Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156594 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ruswhandi Martamala
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2001
T59065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhiyatam Mardhiyah
"Latar belakang: Pada saat puasa Ramadhan, terjadi penurunan rerata pH lambung dan memendeknya selisih waktu antara makan terakhir dan jam tidur sehingga memperberat keluhan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease, disingkat GERD). Sementara itu juga terjadi keteraturan jadwal makan, dan perubahan dalam kebiasaan merokok dan alkohol. Meski demikian, belum diketahui dengan pasti keluhan penyakit GERD selama berpuasa Ramadhan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadhan terhadap keluhan GERD.
Metode: Penelitian ini merupakan studi longitudinal yang mengevaluasi keluhan GERD pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan. Penelitian dilakukan selama bulan Juli (Ramadhan) sampai bulan Oktober (tiga bulan setelah Ramadhan) 2015. Subjek penelitian yang didapatkan melalui metode consecutive sampling ini dikelompokkan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66) dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada kelompok berpuasa, dengan menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Hasil: Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan, terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang bermakna secara statistik (nilai p < 0,01) antara bulan Ramadhan dengan nilai median 0, dan di luar bulan Ramadhan dengan nilai median yang meningkat menjadi 4. Sementara itu, bila dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang berpuasa Ramadhan dan tidak, juga didapatkan perbedaan yang bermakna (nilai p < 0,01).
Simpulan: Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.

Background: During Ramadan fasting, increasing gastric acid levels as a result of prolong fasting can precipitate symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Meanwhile, lifestyle changes during Ramadan (such as smoking cessation) can relieve its symptoms. To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate effect of Ramadan fasting on GERD.
Objective: The purpose of this study was to determine the effect of Ramadan fasting on GERD symptoms.
Method: This is a longitudinal study done in July (Ramadan) to October (three months after Ramadan) 2015. Using consecutive sampling method, a total of 130 GERD patients participated in this study. Patients were divided into two groups: patients who underwent Ramadan fasting (n=66), and patients who didn?t undergo fasting (n=64). The evaluation was done using Indonesian version of GERD questionnaire (GERD-Q) between the two groups, and between Ramadan month and non-Ramadan month of Ramadan fasting group.
Results: In Ramadan fasting group, there was a statistically significant difference (p < 0.01) in median of GERD-Q during Ramadan month and non-Ramadan month (median GERD-Q 0 and 4 respectively). Statistically significant difference (p < 0.01) was also found between Ramadan fasting group and non-fasting group.
Conclusion: In Ramadan fasting group, GERD symptoms were lighter during fasting month (Ramadan). During Ramadan month, GERD symptoms were also lighter in Ramadan fasting group than in non-fasting group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Syaifuddin
"Latar belakang: Insidens pasien anak dengan kecurigaan refluks gastresofageal cukup tinggi. Distribusi alat skintigrafi di Indonesia lebih banyak dari alat pH metri, oleh karena itu kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan hasil pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal dengan monitoring pH 24 jam dalam mendeteksi refluk gastroesofageal dan hubungannya dengan aspirasi para.
Metode dan material: dalam kurun waktu september 2003 - februari 2004 dilakukan pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal, skintigrafi aspirasi pare menggunakan radiofar maka 99D1Tc Sulfur Koloid dan monitoring pH 24 jam pada 9 anak dengan kecurigaan klinis penyakit refluks gastroesofageal.
Hasil Fenelitian: dari 9 anak yang diperiksa didapatkan 7 anak dengan hasil positif pada skintigrafi refluks dan 3 anak dengan hasil positif monitoring pH 24 jam, sehingga didapatkan sensitifitas 100% dan spesifisitas 33,33% tidak didapatkan hasil positif pada hasil skintigrafi aspirasi para.
Kesimpulan: monitoring pH 24 jam adalah baku emas dalam mendeteksi penyakit refluks gastroesofageal, tapi dalam keadaan tertentu dimana monitoring pH 24 jam sulit dilakukan maka skintigrafi refluks gasroesofageal dapat dipakai sebagai alternatif pemeriksaan.

Background: Gastroesopliageal refluks (GER) disease in children is quite high. But distribution of pH metri apparatus is not widely distributed than nuclear scintigraphy, therefore we perform this study to compare nuclear scintigraphy examination with 24 hours pH monitoring and the relationship with pulmonary aspiration in children.
Method and materials: Between September 2003 until February 2004 we performed GER and pulmonary aspiration nuclear scintigraphy with 9 Tc sulfur coloid and 24 hours pH monitoring in 9 patient with clinical suspicious of GER.
Result: From 9 patients, there are 7 patients have positive diagnosis on refluks scintigraphy and 3 patients positive on 24 hours pH monitoring. Sensitivity is 100% and spesificity is 33,33% respectively. No positive result on aspiration scintigraphy.
Conclusion: 24 hours pH monitoring is a golden standard to detect GER disease, but in a few case where this examination difficult to performed, GER nuclear scintigraphy is an alternative examination that should be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T20864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiya Farah Khalisha
"Latar belakang: Prevalensi PRGE makin meningkat di Indonesia. Diagnosisnya sendiri masih sulit karena biasa dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis yang sifatnya terlalu umum. Selain itu data mengenai gejala klinis PRGE anak di Indonesia masih minim, padahal akibat dari PRGE pada anak cukup mengganggu proses tumbuh kembangnya.
Tujuan: Untuk mengetahui gejala klinis apa saja yang sering dan memiliki hubungan bermakna dengan usia dan status gizi pada anak dengan PRGE yang dilakukan endoskopi saluran cerna atas di Departemen IKA RSCM-FKUI.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk membandingkan prevalensi gejala klinis PRGE pada anak dan kaitannya dengan usia dan status gizi. Penelitian ini menganalisa 76 anak dengan diagnosis klinis PRGE yang dilakukan esofagogastroduodenoskopi, berusia 2-18 tahun, dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Data dianalisa dari rekam medis tahun 2011-2015.
Hasil: Anak dengan PRGE paling banyak berjenis kelamin laki-laki (53.9%), berusia sekolah (69.8%), dan berstatus gizi buruk/kurang (40.8%). Secara umum gejala klinis yang paling sering muncul pada anak dengan PRGE adalah muntah (76.3%), nyeri perut (72.4%), mual (63.2%), dan nyeri dada atau heartburn (51.3%). Terdapat hubungan bermakna antara kelompok usia dan gejala klinis berupa nyeri dada atau heartburn (p=0.04) yang lebih sering pada usia sekolah. Kelompok balita secara bermakna mengalami menolak makan (p=<0.0001), nafsu makan berkurang (p=0.002), dan gejala pernapasan (p=0.001). Gejala klinis PRGE berupa nyeri dada atau heartburn (p=0.011) secara bermakna lebih sering terjadi pada gizi lebih/obesitas; dan berat badan menurun lebih sering terjadi pada gizi kurang/buruk (p=0.044).
Kesimpulan: Anak dengan PRGE lebih sering terjadi pada usia sekolah dan memiliki gizi buruk/kurang. Terdapat hubungan bermakna antara gejala klinis PRGE pada anak dengan kelompok usia maupun status nutrisi.

Background: The prevalence of GERD tends to increase in Indonesia. Establishing the diagnosis itself is sometimes not easy since it is usually based only on clinical manifestations which are not specified to GERD only. Information about clinical manifestations of GERD in Indonesia children is still limited.
Objectives: To evaluate which clinical manifestations are frequent and have significant relation with age and nutritional status in Indonesian children with GERD who underwent upper-gastrointestinal endoscopy procedure in the Child Health Department of Cipto Mangunkusumo Hospital - Faculty of Medicine of Universitas Indonesia (RSCM-FKUI).
Methods: Cross-sectional design was used to compare the prevalence of clinical manifestations in children and their relationship with age and nutritional status. This study analyzed 76 children with GERD who underwent esophagogastroduodenos-copy procedure, aged from 2-to-18-years old, and fit the inclusion and exclusion criteria. The data analysed from medical record during the year of 2011-2015.
Results: Children with GERD were mostly male (53%), at school aged (69.8%), and had mild/moderate/severe undernutrition (40.8%). This study revealed that the most frequent clinical manifestations in children with GERD are vomiting (76.3%), stomachache (72.4%), nausea (63.2%), and chestpain or heartburn (51.3%). There was significant different between age groups and clinical manifestations of GERD symptoms such as chestpain or heartburn (p=0.04) which was more frequent in school-aged group. The under-five aged group was significantly had more feeding refusal (p=<0.0001), decreased appetite (p=0.002), and respiratory symptoms (p=0.001) compare to that of school-aged group. The GERD symptoms of chestpain or heartburn was statistically significant more frequent (p=0.011) in over-nutrition/obesity group; whereas losing weight was significantly more frequent (p=0.044) in mild/moderate/severe undernourished group.
Conclusion: Children with GERD are mostly in school-age group and had mild/moderate/severe undernutrition. There was statistically significant different of GERD symptoms between age groups and nutritional status groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartiwa Hadi Nuryanto
"Tujuan
Mengetahui berapa besar hubungan (sensitivitas dan spesifisitas) antara keluhan dan temuan objektif, baik secara klinis dan sitologi vagina, pada wanita pasca menopause dengan vaginitis atrofi.
Tempat
Poliklinik ginekologi, laboratorium sitologi dan subbagian sitopatologi bagian obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.
Bahan Dan Cara Kerja
Wanita pasca menopause yang datang ke poliklinik ginekologi diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini. Anamnesis dilakukan sesuai dengan lampiran 1 (status penelitian), dilanjutkan sesuai dengan lampiran II (panduan pertanyaan untuk mengetahui adanya keluhan vaginitis atrofi) dan pemeriksaan klinis vagina sesuai dengan lampiran III ( panduan pertanyaan untuk mengetahui adanya gejala klinis vaginitis atrofi ). Kemudian dilakukan pemeriksaan pH vagina dengan menggunakan kertas lakmus dan pengambilan apusan vagina ( diwarnai dengan pewarnaam Papaniculaou ) untuk penilaian maturasi set. Pengukuran maturasi set selain oleh peneliti, dilakukan juga oleh seorang ahli sebagai konfirrnasi untuk menjaga objektifitas pengukuran. Bila dari penilaian indeks maturasi didapatkan efek estrogen rendah, maka sampel dinyatakan sebagai vaginitis atrofi dan akan dianalisis selanjutnya.
Hasil
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2005 sampai dengan Desember 2005 di poliklinik ginekologi, laboratorium sitologi dan subbagian sitopatologi bagian obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta. Didapatkan 38 sampel yang sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Didapatkan bahwa usia peserta penelitian berkisar antara 46 - 64 tahun, dengan rerata usia 55,07 ± 5,67 tahun, dengan usia menopause peserta penelitian berkisar antara 42 - 57 tahun, dengan rerata usia 49,5 ± 4,73 tahun dengan lama menopause peserta penelitian berkisar antara 1 - 18 tahun, dengan rerata lama menopause 7,42 ± 5,41 tahun. Dari ke 5 keluhan yang ditanyakan pads peserta penelitian, hal yang terbanyak dikeluhkan adalah rasa keying ( n=4, 10.5% ), diikuti oleh dispareunia ( n=3, 7.9%) dan keputihan (n=3, 7.9% ). Sedangkan iritasi dan rasa menekan tidak dikeluhkan. Keadaan vagina yang atrofi ditegakkan berdasarkan dari hasil temuan obyektif berapa sekresi vagina yang berkurang (n=4, 10.5% ), integritas epitel vagina yang berkurang ( n=3, 7.9% ), ketebalan epitel vagina yang berkurang ( n=3, 7.9% ), warna vagina yang pucat ( nom, 10.5% ), dan pH vagina yang basa ( n=31, 81.6% ). Berdasarkan dari temuan-temuan tersebut, pH vagina merupakan temuan obyektif yang paling banyak dibandingkan yang lainnya. Dari temuan-temuan obyektif tersebut, kecuali pH vagina, vaginitis atrofi tidak banyak ditemukan pada peserta penelitian. Dari 38 sampel hanya terdapat 24 sampel yang secara sitologi didiagnasis sebagai vaginitis atrofi ( pemeriksaan sitologi sebagai baku emasnya ). Dari basil uji diagnostik hubungan antara keluhan rasa kering dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 16,6% dan nilai spesifisitas sebesar O. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara keluhan dispareuni dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 12,5% dan nilai spesifisitas sebesar O. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara keluhan keputihan dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 4,2% dan nilai spesifisitas sebesar 14,2%. Dari hasil uji diagnostik hubungan antara temuan objektif pH vagina yang basa dan vaginitis atrofi dengan n=24 sampel, didapatkan nilai sensitivitas sebesar 100% dan nilai spesifisitas sebesar 50%.
Kesimpulan
Keluhan rasa kering mempunyai nilai sensitivitas sebesar 16,6% dan nilai spesifisitas sebesar O. Keluhan dispareunia mempunyai nilai sensitivitas sebesar 12,5% dan nilai spesifisitas sebesar O. Keluhan keputihan mempunyai nilai sensitivitas sebesar 4,2% dan nilai spesifisitas sebesar 14,2%. Temuan objektif pH vagina yang basa dan vaginitis atrofi mempunyai nilai sensitivitas sebesar 100% dan nilai spesifisitas sebesar 50%.

Objective
To know the relation ( sensitivity and specificity) between symptoms and signs, clinically and by vaginal cytology, of atrophic vagina in post menopausal women.
Venue
Gynecology policlinic, cytology laboratory and cytopathology subdivision of obstetrics and gynecology department, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods and Materials
Post menopausal women who came to the gynaecology policlinic were asked to participate in this study. Anamnesis was performed according to attachment I ( study record ) and followed with attachment II ( questions to elicit the symptoms ) and clinical examimnation according to attachment liI ( questions to elicit the signs ). Vaginal acidity examination and vaginal smear to measure cell maturation ( stained with Papaniculaou) were then performed. Cell maturation was measuerd by the researcher and also by an expert to keep the objectivity of the measurement. If the maturation index showed low-estrogen effect, then sample was diagnosed as atrophic vaginitis and be analyzed afterwards.
Results
The study was performed from January 2005 until December 2005 at the gynecology policlinic, cytology laboratory and cytopathology subdivision of obstetrics and gynecology department, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. There were 38 samples that met the inclusion and exclusion criteria?s. The age of the participants were between 46 - 64 years old, with mean age was 55,07 ± 5,67 years. The age of menopause was between 42 - 57 years old, with mean age was 49,5 ± 4,73 years. The length of menopause was between 1 - 18 years, with mean time was 7,42 ± 5,41 years. Out of 5 symptoms asked, dryness was the most complained ( nom, 10.5% ), followed with dyspareunia (n=3, 7.9%) and vaginal discharge ( n=3, 7.9% ). Sense of irritation and throbbing was not complained. Atrophic vaginitis was clinically diagnosed by decreased vaginal secretion ( n=4, 10.5% ), decreased epithelial integrity ( n=3, 7.9% ), pale vaginal surface ( n=4, 10.5%) and alkaline vaginal acidity result ( n=31, 81.6% ). Vaginal acidity was found the most. Out of all the clinical findings, vaginitis atrophic was only found on samples with alkaline vaginal acidity. Out of 38 samples, there were 24 samples which were cytologically diagnosed as atrophic vaginitis. The diagnostic test between dryness and atrophic vaginitis ( n=24 ) revealed that the sensitivity was 16,6% and the specificity was O. The diagnostic test between dyspareuni and atrophic vagina ( n=24 ) revealed that the sensitivity was 4,2% and the specificity was 14,2%. The diagnostic test between alkaline vaginal acidity and atrophic vaginitis ( n=24) revealed that the sensitivity was 100% and the specificity was 50%.
Conclusion
The sensitivity of dryness is 16,6% and the specificity od dryness is 0. The sensitivity of dyspareuni is 12,5% and the specificity andd dyspareuni is 0. The sensitivity of vaginal discharge is 4,2% and the specificity is 14,2%. The sensitivity of alkaline vaginal acidity is 100% and the specificity of alkaline vaginal acidity is 50%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiana Tanurahardja
"Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) masih merupakan masalah kesehatan yang serius, karena infeksi ini dihubungkan dengan serangkaian kelainan gastrointestinal seperti gastritis kronik, ulkus ventrikulus, ulkus duodenum, karsinoma gaster, hiperplasia folikel limfoid dan limfoma malignum (maltoma). Prevalensi H. pylori pada gastritis kronik dengan ulkus bervariasi antara 40% - 90% (1), sedangkan pada gastritis kronik tanpa ulkus antara 30% - 60% (2). Walaupun prevalensi cukup tinggi, tetapi terdapat kelompok yang menderita infeksi H. pylori tanpa menunjukkan gejala klinik yang bermakna (3,4).
Mekanisme terjadinya kerusakan epitel mukosa lambung pada infeksi H. pylori masih diperdebatkan oleh para ahli apakah oleh efek langsung H. pylori terhadap sel epitel mukosa larnbung atau oleh reaksi inflamasi yang ditimbulkan, Chan (5) dan Hui (6) berpendapat bahwa kerusakan mukosa lambung merupakan akibat langsung dari H. pylori, dan tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi, Genta (7,8) menemukan bahwa jumlah folikel limfoid dan limfosit pada lamina propria berhubungan dengan kerusakan epitel., sedangkan sebukan sel radang akut dan normalisasi epitel permukaan sejalan dengan densitas H. pylori.
Hubungan antara atrofi kelenjar, metaplasia intestinalis dan kerusakan epitel permukaan lambung belum banyak dibicarakan, tetapi ada pendapat (9) bahwa: atrofi mukosa gaster ialah hilangnya jaringan kelenjar, sehingga menyebabkan tipisnya mukosa dan menyebabkan kerusakan keras mukosa. Hilangnya jaringan kelenjar ini dapat karena proses inflamasi yang lama dan digantikan oleh fibrosis. Pergantian epitel antrum dengan epitel intestinal disebut metaplasia intestinal yang menimbulkan kesan adanya atrofi kelenjar secara mikroskopik, walaupun metaplasia sebenarnya adalah proses yang berdiri sandhi.
Atrofi mukosa oxyntic berhubungan dengan hilangnya sekresi asam lambung dan terjadinya metaplasia intestinal. Atrofi keras mukosa antrum biasanya dihubungkan dengan metaplasia intestinal dan meninggikan resiko terjadinya keganasan. Atrofi dapat juga ditemukan tanpa adanya metaplasia intestinal terutama pada gastritis autoimun. Penilaian derajat infeksi H. pylori dan perubahan patologi mukosa lambung yang meliputi sebukan sel radang mendadak dan menahun, metaplasia intestinal dan atrofi kelenjar pada sediaan biopsi lambung dapat juga untuk memprediksi prognosis gastritis kronik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Okatiranti
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pegagan pada ketahanan mukosa Iambung (gastroprotektif) tikus yang mengalami stres immobilisasi baik secara makroskopik dengan parameter luas ulkus dan skor perdarahan dan secara mikroskopik parameter edema, infiltrasi leukosit, dan nekrosis jaringan Iambung tikus.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo,
dilakukan dengan 5 kelompok perlakuan dengan 6 ulangan. Kelompok I adalah kelompok kontrol diet normal, kelompok Il kelompok kontrol diet normal dicampur pegagan 1 gr/kg bb hari, kelompok Ill adalah kelompok kontrol tikus yang mengalami stres immobilisasi tanpa
pemberian pegagan sebelumnya, Kelompok IV dan V adalah kelompok yang sebelumnya mendapat diet pegagan selama 3 hari sebelum stres immobilisasi dengan konsentrasi pegagan 0,5 gr/kg bb hari dan 1,0 gr/kg bb hari.
Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa Iuas ulkus dan skoring, perdarahan kelompok I, Il, III, terdapat perbedaan yang bemakna dan dibuktikan secara mikroskopik untuk parameter edema, infilrasi leukosit dan nekrosis juga rerdapat perbedaan yang bermakna. Sedangkan untuk kelompok III, IV dan V secara makroskopik Iuas ulkus
dan skoring perdarahan tidak ada perbedaan yang bermakna dan dibuktikan dengan pengamatan parameter inflamasi, (edema, infiltrasi leukosit dan nekrosis) juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Stres immobilisasi dapat menyebabkan ulkus lambung, sedangkan pada
penelitian ini terlihat bahwa efek gastroprotektif pegagan pada kondisi stres immobilisasi menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna walaupun ada penurunan dari parameter luas ulkus, skoring perdarahan dan parameter proses inflamasi dibandingkan dengan kontrol."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>