Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soroy Lardo
"Pendahuluan: Multi drug resistance (MDR) antibiotik sudah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang berdampak global. Penggunaan antibiotik yang tepat menjadikan upaya preventif dan kuratif sangat penting untuk keberhasilan mengatasi MDR dan intervensi terhadap kompleksitas resistensi, minimal memperlambat laju terjadinya MDR.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas penggunaan antibiotik dan keberhasilan pengobatan pasien sepsis akibat bakteri MDR gram negatif dengan infeksi bakteri non MDR di rumah sakit tersier.
Metode: Jenis penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder pasien berusia lebih atau sama dengan 18 tahun yang mendapatkan perawatan di Unit Rawat Inap dan ICU RSPAD Gatot Soebroto tahun 2017 – 2019.
Hasil: Hubungan kualitas antibiotik pada Bakteri MDR Gram Negatif dan Non MDR Gram Negatif menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna pada kelompok MDR gram negatif sebesar 20,6%, dengan kelompok non MDR gram negatif sebesar 13,6% terhadap kualitas antibiotik yang baik dengan RR 1,517, IK 95% 1,1-2,1 dan nilai p=0,015 (p<0,05. Hubungan keberhasilan terapi pada Bakteri MDR Gram Negatif dan Non MDR Gram negatif menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna pada kelompok MDR gram negatif sebesar 57,4%, dengan kelompok non MDR gram negatif sebesar 39,1% terhadap keberhasilan terapi (berhasil) dengan RR 1,431, IK 95% 1,0-2,1 dan nilai p=0,02 (p<0,05).
Simpulan: (1) Terdapat kualitas yang lebih baik penggunaan antibiotik dengan Index Gyssens pasien akibat infeksi bakteri MDR gram negatif dibandingkan Non MDR di rumah sakit tersier, (2) Terdapat keberhasilan yang lebih baik pengobatan pasien sepsis dengan infeksi bakteri MDR gram negatif dibandingkan dengan Non MDR di rumah sakit tersier

Introduction: Multi Drug Resistance (MDR) antibiotics have become a global health threat to the community. The use of appropriate antibiotics makes preventive and curative measures very important for the success of overcoming MDR and intervening the complexity of resistance, at least slowing the rate of occurrence of MDR
Objective: To know the difference in the quality of antibiotic use and the success in sepsis patients’ treatment due to gram-negative MDR bacteria with non-MDR bacterial infections in tertiary hospitals.
Methods: This research design is retrospective cohort. This research was conducted using secondary data from patient with age more or equal than 18 years.The patients was cared in Inpatient Unit and ICU Indonesia Army Central Hospital Gatot Soebroto from 2017-2019
Results: The relationship of antibiotic quality on Gram Negative MDR Bacteria and Non-Gram Negative MDR showed a significant difference in proportion in the gram negative MDR group by 20.6%, with the gram negative non MDR group by 13.6% against good antibiotic quality with RR 1.517, IK 95% from 1.1 to 2.1 and the value of p = 0.015 (p <0.05. The relationship of therapeutic success in Gram Negative MDR Bacteria and Non-Gram negative MDR showed a significant difference in proportion in the gram negative MDR group by 57.4%, with the non-gram negative MDR group by 39.1% for successful therapy (success) with RR 1,431, 95% CI 1.0-2.1 and p = 0.02 (p <0.05).
Conclusions: (1) There is a better quality on the utilization of antibiotics with Gyssens Index patients resulted from MDR negative gram bacterial infection in comparison to Non MDR in tertiary hospital, (2) There is a better success in treating the sepsis patient with MDR negative gram bacterial infection in comparison with Non MDR in a tertiary hospital
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Sophie Larasati
"Resistensi terhadap antibiotik pada bakteri dan penyebarannya di lingkungan menjadi ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Keberadaan bakteri resisten terhadap antibiotik dipicu oleh aktivitas antropogenik, salah satunya adalah penyalahgunaan antibiotik. Bakteri resisten terhadap antibiotik yang ditemukan di lingkungan domestik dapat menimbulkan risiko kesehatan pada warga setempat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi bakteri E. coli resisten di lingkungan domestik di Kota Bekasi, menilai risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat paparan mikroorganisme, dan mengidentifikasi rute paparan bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik ke manusia. Identifikasi konsentrasi bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik menggunakan kultur bakteri dan penilaian risiko dilakukan menggunakan metode Quantitative Microbial Risk Assessment (QMRA). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik (n=3) di tanah sebesar 1,28  105 CFU/mL, air sungai sebesar 3,9  101 CFU/mL, tangki septik sebesar 8,06  102 CFU/mL, feses ayam sebesar 1,33  106 CFU/mL, sedangkan di air tanah tidak ditemukan keberadaan E. coli resisten terhadap antibiotik. Penilaian risiko dengan metode QMRA pada bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik dilakukan pada galur E. coli O157:H7 sebagai galur yang paling umum menyebabkan penyakit diare pada manusia. Probabilitas infeksi harian (Pinf,d) yang disebabkan oleh bakteri E. coli O157:H7 di tanah berkisar antara 33,37% - 36,99% sesuai kelompok usia dengan probabilitas infeksi tahunan (Pinf,a) 100% dengan probabilitas munculnya penyakit (Pill) sebesar 25%. Sementara itu, probabilitas infeksi harian (Pinf,d) yang disebabkan oleh bakteri E. coli O157:H7 di air sungai berkisar antara 4,88% - 14,28% dengan probabilitas infeksi tahunan (Pinf,a) 99% - 100% dan probabilitas munculnya penyakit (Pill) adalah 24,9% - 25% tergantung jenis ingestinya. Berdasarkan penilaian risiko tersebut, rute paparan bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik ke manusia melalui media tanah dan air sungai, sehingga pencegahan dapat dilakukan untuk menangani risiko kesehatan pada manusia seperti meminimalisir penggunaan air sungai untuk aktivitas domestik, peningkatan fasilitas sanitasi, dan penerapan teknologi atau metode pencegahan resistensi terhadap antibiotik.

The occurrence of antibiotic-resistant bacteria in the environment is a threat to public health. The spread of antibiotic-resistant bacteria in the environment is influenced by anthropogenic activities, such as antibiotic misuse. Antibiotic-resistant bacteria found in the domestic environment pose a health risk to inhabitants. This study aims to identify antibiotic-resistant E. coli concentration in a domestic environment in Bekasi City, assess public health risks associated with exposure to pathogenic bacteria, and identify the exposure route of antibiotic-resistant E. coli to humans. The bacterial culture method was used to identify the concentration of antibiotic-resistant E. coli and the risk assessment was carried out using Quantitative Microbial Risk Assessment (QMRA). The results showed the average concentration of antibiotic-resistant E. coli (n=3) found in soil was 1,28  105 CFU/mL, in river water was 3,9  101 CFU/mL, in septic tank effluent was 8,06  102 CFU/mL, chicken feces was 1,33  106 CFU/mL, and none found in groundwater. Risk assessment was carried out using QMRA on E. coli O157:H7 strain as the most common strain to cause diarrheal illness in humans. The daily probability of infection (Pinf,d) caused by E. coli O157:H7 in soil ranged from 33,37% - 36,99% according to the age group with an annual probability of infection of 100% and the probability of illness obtained was 25%. Furthermore, the daily probability of infection caused by E. coli O157:H7 in river ranging from 4,88% - 14,28% with annual probability of infection (Pinf,a) ranged from 99% - 100% depending on the types of ingestion with the probability of illness obtained ranged from 24,9% - 25%. Based on the risk assessment, the exposure route of antibiotic-resistant E. coli can be determined by involving human, animal, and environmental sectors. Routes help to identify prominent exposure pathways in posing health risks to humans. The study revealed the route of antibiotic-resistant E. coli contamination to humans through environmental matrices, such as soil and river. Therefore, prevention can be done in order to deal with human health risks, such as reducing domestic uses of river water for communities, improving sanitation facility, and the application of technology and prevention methods to combat antibiotic resistance."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryman Utama Suryadinata
"Penggunaan antibiotik yang salah atau irasional dapat menyebabkan terjadinya kasus Antibiotic Resistance (ABR). Salah satu proses dalam mengendalikan ABR yaitu dengan melakukan evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens. Rumah Sakit X saat ini berupaya untuk terus memenuhi standar pelayanan kesehatan yaitu tentang penggunaan antibiotik yang rasional. Metode untuk mengevaluasi rasionalitas yang digunakan adalah dengan metode Gyssens. Kemudian, beberapa hasil yang menarik akan diverifikasi dengan tim pada saat diskusi dilakukan. Sampel yang dikumpulkan sebanyak 307 kali penggunaan antibiotik. Terdapat 7,5% penggunaan antibiotik yang sesuai dengan pedoman dan penggunaan antibiotik terbanyak pada golongan Cephalosporin generasi 3 (Ceftriaxone) dan Beta Lactam (Ampisilin Sulbaktam).
Penyebab terjadinya ketidaksesuaian dan dalam penggunaan antibiotik adalah belum adanya standar pedoman penggunaan antibiotik pada seluruh kelompok diagnosa penyakit, beberapa antibiotik tidak tersedia di rumah sakit, beberapa kebijakan dan program belum berjalan maksimal. Dampak tersebut dapat menyebabkan potensi terjadinya resistensi, penurunan efektivitas obat bahkan dapat meningkatkan biaya pengobatan. Beberapa solusi harus segera dilakukan yang bertujuan untuk meningkatkan cost saving dan hal ini dapat berpengaruh terhadap pembelian obat di rumah sakit termasuk pada mengurangi potensi risiko lainnya yang dapat muncul. Hal tersebut memiliki tujuan akhir yang sama yaitu kualitas pelayanan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang terkendali.

Irational antibiotics usage could drive into Antibiotics Resistance (ABR) which could be control by doing the evaluation of antbiotic usage. Nowdays, Hospital X is very concern to improve their quality of services by pushing rational usage of antibiotics. This reasearch will evaluate the rationality of antibioic useage with Gyssens algorithm, and cntinue by some discussion with the team for verification the interesting results. The total sample is 307 cases of antibiotic used. There are 7,5% rational cases of antibiotics usage which Cephalosporin 3 generation (Ceftriaxone) and Beta Lactam (Ampicillin Sulbactam) were the most frequent delivered.
Those irational antibiotic usage caused by there was no antibiotics used guideline for therapy especially for antibiotics therapy, some kind of antibiotics are not available in hospital and some internal regulations and programs were not working properly which could drive to antibiotics resistance, inefficient of the treatment and also increase the treatment cost. The hospital should do some improvement to prevent the resistance, which could give some benefits such as increase cost saving of the treatment, decrease the purchasing level and minimum risk of potential incident. All of those things just to reach the best quality with the controlled cost of healthy services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%) merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11 isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both developed and developing countries. A few research has been found linking infection with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia. This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%) of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli, 28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli, ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days (p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibiotic-sensitive bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients will get the right antibiotics."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat
meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas
dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang
menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan
biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif
resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif
dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan
hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data
psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%)
merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut
terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil
ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11
isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil
perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata
sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata
biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii
resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli
penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten
meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan
pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien
dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting
dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection
increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both
developed and developing countries. A few research has been found linking infection
with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia.
This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in
patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic
sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with
inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram
negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data
and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were
antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%)
of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli,
28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were
meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic
resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic
sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant
A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli,
ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average
length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial
infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days
(p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is
significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibioticsensitive
bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients
will get the right antibiotics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Shabrina Agustia Rahmah
"Angka prevalensi penemuan pneumonia anak Indonesia pada tahun 2018 sebesar 56,51%. Pneumonia juga menduduki penyebab kematian anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu lebih dari 19.000 anak. Bakteri merupakan salah satu penyebab pneumonia, maka dapat diberikan terapi kuratif dengan antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran tatalaksana penggunaan antibiotik pasien pneumonia anak, yang kemudian dievaluasi secara kualitatif menggunakan metode Gyssens. Penelitian ini bersifat deskriptif, dilakukan secara observasional dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan catatan rekam medik selama periode Maret-September 2020. Sebanyak 81 pasien pneumonia anak di ruang rawat inap RSAB Harapan Kita digunakan sebagai sampel dan telah memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Data tersebut selanjutnya dianalisis dan dievaluasi menggunakan metode kriteria Gyssens. Pada penelitian ini, kelompok usia berusia 1 bulan hingga 1 tahun (68%). Pasien anak laki-laki (51,85%) lebih banyak dibandingkan pasien anak perempuan (48,15%), dan frekuensi lama rawat paling banyak 6-10 hari sebanyak 36 pasien (44,4%). Penggunaan antibiotik terbanyak di ruang rawat inap RSAB Harapan Kita untuk pneumonia secara beturut-turut adalah seftriakson (30,91%), lalu gentamisin (13,94%), dan azitromisin (12,73%). Total 165 regimen dari 81 pasien diperoleh hasil 109 regimen (66,06%) termasuk ke dalam kategori 0 dan 56 regimen (33,94%) termasuk ke dalam kategori I-VI. Hasil analisis menunjukkan adanya 33,94% ketidaktepatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia anak di RSAB Harapan Kita.

Child mortality rate is due to pneumonia rather than other infectious diseases were the highest, with up to 56,51% cases in Indonesia or more than 19.000 children died in 2018. Since most of pneumonia is caused by bacteria, the therapy given for this infection is antibiotic. The objective of this research was described and evaluated the used of antibiotics qualitatively in pediatric pneumonia patients with Gyssens method. Method used in this study was cross-sectional, observational with descriptive data analysis. Data collection has been conducted retrospectively based on medical records during the period March-September 2020. 81 samples of pediatric pneumonia patients in RSAB Harapan Kita’s inpatient room who met the inclution criteria was taken used total sampling method. Then, data were analyzed and evaluated by Gyseens criteria method. In this research, there group age 1 – 12 months (68%) was being the highest population who used antibiotic due to 6-10 days length of stay (44,4%). It’s consists of male children (51,58%) and female children (48,15%). The most used antibiotic coherently ceftriaxone (30,91%), gentamycin (13,92%), and azithromycin (12,73%). The total 165 regimen, from 81 samples show that 109 regimens (66,06%) were categorized as Category 0 and 56 regimens (33,94%) as Category I-VI. Result show inaccuracy used of antibiotic up to 33,94% in RSAB Harapan kita."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Masyrifah
"Sepsis masih menjadi masalah kesehatan dunia dengan angka kematian yang cukup tinggi berkisar 20 – 50%. Penggunaan terapi antibiotik yang rasional dengan segera dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode gyssens pada pasien sepsis. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cross-sectional yang dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta. Subyek penelitian adalah 110 pasien sepsis pada periode Januari hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien usia > 18 tahun dan mendapatkan terapi antibiotik. Pasien sepsis umumnya berusia ≤ 65 tahun (66,4%) dengan rerata usia 60,60±13,88, berjenis kelamin perempuan (52,7%), termasuk dalam kategori sepsis (53,6%), memiliki > 1 penyakit penyerta (86,4%), mengalami infeksi paru (66,4%), dan lama rawat ≤ 14 hari (85,5%). Berdasarkan distribusi penggunaan antibiotik, sebagian besar (93,66%) pasien menggunakan antibiotik empiris. Antibiotik tunggal digunakan pada 46,37% pasien dengan presentase terbanyak adalah meropenem (14,55%). Sedangkan 53,63% pasien menggunakan antibiotik kombinasi dengan presentase terbanyak adalah kombinasi ceftriaxon+levofloxacin (19,09%). Sejumlah 92,73% pasien menggunakan antibiotik selama ≤ 14 hari. Berdasarkan evaluasi kualitas antibiotik menggunakan metode gyssens diperoleh hasil 49,09% pasien menggunakan antibiotik yang rasional dan 50,91% pasien menggunakan antibiotik yang tidak rasional dan tersebar dalam kategori VI (0,91%), V (17,28%), IV a (3,63%), IV b (0,91%), IV c (0,91%), III a (3,63%), III b (20%), II a (0,91%) dan II b (2,73%).

Sepsis is still a global health problem with a fairly high mortality rate ranging from 20-50%.
Rational use of antibiotic therapy immediately can reduce mortality. Conversely, irrational use of
antibiotic therapy will increase the occurrence of resistance which has an impact on high morbidity,
mortality and health costs. This study aims to evaluate the quality of antibiotics use with the Gyssens
method in sepsis patients. This study was an observational study with a cross-sectional method conducted
at Fatmawati Hospital, Jakarta. The subjects were 110 septic patients from January to December 2020 who
met the inclusion criteria, namely aged > 18 years and received antibiotic therapy. Sepsis patients were
generally aged 65 years (66.4%) with a mean age of 60.60 ± 13.88, female (52.7%), included in the category
of sepsis (53.6%), had >1 comorbidities (86,4%), had lung infection (66.4%), and length of stay ≤ 14 days
(85.5%). Based on the pattern of antibiotic use, most (93.66%) patients used empiric antibiotics. A single
antibiotic used in 46.37% of patients with the highest percentage was meropenem (14.55%). Meanwhile,
53.63% of patients used combination antibiotics with the highest percentage were combination of
ceftriaxone+levofloxacin (19.09%). A total of 92.73% of patients used antibiotics for ≤ 14 days. Based on
the evaluation of the quality of antibiotics using the Gyssens method, the study found the result that
49.09% of patients using rational antibiotics and 50.91% of patients using irrational antibiotics and
were spread in category VI (0.91%), V (17.28%), IV a (3.63%), IV b (0.91%), IV c (0.91%), III a (3.63%),
III b (20%) , II a (0.91%) and II b (2.73%).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Yonata
"Latar Belakang: Dalam dekade terakhir terjadi peningkatan bakterimia Multi-Drug Resistant (MDR) Gram negatif. Bakterimia MDR Gram negatif tidak hanya meningkatkan angka kematian, tetapi juga dapat dikaitkan dengan peningkatan morbiditas pasien, lama perawatan dan biaya perawatan rumah sakit. Faktor-faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif di ruang rawat inap penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor-faktor risiko tersebut dan menurunkan kejadian bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Metode: Faktor risiko diidentifikasi menggunakan studi kasus kontrol. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien rawat inap RSCM yang memiliki kultur darah positif tumbuh bakteri patogen Gram negatif. Kelompok kasus adalah subjek dengan bakterimia MDR Gram negatif, kelompok kontrol adalah subjek dengan bakterimia non-MDR Gram negatif. Kedua kelompok kasus dan kontrol diambil secara konsekutif dikarenakan kurangnya sampel. Analisis bivariat dilakukan pada variabel bebas yaitu riwayat antibiotik sebelumnya, pemberian antibiotik kombinasi, fokus infeksi, riwayat hospitalisasi, lama perawatan, Charlson index >2, pemberian kemoterapi, kortikosteroid, keganasan, kolonisasi, absolute neutrophile count (ANC) <500, perawatan di ICU/HCU, prosedur medis invasif, hipoalbuminemia. Semua variabel yang mempunyai nilai p <0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Selama periode penelitian didapatkan 131 pasien yang memenuhi kriteria, 42 pasien dengan bakterimia MDR Gram negatif (kasus), dan 89 pasien dengan bakterimia non-MDR Gram negatif (kontrol). Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 2 variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik yaitu riwayat ICU/HCU (p= 0.003) dan riwayat ventilator (p=0.030). Pada analisa multivariat lebih lanjut terdapat satu varibel bermakna secara statistik, yaitu riwayat ICU/HCU (OR: 3.118; IK 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Simpulan: Riwayat ICU/HCU merupakan faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.

Background: Over the past decade, the numbers of bloodstream infections caused by multidrug-resistant (MDR) Gram-negative bacteria have risen sharply. MDR Gramnegative bacteremia increases not only mortality, but may also be associated with increased patient morbidity, length of treatment and hospitalization costs. It is important to identify risk factors of MDR Gram-negative bacteremia among hospitalized patients in order to prevent and to control these risk factors and thus to lower the incidence of MDR Gram-negative infections among hospitalized patients.
Aim: To identify the risk factors associated with the occurrence of MDR Gramnegative bacteremia among hospitalized patients.
Method: Risk factors were identified by a case-control study. Data was collected from inpatients medical record that had positive blood cultures of Gram negative bacterial pathogens. Both case and control samples were collected consecutively due to lack of samples available. The case group was subjects who had MDR Gram-negative bacteremia, and the control group was subjects who had non-MDR Gram negative bacteremia. Bivariate analysis was performed on several independent variables, which were previous antibiotic history, antibiotic combination, source of infection, history of hospitalization, duration of hospitalization, Charlson index> 2, administration of chemotherapy, use of corticosteroid, malignancy, colonization, ANC <500, history of treatment in ICU / HCU, invasive medical procedures and hypoalbuminemia. All variables that had a value of p <0.25 on bivariate analysis were included in multivariate analysis using logistic regression.
Result: During the study period, there were 131 patients fulfilled the criteria, which consisted of 42 patients who had MDR Gram-negative pathogen bacteremia (case) and 89 patients who had non-MDR Gram-negative pathogen bacteremia patients (control group). Based on the bivariate analysis, there were two variables statistically significance, which were history of treatment in ICU / HCU (p=0.003) and history of ventilator (p=0.030). Further multivariate analysis showed that there was one variable statistically significance, which was history of treatment in ICU / HCU (OR: 3.118; CI 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Conclusion: History of treatment in ICU / HCU was risk factor of MDR Gram negative bacteremia among hospitalized patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Novianta Wulandari
"Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab utama kematian pada bayi. Akibat gejala klinis dari infeksi bakteri pada bayi yang beragam, maka bayi biasanya diberikan pengobatan berupa terapi antibiotik dengan diagnosis yang samar. Pemberian antibiotik tanpa justifikasi yang tepat menyebabkan tidak efektifnya kemampuan antibiotik tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien bayi di ruang perinatologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati periode Oktober-Desember 2016. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dan metode retrospektif yaitu mengumpulkan data sekunder berupa data rekam medis dan catatan peresepan antibiotik. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens.
Berdasarkan hasil penilaian kualitas penggunaan antibiotik, didapatkan hasil yaitu 17 peresepan antibiotik 36,95 memenuhi kategori 0 penggunaan antibiotik tepat/bijak, 1 peresepan antibiotik 2,18 termasuk dalam kategori IIa penggunaan antibiotik tidak tepat dosis, 3 peresepan antibiotik 6,52 termasuk dalam kategori IIb penggunaan antibiotik tidak tepat interval, 9 peresepan antibiotik 19,57 termasuk dalam kategori IIIa penggunaan antibiotik terlalu lama, 4 peresepan antibiotik 8,70 termasuk dalam kategori IIIb penggunaan antibiotik terlalu singkat, 4 peresepan antibiotik 8,70 termasuk dalam kategori IVa ada antibiotik lain yang lebih efektif, dan 8 peresepan antibiotik 17,39 termasuk dalam kategori V tidak ada indikasi penggunaan antibiotik.

Bacterial infection is one of the leading causes of death in neonates. As a result of clinical symptoms of bacterial infection in neonates are diverse, neonates are usually given antibiotic therapy with a vague diagnosis. Prescribing of antibiotics without appropiate justification cause ineffective antibiotic ability.
The aim of this study was to determine the quality usage of antibiotic on neonates in perinatology ward Fatmawati General Hospital October December 2016. The study was conducted by cross sectional design and retrospective method by collecting secondary data in the form of medical records and antibiotic prescription records. The sampling was done by total sampling technique. Assessment quality usage of antibiotic was done using Gyssens method.
Based on the results of the assessment quality usage of antibiotic, from 46 antibiotic prescribing obtained 17 antibiotic prescribing 36.95 include in category 0 appropiate use of antibiotic ,1 antibiotic prescribing 2.18 include in category IIa inappropiate dosage, 3 antibiotic prescribing 6.52 include in category IIb inappropiate interval, 9 antibiotic prescribing 19.57 include in category IIIa the usage of antibiotic was too long, 4 antibiotic prescribing 8.70 include in category IIIb the usage of antibiotic was too short, 4 antibiotic prescribing 8.70 include in category IVa there were other more effective antibiotics, and 8 antibiotic prescribing 17.39 include in category V there was no indication of antibiotic usage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Veri Suprianto
"Faktor spiritualitas merupakan faktor yang krusial dalam memengaruhi kualitas hidup pasien Tuberkulosis resisten obat (TB-RO), selain faktor fisik, psikologi, sosial, dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat spiritualitas dengan kualitas hidup pasien TB-RO. Penelitian deskriptif komparatif dengan pendekatan potong lintang ini melibatkan 134 pasien poliklinik TB-RO di Rumah Sakit Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo Cisarua yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Tingkat spiritualitas diukur dengan kuesioner WHO-SRPB dan kualitas hidup diukur dengan WHOQOL BREF. Hasil uji Chi Square menunjukkan ada hubungan antara tingkat spiritualitas dan kualitas hidup pada pasien TB-RO (x2 = 26,435; p<0,001). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden dengan tingkat spiritualitas rendah berisiko 7,988 kali memiliki kualitas hidup rendah.Faktor lain yang juga berhubungan dengan kualitas hidup pasien TB-RO yaitu dengan usia (x2 = 5,468 ; p = 0,019) ; jenis kelamin (x2 = 38,311; p<0,001), status pernikahan (x2 = 6,269; p = 0,012), penghasilan keluarga (x2 = 23,141; p<0,001), riwayat merokok masa lalu (x2 = 41,909; p<0,001). Penelitian ini merekomendasikan bidang keperawatan untuk menyusun Standar Operasional Prosedur mengenai pemberian asuhan keperawatan spiritual dan perawat diharapkan dapat melibatkan keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup pasien TB-RO.

Spirituality are a crucial factor in influencing the quality of life of Multiple drug-resistant tuberculosis patients (MDR-TB), in addition to physical, psychological, social, and environmental factors.This study aimed to determine the relationship between the spirituality level and the quality of life of MDR-TB patients in the MDR TB clinics at dr. M. Goenawan Partowidigdo Lungs Hospital. This study used a comparative descriptive with a cross sectional design approach with a sample of 134 patient and use the purposive sampling technique. The study employed the WHO-SRPB questionnaire to determine the patient's spirituality level, and WHOQOL BREF to determine the patient's quality of life. The results of the study showed a significant relationship between the spirituality level and quality of life (x2 = 26.435; p = 0.001); respondents with low spirituality levels are at a risk of 7.988 times more likely to have low quality of life. Other factors that are also related to the quality of life of TB-RO patients are age (x2 = 5,468 ; p = 0,019); gender (x2 = 38,311; p = 0,001); mariage status (x2 = 6,269; p = 0,012); family income (x2 = 23,141; p = 0,001), past smoking history (x2 = 41,909; p = 0,001). This study recommends the Manager of nursing to develop Operational Standards Procedures regarding the provision of spiritual nursing care and nurses are expected to involve families to improve the quality of life of TB-RO patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>