Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aloysius Ryantori
"Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK kerap menimbulkan berbagai permasalahan karena kedudukan BPSK yang acap kali dianggap sebelah mata karena putusan yang dihasilkannya sering dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat ketika diajukan keberatan melalui Pengadilan. Padahal, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 54 Ayat (3) menjelaskan bahwa putusan dari majelis hakim BPSK adalah final dan juga mengikat, tetapi hal tersebut dipatahkan dengan Pasal 56 Ayat (3) Undang- Undang Perlindungan Konsumen yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kekuatan hukum tersendiri di dalam putusan BPSK. Rumusan masalah yang digunakan adalah Bagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif konsumen? Dan Bagaimana analisis hukum terhadap keberadaan Badan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam putusan Pengadilan Negeri Kota Bekasi Nomor 295/Pdt.Sus/BPSK/2020/PN Bks Jo. Putusan Nomor 175K/Pdt.Sus-BPSK/2021? Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Hasil penelitian menjelaskan bahwa keberadaan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif ketika putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tersebut diajukan keberatan oleh Para Pihak menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Hal tersebut dikarenakan dalam pelaksanaannya putusan BPSK cenderung dibatalkan dan/atau dikatakan BPSK tidak berwenang melakukan mengadili atas sengketa konsumen yang diajukan. Padahal dalam pelaksanaan dan fakta di lapangannya bahwa tidak sedikit Pengadilan Negeri membatalkan Putusan BPSK yang dapat dibuktikan hubungan hukum dari para pihak yang bersengketa adalah hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Putusan Pengadilan Negeri Kota Bekasi Nomor 295/Pdt.Sus/BPSK/2020/PN Bks adalah putusan yang kemudian memperkuat Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bekasi Nomor 011/BPSK-BKS/2020 yang memberikan sanksi denda administratif kepada Tergugat atau Pelaku Usaha dalam perbuatannya yang menyebabkan tidak sampainya paket barang yang dipesan oleh Penggugat dan adanya kesengajaan yang dilakukan oleh Karyawan Tergugat atau Pelaku Usaha yang mengganti jenis pengiriman dan juga pengurangan berat sehingga adanya selisih harga dan menyebabkan Penggugat atau Konsumen mengalami kerugian. BPSK memiliki kewenangan melakukan penyelesaian sengketa konsumen yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum, sebagaimana Putusan BPSK Kota tersebut yang memperkuat karena hakim dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah perbuatan melawan hukum.

Settlement of consumer disputes through BPSK often gives rise to various problems because BPSK's position is often underestimated because the decisions it produces are often annulled and do not have binding legal force when objections are submitted to the Court. In fact, in the Consumer Protection Law Article 54 Paragraph (3) explains that the decision of the BPSK panel of judges is final and binding, but this is violated by Article 56 Paragraph (3) of the Consumer Protection Law which creates legal uncertainty regarding the power of separate law in the BPSK decision. The problem formulation used is: What is the authority of the Consumer Dispute Resolution Agency as an alternative consumer dispute resolution institution? And what is the legal analysis of the existence of the Consumer Dispute Resolution Agency in the Bekasi City BPSK decision Number 295/Pdt.Sus/BPSK/2020/PN Bks Jo. Decision Number 175K/Pdt.Sus-BPSK/2021? The research method used by the author is normative juridical with a statutory and case approach. The research results explain that the existence of the decision of the Consumer Dispute Resolution Agency as an alternative dispute resolution institution when the decision issued by BPSK is objected to by the Parties creates legal uncertainty. This is because in its implementation BPSK decisions tend to be annulled and/or it is said that BPSK does not have the authority to adjudicate consumer disputes that are submitted. In fact, in practice and in the facts on the ground, quite a few District Courts cancel BPSK decisions which can be proven that the legal relationship of the parties to the dispute is the relationship between business actors and consumers. Bekasi City BPSK Decision Number 295/Pdt.Sus/BPSK/2020/PN Bks is a decision which then strengthens the Decision of the Bekasi City Consumer Dispute Settlement Agency Number 011/BPSK-BKS/2020 which imposes administrative fines on Defendants or Business Actors for their actions. causing the package of goods ordered by the Plaintiff not to arrive and the Defendant's Employees or Business Actors deliberately changing the type of delivery and also reducing the weight, resulting in a price difference and causing the Plaintiff or Consumer to suffer losses. BPSK has the authority to resolve consumer disputes based on unlawful acts, as confirmed by the BPSK City Decision because the judge in his consideration explained that the actions carried out by the Defendant were unlawful."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlyana Maharani
"Pembatasan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menjadi suatu isu hukum yang mengaburkan kepastian hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Analisa mengenai kewenangan BPSK terhadap sengketa konsumen yang mengarah pada perkara keperdataan (wanprestasi) perlu dikaji dari segi UU Perlindungan Konsumen dan Putusan-Putusan Mahkamah Agung yang memutus dengan amar membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi. Mahkamah Agung selaku tingkat tertinggi dalam lingkup Peradilan Umum kerap kali tidak mencantumkan dasar dan alasan hukum terhadap Putusan-Putusannya yang menyangkut kewenangan BPSK. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) dengan studi dokumen (bahan-bahan pustaka) dengan dilengkapi data primer berupa wawancara dengan beberapa narasumber. Bahwa penulis mendapati, meskipun Mahkamah Agung sebelumnya sepakat BPSK berwenang menyelesaikan sengketa konsumen terkait perkara wanprestasi, namun dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai sengketa keperdataan (wanprestasi) bukan lagi ranah BPSK melainkan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara. Mahkamah Agung seharusnya tidak serta merta membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas dan lengkap agar hak konsumen mendapat penyelesaian sengketa yang patut tidak terabaikan.

The limitation of BPSK's authority in resolving consumer disputes is a legal issue that obscures the legal certainty of consumer protection in Indonesia. The analysis of BPSK's authority on consumer disputes that lead to civil cases (default) which need to be studied in terms of the Consumer Protection Law and Supreme Court Judges Considerations and Decisions which ruled against BPSK's decision and stated BPSK has no authority to resolve default disputes. The Supreme Court as the highest level within the scope of the General Court does not affect the legal basis and reasons for its decisions that regulate the authority of BPSK. The author uses the normative legal research method (literature) with document study (library materials) supplemented by primary data in the form of interviews with several interviewees. The fact is that although the Supreme Court agrees on the authority of BPSK to resolve disputes related to the interests of cases of default, with the existence of Supreme Court jurisprudence, Regarding civil disputes (default), it is no longer the domain of BPSK, but the absolute competence of the District Court to examine and decide cases. The Supreme Court should not immediately cancel the BPSK decision and state that BPSK does not resolve default disputes without consideration and a clear and complete legal basis so that proper dispute resolution consumers' rights are not neglected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sumardi
"Proses penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dibuat
selain untuk mendapatkan kepastian hukum juga dengan memperhatikan sisi
efektifitas dari prosedur penyelesaian sengketa, sehingga lahirlah proses penyelesaian
sengketa yang bisa dilakukan secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi.
Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi ini bisa dengan sengketa secara
damai oleh para pihak sendiri. Dan melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui
BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
Dari hasil penelitian ini, dalam prakteknya BPSK selama ini menerima dan memutus
perkara wanprestasi, tetapi ketika perkara ini sudah sampai pada tahap Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang atas perkara
wanprestasi tersebut. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia
maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh karenanya
BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya. Sengketa yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut menurut MA merupakan
sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan
negeri. Diharapkan tidak ada lagi ke tumpang-tindih peraturan hukum, itu harus
diselesaikan dengan baik karena banyak sekali peraturan perundang-undangan yang
saling tumpang-tindih, sehingga menyusahkan untuk penegakan hukum ataupun
menjalankan undang-undang tersebut. Ketidakjelasan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kerugian bari para pihak yang bersengketa, karena tidak
menjamin terselesaikannya sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlu adanya
perubahan-perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif dalam
penyelesaian sengketa konsumen.

The dispute resolution process between business actors and consumers is
made in addition to obtaining legal certainty as well as by taking into account the
effective side of the dispute resolution procedure, so that a dispute resolution process
that can be carried out by non-litigation and litigation resolution is born. The nonlitigation
dispute resolution process can be carried out by peaceful disputes by the
parties themselves. And institutions that are in the forest, namely through BPSK by
using through conciliation, mediation or arbitration. From the results of this study, in
practice BPSK has received and decided cases of default, but when this case reached
the Reconsideration stage, the Supreme Court stated that BPSK was not awarded for
the default case. The Supreme Court is of the opinion that the dispute that occurs in
the implementation of consumer financing, whether based on a fiduciary agreement
or a consumer dispute coverage right, by BPSK does not have the authority to try
them. Disputes arising from the implementation of the financing agreement according
to the Supreme Court are disputes which are the authority of the district court. It is
hoped that there will be no more overlapping legal regulations, it must be
implemented properly because many regulations overlap each other, making it
difficult for law enforcement or to implement the law. This uncertainty creates legal
uncertainty and losses for the disputing parties, because it does not guarantee an
effective and efficient resolution of the dispute. And there need to be changes to the
methods that help the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK), so that BPSK
can be more active in resolving consumer disputes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Istihara Zain
"Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Jenis penelitian yuridis normatif dengan Socio Legal Research. Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa keuangan, atas amanat OJK yang didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak menghilangkan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, karena pilihan atas lembaga mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela para pihak dan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dari analisis 7 (tujuh) putusan, mayoritas hakim menolak permohonan keberatan pemohon, karena terdapat hubungan hukum berupa perjanjian pembiayaan. Debitur telah wanprestasi, menurut hakim wanprestasi merupakan kewenangan Peradilan Umum bukan BPSK. Selain itu, terhadap beberapa putusan hakim tidak menerapkan hukum dengan baik, hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan, dimana para pihak telah sepakat menentukan pilihan lembaga penyelesaian sengketa, namun hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan pertimbangan tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa BPSK memiliki wewenang dalam menangani sengketa di sektor jasa keuangan akibat ingkar janji/wanprestasi karena UUPK tidak menentukan batas-batas sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, sepanjang terkait dengan sengketa atas peredaran barang dan jasa. Seharusnya, pemerintah merevisi pasal di UUPK terkait sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, agar tidak terjadi disharmonisasi terhadap perundang-undangan yang ada. Hakim sbelum menjatuhkan putusan sebaiknya membuat pertimbangan hukum dengan benar dan bersikap konsisten dalam menjatuhkan putusan.

The Dispute Settlement Board (BPSK) in carrying out consumer dispute resolution in the financial services sector. This type of juridical normative research with Socio Legal Research. After the establishment of the Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) through the Financial Services Authority Regulation (POJK) in the financial services sector, as mandated by the OJK which is based on the Financial Services Authority Law, it does not diminish the authority of BPSK in carrying out dispute resolution in the financial services sector, by choice. on which institution is used in dispute resolution, either BPSK or LAPS is a voluntary choice of the parties and on the agreement of the parties in dispute. From the analysis of the 7 (seven) decisions, the majority of judges rejected the petitioner for objection, because there was a legal relationship in the form of a financing agreement. The debtor has defaulted, according to the judge, default is the authority of the General Court, not BPSK. In addition, for several judges' decisions that did not apply the law properly, the judges were inconsistent in making decisions, where the parties had agreed to determine the choice of dispute settlement institutions, but the judges in their legal considerations did not include these considerations. Therefore, it is said that BPSK has the authority to handle disputes in the financial services sector due to broken promises /or defaults because the UUPK does not determine the boundaries of what disputes are the authority of BPSK, as long as they are linked to disputes over the circulation of goods and services. The government should have revised the articles in the UUPK regarding any disputes that fall under the authority of BPSK, so that there is no disharmony with existing laws. Before making a decision, the judge should make proper legal considerations and be consistent in making the decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Feliana Febiola
"Selama pemberlakuannya, beberapa kendala dialami BPSK, seperti lemahnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang terbatas, kurangnya kepercayaan masyarakat, keterbatasan dana operasional kegiatan, hingga kelemahan lain dalam UUPK sendiri, Kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah terhadap keberadaan BPSK dapat dibuktikan dengan cukup banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki BPSK di daerahnya masing-masing. Untuk menjawab rumusan masalah pertama, langkah yang penulis lakukan ialah dengan menganalisis jurnal-jurnal terkait serta membandingkan peran dari BPSK dan BPKN itu sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi hak konsumen. Kemudian untuk menjawab kedua rumusan masalah pada penulisan ini, penulis menggunakan metode wawancara. BPKN dan BPSK ini tidak memiliki garis putus-putus atau tidak memiliki garis koordinasi, sehingga BPSK dalam menjalankan tugasnya sendiri dan tidak dapat diintervensi oleh BPKN. Penggabungan BPKN dan BPSK merupakan langkah yang tepat untuk optimalisasi hak konsumen dalam mendapatkan hak penyelesaian sengketa yang patut, karena banyaknya permasalahan pada BPKN dan BPSK menyebabkan ketidakoptimalan BPKN dan BPSK dalam memenuhi hak konsumen khususnya pada penyelesaian sengketa konsumen. Bentuk dari rekonstruksi penggabungan BPKN dan BPSK ini adalah dengan menggabungkan BPKN dan BPSK dibawah satu nama BP2SK (Badan Perlindungan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen), dengan formasi baru yang nantinya memiliki penguatan pada BPKN.

During its implementation, BPSK experienced several obstacles, such as weak human resources, limited facilities and infrastructure, lack of public trust, limited operational funds for activities, and other weaknesses in the UUPK itself. The lack of attention and support from regional governments for the existence of BPSK can be sufficiently proven. Many regions in Indonesia do not yet have BPSK in their respective regions. To answer the first problem formulation, the step the author took was to analyze related journals and compare the roles of BPSK and BPKN themselves in carrying out their duties to protect consumer rights. Then, to answer the two problem formulations in this writing, the author used the interview method. BPKN and BPSK do not have a dotted line or no line of coordination, so that BPSK carries out its own duties and cannot be intervened by BPKN. The merger of BPKN and BPSK is the right step to optimize consumer rights in obtaining appropriate dispute resolution rights, because the many problems with BPKN and BPSK cause BPKN and BPSK to be suboptimal in fulfilling consumer rights, especially in resolving consumer disputes. The form of reconstruction of the merger of BPKN and BPSK is by combining BPKN and BPSK under one name BP2SK (Consumer Protection and Dispute Resolution Agency), with a new formation which will later have strengthening of BPKN."
2024: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reina
"Kepastian hukum dalam upaya penyelesaian sengketa merupakan faktor terpenting dalam terciptanya perlindungan konsumen. Awal pergerakan perlindungan konsumen di dunia salah satunya berkaitan dengan adanya revolusi industri yang mengubah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang dalam menyelesaikan penyelesaian sengketa dilakukan dengan sengketa alternatif. Permasalahan dalam penelitian ini dimulai dari bagaimana perbandingan proses penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia dilaksanakan untuk memperoleh kepastian hukum bagi konsumen di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan komparatif. Hasil dalam penelitian ini adalah Perbandingan penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia, dalam hal penyelesaian sengketa melalui sengketa alternatif, baik di amerika dan di Indonesia tidak ditemukan perbedaan yang mendasar yang mengkhususkan terhadap konflik antara konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia khususnya penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif dilaksanakan oleh BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Secara kelembagaan BPSK dibentuk berdasarkan adopsi dari model small claim tribunal, seperti yang ada di Amerika Serikat namun pada akhirnya pembentukan BPSK didesain dengan memadukan kedua model small claim tribunal diadaptasikan dengan model pengadilan dan model penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution-ADR) yang menggunakan ciri khas penyelesaian sengketa alternatif khas Indonesia. Namun pada pelaksanaannya keputusan BPSK belum dapat mewujudkan kepastian hukum pada Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Putusan Majelis bersifat final dan mengikat”, yakni dengan menambahkan ketentuan bahwa Putusan BPSK wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan lain sebagainya

Legal certainty regarding dispute resolution is the most important factor in the creation of consumer protection. One of the early movements of consumer protection in the world was related to the industrial revolution which changed the position of consumers and business actors, the development of industrialization and globalization that occurred in the United States and Europe which in resolving dispute resolution carried out with alternative dispute. The problem in this research starts with how the consumer dispute resolution process in the United States and Indonesia compares and how the consumer dispute resolution process in Indonesia is implemented to obtain legal certainty for consumers in Indonesia. The research method used in this research is doctrinal research that uses a comparative approach. The results in this study are a comparison of consumer dispute resolution in the United States and in Indonesia, in terms of dispute resolution through the courts, both in America and Indonesia there are no fundamental differences that specialize in conflicts between consumers and business actors. In Indonesia, especially through alternative consumer dispute resolution implemented by BPSK as an alternative dispute resolution institution outside the court, it is given judicial authority to resolve small-scale and simple consumer disputes. Institutionally BPSK was formed based on the adoption of the small claim tribunal model, as in the United States but in the end the formation of BPSK was designed by combining the two small claim tribunal models adapted to the court model and the alternative dispute resolution (ADR) model which uses typical Indonesian alternative dispute resolution characteristics specifically in relation to the law assurance, Article 54, paragraph (3) of Law on Consumer Protection that reads “The decision of Assembly shall be final and binding”, and adding the provision that the decision of BPSK shall contain the heading “For the sake of Justice under the One Almighty God”, and others."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adirizal Muhammad Dito
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai definisi konsumen dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dan Pengadilan. Fokus dari penelitian ini adalah meninjau sejauh mana seseorang dapat dikatakan sebagai seorang konsumen dalam sebuah transaksi. Pembahasan di dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK serta Pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif. Penelitian ini mengangkat sebuah kasus antara Namin dengan PT. Transport Nusantara Indonesia mengenai pengalihan hak milik mobil taksi di dalam perjanjian campuran kemitraan dengan jual-beli angsuran. Kasus ini berawal pada saat Namin menandatangani perjanjian kemitraan dengan PT. Transport Nusantara Indonesia yang didalamnya terdapat klausula pengalihan hak milik mobil taksi dengan secara angsuran. Pada pertengahan dalam berjalannya perjanjian ini, Namin terjatuh sakit dan tidak dapat memenuhi prestasinya untuk mengangsur mobil taksinya. Kemudian PT. Transport Nusantara Indonesia secara sepihak mengambil mobil yang sedang di angsur oleh Namin. Hal ini jelas merugikan Namin sebagai pihak yang telah mengangsur mobil tersebut selama kurang lebih empat tahun, kemudian Namin mengajukan gugatan sebagai konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa konsumen BPSK . Kasus ini dimenangkan oleh Namin hingga ke tingkat kasasi. BPSK dan Pengadilan berpendapat bahwa Namin merupakan seorang konsumen karena keberadaan hak milik dari mobil tersebut telah berada di Namin. Hal itu diakibatkan oleh adanya klausula pengalihan hak di dalam perjanjian kemitraan tersebut. Disarankan kepada para pihak yang akan mengadakan sebuah perjanjian agar menjelaskan perjanjian tersebut secara rinci dan jelas.

ABSTRACT
This thesis discusses about the definition of consumer based to the law No. 8 year 1999 about consumer protection, referring to the verdicts established by Consumer Dispute Settlement Agency and Disctrict Courts. This thesis main focus is to review extent on how someone could become a consumer in every transactions. This research was conducted through literature study and results interview with the Dispute Settlement Agency and the District Courts. This research is a normative juridical with qualitative method. This research lift a case between Namin and PT. Transport Nusantara Indonesia about transfer property rights for a taxi car, which had been written on the partnership agreement between them. This case begins when Namin signed the partnership agreement with PT. Transport Nusantara Indonesia that follow a clause which regulate about the transfer of propert right of the taxi car by gradually payments. In the middle of their agreement, Namin was suffering from a disease therefore Namin could not accomplish Namin rsquo s job to fulfill the daily payment. Thereafter, PT. Transport Nusantara Indonesia forcibly withdraw the taxi car from Namin. This is clearly a huge loss for Namin, since Namin has already paid his obligation for 4 years. Furthermore, Namin sued PT. Transport Nusantara Indonesia with consumer claim to Consumer Dispute Settlement Agency. For those parties who are about to arrange an agreement are highly recommend to interpret the agreement detailed and clearly before the establishment."
2017
S70041
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lavie Daramarezkya
"Telekomunikasi sebagai bagian dari komunikasi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia dalam bermasyarakat, oleh karena itu perkembangan usaha dan konsumen di bidang jasa telekomunikasi meningkat pesat. Pada akhirnya, masyarakat membutuhkan perlindungan hukum atas terjadinya sengketa di bidang jasa telekomunikasi. Adanya hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan dasar dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa telekomunikasi. Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha jasa telekomunikasi dapat dilakukan melalui peradilan umum atau melalui lembaga khusus yang dibentuk oleh Undang-Undang, yaitu BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK dapat dilakukan dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Taufan Oktora Punu sebagai konsumen dari pelaku usaha jasa telekomunikasi PT. Excelcomindo Pratama Tbk merasa dirugikan dan tidak dipenuhi hak-haknya. Taufan Oktora Punu menggugat PT. Excelcomindo Pratama Tbk melalui BPSK dan atas kesepakatan bersama telah memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara damai dengan konsiliasi.

Telecommunication as a part of communication has become one of the primary needs for people to function in a day to day life. Today, telecommunication is one of the most vital tools for the functionality of a modern human civilization. As a result of this human social behaviour, there had been a sharp increase in the number of companies that provide telecommunication services. Telecommunication companies compete very strongly with each other in the varieties of services they provide to the consumers; as the more options they provide, the more they can reach to different kinds of consumers. Consumers became very vulnerable targets for high-valued promotional campaigns created by telecommunication companies, whose aim is to obtain bigger market shares in exchange of the cost utilized for the purpose to provide customer services. The lack of customer services can often create conflicts between telecommunication service providers and the consumers. When such conflicts regarding the legal rights and obligations of the two parties arise, it is necessary to have customer protection law in place to be used for the basis of settling an agreement or litigation. Conflict resolution can be done through court or through an organization formed by the constitution namely BPSK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S258
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Adhitya
"ABSTRAK Penyelesaian sengketa saat ini, dapat diselesaikan dengan melalui jalur peradilan maupun di luar peradilan. Undang-undang No.8 Tahun 1999 membentuk suatu Lembaga dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (BPSK) mempunyai tugas dan wewenang yang pada intinya adalah Berbagai penyelesain dapat dilihat di UUPK yaitu Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK. Putusan yang dihasilkan BPSK dengan arbitrase ini akan memberikan suatu pertentangan dari sudut masing-masing pihak, dalam putusan yang dihasilkan ada pihak yang merasa dirugikan dan ada juga pihak yang merasa diuntungkan akibat putusan Arbitrase ini. Putusan Arbitrase yang dikeluarkan BPSK ini menimbulkan suatu pertanyaan, bagaimana kekuatan dan keabsahaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini, dan bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Putusan BPSK dan Pengadilan Negeri dibawahnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berbentuk penelitian yuridis-normatif, sedangkan metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif dan menggunakan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara. Hasil dari penelitian ini memberikan saran kepada BPSK untuk mengadopsi ketentuan Arbitrase yang berlaku di Indonesia, sehingga BPSK hadir sebagai pilihan penyelesain sengketa diluar pengadilan dapat berjalan maksimal.

ABSTRACT Current dispute resolution, can be resolved through judicial channels or outside the court. Law No. 8 of 1999 established the Consumer Legal Protection Agency, the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). (BPSK) has the duties and authority in essence is a variety of resolutions can be seen in UUPK namely Settlement by way of litigation can be seen in the provisions of Article 48 UUPK. The decisions produced by BPSK with this arbitration will provide contradictions from the point of view of each party, in the resulting decision there are parties who are disadvantaged and there are also parties that are profitable in this Arbitration award. The Arbitration Award issued by BPSK raises questions, about the strength and validity of the Decision of the Consumer Dispute Settlement Agency, and how to process the law from the Supreme Court Decision that returns the BPSK Decision and the District Court below. This study uses a research method consisting of juridical-normative research, while the data analysis method used by the author is a qualitative method and using a data converter tool used in this study is the study of documents or library materials and interviews. The results of this study provide advice to BPSK to implement the provisions of Arbitration that apply in Indonesia, so BPSK is present as a resolution option."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>