Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mario Reggynal
"Latar belakang: Tumor mediastinum merupakan salah satu jenis tumor yang jarang ditemukan dengan variasi klinis yang luas dan histopatologi yang berbeda. Berbagai data seperti usia, jenis kelamin, pemeriksaan radiologi dan penanda tumor harus digabungkan untuk menentukan kemungkinan diagnosis pada pasien. Penanda tumor wajib diperiksa pada kasus tumor mediastinum sehingga pendekatan diagnosis dapat dilakukan dengan lebih baik. Peneliti akan menggunakan berbagai data seperti karakteristik pasien, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penanda tumor  untuk membantu memperoleh prediksi diagnosis jenis tumor mediastinum. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis. Semua pasien dengan diagnosis tumor mediastinum berdasarkan hasil CT scan yang dilakukan biopsi. Data histopatologi jaringan didapat dari laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan. Data usia, jenis kelamin, radiologis, hasil laboratorium dan penanda tumor akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap jenis tumor. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat untuk menentukan variabel yang berpengaruh dan sistem penghitungan skor berdasarkan data tersebut. Hasil: Sebanyak 174 subjek memenuhi kriteria inklusi dengan usia rata-rata 29 tahun, lebih banyak pada laki-laki (67,8%), yang paling banyak adalah limfoma mediastinum (41,4%), berlokasi di anterior (75,9%), tidak memiliki pembesaran KGB (78,7%) dan tidak menginfiltrasi organ sekitarnya (58%). Sistem penghitungan skor yang tertinggi terdapat pada jenis limfoma mediastinum tetapi hanya menunjukkan akurasi sebesar 59%. Kesimpulan: Secara statistik tidak ada sistem penghitungan skor prediksi yang mempunyai kekuatan yang baik karena tumor mediastinum mempunyai kemiripan berdasarkan karakteristik pasien dan bentuk tumor sehingga sulit dibuat suatu sistem penghitungan skor.

Background: Mediastinal tumors are tumors that rarely found compared to other types of tumors. These tumors have many clinical variations with different histopathologies. Various data such as clinical condition, age, gender, radiological examination and tumor markers must be combined to determine the possibility of diagnosis in the patient. Tumor markers must be checked in all cases of mediastinal tumors so that a better diagnostic approach can be taken. This research will use that data to obtain scoring sytsem for the diagnosis of mediastinal tumors. Hopefully this scoring system can help doctors to make a better diagnosis in case of mediastinal tumors. Method: This research used secondary data from medical records. All patients with a diagnosis of mediastinal tumor based on CT scan results performed biopsy. Histopathology data was obtained from the Anatomical Pathology laboratory in the Persahabatan Hospital National Respiratory Center. Age, gender, radiology, laboratory results and tumor markers will be used to determine the characteristics of each type of tumor. Bivariate and multivariate analyzes were carried out to determine the significantly variables and a scoring system based on this data. Results: A total of 174 subjects met the inclusion criteria with an average age 29 years, more males (67.8%), the most common tumor was mediastinal lymphoma (41.4%), located anteriorly (75.9%), did not have lymph node enlargement (78.7%) and did not infiltrate surrounding organs (58%). The highest score of scoring system is for mediastinal lymphoma but only shows an accuracy of 59%. Conclusion: Statistically, there is no specific prediction score calculation system that has good power because mediastinal tumors are similar based on patient characteristics and tumor shape, making it difficult to create a scoring system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Mudhiati S
"Latar belakang penelitian: Tumor sel germinal di mediastinum relatif jarang terjadi. Tumor ini dapat bersifat jinak maupun ganas, yang bersifat ganas mempunyai prognosis buruk. Pada saat ini terapi multimodaliti dapat meningkatkan angka tahan hidup pasien tumor sel germinal mediastinum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka tahan hidup keseluruhan atau overall survival rate, karakteristik pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka tahan hidup pasien tumor sel germinal mediastinum di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metodologi penelitian : Penelitian ini merupakan kohort retrospektif pada populasi pasien yang didiagnosis tumor sel germinal mediastinum periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2012. Penelitian dilakukan di RSUP Persahabatan dengan pengamatan sejak Januari 2007 sampai Desember 2013. Pengambilan sampel menggunakan rumus proporsi untuk menganalisis karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka tahan hidup sedangkan angka tahan hidup dianalisis sesuai dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis RSUP Persahabatan.
Hasil : Angka tahan hidup keseluruhan atau overall survival rate tumor sel germinal mediastinum pada penelitian ini adalah angka tahan hidup 1 tahun sebesar 42,1%, 2 tahun sebesar 22,8%, 3 tahun sebesar 15,8%, 4 tahun sebesar 10,5% dan 5 tahun sebesar 8,8% sedangkan masa tengah tahan hidup keseluruhan 23 minggu (5,75 bulan). Karakteristik tumor sel germinal mediastinum didapatkan lebih banyak pada laki-laki (80%) dengan median usia 21 tahun dan terutama pada kelompok usia 20-29 tahun (43,3%). Gejala klinis terbanyak adalah sesak napas (66,7%), tampilan pasien terbanyak PS2 (50%) dengan jenis tumor sel germinal mediastinum terbanyak adalah teratoma (53,3%) diikuti nonseminoma (40%) dan seminoma (6,7%). Faktor-faktor yang mempengaruhi angka tahan hidup tumor sel germinal mediastinum adalah tampilan pasien, terapi, penyulit dan lokasi tumor.
Kesimpulan : Pada analisis bivariat, tampilan pasien, lokasi tumor, penyulit dan terapi bermakna mempengaruhi angka tahan hidup 1 tahun tetapi pada analisis multivariat hanya variabel lokasi tumor yang bermakna mempengaruhi angka tahan hidup 1 tahun.

Background research : In mediastinal germ cell tumors are relatively rare. These tumors can be benign or malignant , which has a poor prognosis malignant . At this time multimodaliti therapy can improve the survival rate of patients mediastinal germ cell tumors . This study aims to determine the overall survival rate, patient characteristic and factors affecting the survival rate of patients mediastinal germ cell tumors in the Persahabatan hospital Jakarta.
Research methodology : This study is a retrospective cohort in a population of patients diagnosed germ cell tumors of the mediastinum period January 2007 to December 2012 . The study was conducted in the of Persahabatan hospital with observations from January 2007 to December 2013. Sampling using the formula proportions to analyze the characteristic and factors that influence survival rate where as the survival rate was analyzed according to the number of samples that meet the inclusion and exclusion criteria . Data were taken from the medical record of Persahabatan hospital.
Results : The overall survival rate of mediastinal germ cell tumors in this study was survival rate 1 year 42,1 %, 2 years 22,8%, 3 years 15,8 %, 4 years 10,5% and 5 years 8.8 % while the overall survival of the middle period of 23 weeks are 5,75 months. Mediastinal germ cell tumor characteristic found more in males ( 80 % ) with a median age of 21 years and especially in the age group 20-29 years ( 43,3 % ). Most clinical symptoms are shortness of breath ( 66,7 % ), most patients display a PS2 ( 50 % ) with mediastinal germ cell tumors are teratomas majority ( 53,3 % ) followed nonseminoma ( 40 % ) and seminomas ( 6,7 % ). Factors affecting the survival rate of mediastinal germ cell tumors are views of patients, treatment, complications and location of the tumors.
Conclusion : In bivariate analysis, display the patient, location of tumor, and treatment complications significantly affect 1 year survival rate but variable in the multivariate analysis only tumor location was significantly affect 1 year survival rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Ayu Indahati
"Latar Belakang: Penegakkan diagnosis sedini dan setepat mungkin menjadi hal utama dalam penatalaksanaan kanker paru. Beberapa penelitian sebelumnya tentang biopsi transtorakal dengan panduan USG menunjukkan akurasi diagnosis yang cukup baik. USG dinilai sebagai modalitas radiologi yang mudah digunakan secara aman, bedside, real-time, mobile dan bebas pajanan radiasi. Saat ini di RSUP Persahabatan Jakarta belum terdapat penelitian tentang biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG.
Metode Penelitian:  Studi observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap subjek dengan tumor paru atau tumor mediastinum yang dilakukan biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan ultrasononografi toraks pada bulan April-September 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Peneliti melakukan observasi terhadap karakteristik lesi, karakteristik prosedur dan komplikasi. Diagnosis akhir berdasarkan hasil sitologi biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG.
Hasil Penelitian: Dari 46 subjek, rerata usia subjek adalah 52 tahun dan didominasi jenis kelamin laki-laki (69,6%) dan jenis tumor terbanyak adalah tumor paru (80,4%). Proporsi kepositifan sitologi biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG toraks adalah 78,3%. Karakteristik lesi pada subjek dengan hasil sitologi TTNA positif antara lain memiliki rerata diameter lesi 9,61 ± 2,27 cm, lesi di anterosuperior paru (63,9%), memiliki gambaran ekogenitas hipoekoik heterogen (58,3%) dan memiliki kontak dengan pleura (77,8%). Karakteristik prosedur pada subjek dengan hasil sitologi TTNA positif antara lain dilakukan teknik aspirasi (77,8%), pengambilan TTNA sebanyak < 3 set (58,3%), rerata jumlah gelas objek yang terpakai adalah 15 ± 4 dan median kedalaman insersi adalah 4 (2 – 6) cm. Komplikasi pasca tindakan terjadi pada dua subjek yaitu hemoptisis (4%).
Kesimpulan: Biopsi jarum halus transtorakal merupakan metode diagnostik yang invasif minimal dengan proporsi kepositifan yang tinggi (78,3%) dan angka komplikasi yang rendah (4%).

Background: Treatment of multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) using second-line drugs is known to have more side effects. Recent studies have shown concern about bedaquiline and delamanid that can cause a prolonged QT interval. This condition is a known risk factor for Torsades de Pointes, a lethal cardiac arrhythmia. This study sought to observe the condition among such patients treated in the study location.
Methods: This study was a prospective cohort study  of MDR-TB patients receiving bedaquilin in the outpatient clinic and inpatient ward of National Respiratory Referral Hospital Persahabatan, Jakarta, Indonesia between February 2020 to February 2021. Patients received 400 mg on week 0-2 (intensive phase) and followed by 200 mg 3 times per week (continuation phase) of bedaquiline. Sampling was carried out by consecutive sampling and data on subjects who met the inclusion criteria were taken from medical records.
Result: From a total of 71 subjects, all of them met the inclusion criteria. Prolonged QT interval was experienced in 18.3% patients. From eleven patients who experienced prolonged QT interval, two patients required hospitalization: one presented with nausea and gastric upset and one patient presented with dyspnea and palpitation. Prolonged QT interval occurred in initial phase and correlated with drug dosing. A mycobacterial culture conversion at month-6 was observed in those receiving multidrug regimens which include bedaquiline, quinolone, and clofazimine. There was a correlation between prolonged QT interval and hypocalemia. Treatment success rate was 46.5% without prolonged QT. Other outcomes included 4.2% died, 26.8% loss-to-follow up, and 4.1% treatment failed.
Conclusion: The use of bedaquiline MDR-TB appeared to be effective and safe across different settings, although the certainty of evidence was assessed as very low. Hypokalemia was correlated with the outcomes of patients receiving bedaquiline, particularly in those experienced prolonged QT interval.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Hadi
"Latar Belakang: Tumor sel germinal mediastinum merupakan kelompok neoplasma gonad yang
sensitif terhadap kemoterapi, namun agresif dan memiliki prognosis buruk. Penegakkan diagnosis
dini yang tepat adalah hal yang penting dan salah satunya adalah dengan penilaian penanda tumor
alpha fetoprotein (AFP) dan beta human chorionic gonadotropin (ßHCG).
Metode: penelitian ini dilakukan dengan desain uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang
terhadap pasien tumor sel germinal nonseminoma mediastinum di RSUP Persahabatan sejak
Januari 2015 hingga Desember 2022 dengan mengukur kadar Alfa Fetoprotein dan Human
Chorionic Gonadotropin serum dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Analisis data dilakukan
untuk menguji sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi diagnostik,
dan analisis kurva receiver operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari total 362 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, dari kedua penanda tumor AFP dan
ßHCG didapatkansensitivitas 90,77% (IK 95% 80,98% - 96,54%), spesifisitas 97,98% (IK 95%
95,65% - 99,26%), nilai duga positif 90,77% (IK 95% 81,61% - 95,61%), nilai duga negatif
97,98% (IK 95% 95,77% - 99,05%), rasio kekerapan positif 45,4 (IK 95% 20,27 – 99,58), rasio
kekerapan negatif 0,09 (IK 95% 0,04 – 0,2), serta nilai akurasi diagnostik sebesar 96,69% (IK
95% 94,28% - 98,28%).
Kesimpulan: Pemeriksaan kadar Alfa fetoprotein dan ßhuman chorionic gonadotropin memiliki
akurasi 96,69%, sensitivitas 90,77% spesifisitas 97,98%, nilai duga positif 90,77%, nilai duga
negatif = 97,98% dalam penegakkan diagnosis tumor sel germinal nonseminoma mediastinum

Background: Mediastinal germ cell tumors are a group of gonadal neoplasms that are sensitive
to chemotherapy, but very aggressive and have poor prognosis. Early and correct diagnosis is
important, one of them is by measuring tumor markers in serum: alpha-fetoprotein (AFP) and
beta human chorionic gonadotropin (βHCG).
Method: This study was conducted with a diagnostic test with a cross sectional approach design
on patients with mediastinal germ cell tumors at RSUP Persahabatan from January 2015 to
December 2022, and also assessment of tumor markers alpha-fetoprotein (AFP) and beta human
chorionic gonadotropin (βHCG) serum and histopathology examination. Data analysis was
carried out to find the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value,
diagnostic accuracy, and receiver operating characteristic (ROC)
Results: Of a total of 362 eligible subjects, the sensitivity was 90.77% (95% CI 80.98% -
96.54%), the specificity was 97.98% (95% CI 95.65% - 99.26%), the positive predictive value
was 90.77% (95% CI 81.61% - 95.61%), the negative predictive value was 97.98% (95% CI
95.77% - 99.05%), the positive likelihood ratio was 45.4 (95% CI 20.27 - 99.58), the negative
likelihood ratio was 0.09 (95% CI 0.04 - 0.2), and the diagnostic accuracy was 96.69% (95% CI
94.28% - 98.28%).
Conclusion: the sensitivity was 90.77%, the specificity was 97.98%, the positive predictive value
was 90.77%, the negative predictive value was 97.98%, and the diagnostic accuracy was 96.69%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfikha Handayani
"Latar belakang: Angka ketahanan hidup 5 tahun pasien keganasan ovarium rendah, karena >70% kasus terlambat didiagnosis. Skor Gatot Purwoto merupakan metode prediksi keganasan ovarium pra-bedah. Terdapat rentang yang berbeda cukup jauh antara nilai diagnostik Gatot Purnomo dari beberapa penelitian. Pada aplikasinya penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 (rendah) masih terdapat kecurigaan adanya keganasan ovarium sehingga masih dilakukan prosedur potong beku sebagai alat diagnostik intrabedah.
Tujuan: Untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif prosedur potong beku yang dilakukan pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4 dan untuk mengetahui peningkatan nilai diagnostik antara prosedur potong beku dibandingkan dengan skor gatot purwoto pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4
Metode: Uji ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang. Pasien tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 yang dilakukan prosedur potong beku di RSCM selama periode Juli 2008 – Juli 2013 diikutsertakan dalam penelitian ini. Data diambil secara konsekutif dari rekam medik, kemudian dianalisis secara manual dengan menggunakan tabel 2x2 dan rumus parameter diagnostik. Kami menganalisis nilai diagnostik potong beku dibandingkan dengan baku emas yaitu blok parafin. Kemudian kami melihat adakah peningkatan nilai diagnostik prediksi keganasan ovarium jika hanya dilakukan skor GP saja dan jika dilakukan skor GP disertai dengan potong beku
Hasil: Dari 160 orang subyek penelitian didapatkan prosedur potong beku memiliki akurasi yang cukup baik dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu 78,5%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi prosedur potong beku pada penelitian ini berturut turut adalah 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% dan 85,5%. Selain itu prosedur potong beku pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP ≤4 secara bermakna memberikan manfaat dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu meningkatkan nilai diagnostik sebesar 15,9% dibandingkan hanya menggunakan skor GP saja tanpa potong beku.
Kesimpulan: Prosedur potong beku memiliki nilai diagnostik yang baik dan masih memberikan manfaat dalam mendiagnosis tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP < 4. Skor prediksi GP memberikan nilai diagnostik yang cukup rendah untuk memprediksi keganasan ovarium, sehingga perlu dilakukan perbaikan sistem penilaian prediksi keganasan ovarium.

Background: The 5-year survival rate of patients with ovarian cancer is low, because over 70% of cases are diagnosed in a late stage. Gatot Purwoto score is a method to predict ovarian malignancy prior to surgery. There is a variabel range on the diagnostic values of Gatot Purwoto (GP) score from several studies. In its application, patients with GP prediction score < 4 (low) still has a suspicion for ovarian malignancy, therefore frozen section is still performed as an intraoperative diagnostik tool.
Aim: To obtain the sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section performed in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 and to discover the increase of diagnotic value of frozen section compared to GP score in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4.
Methods: This is a diagnostic study with cross sectional design. Patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 who underwent frozen section in RSCM from July 2008 – July 2013 were included in this study. Data were obtained consecutively from medical records, then analyzed manually with 2x2 tables and diagnostik parameter formula. We analyzed frozen section compared to the gold standard (paraffin block). Then we observed if there was an increase of diagnostic value of predicting ovarian malignancy with GP score alone or GP score combined with frozen section.
Result: We obtained 160 subjects. Frozen section had an overall good accuracy in predicting ovarian malignancy (78.5). The sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section are 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% and 85,5%, respectively. Frozen section also increased the diagnostic value as much as 15,9% compared to GP score alone without frozen section.
Conclusion: Frozen section had a good diagnostic value and is still useful in diagnosing suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4. GP prediction score has a quite low diagnostic value in predicting ovarian malignancy, therefore an improved system to predict ovarian malignancy is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latupeirissa, Debbie
"ABSTRAK
Diagnosis HIV pada bayi masih sulit ditentukan pada daerah dengan sumber terbatas dan tidak memiliki fasilitas pemeriksaan PCR. Keterlambatan menentukan diagnosis pada bayi tertular HIV yang lahir dari ibu HIV positif akan menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan menemukan model prediksi risiko bayi tertular HIV yang efektif yaitu yang memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas cukup baik dan praktis penggunaannya di lapangan. Penelitian terdiri dari dua tahapan yaitu tahap pertama pembuatan model dari faktor risiko pada ibu, bayi, dan persalinan serta tahap kedua validasi skoring model. Subjek tahap pertama berasal dari data rekam medis pasangan ibu HIV positif dan bayi yang dilahirkannya di 5 rumah sakit di Jakarta dan Kepulauan Riau dan 1 puskesmas di Jakarta sebanyak 100 subjek. Didapatkan 2 model skor yang efektif sebagai model prediksi risiko bayi tertular HIV yaitu Model 1 (terdiri dari usia ibu, ARV pada ibu, infeksi TB paru, usia gestasi, cara persalinan dan jenis kelamin bayi) dan Model 2 (ARV pada ibu, infeksi TB paru ibu, dan cara persalinan). Model 2 selain efektif juga praktis untuk penggunaan di lapangan. Validasi eksterna terhadap 20 subjek bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif di 3 rumah sakit di Jakarta menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil antara Model 2 dan pemeriksaan PCR RNA HIV bayi usia 6 minggu. Model 2 adalah model prediksi yang efektif dan praktis untuk prediksi risiko bayi tertular HIV yang lahir dari ibu HIV positif di daerah dengan sumber dan fasilitas terbatas.

ABSTRACT
HIV diagnosis in infants is still difficult to determine in areas with limited resources and no PCR examination facilities. Delay in diagnosing HIV infected infants born to HIV positive mothers will lead to high morbidity and mortality. The aim of this study is to find an effective and practical model to be used in the field to predict risk of HIV transmission in infants born to HIV positive mothers, with relatively well sensitivity and specificity. This study consisted of two stages. The first stage was to develop a risk factor model consisting of maternal, infant and obstetric risk factors, and the second stage was to validate the scoring model. Data for the first stage was obtained using medical records of 100 infants born to HIV positive mothers in 5 hospitals in Jakarta and Riau Islands, as well as 1 community health center in Jakarta. Two effective models were generated in this study, namely: Model 1 (consisting of maternal age, maternal ARV therapy, maternal tuberculosis infection, gestational age, method of delivery, sex of the infant) and Model 2 (consisting of maternal ARV treatment, maternal tuberculosis infection, and mode of delivery). Model 2 is more effective and practical to be used in the field. External validation performed on 20 infants born to HIV positive mothers in three hospitals in Jakarta showed that there were no differences between the scoring model and PCR RNA HIV results. Model 2 can be used on infants born to HIV positive mothers as an effective and practical transmission risk prediction tool for in areas with limited resources and facilities"
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrull
"Latar belakang : Tumor mediastinum memiliki angka kematian yang tinggi dari keseluruhan pasien dengan massa mediastinum. Saat ini sudah ada kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan diagnosis histopatologi dan pembiayaan pengobatan tumor mediastinum, namun belum ada penelitian mengenai kesintasan 1 tahun tumor mediastinum sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk melakukan penilaian profil tumor mediastinum dan kesintasan 1 tahun di RSCM.
Tujuan : Mengetahui profil dan kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM.
Metode : Studi potong lintang dilakukan untuk menilai profil dan kesintasan 1 tahun tumor mediastinum. Studi dilakukan dengan menelusuri rekam medik 104 pasien yang telah didiagnosis tumor mediastinum di RSCM selama bulan Januari 2011-Juni 2018.
Hasil : Dari 721 pasien yang rekam mediknya ditelusuri, sebanyak 104 pasien (67 pria dan 37 wanita) dengan usia rerata 44,33 ± 15,79 tahun dijadikan sampel setelah melalui kriteria eksklusi. Manifestasi klinis ditemukan pada 100 pasien dengan gejala terbanyak ialah sesak napas (60 kasus). Mediastinum anterosuperior menjadi lokasi terbanyak tumor mediastinum (85 kasus). Jenis tumor yang paling sering ditemukan ialah timoma (31 kasus). Dua puluh satu pasien menjalani biopsi insisi untuk mendapatkan diagnosis histopatologi. Sebanyak 62 pasien memiliki riwayat pengobatan dengan pengobatan terbanyak adalah operasi (28 kasus). Kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM sebesar 62% dengan mean survival 9,25 bulan (8,29 -10,2 bulan).
Kesimpulan : Didapatkan profil tumor mediastinum yang bervariasi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya, serta kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM pada rentang Januari 2011-Juni 2018. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak meliputi center lain di Indonesia untuk dapat menggambarkan profil dan kesintasan tumor mediastinum secara Nasional.

Background : Mediastinal tumor has a high mortality rate among patients with mediastinal mass. There are some improvement to histopathological diagnosis service and treatment access for mediastinal tumor recently, but no recent studies about 1-year survival rate of mediastinal tumors. Therefore, this research was done to assess mediastinal tumor profile and 1-year survival rate at RSCM.
Aim : To assess mediastinal tumor profile and 1-year survival rate at RSCM.
Methods : Cross-sectional design was used to assess mediastinal tumor profile and its one-year survival rate. This study was done by exploring 104 medical records of patients diagnosed with mediastinal tumor at RSCM during January 2011-June 2018.
Results : From all 721 patientss medical records explored, there are 104 patients was taken as samples following exclusion criteria, including 67 males and 37 females with mean age of 44,33 ± 15,79 years. Clinical manifestation was found in 100 patients, with dyspnea was the most common symptom (60 cases). Anterior superior mediastinal area was the most common location of mediastinal tumor (85 cases). The most frequent tumor found was thymoma (31 cases). Twenty one patients underwent incisional biopsy to achieve histopathological diagnosis. A total of 62 patients had treatment history with the most common treatment was surgery (28 cases). One-year survival rate of mediastinal tumor at RSCM was 62% with mean survival of 9,25 months (8,29-10,2 months).
Conclusion : Mediastinal tumor profiles in our series varied from some previously published reports. We reported 1-year survival of mediastinal tumors in the RSCM in during January 2011-June 2018. Further studies are needed with more samples covering other centers in Indonesia to be able to describe national profile and survival of mediastinal tumors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismid Djalil Inonu Busroh
Jakarta: UI-Press, 2008
616.994 059 ISM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Febriani
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor risiko dominan dan membuat skor risiko diabetes tidak terdiagnosis (UDDM) dan prediabetes. Metode: Pembuatan skor risiko berdasarkan data yang tersedia hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, dengan kriteria ≥ 18 tahun, baru terdiagnosis saat Riskesdas, tidak menderita penyakit kronis/menular lainnya. Nilai koefisien β hasil analisis regresi logistik multinomial model prediksi digunakan untuk mengenmbangkan skor. Keakuratan skor prediksi diabetes dan prediabetes dinilai dengan ROC (Receiver Operating Characteristic). Hasil: Dua model prediksi dikembangkan menjadi skor risiko. Model 1 prediksi diabetes tidak terdiagnosis dengan 7 prediktor AUC 73,5%, sen 62,2%, spes 70,8%, PPV 12,8%, NPV 96,5%, titik potong ≥22, model 2 prediksi diabetes tidak terdiagnosis dengan 5 prediktor AUC 72,4%, sen 68,3%, spes 64,7%, PPV 11,8%, NPV 96,7%, titik potong ≥20. Prediksi prediabetes tidak dikembangkan menjadi skor karena tidak akurat, tetapi dapat diketahui faktor dominannya. Kesimpulan: Indonesia dapat memiliki perhitungan skor risiko guna memprediksi diabetes yang tidak terdiagnosis berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar yang tersedia. Skor Risiko tersebut dapat digunakan tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi individu dengan risiko tinggi dan masyarakat awam mampu menggunakan skor tersebut.

Objective: This studi aims to find the risk factors and develop risk score for undiagnosed diabetes and prediabetes. Method: Risk score made based on available data from Basic Health Research 2013 in Indonesia, with criteria 18-55 years old, newly diagnosed diabetes, and not affected by chronic /infectious diseases before.β coeff value from multinomial logistic regression analysis results of predictive models are used to develop risk score. The accuracy of risk score assessed with ROC (Receiver Operating Characteristic). Result: 2 prediction models are use to develop risk score. The accuracy form 7 predictors for undiagnosed diabetes in model 1 are AUC 73.5%, sen 62.2%, spes 70.8%, PPV 12.8%, NPV 96.5%, cut off ≥22. The accuracy form 5 predictors for undiagnosed diabetes in model 2 are AUC 72.4%, sen 68.3%, spes 64.7%, PPV 11.8%, NPV 96.7%, cut off ≥20 . Score predikction for diabetes not developed, because of poor accuray, but the result of analysis can showed prediabetes dominant risk factors. Conclusion: Indonesia may have a risk score calculation for predicting undiagnosed diabetes based on data from Health Research provided. The risk score can be used by health workers to indentified individuals with high-risk and the general public are able to use these scores."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destiana Nur Fithri
"Latar Belakang:.Pembedahan kepala dan leher merupakan tindakan yang kompleks dan penuh tantangan karena berhubungan dengan pencernaan dan pernapasan. Dengan angka kejadian komplikasi yang cukup tinggi yaitu 17%, dibutuhkan tolok ukur yang dapat memprediksi komplikasi pascabedah terutama di bidang bedah mulut dan maksilofasial. Sistem skoring APACHE II pada penelitian terdahulu terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabedah reseksi dan rekonstruksi mandibula. Tujuan Penelitian: Mengetahui efektivitas sistem skoring APACHE II sebagai prediktor komplikasi pascabedah reseksi dan rekosntruksi tumor jinak mandibula. Metode Penelitian: Studi retrospektif tahun 2015 – 2020 pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Data diambil dari rekam medis pasien baik tertulis maupun digital. Analisis variabel kategorik dengan Uji Chi Square. Uji Mann-Whitney U untuk perbandingan rerata skor dua kelompok. Efektivitas skor APACHE II dinilai berdasarkan kurva ROC dan luas area dibawah kurva. Hasil: Dari 62 subjek penelitian, sebanyak 6 responden (9.7%) mengalami komplikasi pascabedah. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara semua variabel independen yang duji dengan peningkatan skor APACHE II (nilai p > 0.05). Rerata skor pada kelompok komplikasi lebih tinggi (4.83) namun pada Uji Mann-Whitney U nilai p > 0.05. Analisis ROC pada studi ini memiliki sensitivitas 50% dan spesifisitas 78.6% dengan nilai cut off point 5.5 dan luas area dibawah kurva ROC sebesar 0.558. Kesimpulan: Sistem skoring APACHE II terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabdedah reseksi dan rekonstruksi tumor jinak mandibula.

Background: Head and neck surgery is a complex and challenging procedure because it affect the digestion and respiration organ system. With a fairly high incidence of complications, namely 17%, an indicator is needed to predict postoperative
complications, especially in the field of oral and maxillofacial surgery. The APACHE II scoring system in a previous study proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after mandibular resection and reconstruction. Objective: To determine the effectiveness of the APACHE II scoring system as a predictor of postoperative complications of mandibular resection and reconstruction of benign tumors. Methods: Retrospective study on subjects who met the inclusion criteria in the period of 2015 – 2020. The data is collected from the patient's medical record, both written and digital. Categorical variable is being analyze with Chi Square Test. While Mann-Whitney U test analyzing the comparison of the mean scores of the two groups. The effectiveness of the APACHE II score was assessed based on the ROC curve and the area under the curve. Results: Of the 62 research subjects, 6 respondents (9.7%) experienced postoperative complications. There was no significant difference between all tested independent variables with an increase in the APACHE II score (p value > 0.05). The mean score in the complication group was higher (4.83) but in the Mann-Whitney U test the p value was > 0.05. The ROC analysis in this study has a sensitivity of 50% and a specificity of 78.6% with a cut off point value of 5.5 and an area under the ROC curve of 0.558. Conclusion: The APACHE II scoring system proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after surgical resection and reconstruction of benign mandibular tumors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>