Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pardamean, Abram Marulitua
"Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH) merupakan sebuah status yang diberikan dari pemerintah bagi perguruan tinggi. PTN-BH memiliki otonomi di bidang akademik dan non akademik. Hak otonomi ini diberikan pemerintah dengan tujuan untuk menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu. Otonomi di bidang akademik adalah kebebasan PTN-BH dalam mengatur secara penuh cara mereka menyelanggarakan kegiatan tri-dharma. Kegiatan non-akademik merupakan kebebasan dari PTN-BH dalam mengatur struktur organisasi, mencari pendapatan, dll. Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai perlakuan PBB kepada tanah dari PTN-BH yang dilihat dari sisi pemanfaatan tanah tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan metode kualitatif. Penelitian ini membahas dari undang-undang yang berlaku, jurnal, serta wawancara mendalam dengan beberapa pihak yang pendapatnya dapat membantu pembahasan ini. Hasil penelitian ini adalah peraturan yang mengatur mengenai pengenaa PBB kepada tanah PTN-BH masih kurang spesifik. Peraturan yang menjadi payung besar saat ini adalah UU PDRD pasal 77 ayat (3). Belum adanya nomenklatur yang tepat apa itu badan hukum PTN-BH. Kebebasan dalam mencari pendapatan ini yang dapat mengindikasikannya pengenaan PBB kepada PTN-BH. PTN-BH bukan lagi merupakan PTN murni karena asset nya milik PTN-BH sendiri dan dapat mencari pendapatannya sendiri tetapi juga bukan PTS karena PTN-BH masih diatur didalam peraturan perundang-undangan. Posisi PTN-BH ini menjadi berada ditengah-tengah dan ketidakpastian pula melihat adanya kasus pengenaan PBB kepada  PTN-BH. Perlakuan PBB di negara lain juga tidak berbeda dengan peraturan yang ada di Indonesia tetapi cukup sulit jika dibandingkan lebih dalam karena hukum di tiap-tiap negara berbeda-beda begitu pun dengan jenis badan pendidikan di tiap-tiap negara seperti di Indonesia terdapat PTN satker, PTN-BH, dan PTS. Secara ideal badan pendidikan terutama badan pendidikan publik tidak dikenakan PBB atas tanah maupun bangunan walaupun demikian masih kurangnya peraturan yang lebih spesifik terlebih karena adanya otonomi dari PTN-BH untuk dapat memanfaatkan tanah miliki negara termasuk mencari pendapatan.

Legal Entity Higher Education (PTN-BH) is a status granted by the government to universities. PTN-BH has the autonomy on the academic and non-academic fields. The autonomy right is granted by the government with the aim of producing quality higher education. Autonomy in the academic field is the freedom of PTN-BH in fully regulating the way they organize tri-dharma activities. Non-academic activities are PTN-BH autorithy in regulating the organizational structure, looking for income, etc. This study aims to discuss the land and building tax treatment of land from PTN-BH in terms of land use. This study uses a post-positivist approach with qualitative methods. This study discusses the applicable laws, journals, and in-depth interviews with several parties whose opinions can contributed in this discussion. The results of this study are the regulations governing the imposition of PBB on PTN-BH land are still lacking in specifics. The regulation that is currently the big umbrella is the PDRD Law article 77 paragraph (3). The absence of a proper nomenclature is a legal entity PTN-BH. This freedom of finding income can indicate the imposition of PBB on PTN-BH. PTN-BH is no longer a purely PTN because its assets belong to PTN-BH itself and can seek their own income but also not PTS because PTN-BH is still regulated in the legislation. The position of PTN-BH is in the middle and uncertainty also sees the case of the imposition of PBB on PTN-BH. The treatment of the United Nations in other countries is also no different from the existing regulations in Indonesia, but it is quite difficult if it is compared more deeply because the laws in each country are different and so is the type of educational body in each country such as in Indonesia, there are PTN satker, PTN -BH, and PTS. Ideally educational institutions, especially public education bodies, are not subject to the UN on land or buildings, although there is still a lack of more specific regulations, especially because of the autonomy of PTN-BH to be able to utilize state owned land, including income generation."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Ferdian
"Penelitian ini bertujuan membahas mengenai pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada kegiatan eksplorasi usaha hulu minyak dan gas bumi setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Penelitian ini berfokus pada dasar argumentasi penerbitan SPPT PBB tubuh bumi dan permukaan bumi serta penolakan fiskus atas keberatan yang diajukan oleh KKKS pada tahap kegiatan eksplorasi sektor minyak dan gas bumi, kebijakan pengenaan PBB atas permukaan bumi dan tubuh bumi untuk areal offshore jika dilihat dari asas kepastian hukum (certainty) dan asas keadilan (equality) serta dampak dari kebijakan pengenaan PBB untuk tubuh bumi dan permukaan bumi pada tahap eksplorasi sektor hulu migas. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini adalah pengenaan PBB pada kegiatan eksplorasi usaha hulu migas tidak sesuai jika dilihat dari kriteria sebagai Subjek Pajak PBB. Karena kontraktor pada masa eksplorasi belum mendapat manfaat dari Wilayah Kerja yang dikelola.

This research addresses the imposition of land and building tax on exploration activities for upstream oil and gas investment after the implementation of Government Regulation No. 79 of 2010 Concerning Operating Costs Can Be Recovered And Income Tax Treatment In The Upstream Oil and Gas. This research focuses on the basic argument regarding SPPT PBB issuance for surface and subsurface and rejection of the appeal which submitted by the PSC at the stage of exploration activity in the upstream oil and gas, the provision of Land and Building Tax imposition for surface and subsurface on the offshore areal according to the principles of certainty and equity, the impact of Land and Building Tax imposition on exploration activity in the upstream oil and gas for surface and subsurface in the upstream oil and gas. This research used a qualitative descriptive approach. The result of this research, Land and Building Tax imposition on exploration activity in the upstream oil and gas is not appropriate from the criteria as the subject of Land and Building Tax. Because the contractor on the exploration activity has not benefited from the Working Area managed.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S57270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rizki Wicaksono
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti kebijakan pajak bumi dan bangunan sektor pertambangan batubara
(PBB SPB) di Indonesia dalam kaitannya dengan peningkatan kepatuhan wajib pajak pengusaha tambang batubara. Penelitian ini melihat secara historis penerapan kebijakan tersebut dari awal mula kebijakan tersebut ditetapkan hingga saat ini berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa kebijakan PBB SPB saat ini belum dapat meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, bagaimana dampak kebijakan PBB SPB terhadap kepatuhan wajib pajak, dan menganalisis alternatif desain kebijakan PBB SPB. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif dan wawancara mendalam terhadap beberapa key informant. Hasil penelitian
ini menunjukkan dari sisi Fiskus dan Wajib Pajak kebijakan yang ada saat ini
menimbulkan beban administration cost dan compliance cost yang sangat tinggi karena implementasinya yang sangat kompleks, akibat nya penerimaan sektor PBB pertambangan batubara hingga saat ini belum optimal dengan banyak nya sengketa di lapangan. Untuk kembali meningkatkan kepatuhan sukarela bagi wajib pajak pengusaha tambang batubara, Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan PBB sektor pertambangan batubara yang ada saat ini agar kebijakan nya tetap koheren dengan prinsip-prinsip pemungutan pajak yang berlaku sebagai international best practice dengan tetap memperhatikan kebijakan pajak dalam framework natural resource taxation.

ABSTRACT
This thesis examines the tax policy of the land and building taxation (property tax/LBT) on the coal mining sector in Indonesia in its relation to increase taxpayer compliance. This thesis examines the tax policy from the point of history view on the implementation of the policy from the beginning of the policy set out in order to impose the LBT on coal mining sector to the present day. This research aims to explain why the current LBT on coal mining sector has not been able to improve taxpayer voluntary compliance, how the impact on current LBT coal mining sector on taxpayer compliance and analyse alternative design on LBT coal mining sector. This research is qualitative
research by using qualitative data collection technique and in-dept interview to some key informant. The results of this study indicate that current policy fiscal has a very high burden of administration & compliance cost due to its very complex implementation, due to its acceptance the LBT on coal mining sector to date has not been optimal with its many disputes in the field. To re-increase voluntary compliance for taxpayers of coal mine taxpayers, the Government needs to review the current LBT policy on coal mining sector so that its policies remain coherent with the principles of taxation applicable as international best practice while maintaining tax policies in the
framework of natural resource taxation."
2018
T51257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gilang Satria Perdana
"Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan salah satu sumber penerimaan daerah Kota Tegal yang harus dipungut dan diadministrasikan sebaik mungkin. Demi mencapai target pendapatan, Pemerintah Kota Tegal menggunakan pendekatan yang berbeda dengan Pemerintah Daerah lainnya, yakni dengan mengimplementasikan kebijakan apresiasi terhadap Wajib PBB-P2 dan aparat pemungut PBB-P2 di tingkat Kelurahan. Skripsi ini mendeskripsikan implementasi kebijakan yang diejawantahkan dalam dua program utama: Program Tahunan Undian Berhadiah bagi Wajib PBB-P2 dan Program Perlombaan Tahunan Kelurahan Pemungut PBB-P2 Terbaik. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti mendeskripsikan proses implementasi kedua program tersebut yang bertujuan untuk memotivasi baik Wajib PBB-P2 maupun aparat pemungut PBB-P2 di Kota Tegal agar mendukung proses pemungutan dan pengadministrasian PBB-P2 di Kota Tegal. Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi mengenai kebijakan apresiasi terhadap Wajib PBBP2 Kota Tegal dan aparat pemungut PBB-P2 Kota Tegal.

Land and Building Tax Rural and Urban Sector (PBB-P2) is one source of local revenue Tegal to be collected and administered as possible. To achieve the target revenue, the City of Tegal using different approaches with other regional governments, namely by implementing appreciation policy towards PBB-P2 taxpayers and PBB-P2 collector apparatus at the Village level. This thesis describes the implementation of the policy embodied in the two main programs: Annual Program Lottery for the PBB-P2 Taxpayers and Annual Competition Program for PBB-P2 Best Collector Apparatus. By using a qualitative approach, researcher describe the process of implementation of these two programs aimed at motivating both PBB-P2 taxpayers and PBB-P2 collector apparatus in Tegal to support the process of collecting and administrating PBB-P2 in Tegal. The result of this research are qualitative description about appreciation policy towards Tegal City Land and Building Taxpayers and Tegal City Land and Building Tax Collectors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Tri Hardiyanti
"Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan PBB-P2 di DKI Jakarta dengan menggunakan teori dari Edward III. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk melakukan analisis implementasi kebijakan PBB-P2 di DKI Jakarta, hal-hal yang menjadi pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan tersebut di DKI Jakarta, serta dampak terhadap penerimaan Pajak Daerah di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah dari faktor-faktor implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, disposisi, serta struktur birokrasi, faktor yang paling memiliki masalah di DKI Jakarta dalam pemungutan PBB-P2 adalah sosialisasi dan sumber daya manusia. Faktor pendukung dalam kebijakan ini adalah koordinasi antar instansi, karakteristik DKI Jakarta sebagai ibukota negara, sarana dan prasarana, serta dukungan wajib pajak PBB-P2. Faktor penghambat yang timbul adalah sumber daya manusia dan data realisasi penerimaan. Implementasi kebijakan ini memiliki dampak yang positif terhadap keuangan DKI Jakarta secara umum

This research discusses about the implementation of Building and Land Taxes Policy in DKI Jakarta with Edward III theory. This research aims to analyze the implementation of Building and Land Taxes in DKI Jakarta, analyze about the factors that supporting and inhibiting the implementation in DKI Jakarta, and the impact toward to regional tax revenue. The result of this research show that from the implementation factors; communication, resources, dispotition, and bureaucracy, the socialiszation and resources factor are the most problem factors. Supporting factors on that policy are coordination between institutions, DKI Jakarta’s characteristics as capitol region, infrastructure, and taxpayers support. Inhibiting factors are resources, account receivable data, and revenue realisation data. This implementation policy has positive impact for general Jakarta’s finance"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Mustikawati
"ABSTRAK
Perjanjian merupakan bentuk dari kesepakatan antara dua pihak, dimana menganut asas konsensualisme yang berarti sepakat. Dalam melakukan perjanjian memang tidak sulit namun perlu diperhatikan mengenai syarat ketentuan yang berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian, karena jika tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka konsekuensinya adalah dapat dibatalkan apabila yang dilanggar adalah syarat subyektif, dan batal demi hukum apabila yang dilanggar adalah syarat obyektif.
Topik yang diangkat dalam penulisan tesis ini berupa akibat dari pelaksanaan perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan atau ketentuan yang berlaku, perjanjian tersebut di buat di bawah tangan atau tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang sehingga banyak terdapat kelemahan dalam isi perjanjian tersebut dan mengakibatkan pelaksanaan perjanjian yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kaitannya dengan bangunan yang dibangun berdasarkan perjanjian tersebut, di mana bangunan tersebut dibangun di atas tanah pemerintah yang memerlukan izin terlebih dulu dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini Menteri Keuangan. Namun izin tersebut belum diperoleh tetapi isi perjanjian tetap dilaksanakan dan sudah dioperasikan. Bahkan IPB tidak memberikan pelimpahan kekuasaan secara tertulis kepada PT. BLST bahwa tanah tempat sarana tambahan tersebut dibangun boleh dipergunakan. Kemudian permasalahan yang diangkat berupa apakah akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, apakah akibat hukum dari bangunan yang dibangun berdasarkan perjanjian tersebut dan upaya hukum apa yang dapat ditempuh sebagai pemenuhan perjanjian tersebut.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan metode analisis data secara kualitatif dan hasil penelitian berbentuk evaluatif¬analitis.
Kesimpulan dari hasil pembahasan berupa, pelaksanaan perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan adalah dapat dimintakan pembatalannya, karena tidak sesuai dengan syarat subyektif di mana IPB sebagai pemegang hak pakai tidak memberikan kuasa pemanfaatan tanah, maka selain melanggar syarat subyektif PT. BLST juga melakukan wanprestasi terhadap isi perjanjian, maka perjanjian dapat diakhiri secara sepihak. Kemudian akibat hukum terhadap bangunan berupa penghentian pemanfaatan hingga penyegelan gedung, maka upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu dengan melakukan amandemen terhadap perjanjian, karena perjanjian tersebut dibuat sebelum izin keluar, yang mengakibatkan perjanjian tidak dapat dilaksanakan.

ABSTRACT
An agreement is a form of state of consensus between two parties. Despite the easiness in engaging such a thing, there are important matters need to be considered on making an agreement, particularly the requirements determined by the law, regarding the consequences in case it's not filled in accordance with the Articled 1320 of the Book of Civil Law (that it can be canceled if the requirement violated is the subjective one, and canceled for the sake of the law if the one violated is the objective requirement).
The topic to be addressed in this thesis is the consequence of an agreement which doesn't fill the requirement determined by the law, since it was made unofficially or not before the presence of an authorized official, which causes legal weakness in the content, and the risk that the implementation of the agreement doesn't match with the applicable law. More specifically in this case, in the agreement to be scrutinized, there is a building established on a land belongs to the government, the reason of which the party built the structure should possess first an official permit for the government before the construction process initiated. However, in reality the permit was not issued, and yet the building construction has been started. The party that is supposed to give the permit, IPB (Bogor Institute of Agriculture) hasn't even given a written statement of permission to PT BLST to use the land. Thus, this thesis will identify the things as follow: what is the legal consequence of the implementation of an agreement which doesn't fill the legal requirements as determined by the law? What is the status of the building constructed on the land based on the agreement, and what kind of legal effort can be conducted as the fulfillment of the agreement?
The research method applied in this thesis is the juridical normative library research, while using the qualitative data analysis method which leads to an evaluative-analytical result.
The conclusion to be drawn is that the implementation of an agreement that doesn't fill the requirement is allowed to be cancelled, since it doesn't fit with the subjective requirement of which IPB as the holder of the concessions right doesn't give the concessions right to PT. BLST, which make the deed conducted by the company as a subjective violation to the law, and at the same time is a misachievement to the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobari
"ABSTRAK
Perhatian terhadap polusi udara ruangan meningkat karena adanya fakta bahwa polusi yang terjadi di dalam ruangan tidak mudah untuk disebar atau diencerkan, sehingga polusi yang terjadi dapat lebih besar dibanding dengan polusi yang terjadi di udara bebas (outdoor). Faktor lain yang turut mendukung meningkatnya perhatian terhadap polusi udara ruangan adalah kenyataan bahwa manusia menghabiskan waktunya 93% dalam ruangan, 5% dihabiskan dalam perjalanan, dan hanya 2% dihabiskan di udara bebas (Nriagu, 1992).
Faktor panting lain yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ruangan adalah karena adanya sifat toksis kontaminan yang ada, baik berupa gas maupun partikulat kecil. Kontaminan toksis ini dapat berasal dari materi penghias ruangan, furnitur, peralatan kantor, adanya kebocoran senyawa kimia yang berbahaya, adanya kontaminasi pada bagian gedung, atau dari luar gedung, hasil pembakaran seperti asap rokok, pemakaian gas (asap dapur), adanya bioefluen dari manusia, dan materi dari produk-produk perawatan gedung.
Environmental Protection Agency (1988) menyatakan bahwa, Sick Building Syndrome (SBS) merupakan fenomena yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan kenyamanan bekerja atau berada di dalam sebuah gedung. Istilah SBS biasanya digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah yang terkait dengan polusi udara ruangan.
Rendahnya kualitas udara ruangan yang menimbulkan fenomena SBS disebabkan oleh sejumlah faktor utama yang saling berinteraksi, yaitu : a. ventilasi udara yang tidak baik, b. adanya polusi yang terjadi di dalam gedung, c. kontaminasi dari luar gedung, serta d. kontaminasi biologi. Faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan kondisi lingkungan fisis seperti suhu yang kurang sesuai, kelembaban yang tidak memadai, dan kurangnya penerangan (Baechler et al, 1991).
Sebuah gedung dikatakan sakit tergantung kepada prevalensi SBS pada populasi penghuni gedung tersebut. Menurut WHO, keluhan-keluhan pada kasus SBS sangat luas, yaitu meliputi iritasi mata, hidung tenggorokan, saluran pernafasan, reaksi pada kulit, reaksi hipersensitivitas yang kurang spesifik, kelelahan mental, sakit kepala, mual, dan pusing-pusing (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Sedangkan Jackson et al (1991), menyatakan bahwa keluhan-keluhan SBS sangat samar, dan sering diabaikan karena dianggap sebagai pilek atau flu biasa.
Prevalensi SBS dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga faktor individu. Faktor-faktor lingkungan adalah kondisi ruangan yang bersifat fisis seperti kelembaban, suhu, dan pencahayaan, atau karena adanya materi toksis, adanya partikulat, serta kondisi mikrobiologis ruangan. Faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi besarnya angka prevalensi SBS antara lain adalah umur, seks, pendidikan, status gizi, status kesehatan, ada tidaknya penyakit alergi, kebiasaan merokok, jenis pekerjaan dan lain-lain (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) Jakarta merupakan salah satu gedung perkantoran di Jalan Jenderal Gatot Subroto yang memakai sistem pengatur udara (AC) sentral. Gedung perkantoran berlantai lima ini pada awal bulan Agustus tahun 1994 mulai mengalami pekerjaan renovasi struktur, serta pergantian komponen-komponen gedung yang perlu.
Dengan adanya kegiatan renovasi, lingkungan dalam gedung PDII mengalami perubahan fisik yang cukup besar. Pada pertengahan tahun 1995, seluruh pegawai PDII Jakarta telah mengalami perubahan lingkungan tempat kerja karena mereka menempati ruangan-ruangan yang telah selesai direnovasi atau ruangan-ruangan darurat.
Para pegawai tidak bisa lepas dari gangguan yang timbul akibat kegiatan renovasi tersebut. Beberapa keluhan berupa gangguan kenyamanan dan kesehatan di lingkungan kerja pernah terjadi. Di samping itu, kondisi udara AC juga pernah dikeluhkan oleh para pegawai. Namun demikian, angka kejadian timbulnya kesakitan dan keluhan-keluhan akibat kondisi ruang kerja di gedung PDII sampai sekarang belum ada dokumentasi yang jelas.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui prevalensi SBS yang dialami oleh para pegawai yang bekerja di gedung PDII.
2. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan karakteristik sosial individu pegawai yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, pola perjalanan, dan kondisi psikososial.
3. Untuk mengetahui apakah prevalensi SBS di gedung PDII mempunyai hubungan dengan faktor-faktor lingkungan tempat kerja yang meliputi tingkat ventilasi, kadar partikulat, kadar C02, kadar NCx, aliran kecepatan udara, kelembaban, dan suhu ruangan.
4. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh faktor-faktor risiko tertentu secara relatif menyebabkan munculnya SBS.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologik dengan pendekatan cross-sectional untuk mencari hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi SBS. Faktor risiko dapat berupa faktor lingkungan dan faktor individu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner, dan pengukuran variabel kondisi lingkungan fisik dengan menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan. Analisis data yang dilakukan adalah distribusi frekuensi, rasio prevalensi, uji Chi-Square, dan koefisien kontingensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi SBS di gedung PDII Jakarta adalah sebesar 53,62%. Sedangkan prevalensi SBS sesuai dengan kelompok gejala adalah keluhan pada mata 19,56%, hidung 32,61%, tenggorokan 34,78%, kulit 13,04%, dan umum 39,14%.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan jenis kelamin dan kondisi psikososial responden, dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan umur, pendidikan, hipersensitivitas, kebiasaan olah raga, kebiasaan merokok, lama perjalanan, dan jenis kendaraan responden.
Prevalensi SBS mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kelembaban, dan suhu kering ruangan kerja gedung PDII Jakarta, dan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kadar partikulat dan kadar CO2 di dalam ruangan kerja gedung PDII Jakarta. Prevalensi SBS tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat ventilasi, kadar NOx, kecepatan aliran udara, dan suhu basah ruangan gedung PDII Jakarta.
Rasio prevalensi faktor risiko karakteristik sosial responden masing-masing adalah jenis kelamin 1,57, umur 1,18, pendidikan 0,78, status atopi 1,42, kebiasaan olah raga 1,28, kebiasaan merokok 0,70, lama perjalanan 1,02, jenis kendaraan 1,13, dan kondisi psikososial 1,79.
Rasio prevalensi faktor risiko lingkungan fisik masing-masing adalah tingkat ventilasi 1,14, kadar partikulat 1,55, kadar CO02 0,86, kadar NOx 1,46, kelembaban 0,82, kecepatan aliran udara 1,70, suhu kering 1,72, dan suhu basah 1,42,

ABSTRACT
The attention towards indoor air pollution is increasing due to the fact that indoor air pollution is not easy to be diluted. It makes the pollution could be greater indoor than outdoor. Another factor supported that argument was the fact that the people spend their time 93% indoor, 5% traveling, and approximately 2% outdoor (Nriagu, 1992).
The most important factor that caused of decreased indoor air quality is the toxicity of contaminants such as gaseous or particulate form from a variety of sources, including the building materials, furnishings, office equipments and incidental spill of hazardous chemical substances, contaminants generated from other parts of the building or outdoors, tobacco smoke, gas appliances, and human's bioeffluents (Godish, 1991).
Environmental Protection Agency (EPA) declared that Sick Building Syndrome (SBS) refered to health and comfort problems associated with working in a particular building. The term generally applied to problems related to indoor air pollution.The poor indoor air quality that cause SBS phenomenon, may caused by a number of factors, such as : (a) inadequate ventilation; (b) pollution; (c) contamination from outside sources; and (d) biological contamination. These factors will interact with other environmental factors such as temperature, humidity, or lighting (Baechler et al, 1991).
A building will be classified as a sick building on the basis of the prevalence of the symptoms of population in the building. According to WHO, the Sick Building Syndrome (SBS) includes a broad range of symptoms such as eyes, nose, throat, and lower airways irritation, skin reaction, unspecific hypersensitive reactions, mental fatigue, head-ache, nausea, and dizziness (Lenvik, 1993; Aditama, 1992). Jackson et al (1991) described in his paper that SBS were so vague, and it disparaged because it was considered as ordinary flu symptoms.
The prevalence of each SBS can be influenced by several environmental and individual factors. Environmental factors were physical room condition such as humidity, temperature, and lighting, or the content of toxic substance, particulate, and microbiological condition of the room. The individual factors were age, sex, education, nutritional status, health status, allergic condition, smoking habits, job categories, etc. (Baechler et al, 1991; Lenvik, 1993).
Centre for Scientific Documentation and Information (PDII) Building Jakarta has five floors located at J'1. Jenderal Gatot Subroto Jakarta using central air conditioning (AC) system, at early of August 1994 was being renovation and changing of building component. This activity was carried out with office activities remain in that building. At the middle of 1995, all of office workers move to newly renovation room with some of them still worked in the emergency rooms.
Due to this conditions some of office workers complain of discomfort and health problems in the workplace, included the air from AC system. However, the prevalence of sickness and complaints caused by workplace environment condition in PDII building has not been clearly documented.
The objectives of this research :
1. to identify the prevalence of SBS among the office workers in PDII building.
2. to identify the association between SBS and the individual caracteristics of office workers including sex, age, education, hypersensitivity, smoking habits, exercising habits, traveling mode, and psychosocial condition.
3. to identify the association between the prevalence of SBS and workplace environment factors included ventilation rate, respirable suspended particulate, C02, NOx consentration, air flow rate, humidity, and temperature of the room.
4. to identify how far certain risk factors relatively cause SBS.
The study method used is survey, using questionnaire and measurements of physical environmental condition variable using pre-determined measurement tools. Data analysis carried out were frequency distribution, prevalence ratio, Chi-Square test, and Coefficient Contingency.
This was cross-sectional epidemiologic study looking for the associations between risk factors and the prevalence of SBS. The risk factor can be in the form of individual or environmental factors.
The result of the study showed that the prevalence of SBS in PDII building is 53.62%. According to symptom group are 19.56% for eyes; 32.61% for nose, 34.78% for throat, 13.04% for skin symptoms, and 39.14% for general symptoms.
The prevalence of SBS was highly significant in association with sex and psychosocial condition of respondences, and there is no significant association with age, education, hypersensitivity, exercising habits, length of transportation transportation, and the type of responden's vehicle.
The prevalence of SBS was highly significant association with humidity and dry temperature of workplace of PDII building Jakarta, and has significant association with concentration of respirable suspended particulate and CO2 in workplace of PDII building Jakarta.
The prevalence of SBS does not show a significant association with ventilation rate, concentration of NOx, air flow rate, and wet temperature of workplace in PDII building Jakarta.
The prevalence ratio of risk factors from despondence?s social caracteristics respectively : sex 1.57; age 1.18; education 0.78; hypersensitivity 1.42; smoking habits 0.70; exercising habits 1.28; length of transportation 1.02; the type of responden's vehicle 1.13; and psychosocial condition 1.79. The prevalence ratio of risk factors from physical environmental condition respectively ventilation 1.14; concentration of respirable suspended particulate 1.55; concentration of CO2 0.86; concentration of NOx 1.46; air flow rate 1.70, humidity 0.82; dry temperature 1.72; and wet temperature 1.42.
E. Total of References : 45 (1957 - 1995).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Komposit Fiber dan Resin Plastic menjadi salah satu alternatif dalam pembuatan Instalasi Pengolahan Air, yang dikenal dengan IPA-FRP. Hal ini dikarenakan dari beberapa keunggulan Struktur Komposit FRP seperti tahan terhadap korosi, tahan terhadap konsentrasi bahan kimia tertentu, mudah dibentuk sesuai dengan yang direncanakan, sehingga relatif lebih mudah untuk membuat ukuran yang diperlukan. Komponen instalasi dapat dicetak dan diproduksi secara modular di pabrik dan di lapangan. Pembuatan di pabrik/workshop dapat di lakukan dengan kriteria teknis struktur dan konstruksi IPA-FRP sesuai standar antara lain seperti ukuran IPA secara detail dapat dibuat sesuai dengan rencana kapasitasi instalasi dan kekuatan struktur tertentu pula. Untuk merancang IPA-FRP yang mempunyai kapasitas dan kekuatan tertentu, susunan serat gelas, jumlah lapisan, penguat pada dinding dan sambungan antara panel, sambungan pipa dengan dinding dan dudukan instalasi harus mendapat perhatian khusus dalam penentuan kriteria teknisnya serta diperlukan keahlian pekerja dan pengawasan yang memadai. "
Bandung: pusat penelitian dan pengembangan permukiman, badan penelitian dan pengembangan, kementrian pekerjaan umum , 2020
690 MBA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Tangoro
Jakarta: UI-Press, 2005
690 DWI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>