Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165505 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Dzikri Akbari Pasya
"Studi ini melihat bahwa tindakan brutalitas polisi pada Tragedi Kanjuruhan berdampak pada terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Brutalitas polisi merujuk pada suatu perbuatan yang dilakukan oleh polisi dengan melibatkan penggunaan kekuatan melebihi batas yang diperlukan. Dengan menggunakan metode secondary data analysis, studi ini mengidentifikasi bahwa personel pengamanan pertandingan dari satuan Polri pada Tragedi Kanjuruhan telah melakukan berbagai macam tindakan brutal dalam menjalankan tugasnya. Tindakan-tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hasil analisis menunjukkan bahwa tindakan polisi dalam menggunakan gas air mata dan kekerasan dianggap salah karena melanggar protokol dan standar yang ditetapkan dalam penggunaan kekuatan oleh pihak berwenang. Bahwa penggunaan kekuatan oleh anggota Polri diperbolehkan, hanya jika hal itu diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan penerapan tindakannya harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi. Sedangkan dalam Tragedi Kanjuruhan, unsur-unsur terkait diperbolehkannya penggunaan kekuatan oleh anggota Polri tidak terpenuhi.

This study sees that acts of police brutality during the Kanjuruhan Tragedy had an impact on violations of Human Rights (HAM). Police brutality refers to an act committed by the police that involves the use of force exceeding necessary limits. By using secondary data analysis methods, this study identified that match security personnel from the National Police unit during the Kanjuruhan Tragedy had carried out various brutal acts in carrying out their duties. These actions result in violations of Human Rights (HAM). The results of the analysis show that the police's actions in using tear gas and violence were considered wrong because they violated the protocols and standards established in the use of force by the authorities. That the use of force by members of the National Police is permitted, only if it is necessary to prevent crime and the implementation of the action must be balanced with the threat being faced. Meanwhile, in the Kanjuruhan Tragedy, elements related to the permissibility of the use of force by members of the National Police were not fulfilled."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Imparsial, 2006
363 PRA (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kunarto, 1940-
Jakarta : Cipta Manunggal , 1997
341.48 KUN h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Runturambi, Arthur Josias Simon
2011
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Radityastari
"ABSTRAK
ugas Karya Akhir ini membahas strategi yang digunakan Falun Gong dalam mengangkat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM ke ranah internasional. Kerangka berpikir dalam menganalisis strategi yang dilakukan didasari pada teori transnational advocacy networksdan analisis framing. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan studi kepustakaan dan dokumen sebagai sumber data penulisan. Hasil dari penelitian ini menunjukan empat strategi politik Falun Gong dalam membangun jaringan advokasi transnasional. Pertama, Falun Gong menggunakan politik informasi dengan menyediakan terpaan informasi mengenai masalah yang dihadapi sebanyak mungkin. Kedua, menggunakan politik simbolik untuk memperkuat pesan yang disampaikan. Ketiga, politik memengaruhi dimana Falun Gong mengajak beberapa negara, kota atau NGO untuk ikut terlibat. Keempat, politik akuntabilitas dengan mendekati tokoh-tokoh internasional yang memiliki pengaruh besar.

ABSTRACT
This last final project discuss about strategy that Falun Gong used in raising the issue of Human Right violation to International domain. Theoritical framework that undertaken in analysing the strategy is based on the theory of transnational advocacy network and framing analysis. In this research, the writer used qualitative descriptive method, with literature study and document as dara source of writing. The result of this research shows four Falun Gong politic strategies in building a transnational advocacy network. First, Falun Gong using information politics by providing information exposure regarding facing the problems by as much as possible. Second, use symbolic politics to magnify the message delivered. Third, leverage politics, which in this case Falun Gong invited several countries, cities or NGO to get involved. Fourth, accountability politics by approaching international figures who have a great influence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Kurniadi
"Penulisan ini menganalisis bagaimana bentuk tanggung jawab negara dan perlindungan yang dapat diberikan kepada penghayat kepercayaan khususnya bagi anak yang termasuk dalam keluarga penghayat kepercayaan berdasarkan konvensi HAM internasional. Termasuk mengetahui tata kelola pengawasan terhadap setiap aliran kepercayaan yang ada di sekitar masyarakat Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Anak ialah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Selaras dengan aturan hukum Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Pengaturan perlindungan anak tidak hanya terjadi di Indonesia bahkan terjadi secara Internasional. PBB telah mengesahkan perlindungan hak anak pada Konvensi Anak (CRC) pada tahun 1989. Selain itu, Pasal 1 ayat ke-2 pada UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, bahwa “Perlindungan anak adalah segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, termasuk diskriminasi kepercayaan. Kebebebasan beragama merupakan bagian dari inti HAM yang harus dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi pelaksanannya sebagaimana dalam Pasal 28E ayat (1) dan ketentuan yang diatur Pasal 29 yang mana telah mengatur terhadap hak atas kebebasan yang beragama dan beribadah. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, bahwasanya Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Bagian yang terlanggar adalah bagian perlindungan yang seharusnya diberikan kepada kelompok anak penghayat kepercayaan agar tidak terkena tindakan diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Tindakan yang paling tepat adalah negara dan pemerintah mengimplementasikan sesuai Pasal 18 ayat (1) ICCPR tentang kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama, namun tetap memerlukan batasan sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) kaedah-kaedah yang mana berlandaskan pada ketentuan hukum, dan yang diperlukan dalam melakukan perlindungan, keamanan, ketertiban, kesehatan, sampai pada moral masyarakat.

This paper analyzes the form of state responsibility and protection that can be given to believers, especially for children who belong to families of believers based on international human rights conventions. Including knowing the governance of supervision of every school of belief around Indonesian society. This paper is prepared using doctrinal research methods. A child is "someone who is not yet 18 years old, including a child who is still in the womb." In line with the law on Child Protection Number 35 of 2014. Child protection arrangements do not only occur in Indonesia but also internationally. The UN ratified the protection of children's rights in the Convention on the Child (CRC) in 1989. In addition, Article 1 paragraph 2 of Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection, that "Child protection is all forms of activities to guarantee and protect children and their rights so that they can live, grow and develop, and participate optimally in accordance with the dignity and dignity of humanity, as well as receive protection from violence and discrimination", including discrimination of belief. Freedom of religion is part of the core of human rights that must be respected, protected and upheld in accordance with Article 28E paragraph (1) and the provisions regulated by Article 29 which regulates the right to freedom of religion and worship. Article 28I paragraph (4) of the 1945 Constitution, that the protection, promotion, enforcement, and fulfillment of human rights is the responsibility of the state, especially the government. The part that is violated is the part of protection that should be given to the group of children who believe in the faith so that they are not exposed to discriminatory actions from the government and the surrounding community. The most appropriate action is for the state and the government to implement in accordance with Article 18 paragraph (1) of the ICCPR on freedom of thought, belief and religion, but still require restrictions in accordance with Article 18 paragraph (3) of the rules which are based on the provisions of the law, and which are necessary in carrying out protection, security, order, health, and public morals."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadaris Samulia Has
"Tak ada hal yang lebih memilukan barangkali dari kekerasan dan permusuhan antara kelompok yang terjadi di Ambon atau Maluku pada umumnya.Tak ada kata yang menggambarkan secara tepat apa yang sesungguhnya terjadi di kawasan yang penduduknya plural ini.
Tesis yang berjudul Pelanggaran Hak Asasi Manusia ()lab Aparat Keamanan (TNI dan POLRI) Dalam Penanganan Konflik Di Ambon, mencoba untuk melihat faktor-faktor penyebab pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang justru terjadi pada saat proses penanganan konflik yang dilakukan, oleh aparat keamanan, mengakibatkan pelanggaran yang bersifat vertikal dan melihat bagaimana bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh TNI dan POLRI dalam penanganan konflik tersebut.
Masuknya unsur-unsur Negara dan kekuatan militer dalam konflik yang terjadi bukanya tanpa resiko, kemungkinan terbesar dari faktor resiko itu adalah penggunaan alat-alat kekerasan yang paling dikuasai militer, maka muncul penyelesaian konflik kekerasan dengan cara-cara yang tidak beda dengan kekerasan itu sendiri.
Dalam menganalisa persoalan tersebut digunakan beberapa tinjauan pustaka seperti definisi dari konflik, konflik sosial, sifat koflik, jenis-jenis konflik, sifat dari masyarakat majemuk, Tahapan dari penyelesaian konflik (conflict resolution), konsepsi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan instrument pokok perlindungan Hak Asasi Manusia baik yang bersifat nasional dan internasional.
Selain untuk lebih mendekatkan pada permasalahan penulis juga menggunakan beberapa tinjauan pustaka dari konsepsi militer profesioanal dan peran militer dalam sosial politik khususnya Dwifungsi ABRI, sosialisasi Hak Asasi manusia bagi kalangan aparat keamanan merupakan salah satu pokok bahasan pula.
Metode Penelitian tesis ini berssifat library research dimana digunakan data sekunder, inventarisasi peraturan perundang-undangan atau lainya serta dokumentasi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di daerah konflik, disamping itu penulis juga mengunakan data yang bersifat penelitian yang sudah dilakukan oleh beberapa institusi yang dapat dipertanggung jawabkan ke absahanya.

It seems that human rights violation and mass conflict happening in Ambon and Moluccas are more sorrowful than other things ever. One finds no precise word to describe what is going on in such a plural region.
This Thesis entitled "Human Rights Violation by the Military and Police Officers in the Conflict Resolution Process in Ambon", tries to reveal some reasons of the Human Rights violation that simply happened as the conflict resolution process was undertaken by military and police officers resulting in vertical violation, and observes how Human Rights violation by TNI and POLRI emerges in the conflict resolution.
Involved elements of the state and military forces in the ongoing conflict are not without risks; the major risk factor is using mostly military-controlled violation instruments and that mass conflict and human rights violation are settled in the same process as the violation itself.
Analyzing the case, one uses library research such as definitions of conflict, social conflict, types of conflict, characteristics of plural community, phases of conflict resolution, conception of Human Rights violation and principal instruments of securing both national and international Human Rights.
Besides approaching to the problem statement, the author also applies library researches of professional military conception and military roles in social and political situation especially "Dwifungsi ABRI" (Indonesian Armed Forces' Dual Functions)?nd socialization of Human Rights to the security agents as a problem, as well.
Research methodology employed in this thesis is Library Research where the author uses secondary data, inventory of legislation and others, and documentation of the ongoing events in the conflict area. Moreover, the author applies data of researches carried out by several institutions for which one is liable for their validity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T19394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>