Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166629 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kardinah
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T59049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Shanny
"Kanker payudara merupakan penyakit kanker yang berkembang dari jaringan epitel duktus dan kelenjar susu dalam payudara. Kanker payudara merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi di dunia dan telah mengalami kenaikan jumlah kasus yang signifikan (16,6%) per tahun 2020 di Indonesia. Pengobatan dengan kemoterapi telah umum dilakukan namun dilaporkan memiliki banyak efek samping. Oleh karena itu, perlu dilakukan prediksi kemosensitivitas pada pasien sebelum obat diberikan. Prediksi kemosensitivitas dapat dilakukan dengan menggunakan kultur primer metode eksplan sebagai patient-derived model in vitro yang menggunakan sel primer langsung dari pasien dan dapat memprediksi respons klinis terhadap obat. Adanya ekspresi relatif gen c-Myc selaku oncogene addiction gene dapat menjadi biomarker potensial pada kultur eksplan setelah diberi perlakuan Doxorubicin. Pada penelitian ini, ekspresi c-Myc pada jaringan asal dan kultur eksplan serta pada kultur eksplan sebelum dan sesudah perlakuan diukur menggunakan metode semi kuantitatif RT-PCR dengan tahapan isolasi RNA, kuantifikasi, amplifikasi, dan visualisasi dengan elektroforesis. Kultur eksplan yang berhasil ditumbuhkan adalah sampel luminal A dan B. Sampel A menunjukkan migrasi sel hingga konfluensi 50%. Sementara uji viabilitas pada hasil kultur sampel B menunjukkan persentase viabilitas kultur non-treatment 60% dan treatment dosis 0,68 μM 41%. Hasil visualisasi elektroforesis tidak menunjukkan adanya ekspresi c-Myc di seluruh sampel.

Breast cancer is a malignant tumor formacy on ductus epithelial tissue and mammary gland of the breast. The prevalence number of breast cancer is currently leading among other cancers in the world and significantly increasing especially in Indonesia (16,6% new cases in 2020). Treatment using chemotherapy agents is the most common option for patients but has many side effects. Chemosensitivity prediction using an in vitro model is recommended for more personalized treatment, and can be performed using primary culture (explant method) as an in vitro patient-derived model that uses primary cells directly from the patient and can predict pathological response to chemotherapy agents. c-Myc gene as an oncogene addiction gene can be a potential biomarker of explant cultures after being treated by Doxorubicin. In this study, c-Myc expression in fresh tissue and explant culture, also in culture prior to and after treatment, was measured using a semi quantitative RT-PCR method involving the process of RNA isolation, quantification, amplification, and visualization using electrophoresis. Luminal A and Luminal B samples of explant culture were successfully grown and harvested. A sample showed cell migration up to 50% confluency. Meanwhile, the viability test on the results of the B culture showed the viability percentage of non-treatment culture was 60% and 0,68 μM treatment dose culture 41%. The results of electrophoretic visualization consistently showed downregulation of c-Myc in the form of a very low expression in all samples."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Rachmatal Azza
"Kasus keganasan sistem saraf pusat merupakan jenis keganasan kedua terbanyak yang menyerang anak-anak hingga dewasa. Pada tumor medulla spinalis, ditemukan manifestasi khas seperti nyeri servikal, kelemahan motoric dan sensorik, hingga gangguan dalam kontrol eliminasi. Tatalaksana utama yang dilakukan umumnya adalah pembedahan. Efek samping dari manifestasi klinis dan tatalaksana yang dilakukan dapat mempengruhi fisik hingga psikologis pasien kanker anak. Sebagian besar pasien kanker anak mengalami kecemasan selama periode perawatan. Manajemen ansietas dilakukan untuk menurunkan tingkat kecemasan, salah satunya dengan teknik distraksi terapi seni menggambar dan mewarnai.
Penerapan intervensi terapi seni menggambar dan mewarnai selama 8 hari yang didasari oleh bukti penelitian didapatkan tingkat kecemasan pasien menurun yang ditandai dengan penurunan skor instrument PROMIS Pediatric Anxiety dari skor 22 menjadi 15. Hasil dari penerapan intervensi ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan pertimbangan bagi pelayanan keperawatan, institusi ilmu keperawatan, dan penelitian selanjutnya.

Malignancy of central nervous system are the second most common type of cancer that occurs in children to adults. Typical manifestation of spinal cord tumors such as cervical pain, motor and sensory weakness, impaired elimination control are found. Surgery is the main treatment to tumors. The side effects of clinical manifestations and the treatment can affect the physical and psychological aspects of pediatric cancer patients. Most of the pediatric cancer patients experience anxiety during the treatment period. Drawing and coloring art therapy can be used for anxiety management to reduce the patient anxiety level.
The results of applying the art therapy intervention of drawing and coloring for 8 days based on evidence-based practice showed that the patient's anxiety level decreased, which was indicated by a decrease in the score of the PROMIS Pediatric Anxiety instrument from a score of 22 to 15. The results of implementing this intervention are expected to be used as recommendation and consideration for nursing services, institute of nursing science, and further research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cok Ratih Kusumawardhani
"Limfoma Maligna adalah penyakit kanker atau keganasan yang berasal dari sistem
limfatik dan imunitas tubuh. Kanker ini bersifat heterogenitas yang menyebabkan
kelainan umum berupa pembesaran kelenjar limfe, spelnomegali, hepatomegali dan
kelainan sum-sum tulang. Manifestasi klinis dari penyakit ini salah satunya yaitu
menimbulkan gejala sistemik berupa hipertermia intermitten atau demam yang
berkepanjangan. hipertermia pada Limfoma Maligna disebabkan oleh pelepasan sitokin,
faktor interleukin-2, dan interleukin-6, atau zat kimia yang di picu dari sel kanker, sel
mononuclear yang menginfiltrasi di sekitarnya, atau dari peradangan sekunder akibat
reaksi nekrosis sel kanker. Kondisi ini dapat menyebabkan pasien mengalami dehidrasi
karena kehilangan cairan tubuh. Perawat sebagai tenaga medis profesional memiliki
peran penting dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien, salah satunya adalah memenuhi
kebutuhan dasar terkait cairan. Manajemen cairan pada pasien Limfoma maligna
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan, mencegah atau mengurangi dehidrasi, dan
menyeimbangkan suhu tubuh. Intervensi yang dilakukan perawat yaitu monitoring
status hidrasi, mengatur intake cairan oral klien, mengukur balance cairan, dan
memantau nilai elektrolit, dan hematokrit. Sedangkan intervensi kolaboratif yaitu
dengan terapi cairan yang mengandung koloid dan kristaloid, dan penggunaan obat
antipiretik yang diresepkan. Manajemen cairan yang baik dan optimal diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan cairan pasien limfoma maligna dengan hipertermia.

Malignant lymphoma is a cancer or malignancy from the lymphatic system and body
immunity. This cancer is heterogeneous which causes general abnormalities form the
node of lymph, splenomegaly, hepatomegaly and bone marrow abnormalities. One of
the clinical manifestations is systemic symptoms such as intermittent hyperthermia or
prolonged fever. Hyperthermia in Malignant Lymphoma is caused by the release of
cytokines, interleukin-2, and interleukin-6, or triggered chemicals from cancer cells,
mononuclear cells that infiltrate around it, or from secondary inflammation due to
reaction of cancer cell necrosis. This condition can make a patients to become
dehydrated due to loss of body fluids. Nurses as medical professionals have an
important role in meeting the basic needs of patients. Fluid management in patients
Malignant lymphoma aims to meet fluid needs, prevent or reduce dehydration, and
balance body temperature. Interventions conducted by nurses are monitoring status
hydration, regulating the client's oral fluid intake, measuring fluid balance, and
monitoring electrolyte and hematocrit values. While collaborative intervention is by
treating fluid containing colloids and crystalloids, and using prescribed antipyretic
drugs. Optimal fluid management is expected to Sufficient the fluid of malignant
lymphoma patients with hyperthermia

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar belakang : Tumor ganas adneksa mata merupakan keganasan epitel yang berasal dari kelopak mata, konjungtiva dan kelenjar kelenjar yang berada pada jaringan tersebut. Tumor ini sebenarnya mempunyai prognosis baik bila diobati pada stadium dini.
Metode : Dilakukan studi historical cohort dengan survival analysis. Subyek adalah penderita tumor ganas adneksa mata yang berobat ke poliklinik subbagian Tumor Mata FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2000 mendapat tindakan operasi. Analisis data menggunakan cara cox proportional hazard dan analisis life table menurut metode Kaplan-Meier.
Hasil : Dari 74 penderita tumor ganas adneksa mata didapat angka harapan hidup 74.24%. Penderita terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (51.4%), karsinoma set basal (28.4%), adenokarsinoma (14.8%) dan melanoma maligna (5.4%). Metastasis memberikan resiko tertinggi terhadap kematian HR 51.69(9.72-274.76), kelompok tumor karsinoma sel skuarnosa - adenokarsinoma HR 4.91 (0.62-38.81), penderita mendapat tambahan radiasi HR 10.72(1.25-92.18), dan jenis operasi eksenterasi HR 7.63(1.59-36.48)
Kesimpulan : Faktor resiko yang berhubungan dengan kematian adalah metastasis, kelompok tumor karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, dilakukan tindakan radiasi dan tindakan eksenterasi orbita.

Background : Malignant eye adnexa tumor originates from epithelium of eye lid, conjunctiva, and nodes of those tissues. The prognosis of this tumor is good if it is treated during the initial stadium.
Method : A historical cohort study was carried out with survival analysis. The subject of the study were patients with malignant eye adnexa tumor who went to Sub-division of Eye Tumor FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from the period of January I, 1996 to December 31, 2000 and received surgical treatment. Data analysis used was cox proportional hazard and life table analysis with Kaplan Meier method.
Result : From 74 patients with malignant eye adnexa tumor we obtained a survival rate of 74.24%. Most of them suffer from squamous cell carcinoma (51.4%), basal cell carcinoma (28.4%), adenocarcinoma (14.8%) and melanoma maligna (5.4%). Metastasis contributes to a high risk of death HR 51.69 (9.72-274.76), squamous cell carcinoma - adenocarcinoma group type HR 4.91 (0.62-38.81), patients receiving additional radiation treatment HR 10.72 (1.25-92.18), and exenteration HR 7.63 (1.59-36.48).
Conclusion : The risk factor which causes death is metastasis, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma group type, radiation treatment and exenteration of the orbit were done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
571.978 TUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rica Sari
"Latar belakang dan tujuan : CT scan merupakan modalitas pencitraan utama pada berbagai tumor primer kepala dan leher serta ketersedian modalitas CT yang lebih luas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan peranan CT sebagai modalitas yang berpotensi membantu menegakkan diagnosis keterlibatan lokoregional kelenjar getah bening KGB leher sehingga didapatkan perencanaan tatalaksana karsinoma sel skuamosa KSS dengan nilai terapi dan prognosis terbaik. Penelitian ini modifikasi Choi dan meneliti kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB metastasis pada CT scan dibandingkan dengan hasil histopatologik pada pasien KSS. Metode : Penelitian ini merupakan studi asosiatif secara potong lintang pada data primer kasus baru KSS-KL. Pengambilan data berlangsung dari bulan Februari 2018 hingga April 2018 di Poli Onkologi Departemen THT, Departemen Radiologi dan Departemen Patologi Anatomi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 90 unit sampel dievaluasi lokasi, morfologi dan kemungkinan metastasis pada CT scan preoperatif menggunakan kriteria diagnostik, kemudian tiap unit sampel diberi label untuk menunjang kesesuaian node-per-node yang kemudian disesuaikan dengan KGB temuan intraoperasi. Operasi diseksi leher dilakukan dengan jarak kurang dari 1 minggu pasca CT scan preoperatif. Pasca diseksi, setiap KGB yang telah diberi label dilakukan pemeriksaan histopatologik. Kemudian asumsi kesesuaian temuan pada CT scan preoperatif dan histopatologik diuji hipotesis komparatif menggunakan uji McNemar. Hasil : Penelitian ini menunjukkan nilai p = 0,000 yaitu terdapat perbedaan bermakna antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik. Penilaian kesesuaian kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik menggunakan Kappa didapatkan R = 0,12 p=0,100 . Kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 33,3 dan nilai spesifisitas 61,7 dengan nilai spesifisitas ukuran aksis pendek, hipodensitas dan penyangatan heterogen masing-masing 100 dan nilai sensitivitas lokasi drainase primer 100 . Kesimpulan : Tidak terdapat kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan hasil histopatologik. Adanya komponen kriteria diagnostik yang sangat sensitif tapi tidak spesifik dan yang sangat spesifik tapi tidak sensitif menyebabkan nilai sensitivitas dan spesifisitas kriteria diagnostik ini rendah.
Background and Objective CT scan is the main imaging modality in various head and neck primary tumors and broader availability in Indonesia. This study aims to discuss CT as a modality that helps establish the diagnosis of lymph node metastases so the management of head and neck squamous cell carcinoma HNSCC can be done with the best therapeutic value and prognosis. This study of Choi modification is trying to research about association between diagnostic criteria of metastases lymph node in CT Scan and histopathologic in SCC Patients Methods This research is a cross sectional associative study on the primary data of the new case of HNSCC. Data collection took place from February 2018 to April 2018 at the Polyclinic Oncology Department of ENT, Department of Radiology and Department of Pathology Anatomy Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 90 sample units were evaluated for location, morphology and possible metastasis on preoperative CT scans using diagnostic criteria, then each sample unit was labeled to support node per node association which was then adjusted to intraoperative lymph node findings. Neck dissection surgery is performed less than 1 week after a preoperative CT scan. After the operation, every lymph node that has been labeled is carried out to histopathologic examination. Then the hypothesis of association of the findings on preoperative CT scans and histopathologic is tested using McNemar test. Results This study shows p value 0,000 so that there is a significant difference between the diagnostic criteria on CT scan and histopathologic examination. Assessment of the diagnostic criteria for malignant KGB on CT scans and histopathologic examination using Kappa obtained R 0.12 p 0.100 , which shows no suitability between them. The diagnostic criteria for malignant lymph node on CT scan in this study have a sensitivity value of 33.3 and a specificity value of 61.7 with a specificity value of the size of the short axis, hypodensity and heterogeneous enhancement respectively 100 and the sensitivity value of the primary drainage site 100 . Conclusion There is no agreement between the diagnostic criteria for malignant lymph nodes on CT scan with histopathologic examination. The existence of a highly sensitive but non specific and a highly specific but insensitive component of the diagnostic criteria might causes the sensitivity and specificity of these diagnostic criteria to be low."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>