Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149703 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fayza Nur Muthmainnah
"Penelitian ini didasarkan pada permasalahan tentang bagaimana hukum yang hidup di Indonesia dan lingkup internasional mengatur mengenai kedudukan tindakan dan pertanggungjawaban dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dilihat dalam praktik yang ada berdasarkan putusan arbitrase internasional dalam forum ICSID dan Permanent Court of Atrbitration (PCA). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. BUMN sejatinya merupakan badan yang sering meletakkan kakinya di lingkup privat dan publik. Dalam hukum Indonesia, BUMN sendiri dilihat dari definisi BUMN dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan teori transformatif, yang menyebabkan tindakan BUMN dan pertanggungjawaban didasarkan status BUMN sebagai suatu Perseroan yang bersifat privat dan terpisah dari Negara. Dalam lingkup internasional, asas separate legal entity memang dihargai, tetapi tindakan BUMN dapat diatribusikan sebagai tindakan Negara berdasarkan prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam International Law Commission’s Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC Articles). Dalam analisis Majelis Arbiter dalam putusan PCA Case No. 2014-11, ICSID Case No. ARB/16/38, dan ICSID Case No. ARB/14/4, ditemukan bahwa tindakan BUMN dan pertanggungjawabannya dapat diatribusikan berdasarkan ILC Articles dengan pembuktian adanya fungsi dan hakikat kegiatan BUMN yang termasuk dalam lingkup pemerintahan, adanya pengendalian yang menyebabkan otonomi BUMN menghilang, dan adanya unsur pemberian kewenangan.

This research questions how Indonesian law sees the acts of State-Owned Enterprise (SEO) and its liability and how it compares to the international law and doctrines, by studying international arbitration awards in the ICSID and Permanent Court of Arbitration (PCS) forums. The methodology used in this research paper is the doctrinal method. The result of this paper shows that Indonesian law sees SEO as a private and separate entity from the State based on the definition of SEO in Law Number 19 of 2003 and the transformative theory of SEO, in which the legal status of SEO as private entity implies the act and its liability as private act and should be liable as such. It is different from the practices in international scope where the principles of separate legal entities principle is respected. Still, the actions of SOEs are attributable to the State based on the principles of SOE formulated in the International Law Commission's Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC Articles). The PCA Case No. 2014-11, ICSID Case No. ARB/16/38, and ICSID Case No. ARB/14/4 shows that the actions of SOE and its liability can be attributed based on ILC Articles by proving the elements of governmental function and nature of SEO's act, the State's control that overrides the SOE's autonomy, and authority granted by the State."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rotua Anastasianovita
"Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID memberikan kewenangan kepada Majelis Arbitrase untuk menyaring perkara yang memenuhi unsur "manifestly without legal merit." Penulis melakukan kajian terhadap tiga dari dua puluh lima putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Arbitrase ICSID terhadap keberatan yang diajukan berdasarkan Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam penulisannya. Penelitian ini Penulis lakukan untuk menjelaskan secara jelas dan lengkap aspek Hukum Perdata Internasional dan hasil interpretasi Majelis Arbitrase ICSID terhadap Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID, khususnya terhadap unsur "manifestly without legal merit," pada perkara Global Trading Resource Corporation and Globex International, Inc. v. Ukraine Perkara ICSID Nomor ARB/09/11 , Rachel S. Grynberg, Stephen M. Grynberg, Miriam Z. Grynberg and RSM Production Corporation v. Grenada Perkara ICSID Nomor ARB/10/6 , dan Accession Mezzanine Capital L.P. and Danubius Keresked h z Vagyonkezel Zrt. v. Hungary Perkara ICSID Nomor ARB/12/3.

Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rules gives Tribunal the authority to dismiss a case which is manifestly without legal merit. This thesis contains the analysis on three out of twenty five award or decisions rendered by Tribunal on the objection which invoked Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rules. The research for this thesis is conducted in a normative legal research method. It is the intention of this thesis to describe the aspects of Private International Law and the outcome of Tribunal's interpretation on Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rule, specifically regarding the element of "manifestly without legal merit," in the cases of Global Trading Resource Corporation and Globex International, Inc. v. Ukraine ICSID Case No. ARB/09/11, Rachel S. Grynberg, Stephen M. Grynberg, Miriam Z. Grynberg and RSM Production Corporation v. Grenada (ICSID Case No. ARB/10/6), dan Accession Mezzanine Capital L.P. and Danubius Kereskedohaz Vagyonkezelo Zrt. v. Hungary (ICSID Case No. Nomor ARB/12/3)."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68944
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuning Tirta Parameswari
"Lex arbitri adalah hukum yang berlaku untuk arbitrase, mencakup isu internal maupun eksternal yang terkait prosedural suatu proses arbitrase. Berdasarkan ketentuan New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (selanjutnya disebut New York Convention), kompetensi absolut untuk membatalkan suatu putusan arbitrase terletak pada pengadilan tempat kedudukan arbitrase (arbitral seat).
Akibatnya, pengadilan negara selain arbitral seat tidak dapat mengadili pembatalan putusan arbitrase. Sebagai negara anggota New York Convention, Indonesia tentunya terikat pada ketentuan ini. Di Indonesia juga terdapat ketentuan dalam Reglement of de Rechtsvordering (RV) dimana hakim wajib menyatakan dirinya tidak berwenang apabila suatu perkara di luar kewenangannya.
Skripsi ini bertujuan memberikan analisis mengenai penerapan lex arbitri terhadap kompetensi absolut dalam tiga perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional, yaitu Putusan Nomor : 494 / PDT.ARB/2011/PN.JKT.PST, Putusan Nomor: 631K/Pdt.Sus/2012., dan Putusan Nomor : 271 /Pdt.G/ 2010/ PN.Jkt.Pst.

Lex arbitri is the law applicable to the arbitration, including internal issues as well as relevant external procedural an arbitration process. Based the provisions of the New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral awards 1958 (hereinafter referred to as the New York Convention), competence absolute to overturn an arbitration decision lies in court the seat of arbitration (arbitral seat).
As a result, in addition to state courts arbitral seat can not judge the cancellation of the arbitration decision. as the country members of the New York Convention, Indonesia would be bound by these terms. In Indonesia also there are provisions in the Reglement of de Rechtsvordering (RV) where the judge shall declare itself not competent when a case in beyond its authority.
This thesis aims to provide an analysis of lex implementation arbitri the absolute competence in three cases the petition cancellation of the international arbitration decision, namely Decision No. 494 / PDT.ARB / 2011 / PN.JKT.PST, Decision Number: 631K / Pdt.Sus / 2012, and Verdict Number: 271 /Pdt.G/ 2010 / PN.Jkt.Pst.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophie Dhinda Aulia Brahmana
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji apa saja yang menjadi dasar
diterimanya gugatan Churchill Mining Plc oleh Arbiter pada badan arbitrase
ICSID dan menganalisa apakah dasar-dasar penerimaan gugatan tersebut
menjadikan badan arbitrase ICSID memang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa
perkara yang diajukan oleh Churchill Mining Plc. Sehingga perlu untuk ditinjau
secara yuridis apakah memang sepatutnya gugatan Churchill Mining Plc tersebut
diterima oleh ICSID atau tidak. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan
ini adalah metode yuridis-normatif. Metode yuridis-normatif tersebut akan
digunakan untuk melakukan analisa terhadap data sekunder. Adapun bahan
hukum primer yang digunakan berupa peraturan Konvensi ICSID, Undangundang
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Ratifikasi atas Konvensi ICSID dan bahan
hukum sekunder berupa buku, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah
Bahwa adapun Churchill Mining Plc menggugat Indonesia dengan mendasarkan
gugatannya tersebut terhadap Pasal 7 ayat (1) BIT UK-Indonesia. Dimana atas hal
tersebut tergugat mengemukakan statement of defence tentang keberatan terhadap
yurisdiksi ICSID, maka Dewan Arbitrase harus terlebih dahulu mengemukakan
keputusan mengenai yurisdiksinya untuk menangani perkara. Dimana dewan
arbitrase harus mendasarkan putusannya tersebut terhadap Pasal 25 Konvensi
ICSID yang mengatur secara khusus mengenai yurisdiksi ICSID
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka untuk kasus
Churchill Mining Plc vs Republik Indonesia sepatutnya tribunal ICSID tidak
menerima gugatan tersebut, hal ini karena seharusnya yang menggugat Indonesia
adalah bukan Churchill Mining melainkan perusahaan Ridlatama Group, karena
sesungguhnya yang dicabut Izin Kuasanya adalah Ridlatama Group dan bukan
Churchill. Sehingga sepatutnya masalah ini tidak dicampuradukkan dengan
masalah hukum internasional dan sepatutnya diselesaikan melalui ranah hukum
nasional Indonesia. Adapun menurut penulis untuk menghindari terjadinya hal
yang sama, ada baiknya Indonesia melakukan amandemen terhadap Billateral
Investment Treaty dan bahkan Indonesia juga lebih baik mempertimbangkan
untuk keluar sebagai anggota Konvensi ICSID, dimana berdasarkan Pasal 71
Konvensi ICSID hal tersebut diperolehkan

ABSTRACT
The purpose of this research is to assess what is the basis of the acceptance of
Churchill Mining Plc Lawsuit by the Arbitrator in ICSID and analyze whether the
fundamentals of the acceptence of the lawsuit indeed made the ICSID does have a
jurisdiction to examine the case. Therefore it is necessary to make a judicial
review, whether the Lawsuit which had been filed by Churchill should be received
by ICSID or not. The method used in this paper is a method of juridicalnormative.
Juridical-normative methods will be used to conduct an analysis the
secondary data. The primary legal materials use in this research are the regulations
of the ICSID Convention and Law No. 5 of 1968 concerning the Ratification of
the Convention ICSID and the secondary legal materials use in this research are
books, scientific journals and scientific articles
Whereas Churchill file a lawsuit against Indonesia, based on Article 7 paragraph 1
BIT UK-Indonesia and the Approval of BKPM. Where based on the claim by
Churchill, Indonesia as the Defendant also has submit the statement of defence
regarding their objection toward the jurisdiction of ICSID. Based on Article 41
ICSID Convention, the Board of ICSID Arbitration in advance must make a
decisions regarding its jurisdiction to handle the case. Where the decision of
Board of ICSID Arbitration must be made under the Article 25 of the ICSID
Convention that specifically regulates the jurisdiction of ICSID.
Based on the regulations as above, therefore for the case of Churchill Mining vs
Republic of Indonesia, ICSID tribunal should not accept the claim of Churchill
Mining. The reason is because the one who should suing Indonesia is not
Churchill Mining but Ridlatama Group, because the party who‟s their mining
license are revoked by the Regent of Kutai Timur is Ridlatama Group not
Churchill Mining. So this problem should not be yoked with the international law
and should be resolved through national (Indonesia) legal sphere. To prevent the
same thing accure again, Indonesia should consider to amendment the Billateral
Investment Treaty between United Kingdom and Indonesia and it is better to
consider to drop out as a member of the ICSID Convention, where that is possible
under Article 71 of the ICSID Convention"
2016
T46482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Suatu yang perlu disambut dengan gembira atas dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 L.N 1999 – 138 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena hal itu merupakan babakan baru dalam bidang pengaturan tentang arbitrase di Indonesia yang selama ini menggunakan aturan-aturan tentang arbitrase memakai aturan hukum yang lama, yaitu seperti; Reglement opde Burgerlijke Rechtsvording S 1847 – 52 (Rv), Herziene Indonesisch Reglement S 1941 – 44 (H.I.R) dan Rechtsreglement Buitengesweten S 1927 – 227 (Rbg). Dengan berlakunya UU No. 30 – 1999 aturan-aturan tersebut dicabut berlakunya yang mengatur bidang arbitrase."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mendrofa, Deavina Christy Priskila
"Dengan meningkatnya investasi asing yang dilakukan oleh BUMN, terdapat permasalahan yang dihadapi oleh BUMN sebagai investor asing yang hendak menuntut haknya melalui arbitrase ICSID. Negara yang digugat oleh BUMN sering kali mengajukan keberatan yurisdiksi Majelis Arbitrase ICSID dengan dasar bahwa BUMN tidak memiliki kedudukan hukum sebagai “National of another Contracting State” sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 25 ayat (2)(b) Konvensi Washington. Penelitian dengan metode yuridis-normatif ini kemudian menemukan bahwa para Majelis Arbitrase ICSID yang dihadapkan permasalahan tersebut menggunakan Tes Broches sebagai upaya solusinya. Tes Broches dikembangkan oleh Sekretaris Jenderal ICSID pertama, Aron Broches, yang menyatakan bahwa BUMN tidak memiliki kedudukan hukum sebagai “National of another Contracting State” apabila bertindak sebagai agen dari pemerintah atau melaksanakan fungsi yang pada dasarnya pemerintahan negara asalnya. Dengan memahami perkembangan penerapan Pasal 25 ayat (2)(b), diharapkan Indonesia sebagai Negara Penandatanganan Konvensi Washington yang saat ini sedang menggencarkan program BUMN Go Global dapat mempersiapkan diri untuk permasalahan kedudukan hukum BUMN yang mungkin dihadapi di masa mendatang.

With the increase in foreign investment made by SOEs, issues are faced by SOEs as foreign investors in claiming their rights through ICSID arbitration. Countries that are sued by SOEs often object to the jurisdiction of the ICSID Tribunal on the basis that SOEs do not have legal standing as “National of another Contracting State” as required in Article 25 paragraph (2)(b) of the Washington Convention. Using the juridical-normative method, this research later found that the ICSID Tribunal who was faced with this issue used the Broches Test to solve it. The Broches Test is developed by the first Secretary General of ICSID, Aron Broches, which states that SOE does not have legal standing as a “National of another Contracting State” if it acts as an agent for the government or is discharging an essentially governmental function. By understanding the development of the implementation of Article 25 paragraph (2)(b), Indonesia, as a signatory to the Washington Convention, which is currently launching the BUMNGo Global program, may prepare itself for the potential issue of SOEs legal standing in the future. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufiq A.
"Tesis ini membahas tentang Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam era globalisasi kepastian hukum dalam penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional sangatlah dibutuhkan dalam hukum penyelesaian sengketa. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU 30/1999?) sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase khususnya arbitrase internasional serta untuk memperbaiki hukum penyelesaian sengketa arbitrase di Indonesia sebelum diundangkannya UU tersebut, tetap belum dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Hal ini dikarenakan UU 30/1999 tidak mengakomodir penuh ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Dimana, di satu sisi, Indonesia merupakan Negara anggota Konvensi New York 1958, dan kewajiban internasional yang timbul dari penandatanganan serta peratifikasian ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 tersebut, seharusnya diterapkan secara utuh dalam ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase nasional Indonesia sehingga dapat memberikan predictability, stability, dan fairness kepada pelaku usaha penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional.

This thesis analyzes The Application and Enforcement of New York 1958 Provisions Related to Law of Settlement of Disputes Before Arbitration Provisions Under Law No. 30 Year 1999. In the era of globalization, legal certainty within investment also international business and commercial trade is very important towards the law of settlement of disputes. The enactment of Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Settlement (?Law 30/1999?) as regulation which specifically regulates arbitration especially international arbitration, and to repair the law of settlement of disputes before arbitration in Indonesia in previous state before the enactment of that Law, still cannot provide legal certainty in the enforcement of foreign arbitral awards as addressed by New York Convention 1958. This condition is due to the Law 30/1999 that does not completely accommodate the recognition and enforcement of foreign arbitral awards within the territory of the Republic of Indonesia. Whereas, in the other side, Indonesia is one of the contracting state of New York Convention 1958 and the international liabilities which arisen from the signing and ratification of the Convention, shall be applied completely within the national law of settlement of disputes before arbitration of Indonesia, thus, the related law will provide predictability, stability and fairness towards the investor and the international business and commercial trade actor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28053
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Sebastian Iskandar
"Dari hasil rekapitulasi laporan gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tahun 2015 sampai 2019. Badan Usaha Milik Negara selalu menempati daftar instansi dengan laporan gratifikasi terbanyak kedua setelah instansi eksekutif. Penelitian ini mencoba mengetahui motif kecurangan apa yang mendorong penerimaan terhadap gratifikasi dan bagaimana upaya pengendalian yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivist dengan metode kualitatif melalui wawancara para narasumber terpilih dan studi literatur terhadap BUMN bidang perbankan dan jasa keuangan, Bank X, sebagai salah satu objek penelitiannya. Hasil penelitian menunjukkan kalau motif kecurangan berlian (fraud diamond) memberi dorongan terhadap penerimaan gratifikasi di lingkungan BUMN Bank X. Ada empat faktor berupa tekanan, kesempatan, rasionalisasi, dan kapabilitas yang membentuk motif kecurangan berlian terhadap perbuatan gratifikasi. Dalam upayanya mengendalikan gratifikasi, usaha yang dilakukan Bank X telah dipersiapkan dengan baik melalui sistem pengendalian internal yang dibentuk secara lengkap dan terpenuhi semua prinsipnya. Penelitian ini memberi saran sebagai upaya perbaikan pengendalian gratifikasi lebih lanjut untuk Bank X, yaitu: (1) Melakukan pembaruan terkait rujukan regulasi yang baru untuk pedoman pengendalian gratifikasi perusahaan; (2) Menambah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia terkait urusan gratifikasi dan kebijakan antikorupsi organisasi; (3) Membangun kesadaran kepada segenap staf hingga pimpinan organisasi segala level supaya mau melaporkan segala bentuk penerimaan dan penolakan gratifikasi; (4) Segera melakukan dan melaksanakan SNI ISO 3700:2016 sebagai sertifikasi manajemen anti suap (SMAP); (5) Membuat penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas dari aktivitas pengendalian gratifikasi yang sudah dilakukan.

According to the recapitulation report of gratification from the Corruption Eradication Commission (KPK) from 2015 until 2019. State-Owned Enterprises were always in the second place after executive agencies. This study is trying to find out what kind of fraud motives that could encourage the acceptances of illegal gratuities and how to control that activities has been made by State-Owned Enterprises. This study uses a post-positivist paradigm with a qualitative method through interviews with the key informants and literature study toward banking and financial services State-Owned Enterprises, X Bank, as one of these research objects. The results showed that diamond fraud motive could encourage the acceptances of illegal gratuities on X Bank. There are four factors in the form of pressure, opportunity, rationalization, and capabilities that shaped as a diamond fraud motive towards gratification. As an effort to control that activity, The Bank has been well prepared through their complete action and fulfill the principles of the internal control system. There are a number of suggestions to improve gratification control for the Bank, namely: (1) Making an update for their guidelines on corporate gratification control related to the new regulation; (2) Upgrade the quality and quantity of their human resources that related to gratification matters and organizational anti-corruption policies; (3) Building awareness to the all staff and the leaders at any levels, so they would to report all of forms in acceptance and rejection of any gratuities; (4) Implement and execute the ISO 3700:2016 as anti-bribery management certification in the organization; (5) Make a further research on the effectiveness of gratification control activities that have been done."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellysa Cahya Kartika
"Tulisan ini menganalisis status hukum pemisahan kekayaan negara dalam BUMN dan bentuk pertanggungjawaban direksi atas kerugian yang terjadi dalam pengelolaan BUMN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam menjalankan BUMN, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengarahkan BUMN ke arah progresif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, pengelolaan BUMN memerlukan direksi yang bertanggung jawab atas seluruh aspek perusahaan. Namun, dalam praktiknya, direksi sering dihadapkan pada kasus tindak pidana korupsi. Status hukum kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN menerapkan prinsip separate legal entity, sehingga kekayaan negara yang disertakan dalam modal BUMN tidak lagi menjadi milik negara, melainkan milik BUMN. Dalam pengelolaan dan pembinaan BUMN harus tunduk pada UU PT. Oleh karena itu, segala risiko yang timbul menjadi tanggung jawab BUMN sebagai badan hukum privat. Maka dari itu, kerugian yang timbul akibat kesalahan dalam pengelolaan BUMN oleh direksi merupakan kerugian BUMN sebagai entitas hukum privat, sehingga direksi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi.

This paper analyzes the legal status of the separation of state assets within SOEs and the forms of accountability of directors for losses incurred in the management of SOEs. This research employs doctrinal research methods. In managing SOEs, leaders capable of directing the SOEs towards progressive goals are needed to achieve the desired objectives. Therefore, the management of SOEs requires directors who are responsible for all aspects of the company. However, in practice, directors are often faced with cases of corruption. The legal status of state assets separated within SOEs applies the principle of a separate legal entity, so the state assets included in the capital of SOEs no longer belong to the state but to the SOE. In the management and supervision of SOEs, they must adhere to the Company Law. Therefore, all risks that arise are the responsibility of the SOE as a private legal entity. Consequently, losses resulting from errors in the management of SOEs by the directors are losses of the SOE as a private legal entity, so the directors can be held personally accountable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tshana Erfandi
"ABSTRAK
Kapailitan bukan suatu hal yang baru, karena menurut para sejarawan kepailitan sudah ada sejak abad ke-5 SM. Membahas mengenai kepailitan khsusunya di Indonesia tidak terlepas dari campur tangan para penjajah yang menerapkan peraturan mengenai hal tersebut. Dijajahnya Indonesia oleh Belanda 3,5 abad meninggalkan beberapa warisan hukum. Salah satunya mengenai hukum kepailitan. Saat ini pengaturan kepailitan di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada tahun 2019 ini, PT.Kertas Leces yang notabennya adalah sebuah BUMN berbentuk persero dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga sampai pada tingkat akhir yaitu peninjauan kembali. Kasus ini merupakan kali pertama dalam sejarah suatu BUMN dinyatakan pailit. Terhadap suatu BUMN berbentuk persero berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, terhadap BUMN berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Mengenai eksekusi harta pailit suatu BUMN berbentuk persero yang identik dengan perseroan terbatas tidak terdapat kekhususan yang dalam arti sama dengan perseroan terbatas lainnya kecuali terdapat aset pemerintah yang dipinjamkan (belum dipindah tangankan) kepada suatu BUMN yang tidak dapat dimasukan dalam boedel pailit sehingga tidak dapat dieksekusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>