropriate, and 11.05% were inappropriate. At level two, 79.17% of subjects used personal protective equipment appropriately, and the remaining 20.83% were inappropriate. It was found that 63.63% of subjects were appropriate in the use of level three personal protective equipment, while 36.37% were inappropriate. The proportion of appropriate use of personal protective equipment at levels one to three was 78.55%, while the inappropriate use was 21.45%. The majority of personal protective equipment usage at levels one to three is already appropriate. The percentage of subjects who are appropriate in the use of personal protective equipment is highest at level one, followed by level two and three. In total, about one-fifth of the subjects are inappropriate in using personal protective equipment based on their respective levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Qonita Putri
"Peningkatan penggunaan alat pelindung diri (APD) oleh tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19 berkontribusi terhadap peningkatan timbulan limbah medis rumah sakit. RSUD Doris Sylvanus merupakan RS Rujukan COVID-19 Provinsi Kalimantan Tengah yang menangani baik pasien COVID-19 dan non COVID-19. Dalam rangka memenuhi standar kesehatan lingkungan rumah sakit yang tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan No.7 tahun 2019, rumah sakit perlu mengupayakan pengelolaan limbah medis rumah sakit yang benar karena rumah sakit memiliki dampak terhadap lingkungan sekitar yang cukup besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketaatan RSUD Doris Sylvanus dalam melakukan pengelolaan limbah medis APD selama pandemi COVID-19 tahun 2021 sesuai peraturan perundangundangan.Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan studi kasus melalui telaah dokumen, observasi langsung, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulan limbah medis meningkat sesuai dengan tren kasus COVID-19 dan sejalan dengan BOR rumah sakit. Estimasi proporsi limbah APD mencapai 22% di area COVID-19 dan 23% di area non COVID-19. Pengelolaan limbah medis APD mengikuti alur limbah medis secara umum karena pada akhirnya limbah APD akan dikelola layaknya limbah medis. Secara keseluruhan, pengelolaan limbah medis yang dilakukan RSDS telah taat terhadap Peraturan Menteri Kesehatan No.7 tahun 2019. Komponen yang masih tidak taat meliputi faktor SDM, kebijakan tertulis pimpinan rumah sakit, pelaporan berita acara penyerahan, jalur pengangkutan belum menggunakan jalur khusus dan warna kemasan. Hasil penelitian merekomendasikan pembuatan program seperti penimbangan limbah medis dan APD di ruangan, pelatihan SDM yang berkelanjutan, pembuatan kebijakan dan SPO, program evaluasi dan penelitian lanjutan terkait laju timbulan limbah medis, efisiensi penggunaan APD, dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pengelolaan limbah medis di rumah sakit

The increased use of personal protective equipment (PPE) by health care workers during the COVID-19 pandemic has contributed to an increase in the medical waste generation. Doris Sylvanus General Hospital is a COVID-19 Referral Hospital in Central Kalimantan that provides care for both COVID-19 and non-COVID-19 patients. RSUD Doris Sylvanus is a COVID-19 Referral Hospital in Central Kalimantan Province that treats both COVID-19 and non-COVID-19 patients. In order to meet the environmental health standards in health care facilities as stipulated in the Minister of Health Regulation No. 7 of 2019, hospitals need to put attention on hospital medical waste management because of its huge impact on the surrounding environment. This study aimed to analyze the compliance of Doris Sylvanus General Hospital in managing PPE medical waste during COVID-19 pandemic in accordance with statutory regulations. This research was conducted qualitatively with a case study approach through document review, direct observation, and in-depth interviews. The results showed that medical waste generation increased in accordance with the trend of COVID-19 cases and in line with hospital Bed Occupancy Rate. The proportion of PPE waste showed 22% in the COVID-19 area and 23% in the non-COVID-19 area. The management of PPE medical waste follows the flow of medical waste because PPE waste will be handled like medical waste in the end. Overall, the medical waste management carried out by the RSDS has complied with the Minister of Health Regulation No. 7 of 2019. The components that are still disobedient include human resources factors, hospital policies, report of medical and PPE waste generation, transportation routes and waste bags colour. The results of the study recommend the creation of programs such as weighing medical waste and PPE in the room, continuous HR training, internal policy making and SOPs, evaluation programs and further research related to the rate of medical waste generation, the efficiency of the use of PPE, and factors that affect compliance with medical waste management in hospitals."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Hermawati
"ABSTRAK
Tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja pada pekerja merupakan ancaman besar tidak terkecuali pekerja informal di bengkel kendaraan bermotor. Salah satu cara untuk mengurangi risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja adalah dengan menggunakan alat pelindung diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja informal di bengkel kendaraan bermotor. Metode penelitian menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini melibatkan 102 pekerja bengkel kendaraan bermotor di Kecamatan Sukmajaya, Depok yang dipilih menggunakan purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan mengenai tingkat pengetahuan tentang alat pelindung diri dan perilaku penggunaan alat pelindung diri. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri pada pekerja informal di bengkel kendaraan bermotor (r=0,298, p value= 0,002 <0,05). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan tentang alat pelindung diri mempengaruhi perilaku pekerja menggunakan alat pelindung diri. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan perlu dilakukan kegiatan pendidikan kesehatan tentang prinsip-prinsip penggunaan alat pelindung diri serta kesehatan dan keselamatan kerja.

ABSTRACT
The high number of accidents and occupational diseases in workers are significant threat, includes informal workers in motor vehicle workshop. One of interventions to reduce the risk for accidents and occupational diseases are used personal protective equipment. This study aims to determine the relationship level of knowledge and behavior of using personal protective equipment to the informal workers in motor vehicle workshop. This research used descriptive correlation design with cross-sectional approach. Which involved 102 workers in motor vehicle workshop in Sukmajaya subdistrict, Depok selected by purposive sampling. This research used questionnaire as an instrument about the level of knowledge concern in the behavior of personal protective equipment and the use of personal protective equipment. The results of this study show that there is a correlation between the level of knowledge with the behavior of using personal protective equipment to the informal workers in motor vehicle workshop (r = 0.298, p value = 0.002 <0.05). The results of this study can be concluded that the level of knowledge of personal protective equipment affects the behavior of workers using personal protective equipment. Therefore, this study recommends the need for health education activities on the principles of the use of personal protective equipment and occupational health and safety.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>