Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gladys Nathania Banuarea
"Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes betina. Dalam penelitian ini, telah dikonstruksi model transmisi penyebaran penyakit DBD dengan intervensi penemuan kasus aktif dan fumigasi. Tujuan dari penulisan skripsi ini untuk meminimumkan populasi manusia yang terinfeksi penyakit DBD dengan biaya intervensi yang paling optimal. Dari model penyebaran DBD yang telah dikonstruksi, dibentuk model masalah kontrol optimal yang diselesaikan dengan Prinsip Minimum Pontryagin. Solusi masalah kontrol optimal diselesaikan secara numerik dengan forward-backward sweep method. Beberapa skenario terkait strategi kombinasi kontrol yang diberikan, dilakukan pada bab simulasi numerik. Setiap strategi dianalisis keefektivitasan biayanya untuk menemukan strategi intervensi yang paling efektif dalam mengurangi jumlah kasus manusia yang terinfeksi tetapi dengan biaya yang paling optimal. Analisis keefektivitasan yang digunakan ialah Infection Averted Ratio (IAR), Average cost-effectiveness Ratio (ACER), dan Incremental cost-effectiveness Ratio (ICER). Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa kombinasi intervensi penemuan kasus aktif bagi manusia bergejala spesifik dan tidak bergejala spesifik, serta fumigasi merupakan strategi yang paling optimal dalam mencegah terjadinya kasus baru manusia terinfeksi dengue. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa intervensi fumigasi ialah intervensi dengan biaya rata-rata yang paling murah untuk mencegah satu kasus baru manusia terinfeksi.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease transmitted through the bite of female Aedes mosquitoes. In this study, a model for the transmission and spread of DHF has been constructed, incorporating interventions such as active case finding and fumigation. The goal of this thesis is to minimize the population of humans infected with DHF using the most optimal intervention cost. From the constructed DHF spread model, an optimal control problem is formulated and solved using the Pontryagin Minimum Principle. The solution to the optimal control problem is obtained numerically using the forward-backward sweep method. Various scenarios involving combined control strategies are performed in the numerical simulation chapter. Each strategy is analyzed for its cost-effectiveness to identify the most effective intervention strategy in reducing the number of human cases while maintaining optimal costs. The effectiveness analysis includes metrics such as the Infection Averted Ratio (IAR), Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER), and Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). The results indicate that a combination of active case finding for symptomatic and asymptomatic individuals, along with fumigation, is the most optimal strategy for averting new cases of human dengue infection. Additionally, it can also be concluded that fumigation is found to be the least expensive intervention on average for averting one new case of human infection."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Amalia
"Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Dalam tesis ini dikonstruksikan model matematis penyebaran malaria dengan mempertimbangkan faktor bias dalam proses infeksi dan intervensi fumigasi dalam pengendalian malaria. Model tersebut dibangun sebagai model SIRI-UV dalam bentuk sistem persamaan
perbedaan biasa enam dimensi. Analisis titik keseimbangan dan stabilitasnya dan analisis sensitivitas dari bilangan reproduksi dasar (R0) dilakukan secara analitik dan numerik. Berdasarkan studi analitik diperoleh dua jenis titik keseimbangan yaitu titik keseimbangan bebas penyakit dan titik keseimbangan endemik. Ketika R0 @@ 1, tidak
ada titik keseimbangan endemik, atau ada dua titik keseimbangan endemik bila R0 1. Sedangkan bila R0 AA 1 terdapat titik keseimbangan endemik dan tiga titik keseimbangan jika R0 1. Melalui studi analitik dengan menggunakan aturan Descartes dan eksperimen numerik, menemukan bahwa percabangan ke belakang terjadi pada suatu saat R0 1, ​​dan saat R0 1 terjadi percabangan maju dan mundur secara bersamaan. Untuk Untuk mendukung interpretasi model, simulasi numerik dari sensitivitas R0 dan R0 juga dilakukan simulasi otonom dari parameter angka kematian nyamuk akibat fumigasi dan faktor bias. Hasil simulasi menunjukkan bahwa angka kematian nyamuk meningkat karena pengasapan akan meningkatkan kemungkinan penyakit tidak menyebar dan hilang, Adapun semakin besar faktor biasnya maka semakin besar pula jumlah nyamuk dan manusia yang terinfeksi.

Malaria is a contagious disease caused by the parasite Plasmodium and transmitted through the bite of a female Anopheles mosquito. In this thesis, a mathematical model of the spread of malaria was developed by considering bias factors in the infection process and fumigation interventions in malaria control. The model is built as a SIRI-UV model in the form of a system of equations the usual six dimensional difference. The equilibrium point analysis and stability and sensitivity analysis of the basic reproduction number (R0) were carried out analytically and numerically. Based on the analytical study, two types of balance points were obtained, namely the disease-free balance point and the endemic balance point. When R0 @@ 1, no there is an endemic equilibrium point, or there are two endemic equilibrium points if R0 1. Whereas if R0 AA 1 there is an endemic equilibrium point and three equilibrium points if R0 1. Through analytic studies using Descartes' rule and numerical experiments it is found that the reverse branching occurs at one day R0 1, ​​and when R0 1 there is simultaneous forward and backward branching. To support the interpretation of the model, numerical simulations of the sensitivity of R0 and R0 were also carried out with autonomous simulations of the mosquito mortality rate parameters due to fumigation and bias factors. The simulation results show that the increased mosquito mortality rate due to smoking will increase the likelihood that the disease will not spread and disappear. The greater the bias factor, the greater the number of infected mosquitoes and humans."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alethea Yuwanda Murtiningrum
"Model penyebaran penyakit DBD akan dibahas dalam tugas akhir ini. Berbagai intervensi mulai dari vaksin terhadap manusia dewasa, vaksin terhadap bayi baru lahir, penggunaan insektisida, larvasida, dan mechanical control akan menjadi pertimbangan dalam menganalisa model DBD. Terdapat tiga jenis titik keseimbangan yang terbentuk dari model penyebaran penyakit DBD dengan berbagai intervensi ini yaitu: Mosquito-Free Equilibrium, Disease-Free Equilibrium (dengan dan tanpa kompartemen vaksin), dan Endemic Equilibrium. Dari model ini akan diperoleh nilai basic reproduction number yang menjadi faktor dimana penyakit ini dikatakan epidemik atau tidak dalam suatu populasi. Melalui kajian analitik dan numerik, diperoleh hasil bahwa penggunaan insektisida, vaksinasi terhadap manusia dewasa, dan pelaksanaan mechanical control merupakan intervensi yang paling signifikan dalam mengurangi penyebaran infeksi penyakit DBD oleh nyamuk, dibandingan dengan penggunaan larvasida, dan vaksin pada bayi baru lahir.

Mathematical model of dengue diseases transmission will be discussed in this undergraduate thesis. Various interventions such as adult and newborn vaccine, the used of insecticide and larvacide treatment, also enforcement of mechanical control will be considered when analyzing the mathematical model. There are 3 types of equilibrium points that will be built upon the dengue model. In this thesis those points are Mosquito-Free Equilibrium, Disease-Free Equilibrium (with and without vaccinated compartment), and Endemic Equilibrium. From this dengue model, basic reproduction number will be obtained as the main value factor whether the disease will become epidemic in a population or not. Based on the analytical and numerical analysis, insecticide treatment, adult vaccine, and enforcement of mechanical control are the most significant interventions when reducing the spread of dengue disease infection that caused by mosquitoes, rather than larvacide treatment and newborn vaccine."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanthi Nareswari
"ABSTRAK
Pada tugas akhir ini dibangun kembali sistem persamaan diferensial penyakit Demam Berdarah Dengue DBD yang ditulis dalam artikel rdquo;Understanding Resistant Effect ofMosquito to Fumigation Strategy in Dengue Control Program rdquo; oleh Aldila dkk pada tahun2017. Sistem persamaan diferensial penyakit DBD tersebut mendeskripsikan penyebaranpenyakit DBD pada suatu wilayah dengan adanya populasi nyamuk resisten. Populasinyamuk resisten adalah populasi nyamuk yang dapat bertahan atau tidak langsungmati saat diberikan intervensi fumigasi. Dari sistem persamaan diferensial tersebutdikembangkan model dengan menambahkan kontrol optimum sehingga intervensifumigasi dapat dilakukan secara maksimum dengan biaya yang minimum. Kemudianditunjukkan bahwa sistem mencapai titik keseimbangan pada Disease Free Equilibrium.Selanjutnya, nilai Basic Reproduction Number dicari untuk mendapatkan nilai kontroloptimum yang dapat mereduksi jumlah individu terinfeksi penyakit DBD. Selain itu, dilakukanjuga interpretasi numerik melalui analisis sensitivitas dan simulasi model autonomous.

ABSTRACT
In this undergraduate thesis, it was rebuilt a system of differential equations of Denguedisease that written in article rdquo Understanding Resistant Effect of Mosquito to Fumigation Strategy in Dengue Control Program rdquo by Aldila et al in 2017. The system of differentialequations of Dengue disease describes the spread of Dengue disease in a region withthe existence of resistant mosquito population. The population of resistant mosquitoes isthe mosquito population that can survive or indirectly die when fumigation interventionwas given. Furthermore, the system was modified by adding optimum control so thatfumigation intervention can be done maximum with minimum cost. It then shows thatthe system reaches the equilibrium point on Disease Free Equilibrium. And then, thevalue of Basic Reproduction Number is searched for an optimum control value that canreduce the number of infected individuals because Dengue disease. Moreover, numericalinterpretation is also be done through sensitivity analysis and simulation of autonomousmodel."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Nawawi
"ABSTRAK
Pada skripsi ini dibahas mengenai model SIR-UV penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan mempertimbangkan faktor bias intervensi rawat inap yang melibatkan kompartemen manusia dan nyamuk, kemudian model disederhanakan dengan menggunakan Quasi-Steady State Approximation (QSSA). Pada model ini didapatkan dua jenis titik keseimbangan, yaitu titik keseimbangan bebas penyakit (Disease-Free Equilibrium) dan titik keseimbangan endemik (Endemic Equilibrium). Dari model matematika ini, dapat diperoleh juga nilai bilangan reproduksi dasar atau basic reproduction number (R0) yang merupakan ambang batas dimana penyakit dikatakan endemik atau tidak dalam populasi. Selain itu, dilakukan juga analisis sensitivitas basic reproduction number (R0), serta simulasi atas model untuk setiap kasus yang menggambarkan perilaku dan kestabilan disekitar titik kesetimbangan. Melalui simulasi, diperoleh hasil bahwa untuk mengurangi penyebaran penyakit DBD tidak dapat hanya dengan menggalakkan program rawat inap terhadap individu manusia terinfeksi, akan tetapi harus juga memperhatikan tingkat higienitas rumah sakit.

ABSTRACT
This undergraduate thesis discussed SIR-UV model of dengue spread considering bias effect caused by hospitalization which involves human and mosquito compartments, and then this model will be simplified by using Quasi-Steady State Approximation (QSSA). In this model, there will be two types of equilibrium points, they are Disease-Free Equilibrium and Endemic Equilibrium. Basic reproduction number (R0) will also be obtained from this model, which is the threshold whether the disease is said to be endemic or not in the population. In addition, sensitivity analysis of the basic reproduction number (R0) is also carried out, as well as simulation of the model for each case that describes the behavior and stability around the equilibrium point. Through the simulation, the results are, to reduce the transmission of dengue disease can not only by promoting inpatient programs for infected human individuals, but we also must pay attention to the level of hospital hygiene."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adeputri Tanesha Idhayu
"Latar Belakang: Infeksi dengue dan demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Namun pada awal awitan demam terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya. Oleh karena itu dibutuhkan modalitas pemeriksaan penunjang yang sederhana untuk membantu diagnosis infeksi dengue dan demam tifoid. C-Reactive Protein (CRP) merupakan alat bantu diagnostik yang terjangkau, cepat dan murah untuk diagnosis penyebab demam akut. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien demam akut dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue atau demam tifoid yang dirawat di IGD atau ruang rawat RSCM, RS Pluit dan RS Metropolitan Medical Center Jakarta dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2013. Kadar CRP yg diteliti adalah CRP yang diperiksa 2-5 hari setelah awitan demam. Data penyerta yang dikumpulkan adalah data demografis, data klinis, pemberian antibiotik selama perawatan, leukosit, trombosit, netrofil, LED dan lama perawatan.
Hasil: Sebanyak 188 subjek diikutsertakan pada penelitian ini, terdiri dari 102 pasien dengue dan 86 pasien demam tifoid. Didapatkan median (RIK) CRP pada infeksi dengue adalah 11,65 (16) mg/L dan pada demam tifoid adalah 53 (75) mg/L. Terdapat perbedaan median CRP yang bermakna antara infeksi dengue dan demam tifoid (p <0,001). Pada titik potong persentil 99%, didapatkan hasil kadar CRP infeksi dengue sebesar 45,91 mg/L dan kadar CRP demam tifoid pada level persentil 1% sebesar 8 mg/L.
Simpulan: Terdapat perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid. Pada titik potong persentil 99%, kadar CRP >45,91 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk demam tifoid, kadar CRP <8 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk infeksi dengue. kadar CRP 8-45,91 mg/L merupakan area abu-abu dalam membedakan diagnosis keduanya.

Background: Dengue infection and typhoid fever are endemic disease in Indonesia. But in the early days of onset sometimes it is difficult to distinguish them. A simple modality test is needed to support the diagnosis. C-Reactive Protein (CRP) is an affordable, fast and relatively less expensive diagnostic tool to diagnose the causes of acute fever. This study was aimed to determine the differences of CRP level in the acute febrile caused by dengue infection or typhoid fever.
Methods: A cross sectional study has been conducted among acute febrile patients with diagnosis of dengue fever/dengue hemorrhagic fever or typhoid fever who admitted to the emergency room or hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Pluit Hospital, and Metropolitan Medical Center Hospital Jakarta between January 2010 and December 2013. Data obtained from medical records. CRP used in this study was examined at 2-5 days after onset of fever. The other collected data were demographic data, clinical data, use of antibiotics, leukocytes, platelets, neutrophils, ESR, and length of stay in hospital.
Results: 188 subjects met the inclusion criteria; 102 patients with dengue and 86 patients with typhoid fever. Median CRP levels in dengue infection was 11.65 (16) mg/L and in typhoid fever was 53 (75) mg/L. There were significant differences in median CRP levels between dengue infection and typhoid fever (p < 0.001). At the 99% percentile cut-off point, CRP levels for dengue infection was 45.91 mg/L and CRP levels for typhoid fever at 1% percentile was 8 mg / L.
Conclusion: There was significantly different levels of CRP in acute fever due to dengue infection and typhoid fever. At the 99% percentile cut-off point, CRP level >45.91 mg/L was diagnostic for typhoid fever, CRP level <8 mg/L was diagnostic for dengue infection. CRP level between 8 to 45.91 mg/L was a gray area for determinating diagnosis of dengue infection and typhoid fever.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Nugraha
"Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu infeksi virus sistemik, yang ditularkan antarmanusia dengan perantaraan nyamuk Aedes. Saat ini, DBD merupakan vector-borne disease dengan tingkat penyebaran tercepat di dunia dan tingkat prevalensi tertinggi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia menempati urutan kedua tertinggi jumlah kasus DBD di antara 30 negara endemis DBD di dunia. Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat berkontribusi sebesar 33% dari total kasus DBD di seluruh Indonesia pada periode 1999-2018, sedangkan Provinsi Bengkulu merupakan peringkat terendah jumlah kasus DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor iklim terhadap jumlah kasus DBD di periode 1999-2018.Penelitian ini menggunakan disain studi ekologi time-trend dengan kriteria inklusi yaitu kabupaten/kota yang di wilayah administrasinya terdapat stasiun pemantau cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan seluruh wilayah administrasinya berada di dalam wilayah radius 15km dari titik lokasi stasiun pemantau cuaca BMKG. Kasus DBD tertinggi Kota Bandung dan Kota Bengkulu terjadi di periode Januari-Februari, sedangkan Kota Administrasi Jakarta Pusat terjadi di periode Maret-April-Mei. Curah hujan tertinggi Kota Bandung dan Kota Bengkulu terjadi di periode November-Desember, sedangkan Kota Administrasi Jakarta Pusat terjadi di periode Januari-Februari-Maret. Suhu udara tertinggi Kota Administrasi Jakarta Pusat dan Kota Bandung terjadi di periode September-Oktober, sedangkan Kota Bengkulu terjadi di periode April-Mei. Kelembaban udara tertinggi Kota Bandung dan Kota Bengkulu terjadi di periode November-Desember, sedangkan Kota Administrasi Jakarta Pusat terjadi di periode Januari-Februari. Terdapat hubungan yang signifikan (nilai-p<0,05) antara curah hujan dengan kasus DBD pada lag 2 bulan di Kota Administrasi Jakarta Pusat (15 tahun), Kota Bandung (13 tahun) dan Kota Bengkulu (3 tahun). Terdapat hubungan yang signifikan (nilai-p<0,05) antara suhu udara dengan kasus DBD pada lag 2 bulan di Kota Administrasi Jakarta Pusat (10 tahun), Kota Bandung (2 tahun) dan Kota Bengkulu (2 tahun). Terdapat hubungan yang signifikan (nilai-p<0,05) antara kelembaban relatif dengan kasus DBD pada lag 2 bulan di Kota Administrasi Jakarta Pusat (13 tahun), Kota Bandung (10 tahun) dan Kota Bengkulu (2 tahun).

Dengue is a systematic viral infection, which is transmitted between humans by the Aedes mosquito. Currently, dengue is the fastest spreading vector-borne disease in the world and the highest prevalence rate di the tropical and subtropical regions. Indonesia ranks the second highest in dengue cases among 30 dengue endemic countries in the world. DKI Jakarta and West Java Provinces contributed approximately 33% of the total dengue cases throughout Indonesia in the 1999-2018 period, while Bengkulu Province ranks the lowest for the number of dengue cases within the same period. This study aims to find the effects of climate factors to the number of dengue case in 1999-2018 period. Time-trend ecologic study design is conducted in this research. The inclusion criteria for the district or city to be selected as sample study, is that the district or city must have at least one weather station within its administrative area, and that the whole administrative area (100%) of the district or city must be within 15 kilometers radius from the location of the weather station. The highest number of dengue case in Bandung City and Bengkulu City occurred in January-February period, while in the Administrative City of Central Jakarta occurred in March-April-May period. The highest rainfall in Bandung City and Bengkulu City occurred in November-December period, while in the Administrative City of Central Jakarta occurred in January-February-March period. The highest temperature in the Administrative City of Central Jakarta and Bandung City occurred in September-October period, while in Bengkulu City occurred in April-May period. The highest relative humidity in Bandung City and Bengkulu City occurred in November-December period, while in the Administrative City of Central Jakarta occurred in January-February period. Rainfall is significantly associated (pvalue<0.05) with the number of dengue case at 2-months lag in the Administrative City of Central Jakarta (15 years), Bandung City (13 years) and Bengkulu City (3 years). Temperature is significantly associated (pvalue<0.05) with the number of dengue case at 2-months lag in the Administrative City of Central Jakarta (10 years), Bandung City (2 years), and Bengkulu City (2 years). Relative humidity is significantly associated (pvalue<0.05) with the number of dengue case at 2-months lag in the Administrative City of Central Jakarta (13 years), Bandung City (10 years), and Bengkulu City (2 years)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Dwi Agustinawati
"Penyakit DBD termasuk penyakit berbasis lingkungan ,jumlah dan penyebarannya kasus cenderung meningkat, seringkali menimbulkan KLB. Tujuan penelitian ini diketahuinya gambaran perilaku masyarakat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN-DBD) di Kecamatan Kuningan Kabupaten Kuningan. Desain penelitian cross sectional yang dilakukan pada 6 desa, 10 kelurahan dengan responden ibu rumah tangga dengan wawancara.
Hasil penelitian diperoleh gambaran perilaku baik dalam PSN-DBD 51,3%, pengetahuan responden tinggi 94%%, sikap responden bersikap positif 61,3%, reponden belum terpapar penyuluhan 57,3%. Variabel yang berhubungan dengan perilaku masyarakat adalah pendidikan (P Value=0,0001), pengetahuan (P Value=0,001), pemeriksaan jentik (P Value=0,001), sarana dan prasarana (P Value=0,001), dan biaya (P Value=0,004). Dan faktor yang paling dominan adalah pendidikan.
Saran : Peningkatan upaya penyuluhan dan pendidikan masyarakat tentang DBD.

DHF including environmentally based disease, the number and distribution of cases is likely to increase, often causing outbreaks. The purpose of this study known picture of people's behavior and the factors related to people's behavior in the mosquito nest eradication of dengue hemorrhagic fever (PSN-DBD) in Kuningan Kuningan District. Cross-sectional design of the study conducted in 6 villages, 10 villages with respondents housewife with interviews.
The results obtained in both the behavioral description PSN-DBD 51.3%, high 94% of respondents knowledge%, positive attitude 61.3% of respondents, the respondents have not been exposed to 57.3% extension. Variables related to the behavior of people is education (P value = 0.0001), knowledge (P value = 0.001), examination of larvae (P value = 0.001), facilities and infrastructure (P value = 0.001), and cost (P Value = 0.004). And the most dominant factor is education.
Suggestion: Increase outreach efforts and public education about dengue.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Widiatmoko
"Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh nyamuk Aedes (Stegomyia). Demam Denggi (Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) terjadi lebih di 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar manusia berisiko terinfeksi, diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun. Di Indonesia kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi setiap tahun. Pada tahun 1998 dan 2004 terjadi KLB yang cukup ekstrim dibeberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 79.480, tahun 2005 dilaporkan 95.000 kasus, dan pada tahun 2006 hingga bulan Nopember tercatat 73.000 kasus. Secara nasional propinsi DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi, diikuti oleh propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan (Kusriastuti,2006).
Perumusan masalah: penyakit DBD yang muncul disuatu daerah dipengaruhi oleh dinamika respons antara kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor dengan variabilitas cuaca musiman
Pertanyaan penelitian: 1.Apakah ada hubungan antara variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD di DKI Jakarta? 2. Apakah ada perbedaan jumlah rata-rata kasus DBD pada daerah dengan kondisi fisik permukiman yang tidak homogen? 3. Berapa ambang batas variabel cuaca yang signifikan terhadap perkembangan Kasus DBD di DKI Jakarta?
Tujuan umum: membuat model peringatan dini DBD untuk wilayah Jakarta Timur dalam bentuk peta tematik potensi kasus demam berdarah dengue.
Tujuan khusus: 1.Mengetahui pola perkembangan kasus DBD di wilayah Jakarta Timur. .Mengetahui variabilitas cuaca musiman di wilayah Jakarta Timur. 3.Mengetahui kondisi pemukiman yang rentan terhadap munculnya DBD. 4. Mengetahui hubungan antara variabel cuaca musiman dengan kejadian kasus DBD. 5.Membuat model peringatan dini DBD berdasarkan variabel cuaca musiman.
Manfaat penelitian: 1.Pengembangan ilmu pengetahuan hubungan variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD, 2. menentukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD, 3. masukan bagi Pemerintah daerah untuk pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD 4. pengembangan kajian ilmu kesehatan lingkungan.
Penelitian di wilayah Jakarta Timur, dengan pertimbangan wilayah ini cukup mewakili variasi keragamaman dalam arah utara-selatan, dan timur-barat. Metode yang dipergunakan adalah deduktif retrospektif (ex post facto), melalui lima tahap kegiatan, yaitu tahap explorasi, uji homogenitas wilayah pemukiman, pemodelan, validasi, dan pemetaan hasil pemodelan.
Hasil penelitian: kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan pergeseran usia penderita beresiko tinggi, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat. Secara klimatologis suhu udara rata-rata berkisar antara 23-31°C, optimum untuk perkembangbiakan dan aktifitas nyamuk, yaitu antara 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Kelembapan relatif udara rata-rata cukup tinggi (>70%) hampir sepanjang tahun. Curah hujan dan hari hujan menunjukkan siklus musiman yang nyata pada periode musim hujan yang berlangsung pada bulan Nopember-April, dan periode musim kemarau yang berlangsung pada bulan Mei-Oktober. Munculnya kasus DBD dapat dijelaskan dengan nilai indeks cuaca musiman (IC_DBD) dengan tingkat akurasi 81%. Nilai ambang batas IC_DBD peringatan dini DBD adalah pada kondisi Potensial (78-104). Nilai IC_DBD, cenderung tinggi pada periode menjelang musim hujan hingga awal musim kemarau (Oktober-Mei) dengan puncaknya terjadi pada bulan Januari. Siklus DBD terjadi pada periode Desember hingga Juli, dengan puncaknya terjadi pada bulan April.
Kesimpulan: 1. kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan adanya pergeseran usia penderita yang beresiko tinggi terhadap DBD, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat; 2. Variasi musiman suhu dan kelembapan udara relatif stabil dan optimum untuk perkembangan nyamuk, kecuali faktor hujan mempunyai siklus yang nyata pada musim kemarau dan penghujan; 3. Rata-rata jumlah kasus DBD pada kondisi permukiman di Jakarta Timur tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%, 4. Variabilitas cuaca musiman dapat dipergunakan sebagai precursor terhadap kasus DBD dengan tingkat akurasi 81% dengan jeda waktu 2 (dua) bulan; 5. Peta potensi DBD mempunyai ambang batas pada kondisi Potensial (78-104) dengan relasi terhadap kasus sebesar 400-599 kasus.
Saran: Model ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah daerah, instansi terkait, peneliti, dan masyarakat luas di daerah endemik DBD sebagai referensi kebijakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD.

Dengue is a disease caused by viruses and transmitted by Aedes mosquito (Stegomyia). Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) occurred in more than 100 countries, more than 2,5 billion people at risk and estimated 50 millions people infected every year. In Indonesia, Unusual Event of Dengue Haemorrhagic Fever cases happen annually. In 1998 and 2004 extreme Unusual Events occurred in some of Indonesian provinces with 79.480 cases, in 2005 with 95.000 cases and in January to November 2006 with 73.000 cases. Nationally, DKI Jakarta is at the first level experienced the epidemic, followed by East Java, West Java, Central Java and South Sulawesi (Kusriastuti, 2006).
Problem formulation: The DHF that occurred at a certain area is specifically influence by the dynamical response between environmental conditions that support vector breeding and seasonal weather variability.
Research question: 1. Is there any corresponds between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta? 2. Is there any differences in the number of Dengue Haemorrhagic Fever occurrences over non homogeny settlement area ? 3. How much is the threshold of weather variables significance with the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta?
General purpose: creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model of East Jakarta area by creating thematic maps of Dengue Haemorrhagic Fever potency.
Special purposes: 1. Understanding the growth pattern of Dengue Haemorrhagic Fever in East Jakarta. 2. Understanding seasonal weather variability of East Jakarta. 3. Understanding the mean number of DHF case that occurred at non homogeny settlement condition, 4. Understanding corresponds between seasonal weather variables and Dengue Haemorrhagic Fever cases. 5. Creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model based on the seasonal weather variables.
Benefits: 1. Developing the study on the correlation between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever cases. 2. Determining prevention and control methods of Dengue Haemorrhagic Fever disease. 3. Giving input for local governments to prevent and control the Dengue Haemorrhagic Fever 4. Developing study on the environment health. Study at East Jakarta area is considering that the area is represents enough for East-West and South-North variability variation. Deductive retrospective (ex post facto) method is used, divided into five stages including exploration, homogeneity test of settlement area, modeling, validation and model mapping.
Results: Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased in quantity. Climatologically, the average temperature is at 23-31°C, optimum for mosquito?s activity and growth at about 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Average relative humidity is high enough (>70%) almost at the whole year. Precipitation rate and rain days amount clearly shows seasonal cycle at the rainy season period at November to April and dry season period at May to October. The emerging of Dengue Haemorrhagic Fever cases could be explained by seasonal weather index value (IC_DBD) which accuracy reaches 81%. Threshold value of IC_DBD for issuing early warning is at the potential condition (78-104). IC_DBD value is relatively high at the formerly rainy season to the formerly dry season (October to May) and reaches its top value at January. Dengue Haemorrhagic Fever cycle occur at December to July and peak at April.
Conclusions: 1. Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased; 2. Seasonal variation of temperature and humidity are relatively stable and optimum for the growth of the mosquito, with exception of clear rain factor at the rainy and dry season; 3. There is no significance differences in the mean number of occurrences of DHF cases at 95% significant level degree ; 4. Possibility of the seasonal weather variability as a precursor for Dengue Haemorrhagic Fever cases with accuracy reached 81% with 2 (two) months break; 5. Threshold for the Dengue Haemorrhagic Fever thematic maps is at the potential condition (78-104) corresponds with 400-599 Dengue Haemorrhagic Fever cases.
Suggestions: This model possible to be utilized and further developed by local governments, related institutions, scientist and society at the endemic area of Dengue Haemorrhagic Fever as a reference for prevention and control policy for the fever."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25027
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afiyatul Mardiyah
"Pendahuluan: Infeksi virus dengue merupakan infeksi yang paling banyak terjadi di Indonesia. Terapi infeksi dengue umumnya bersifat suportif berupa terapi cairan dan simptomatik. Berdasarkan penelitian sebelumnya, quercetin diketahui memiliki potensi sebagai antiviral dengue. Namun, mekanisme penghambatannya belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menilai persentase hambatan quercetin pada mekanisme penghambatan reseptor dan penempelan virus dengue serotipe 2 (DENV-2), persentase viabilitas sel terhadap quercetin, serta ikatan energi antara quercetin dengan protein E pada DENV secara in silico. Metode: Senyawa diuji secara in vitro terhadap DENV-2 menggunakan sel Vero. Dilakukan dua jenis pengujian, yaitu uji penghambatan reseptor dan penempelan virus melalui uji fokus dan uji viabilitas sel melalui uji MTT. Konsentrasi quercetin yang digunakan sebagai uji adalah sebesar 2 kali IC50 (36,81 µg/ml). Pengujian hambatan secara in silico dengan menggunakan software Autodock Tools - 1.5.6. Hasil: Nilai persentase penghambatan pada reseptor dan penempelan DENV dengan quercetin adalah 23,53% dan 45%. Persentase viabilitas sel vero terhadap quercetin pada penghambatan tahap pra-infeksi adalah 109,82%. Interaksi antara quercetin dan protein E DENV memiliki nilai ikatan energi dan konstanta inhibisi pada konformasi terbaik sebesar -4,89 kkal/mol dan 0,26 mM. Kesimpulan: Quercetin berpotensi sebagai antiviral dengue melalui mekanisme penghambatan pada tahap pra-infeksi, terutama penghambatan penempelan virus

Introduction: Viral dengue infection is the most common infection in Indonesi. Nowadays, management of DHF is only supportive care, i.e, fluid and symptomatic therapy. Based on previous research, quercetin has potency as antiviral dengue, but the mechanism is still unknown. Thus, the purpose of this research is to evaluate the percentage of reseptor inhibition and dengue serotype 2 virus (DENV-2) attachments inhibition with quercetin, cell viability percentage against quercetin, and energy bond between quercetin and protein E DENV in silico. Method: The compound was tested in vitro against DENV-2 using Vero Cells. There were 2 type of tests, receptor and DENV attachment inhibitory test using focus assay and viability test using MTT assay. The quercetin concentration was 2 times IC50 (36,81µg/ml). In silico study was conducted using Autodock Tools – 1.5.6. Results: Inbitory percentage of reseptor and DENV attachment with quercetin were 23,53% and 45%. Vero cell viability against quercetin in pre-infection step was 109,82%. Energy bond and inhibition constanta between quercetin and protein E DENV were -4,89 kkal/mol and 0,26 mM. Conclusion: This study shows that quercetin has potency as antiviral dengue through DENV attachment inhibition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>