Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ainurrifqy
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk memaparkan pengaturan hukum terkait tanggung jawab pelaku usaha atas produk tidak halal yang tersembunyi, dalam hal ini pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dimuat dalam beberapa peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitan Doktrinal dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis peraturan yang ada terkait tenggung jawab pelaku usaha atas produk tidak halal yang tersembunyi , bahwa kesimpulan pada penelitian ini adalah bahwa pengaturan hukum yang ada di Indonesia telah memberikan landasan yang kuat untuk mengatur tanggung jawab pelaku usaha terkait produk halal. mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produk melalui sertifikasi, pencantuman label halal maupun non halal dan penerapan sistem jaminan halal yang komprehensif. Selain itu juga penekanan kepada pelaku usaha atas informasi yang benar dan jujur, mengetahui dan sengaja menyembunyikan status tidak halal produknya, sanksi yang dikenakan cenderung lebih berat, meliputi sanksi administratif berat hingga pidana sesuai kerugian yang dialami konsumen.

This research aims to explain the legal regulations regarding the responsibility of business actors for hidden non-halal products, in this case the regulation of the responsibility of business actors is contained in several regulations, namely Law Number 6 of 2023 concerning Job Creation, Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantees, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Government Regulation Number 39 of 2021 concerning Implementation of Halal Product Guarantees. The research method used is a doctrinal research method using a qualitative descriptive approach, namely research that aims to analyze existing regulations regarding the responsibility of business actors for hidden non-halal products. The conclusion of this research is that the existing legal regulations in Indonesia have provided a basis for strong authority to regulate the responsibilities of business actors regarding halal products. requires business actors to guarantee the halalness of products through certification, inclusion of halal and non-halal labels and implementation of a comprehensive halal guarantee system. Apart from that, there is also an emphasis on business actors on correct and honest information, knowing and deliberately hiding the non-halal status of their products, the sanctions imposed tend to be more severe, including heavy administrative sanctions to criminal sanctions according to the losses experienced by consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adil Rahmat Yulian
"Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha atas barang yang memiliki cacat tersembunyi berkaitan dengan kasus pada putusan Mahkamah Agung No.848 K/Pdt/2016 dan putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013. Bentuk penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum normative dengan Metode penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur secara khusus mengenai cacat tersembunyi serta membedakan antara cacat tersembunyi yang diketahui penjual dan cacat yang tidak diketahui penjual, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak membedakan hal itu melainkan atas semua produk cacat pelaku usaha wajib bertanggungjawab. Menurut KUH Perdata Pengecualian tanggung jawab untuk cacat tersembunyi dimungkinkan sepanjang telah diperjanjikan sebelumnya namun menurut UUPK hal ini tidak diperbolehkan. Dalam kasus I terdapat beberapa poin dalam putusan yang tidak sesuai menurut KUH-Perdata dan/atau UUPK, sedangkan pada kasus II Putusan telah sesuai, dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kepada setiap orang yang mengikatkan diri dalam perjanjian untuk menghargai apa yang telah diperjanjikan; jika konsumen mendapatkan produk yang dimilikinya terdapat cacat tersembunyi sehingga merasa dirugikan maka tetaplah mempertahankan hak-haknya salah satunya dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

The focus of this study is the liability of business actors for products containing hidden defects related to the case of the Supreme Court's decision No. 848 K/Pdt/2016 and the Supreme Court's decision No. 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013. The form of study in this thesis is normative legal with qualitative methods. Based on the results of the study, it can be concluded that Indonesia Civil Code specifically regulates hidden defects and distinguishes between hidden defects known to the seller and defects unknown to the seller, while the Consumer Protection Law does not distinguish this, but for all defective products of business actors must be responsible. According to the Civil Code, the exception of liability for hidden defects is possible as long as it has been previously agreed, but according to the consumer protection act, this is not allowed. In the first case, there are several points in the decision that is not in accordance with the Civil Code and/or the consumer protection law, while in the second case the decision is appropriate, from the results of this study the author suggests to everyone who binds themselves in the agreement. to honor what has been promised; if the consumer gets a product that has a hidden defect so that he feels aggrieved, then he must continue to defend his rights, one of which is by filing a lawsuit to the Court or through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninta Sagitaria
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk memaparkan pengaturan hukum terkait tanggung jawab pelaku usaha yang diberikan oleh pemerintah Indonesia serta bentuk pertanggungjawaban kerugian yang diberikan kepada konsumen atas produk cacat tersembunyi oleh pelaku usaha. Selain itu, penelitian ini akan menganalisa kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. dengan hukum perlindungan konsumen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan dua tahapan, yaitu mengkaji hukum normatif yang berlaku dan melihat kesesuaian antara hukum normatif yang dikaji dengan suatu peristiwa atau obyek penelitian tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji UU Perlindungan Konsumen dan melihat kesesuaian antara UU Perlindungan Konsumen dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. yang berkaitan dengan kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan produk mobil BMW dengan cacat tersembunyi dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. yang berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh konsumen ketika menggunakan produk mobil Nissan Navara 2018. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat gugatan penggantian kerugian Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. yang seharusnya dikabulkan menurut Hukum Perlindungan Konsumen namun tidak dikabulkan dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. sudah sesuai dengan Hukum Perlindungan Konsumen.

This study aims to explain the legal arrangements related to the responsibilities of producers given by the Indonesian Government and the forms of liability provided by producers for losses given to consumers for hidden defective products. In addition, this study will analyze the suitability of the West Jakarta District Court Decision Number 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. and North Jakarta District Court Decision Number 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. with Consumer Protection Law in Indonesia. This study uses normative juridical research method using two stages, namely examining the applicable normative law and seeing the conformity between the normative law and a particular event or object of research. In this study, researcher examine the Consumer Protection Law and see its compatibility with the West Jakarta District Court Decision Number 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. relating to the losses suffered by consumers due to the use of BMW car products with hidden defects and North Jakarta District Court Decision Number 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. relating to the losses suffered by consumers due to the use of Nissan Navara 2018 car products with hidden defects. The results of this study indicate that there is a claim for compensation for the West Jakarta District Court Decision Number 336/PDT.G/2013/PN Jkt. Bar. which should have been granted according to the Consumer Protection Law but was not granted and North Jakarta District Court Decision Number 193/PDT.G/2019/PN Jkt. Utr. is already aligned with Consumer Protection Law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Thufail Iman
"Industri kuliner dan pangan olahan di Indonesia berkembang pesat dan memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, seiring pertumbuhan ini, muncul masalah kurangnya informasi tentang kehalalan produk yang dijual, yang berdampak pada kerugian konsumen, terutama konsumen Muslim. Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum terkait informasi kehalalan produk kuliner dan pangan olahan di Indonesia dengan pendekatan yuridis normatif, menganalisis UU Perlindungan Konsumen dan UU Jaminan Produk Halal beserta peraturan turunannya dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen berhak atas informasi jelas tentang kehalalan produk, dan pelaku usaha berkewajiban memberi informasi akurat sesuai hukum. Label halal dipandang sebagai upaya menyediakan informasi yang cukup dalam konteks jaminan produk halal. Selain itu, kesimpulan penelitian menyarankan bahwa keterangan tidak halal yang terstandarisasi dapat mengurangi potensi misinformasi bagi konsumen. Dengan demikian, untuk memastikan informasi yang cukup terkait kandungan halal sebagai bentuk perlindungan konsumen, pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan label halal dan keterangan tidak halal yang terstandarisasi.

The culinary and processed food industries in Indonesia are rapidly growing and making a significant contribution to the national economy. However, alongside this growth, there is a problem with inadequate information regarding the halal status of products being sold, which has negative implications for consumers, particularly Muslim consumers. This study aims to examine the legal protections related to halal information on culinary and processed food products in Indonesia through a normative juridical approach, analyzing the Consumer Protection Act, the Halal Product Assurance Act, their derivative regulations, and other relevant legislation. The findings indicate that consumers have the right to clear information regarding the halal status of products, and business operators are legally obligated to provide accurate information. The halal label is viewed as an effort to provide sufficient information in the context of halal product assurance. Additionally, the study concludes that a standardized "non-halal" label could be a solution to mitigate potential misinformation for consumers. Thus, to ensure adequate information on halal content as a form of consumer protection, the government can maximize the use of standardized halal and non-halal labeling."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliandy Dasdo P Tambun
"ABSTRAK
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, seiring dengan perkembangan dari produk olahan pangan semakin maju, sehingga tidak jarang demi mencapai tujuan tertentu pelaku usaha melakukan pencampuran/pengoplosan terhadap produk olahan pangan. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan mempunyai kriteria tersendiri apabila ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen, hal ini sehubungan dengan kepentingan konsumen guna mendapatkan pangan yang layak serta sesuai dengan standar kesehatan yang memadai. Pelaku usaha sendiri memiliki tanggung jawab terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos, dalam hal ini peran pemerintah sebagai fungsi kontrol di antara pelaku usaha dan konsumen memegang peranan yang sangat signifikan. Guna menjawab permasalahan di dalam tesis ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkaji tentang hukum normatif doktrinal , dalam hal ini Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, maupun peraturan hukum lainnya. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen tidak terlepas dari inti utama fungsi dari pangan itu sendiri, dimana suatu produk olahan pangan merupakan pangan yang telah diberikan BTP Bahan Tambahan Pangan dalam proses produksi. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos mengacu kepada ketentuan perubahan/pengoplosan yang dimaknai dengan Perubahan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau Barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. Dengan demikian pengoplosan yang bersifat negatif merupakan kegiatan memproduksi dan memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan standar keamanan pangan dan menyebabkan berubahnya mutu pangan.

ABSTRACT
Food is a basic need for human survival, along with the development of food processing products, it is common for achieving certain objectives of business executors to mixing the processed food products. The policy of mixing processed food products has its own criteria when viewed from the perspective of consumer protection law, and it is in line with the interest of consumers to obtain good standards for food and also health. The business executors have responsibility for the processed food product which has mixed, and in this case the government plays a significant role as a controller for the business executors and consumers. In order to answer the problem in this thesis, the writer uses normative juridical research method, which is research that examines about normative law doctrinal , in this case Law no. 8 of 1999 on Consumer Protection, Law No. 18 of 2012 on Food, as well as other legal regulations. From the point of view of consumer protection law, the policy of mixing a processed food product is inseparable from the main core of the function of the food itself, where a processed food product has been given food additives in the production process. The responsibility of the business executors on processed food products that are mixed refers to the provisions of change, which is the change of goods and or services performed by business execitors or goods and or services not in accordance with the example, quality, and composition. Therefore, a negative mixing is an activity to produce and trade food that is not in accordance with the food safety standards dan cause changes in the food quality. "
2017
T50258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Elysia Binti
"Perkembangan media sosial saat ini memberikan pengaruh terhadap kegiatan mempromosikan suatu produk yang dilakukan oleh pelaku usaha, ditambah dengan maraknya penggunaan internet yang dengan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Munculnya media sosial, dan pengaruhnya terhadap perilaku konsumen dan praktik pemasaran, sebagian besar didorong oleh platform itu sendiri. Influencer merupakan saah satu karakter terkenal di media sosial yang digunakan untuk mempromosikan produk mereka di media sosial jika mereka memiliki akses ke influencer. Gagasan dalam memilih influencer memberi pengaruh konsumen dalam membeli suatu barang. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus dimana influencer hanya dijadikan saksi dalam sebuah persidangan apabila terdapat iklan yang merugikan konsumen. Oleh karena itu untuk menjawab adanya kekosongan hukum tersebut, penulis mencoba mengkaji pengaturan yang ada di India The Consumer Protection Act. 2019 , India dan The Consumer Protectiona Act, B.e. 2522, di Thailand. Pengaturan ini telah mengatur kewajiban sebagai influencer dalam hal pengiklanan suatu produk. hasil penelitian ini memberikan kesimpulan yakni : (1) perlindungan bagi konsumen yang dirugikan akibat jasa endorsement yang dilakukan oleh influencer di Indonesia belum memiliki pedoman yang tetap atau belum di atur didalam Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (2) perjanjian yang dibuat antara influencer dengan pelaku usaha di India dan Thailand telah menetapkan pedoman yang jelas untuk akuntabilitas influencer, salah satunya tanggung jawab influencer sama dengan tanggung jawab produk.

The development of social media has an influence on the activities of promoting a product carried out by business actors, coupled with the widespread use of the internet which is very easily accessed by the public. The rise of social media, and its influence on consumer behavior and marketing practices, is largely driven by the platforms themselves. Influencers are well-known characters on social media who are used to promote their products on social media if they have access to influencers. The idea of choosing influencers influences consumers in buying an item. This can be seen from the many cases where influencers were only used as witnesses in a trial when there were advertisements that harmed consumers. Therefore, to answer this legal vacuum, the author tries to examine the existing regulations in India, The Consumer Protection Act. 2019 , India and The Consumer Protectiona Act, B.e. 2522, in Thailand. This arrangement has regulated obligations as an influencer in terms of advertising a product. The results of this study provide the following conclusions: (1) protection for consumers who are harmed by endorsement services performed by influencers in Indonesia does not yet have fixed guidelines or has not been regulated in Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection. (2) agreements made between influencers and business actors in India and Thailand have established clear guidelines for influencer accountability, one of which is that influencer responsibility is the same as product responsibility."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Monica
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pengangkut udara niaga atas hilangnya bagasi tercatat berisi barang berharga, ditinjau dari teori atau prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengangkut dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (selanjutnya disebut Permenhub Nomor 77 Tahun 2011).
Skripsi ini mengambil satu contoh kasus, yaitu kasus antara Umbu S. Samapatty dengan Lion Air. Dalam kasus, Umbu S. Samapatty menggunakan jasa pengangkutan dari Lion Air, namun ternyata Lion Air l menghilangkan bagasi tercatat milik Umbu S. Samapatty. Umbu S. Samapatty sayangnya tidak melaporkan mengenai isi dari bagasi tercatatnya tersebut, dimana ternyata isinya adalah barang-barang berharga dengan nilai kurang lebih 2,9 Miliar. Rupiah.
Penelitian membahas mengenai sisi perlindungan konsumen dalam hal terdapat kelalaian dari pelaku usaha dan juga membahas perlindungan dari sisi perlindungan pelaku usaha. Penelitian ini membahas pula mengenai Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 dan ada atau tidaknya penerapan teori dan peraturan perundang-undangan yang baik pada putusan Majelis Hakim.

This thesis discusses about the commercial airplane carrier liability for the case of lost baggage that containing items, in terms of theory or principles of carrier liability and the laws related, namely Law No. 1 of 2009 on Aviation, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, as well as the Regulation of the Minister of Transportation No. 77 of 2011 (Permenhub 77/2011) on Air Transport Carrier Liability.
This thesis took a case, which the case between Umbu S. Samapatty against Lion Air. In the case, Umbu S. Samapatty used the transport services of Lion Air, but Lion Air in fact negligently lost the checked baggage of Umbu S. Samapatty. There was a fact also that Umbu S. Samapatty unfortunately didn?t reported the contents of the baggage he carried, a lot of valuable goods with a value of approximately 2.9 billion rupiah.
This research specific-purposes are to discuss the protection to consumer in the event of negligence of businesses and also the protection of the business actors in the event of the factors that influenced by customer action in contributing the lost itself. This study also discusses about Article 5 and Article 6, paragraph (1) Permenhub Number 77 of 2011 and whether or not the theory and application of laws and regulations had been used properly in the verdict of the Judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rashieka Putri Amara
"Perkembangan perusahaan ekspedisi menawarkan berbagai pilihan jasa pengiriman kepada konsumen. Pelaku usaha ekspedisi berusaha mempromosikan produknya melalui berbagai strategi agar menarik minat konsumen. Strategi promosi tersebut dapat berupa positioning, iklan, maupun klausula baku sebagai bentuk pengaturan atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Pada umumnya, pelaku usaha akan mengedepankan keunggulan dan mutu produk dengan tujuan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Menurut fungsinya, promosi berkedudukan sebagai janji pelaku usaha yang harus diwujudkan kepada konsumen. Namun, beberapa keluhan konsumen di media sosial menunjukkan adanya ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu pengiriman esok hari sampai yang dijanjikan pada promosi produk JNE YES dan SiCepat BEST. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum atas ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu produk dengan meninjau alasan konsumen harus mendapatkan kualitas sesuai janji promosi, perbandingan promosi dan pengaturannya dari tiga pelaku usaha ekspedisi, dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan oleh pelaku usaha berdasarkan permasalahan hukum tersebut. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan metode analisis data secara kualitatif berdasarkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian adalah informasi-informasi pada positioning, iklan, dan klausula baku harus diwujudkan oleh pelaku usaha mengingat fungsi promosi sebagai janji kepada konsumen. Hal ini juga sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.

The development of expedition companies offers a wide selection of delivery services to consumers. Expedition business actors try to promote their products through various strategies to attract consumer interest. The promotional strategy can be in the form of positioning, advertising, or standard clauses as a form of regulation of goods and/or services traded. In general, business actors will prioritize product excellence and quality with the aim of influencing consumer purchasing decisions. According to its function, promotion serves as a promise of business actors that must be realized to consumers. However, several consumer complaints on social media indicate that there is a mismatch between the service and the quality assurance of next-day delivery promised in the JNE YES and SiCepat BEST product promotions. This thesis discusses the legal protection of service discrepancies with product quality assurance by reviewing the reasons consumers must get quality according to promotional promises, comparison of promotions and their arrangements from three expedition business actors, and violations of statutory provisions by business actors based on these legal issues. The form of this research is juridical-normative with qualitative data analysis method based on secondary data obtained through literature study. The result of the research is that information on positioning, advertisements, and standard clauses must be realized by business actors considering the function of promotion as a promise to consumers. This is also a form of respect and protection of consumer rights to correct, clear, and honest information. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanihuruk, Lindawaty
"Kebutuhan masyarakat akan air yang layak dan aman untuk diminum terus meningkat dari tahun ke tahun karena berlangsungnya pencemaran lingkungan yang menurunkan mutu air tanah dan air permukaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan air minum, Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terus berkembang disertai dengan berkembangnya pengusaha air minum lainnya yang tidak termasuk kategori AMDK Salah satu kategori pengusahaan air minum yang marak bermunculan di tengah-tengah masyarakat adalah Depot Air Minum (DAM) yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Depot Air Minum Isi Ulang. Dilihat dari satu sisi, maraknya Depot Air Minum berdampak positif karena menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minumnya. Di sisi lain, perkernbangan yang terlalu cepat dan mungkin lepas kendali dapat berdampak negatif karena berisiko menurunnya kelayakan dan keamanan air minum yang dibutuhkan masyarakat ini.
Sesungguhnya persyaratan air minum sudah diatur pemerintah lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/IX/1990 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VJI/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Dernikian juga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 167/MPP/Kep/5/1997 tentang Persyaratan Teknis Industri dan Perdagangan AMDK dan SNI 01-3553-1996 mengatur Standar AMDK, khusus mengenai Depot Air Minum diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan retails Depot Air Minum dan Perdagangannya. Dengan peraturan peraturan yang ada ini sesungguhnya sudah cukup untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar air minum balk AMDK maupun Depot Air Minum memenuhi persyaratan yang ditetapkan sehingga air minum betul-betul layak dan aman untuk diminum.
Kini dengan maraknya bisnis air minum, khususnya produk Depot Air Minun yang tersebar di DKI Jakarta, telah diindikasikan tercemar bakteri conform. Untuk itu yang menjadi permasalahan di sini adalah (1) Bagaimanakah pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaku usaha Depot Air Minurn? (2) Bagaimanakah penerapan pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsurnen berkaitan dengan Depot Air Minum? (3) Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha Depot Air Minum atas perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap konsumen? Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai beberapa perbuatan yang dilarang, salah satu diantaranya barang atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T14450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktaviana Azalia Putri Widyanti
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan produk berupa mobil bekas. Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang berminat membeli mobil bekas dan meningkatnya transaksi jual beli mobil bekas berarti hukum perlindungan konsumen harus lebih ditegakkan. Pelaku usaha harus sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya yaitu memberikan jaminan dan bertanggung jawab atas kenikmatan dan kecacatan yang terdapat pada produk. Kewajiban tersebut termasuk kepada fasilitas layanan purna jual yang disediakan pelaku usaha dari mulai servis berkala sampai perbaikan terhadap komponen mobil. Jangan sampai pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga melakukan perbuatan yang tidak baik yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Sehingga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk bekas dan bagaimana batasan tanggung jawab tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang melekat pada produk bekas merupakan tanggung jawab produk yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian mengenai batasan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 huruf e Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab tuntutan ganti rugi konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan terhadap barang tersebut. Selain itu, pelaku usaha juga dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah lewat masa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewat masa jaminan.

This thesis discusses the responsibilities of business actors for product sales in the form of used cars. The increasing number of consumers who are interested in buying used cars and the increase in used car buying and selling transactions means that consumer protection laws must be more enforced. Business actors must seriously carry out their obligations, namely providing guarantees and taking responsibility for the enjoyment and defects found in the product. This obligation includes after-sales service facilities provided by business actors starting from periodic servicing to repairs to car components. Do not let business actors violate consumer rights and also commit bad actions that result in consumers experiencing losses. So that the problems discussed in this study are regarding the responsibility of business actors for used products and how to limit this responsibility. This research uses a normative-juridical method through literature studies and interviews with source person. This research explains that the responsibility of business actors attached to used products is product responsibility which is regulated in Pasal 19 (1) UUPK. Then regarding the limitation of the responsibilities of business actors it has been regulated in Pasal 24 (2) and Pasal 27 e UUPK. Business actors are released from responsibility for claims for consumer compensation if other business actors who buy goods and/or services resell them to consumers by making changes to the goods. In addition, business actors are also released from responsibility if the prosecution period of four years has passed since the goods were purchased or the warranty period has passed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>