Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98423 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr. Dyah Ayu Chandrika
"Kemanjuran kolektif dari aspek konstruksinya adalah perbaikan pada langkah-langkah intervensi mekanisme sosial di suatu komunitas dibandingkan dengan yang digunakan dalam usaha untuk mengukur disorganisasi sosial. Artinya, ukuran ini menangkap dan menggabungkan tindakan dan hubungan spesifik yang mencerminkan kohesi (kepercayaan, kedekatan, menolong dan nilai bersama) dengan keterlibatan aktif dalam kontrol sosial informal. Tulisan ini akan memberikan kontribusi terhadap penelitian, kebijakan dan praktik berkenaan dengan teori kemanjuran kolektif dan relevansinya untuk pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Tulisan ini juga akan berkontribusi pada pengetahuan dan menghasilkan area untuk penelitian lebih lanjut dengan memeriksa bagaimana kemanjuran kolektif bekerja di komunitas dengan berfokus pada kohesi sosial dan kontrol sosial. Untuk tujuan ini, maka tulisan ini dibuat untuk memahami (i) norma, proses dan hubungan yang mendefinisikan kontrol sosial dan kohesi di masyarakat terpilih, (ii) hubungan antara kohesi sosial dan kontrol sosial, dan (iii) faktor-faktor yang bertanggung jawab atas menghasilkan kohesi sosial dan kontrol sosial di komunitas terpilih.

Collective efficacy as a construct is an improvement on the measure of intervening social mechanisms in communities compared with those used in attempts to measure social disorganization. That is, this measure captures and combines specific actions and relationships that reflect cohesion (trust, closeness, helpfulness and shared values) with the active engagement in informal social control. This paper will contribute to research, policy and practice related to the theory of collective efficacy and its relevance for community based crime prevention. This paper will also contribute to knowledge and generate areas for further research by examining how collective efficacy works in communities with focus on social cohesion and social control. In the end, this paper try to understand (i) the norms, processes and relationships that define social control and cohesion in selected communities, (ii) the relationship between social cohesion and social control, and (iii) the factors responsible for generating social cohesion and social control in selected communities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Faela Nisa
"ABSTRAK
Alasan pentlngnya penelitian skrlpsi in! adalah pertama, untuk
melihat apllkasi Social Identity Model of Deindividuation Phenomena
(SIDE) dalam menjelaskan tingkah laku penjarahan massa terhadap
pertokoan karena selama in! penjelasan terhadap tingkah laku kerumunan
sebagian besar menggunakan tech Le Bon. Kedua, secara kuantitatif, aksi
penjarahan massa pada pertokoan sangat besar sehingga menimbulkan
kerugian yang besar. Dan disamping kedua alasan di atas, sedikitnya
penelitian tentang penjarahan massa di Indonesia menjadikan pentingnya
mengadakan penelitian tentang penjarahan massa agar peristiwa
penjarahan massa dapat diantisipasi dan ditangani di kemudian hari.
Skripsi menggunakan metode kualitatif dengan mengambil kasus
penjarahan massa di wilayah Menteng Jakarta. Skripsi menggunakan
Metode Triangulasi Data. Adapun data yang dipakai adalah pertama: hasil
laporan wawancara dengan responden (penjarah, saksi kejadian dan
satpam), kedua: artikel koran dan majalah tentang kejadian dan ketiga: foto kejadlan dan klip video tentang penjarahan massa di wilayah Menteng
Jakarta pada peristiwa Mei 1998. Dengan menggunakan Trianguiasi Data
diharapkan hasil peneiitian akan iebih baik dan lebih dapat dipercaya.
Skripsi berusaha menguji tiga hipotesis yang dibuat berdasarkan teori
SIDE, hipotesis keempat dan hipotesis kelima yang dibuat Reicher (1996).
Berdasarkan dari uraian pada Bab Analisis Data dan Interpretasi
hasil skripsi menunjukkan bahwa "Orang-orang yang berada dalam
kerumunan di sekitar Menteng Prada pada peristiwa Mei 1998 tidak
kehilangan identitas dirinya". Hasil skripsi juga menunjukkan bahwa
"Orang-orang dalam kerumunan beramai-ramai masuk toko dan
mengambil barang cenderung bukan karena adanya persepsi bahwa
selama ini orang-orang pribumi tertindas oleh orang-orang Tionghoa akan
tetapi karena kecenderungan adanya persepsi bahwa selama ini orangorang
pribumi mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintahan Orde
Baru". Yang terakhir, "Adanya perasaan sesama in-group membuat
individu-individu dalam kerumunan saling membantu dan saling
mendukung dalam tingkah laku penjarahan massa".
Berdasarkan hasil skripsi, beberapa saran untuk peneiitian
selanjutnya adalah penggunaan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif
untuk meneliti tingkah laku penjarahan massa, perlu dilakukan peneiitian
tentang peta identitas sosial yang mungkin dibangkitkan dari tiap-tiap
daerah di Indonesia Selain itu, serta program intervensi untuk dapat
mengantisipasi kerusuhan dan penjarahan yang dilatarbelakangi persepsi
terhadap suku tertentu. Program itu berupa ikian di media massa tentang
persatuan, kebersamaan dan pendidikan masyarakat yang bisa
mengembangkan sikap yang menganggap bahwa keanekaragaman itu
positif dan merupakan aset/modal nasional."
1999
S2685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asifa Kurnia Putri
"ABSTRACT
Penyalahgunaan kekuasaan negara pada beberapa rezim pemerintahan melalui aparat-aparatnya menghasilkan beberapa bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Terlebih lagi, pengabaian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM juga dilakukan oleh negara. Hal ini mengakibatkan munculnya reaksi sosial non-formal berupa gerakan sosial yang yang dikenal dengan ldquo;Aksi Kamisan rdquo; atau ldquo;Aksi Payung Hitam. rdquo; Gerakan ini muncul untuk menuntut dan mendorong negara menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Dalam hal ini, penelitian berfokus pada penyelesaian tiga kasus secara hukum, yaitu Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2. Pada dasarnya, gerakan ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran, mencari keadilan dan menolak lupa atas berbagai pelanggaran berat HAM masa lalu dan kekerasan yang terjadi secara terus-menerus. Berbagai upaya yang dilakukan korban/keluarga korban untuk mencari keadilan didampingi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS dalam melakukan advokasi. Dengan menggunakan metode penelitian in-depth interview yang melibatkan beberapa stakeholder, peneliti berusaha untuk menjelaskan mengapa hingga 11 tahun umur Aksi Kamisan masih belum dapat mencapai keberhasilan. Dilihat dari beberapa indikator perubahan reformasi hukum, penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakberhasilan upaya advokasi oleh Aksi Kamisan menandakan ketidakefektifan reformasi hukum yang berdampak kepada ketidakefektifan gerakan sosial.

ABSTRACT
Abuse of powers in some government regimes through its apparatus produced some form of crime against humanity. As a further matter, the state also neglected the settlement of gross human rights violation cases, resulting an informal social reaction in the form of social movement known as ldquo Aksi Kamisan rdquo or ldquo Aksi Payung Hitam. rdquo This movement insists and urges the state to solve gross human right violation cases of the past. This study focuses on the settlement of three legal cases, namely Trisakti, Semanggi 1, and Semanggi 2. In principle, Aksi Kamisan aims to reveal the truth, seek justice, and refuse to forget the gross human rights violations and perpetual violence that happened in the past. Various efforts have been made by victims families of victims accompanied by several NGOs, including KontraS, to seek justice, for example doing advocacy in several institution. Using an in depth interview method involving several stakeholders, researcher attempts to explain why Aksi Kamisan which has been running for 11 years met with no success. Based on some indicators of legal reform, this study shows that unsuccessful advocacy by Aksi Kamisan indicates the ineffectiveness of legal reforms that lead to the ineffectiveness of social movements. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Dialina
"Maraknya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pekerja akhir-akhir ini banyak menarik perhatian orang. Banyak pengamat memberikan analisanya dan sebagian besar mengatakan bahwa penyebabnya masih berkisar pada rendahnya upah minimum (UMR). Dari data yang diperoleh menyebutkan dari tahun 1990 sampai 1996, telah terjadi 903 kali aksi unjuk rasa di wilayah DKI Jakarta. Puncaknya terjadi pada tahun 1996 dengan 350 kali dan tidak mustahil pada tahun ini akan terus meningkat, mengingat semakin seringnya hal itu terjadi akhir-akhir ini (Laporan Analisa Aksi Unjuk Rasa & Pemogokan Kerja Depnaker, 1996).
Akibat tejadinya aksi unjuk rasa inipun sangat merugikan kedua belah pihak, baik para pekerja maupun pengusaha Kerugian dapat bersifat fisik dan psikologis (ldroes Kompas, 27 September 1995). Ia menyatakan bahwa kerugian akibat berbagai aksi unjuk rasa sangat besar dan luas, baik secara fisik, material, mental maupun moral. Masalah aksi unjuk rasa ini merupakan masalah yang sangat serius, seperti yang dikemukakan oleh Pasaribu dan Kwik Kian Gie (Kompas, 1996). Masalah ketenagakerjaan juga merupakan masalah yang sangat vital dan strategis, serta menyimpan ancaman yang besar jika tidak diselesaikan secara tuntas, karena itu harus segera diambil kebijaksanaan dan langkah-langkah penyelesaian serta antisipasinya (Idroes, Kompas 27 September 1995).
Walaupun upaya-upaya terus dilakukan, tetapi masih sering kita membaca di media massa, aksi unjuk rasa itu terjadi. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri peneliti, ?Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apakah upah merupakan masalah yang utama? Beberapa kalangan pengamat masalah-masalah sosial, menilai terjadinya bukan disebabkan oleh masalah fisik semata, tetapi juga masalah-masalah yang lebih bersifat sosial dan psikologis. Selama ini masalah pekerja selalu dipandang dari sudut ekonomi. Para pengamat mencoba untuk lebih melihat masalah ini dari sudut sosial dan psikologis, seperti yang diteliti oleh Komalasari (1995) bahwa pemogokan kerja yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini Iebih melibatkan hal seperti lingkungan kerja, penilaian kerja dan beban kerja.
Salah satu teori yang cukup komprehensif dalam menjelaskan timbulnya collective behavior (selanjutnya akan disebut dengan tingkahIaku kelompok) adalah teori dari Smelser (1962). Aksi unjuk rasa yang dimaksud di sini merupakan salah satu bentuk dari tingkahlaku kelompok, yang berorientasi pada perubahan norma (Smelser, 1962). Timbulnya tingkahlaku kelompok didasarkan pada satu keyakinan umum bahwa situasi perlu dan dapat diubah. Dalam menentukan timbulnya suatu tingkahlaku klompok, Smelser mengemukakan enam determinan. Determinan-determinan ini adalah (1). Kekondusifan struktural, (2) Tekanan Struktural, (3) Pertumbuhan Keyakinan, (4) Faktor Pencetus, (5) Mobilisasi Partisipan dan (6) Penerapan Kontrol Sosial. Determinan-determinan ini disusun secara berurutan, sehingga determinan yang terdahulu merupakan syarat bagi timbulnya determinan yang berikutnya, tetapi tidak harus selalu berurutan sauna kronologis atau dalam urutan waktu.
Dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Smelser (1962), masalah penelitian ini adalah bagaimana dinamika terjadinya aksi unjuk rasa didasarkan pada teori Smelser? Pembahasan akan difokuskan pada perbedaan determinan-determinan yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu tingkahlaku kelompok, dalam hal ini aksi unjuk rasa. Agar dapat diadakan perbandingan, dalam penelitian ini digunakan dua kelompok pekerja, yaitu kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dan kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pegawai negeri. Digunakannya sampel pegawai negeri dengan pertimbangan secara keseluruhan keadaan di antara kedua profesi tersebut tidak jauh berbeda, baik dilihat dari segi upah, jam kerja maupun intensitas pekerjaannya.
Penelitian dilakukan terhadap sampel pekerja dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang terdiri dari beberapa bagian dan mengukur determinan-determinan yang bepengaruh. Penyusunan alat ukur didasarkan pada hasil elisitasi terhadap sejumlah orang yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis perbedaan mean antar determinan, dengan membandingkan mean antara kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa (pekerja swasta) dengan mean kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa (pegawai negeri).
Berdasarkan hasil penelitian utama diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang Signifikan dalam terjadinya perilaku aksi unjuk rasa pada pekerja swasta dengan pegawai negeri. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa Tekanan Struktural merupakan determinan yang paling berpengaruh, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, Tekanan Struktural dirasakan paling besar oleh kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dibandingkan dengan determinan lainnya. Selain itu, dari pengolahan yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa, dalam penelitian ini, upah bukan merupakan faktor utama dalam menimbulkan aksi unjuk rasa pada pekerja swasta. Dari hasil yang diperoleh diharapkan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan evaluasi serta penyempurnaan lebih lanjut bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia Ade Zulfadlan
"Aksi kolektif oleh mahasiswa merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kecenderungan tersebut dapat muncul akibat identifikasi kelompok yang dimiliki oleh individu. Temuan lain juga menemukan bahwa faktor eksternal, seperti pengaruh dari media dapat mendorong terbentuknya keinginan untuk mengikuti aksi kolektif, terutama tercermin dalam bentuk hostile media perception. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hostile media perception dapat memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan untuk mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini dilakukan secara daring kepada 163 mahasiswa aktif yang berada di wilayah Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). Penelitian ini menemukan bahwa hostile media perception tidak memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan aksi kolektif mahasiswa (t = .0019, p<.81). Temuan dari penelitian ini menunjukkan pentingnya identifikasi mahasiswa terhadap suatu kelompok demi memunculkan keinginan mengikuti aksi kolektif.

Collective action by university student happened regularly in Indonesia. Previous research has shown that this tendency comes in response to group identification that an individual has. Another research also found that external factors, such as media interference might increase this tendency, mainly in the form of hostile media perception. This study aims to examine the moderating role of hostile media perception on the relationship between group identification and collective action tendency. This study was conducted online on 163 active university students in Jabodetabek area. Instruments used in this study are Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). This study found that hostile media perception did not moderate the relation between group identification and collective action tendency (t = .0019, p<.81). The findings of this study show how group identification in university students could incite collective action tendency."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"In normative political and social discourse it is often said that some collective or group of people morally ought to or is morally responsible to perform a certain action or bring about a certain outcome. One way such expressions are asserted is say that such collectives have a moral responsibility to do something going forward or from now on. This volume explores various aspects of the concept of forward-looking collective responsibility and its application. The 2006 Midwest Studies in Philosophy volume (Shared Intention and Collective Responsibility) concentrated primarily on collective responsibility for past actions and events. This volume serves as a companion piece to that volume by extending the philosophical discussion of collective responsibility and collective morality towards future collective action. It contains fifteen articles written by leading philosophers from around the world. --Book Jacket."
Hoboken : Wiley Blackwell, 2014
170 MID
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
PaPiere, Richard T.
New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1938
301.1 LAP c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginneken, Jaap van
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 1938
303.38 GIN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginneken, Jaap van
Ner Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2002
303.38 GIN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Subekti
"Kajian ini melestarikan dan menganalisis tipologi memori kolektif para sesepuh, mengenai peristiwa dan pemikiran Bung Karno. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi memori kolektif dari Maurice Halbwachs dan tipologi memori dari Abidin Kusno. Populasi penelitian ini adalah sesepuh yang berada di Blitar dengan kriteria pernah bertemu dan bertemu langsung dengan Bung Karno. Pemilihan informan juga menggunakan teknik snowball sampling, yaitu berdasarkan key informan yang telah ditentukan oleh batas sesepuh di Blitar. Hasil penelitian ini menemukan 4 (empat) perlakuan pada tipologi memori kolektif ini, seperti (1) mengatasi memori, (2) memori tidak menjelajah, (3) memori menaklukkan, dan, (4) memori pemasaran. Berdasarkan tipologi memori, peneliti memperoleh 4 (empat) konsep yang dapat dianalisis. Yang pertama adalah memori kolektif yang membentuk identitas kota. Kedua pemikiran Bung Karno tentang persatuan, dan Trisakti. Ketiga, De-Sukarnoisasi yang berarti upaya menghilangkan pengaruh dan pemikiran Bung Karno serta mengaburkan peran dan kontribusi Bung Karno dalam sejarah. Terakhir adalah upaya Perpustakaan Bung Karno menjadi center of excelence, yakni membuat database memori kolektif para sesepuh tentang Bung Karno. Kesimpulannya, pencatatan dan kajian memori kolektif para sesepuh melengkapi kebutuhan informasi masyarakat mengenai sumber lisan dan tertulis yang tersebar di masyarakat Blitar tentang Bung Karno."
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2021
020 PUS 28:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>