Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126924 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Nindiana Pertiwi
"Deteksi progresi glaukoma penting untuk menentukan efektivitas terapi, dan inisiasi atau eskalasi terapi glaukoma sering kali bergantung pada penilaian progresi. Meskipun demikian, tingkat kesepakatan (agreement) di antara para ahli dalam mengidentifikasi progresi glaukoma bervariasi antar penelitian. Penelitian ini membandingkan agreement dan waktu interpretasi progresivitas glaukoma oleh dokter spesialis mata menggunakan dua metode: perangkat lunak FORUM® dan printouts hasil pemeriksaan OCT dan Humphrey. Sebanyak 36 sample cases yang masing-masing terdiri dari minimal 3 laporan OCT dan 5 laporan Humphrey dinilai oleh 12 dokter spesialis mata non-glaukoma (observers). Agreement terhadap status progresi glaukoma antara observers dan konsensus spesialis glaukoma dan dinyatakan dalam nilai Kappa. Waktu interpretasi merupakan total waktu yang dibutuhkan oleh observers untuk menilai progresivitas glaukoma pada seluruh kasus (n=36). Tingkat agreement terhadap status progresi glaukoma ketika menggunakan FORUM® dan ketika menggunakan metode konvensional (printouts) sama baik, dengan nilai Kappa rata-rata 0,62±0,16 vs. 0,63±0,22 (p=0,928). Metode FORUM® memiliki waktu interpretasi rata-rata yang lebih singkat dibandingkan dengan metode printouts, namun tidak bermakna secara statistik (29,1±9,5 vs. 38,8±13,6 menit, p=0,055). Studi ini menunjukkan bahwa penilaian progresi glaukoma menggunakan perangkat lunak FORUM® Glaucoma Workplace tidak memiliki keunggulan dibandingkan metode printouts dalam hal agreement terhadap status progresi dan waktu interpretasi.

Detecting glaucoma progression is crucial for determining whether current therapy is effective, and the initiation or escalation of glaucoma therapy often depends on progression status. However, the level of agreement among experts in identifying glaucoma progression varies across studies. This study aims to compare the agreement and interpretation time of glaucoma progression assessment using two methods: the FORUM® software and printouts of OCT and Humphrey reports, as assessed by ophthalmologists. A total of 36 sample cases comprising minimum 3 OCT and 5 Humphrey reports were assessed by 12 ophthalmologists. Agreement on glaucoma progression between observers and standard reference was presented as Kappa value. Interpretation time was defined as the total time required by observers to assess glaucoma progression across all sample cases (n=36). The level of agreement on progression status between the observers when they used FORUM® and conventional (printouts) method were both good, with mean Kappa value 0.62±0.16 vs. 0.63±0.22 respectively (p=0.928). The FORUM® method had a shorter mean interpretation time compared to printouts method, but not statistically significant (29.1±9.5 vs. 38.8±13.6 minutes, p=0.055). This study showed that the assessment of glaucoma progression using FORUM® Glaucoma Workplace software has no superiority to printouts method in terms of agreement on progression status and interpretation time."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merlin Wijaya
"Penyakit glaukoma ditandai dengan hilangnya serabut saraf optik dan astrosit. Kehilangan ini dapat diperiksa dengan mengukur ketebalan neuro-retinal rim dan ukuran optic cup sehubungan dengan optic disc. Namun, penentuan glaukoma masih membutuhkan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter mata. Beberapa metodologi otomatis berdasarkan transfer learning deep convolutional neural network untuk klasifikasi glaukoma telah dikembangkan. Untuk meningkatkan akurasi dari penelitian sebelumnya, digunakan metode transfer learning dari metode klasifikasi skin cancer. Arsitektur Inception-v3 dan ResNet50 serta pengklasifikasi serial dari kedua arsitektur tersebut dikembangkan untuk klasifikasi glaukoma otomatis menggunakan citra fundus. Selain arsitektur, variasi splitting dataset dengan metode train-test-split validation serta k-fold cross validation dibandingkan untuk mendapatkan nilai akurasi tertinggi. Berdasarkan hasil penelitian, model terbaik yang didapatkan berupa Inception-v3 dengan metode validasi train-valid-test rasio 80:20 dengan akurasi 95%, presisi 96%, sensitivitas 95%, dan skor-f1 95%. Pembagian 80:20 dipilih karena cocok dengan ukuran dataset yang digunakan. Performa model ini lebih baik dari metode yang telah ada sebelumnya, yaitu Xception dengan peningkatan akurasi sebanyak 2%.

Glaucoma is characterized by loss of optic nerve fibers and astrocytes. This loss can be checked by measuring the thickness of the neuro-retinal rim and the size of the optic cup in relation to the optic disc. However, the determination of glaucoma still requires a complete eye examination by an ophthalmologist. Several automated methodologies based on transfer learning deep convolutional neural networks for glaucoma classification have been developed. To increase the accuracy of previous research, transfer learning method is used from the skin cancer classification method. The Inception-v3 and ResNet50 architectures also the serial classifiers of the two architectures were developed for automatic glaucoma classification using fundus images. In addition to the architecture, variations of splitting datasets using the train-test-split validation method and k-fold cross validation were compared to get the highest accuracy value. Based on the results of the study, the best model obtained was Inception-v3 with a train-valid-test ratio validation method of 80:20 with 95% accuracy, 96% precision, 95% sensitivity, and 95% f1-score. The 80:20 division was chosen because it matches the size of the dataset used. The performance of this model is better than the previous method, namely Xception with an increase in accuracy of 2%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ireska Tsaniya Afifa
"Stroke adalah salah satu penyebab kematian tersering di dunia. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Penyakit ini dapat menyebabkan sekuel jangka panjang penurunan fungsi otak. Terapi farmakologi untuk mengembalikan fungsi tersebut masih cukup mahal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek neuroterapi kombinasi ekstrak akar kucing (Acalypha indica L./AI) dan pegagan (Centella asiatica L./CA) sebagai alternatif terapi pascastroke yang terjangkau. Penelitian ini merupakan studi eksperimental yang dilaksanakan sejak Oktober 2010. Perlakuan diberikan pada 15 tikus galur Sprague dawley yang dikondisikan hipoksia (10% O2 dan 90% N2) selama satu minggu. Pascahipoksia, tikus diberikan perlakuan uji (kombinasi ekstrak air AI 250 mg/kgBB dan CA 150 mg/kgBB), kontrol positif (citicoline), dan kontrol negatif (akuades). Otak tikus diambil, dipotong melintang melalui girus dentatus internus, dan diperiksa dengan mikroskop cahaya. Sel granular girus dentatus internus dihitung jumlahnya sesuai dengan kelompok morfologi: normal (N), kondensasi (K), dan piknotik (P). Data dianalisis menggunakan tes parametrik one way ANOVA. Didapatkan rata-rata jumlah sel granular pada tiap perlakuan: (1) ekstrak uji (N=14, K=270,75, P=15,5), (2) kontrol positif (N=14, K=261,6, P=24,2), dan (3) kontrol negatif (N=19, K=247,8, P=33). Pada uji ANOVA didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti jumlah rata-rata sel tiap kelompok morfologi pada tikus yang diberi perlakuan uji tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif maupun negatif. Maka, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat efek terapi sinergis kombinasi ekstrak air Acalypha indica L. dan Centella asiatica L. terhadap perbaikan sel granular girus dentatus internus tikus.

Stroke is one of the leading causes of death, mainly result from either ischemia or cerebral hemorrhage. Brain damage caused by stroke may result in long-term sequalae, yet pharmacological therapy to reverse that damage is still expensive. This study aims to determine the synergic effect of combined extract of Acalypha indica L. dan Centella asiatica L. as an affordable alternative for post-stroke therapy. This study is an experimental based study conducted since October 2010. Fifteen rats were placed inside a chamber of 10% O 2 and 90% N 2 for seven days. Post-hypoxia, the rats were given three different treatments: AI water extract 250 mg/kgBB and CA 150 mg/kgBB, positive control (citicoline), and negative control (aquadest). Then, the brain was extracted, cut through the internal dentate gyrus, and examined under light microscope. Granular cells of internal dentate gyrus were counted according to their morphology groups: normal (N), condensated (C), and pycnotic (P). The mean values for each morphology group were obtained: (1) extract (N=14, C=270.75, P=15.5), (2) positive control: (N=14, C=261.6, P=24.2) and (3) negative control (N=19, C=247.8, P=33). Data were analyzed using one-way ANOVA parametric test. The test obtained p value > 0.05, meaning there was no significant difference between the extract group and the control groups. Thus, it can be concluded that there is no synergic neurotherapy effect between the extracts of Acalypha indica L. and Centella asiatica L. on the repairment of rats granular cells of internal dentate gyrus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valentino
"ABSTRAK
Glaukoma merupakan penyakit multifaktorial dan penyebab kematian terbesar kedua di dunia. Riskesdas 2007, menyatakan sekitar 4.6 penduduk Indonesia menderita glaukoma. Baku emas penegakkan diagnosis glaukoma menggunakan nilai rerata RNFL. Tujuan penelitian ini untuk melihat korelasi nilai rim area dengan rerata RNFL sebagai alat diagnostik glaukoma primer sudut terbuka. Penelitian ini menggunakan metode studi potong-lintang dengan jumlah sampel sebanyak 55 subjek yang diambil dari total data rekam medis bulan februari 2015 hingga juni 2016. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar pasien glaukoma primer sudut terbuka berusia >58 tahun 56.4 , laki-laki 61.8 , cup-disk rasio >0.7 63.6 , nilai rerata RNFL 60.76 19.86 ?m, dan nilai rim area 0.73 0.56 mm2. Hasil uji korelasi pearson antara Rim area dengan rerata RNFL didapatkan nilai r 0,734 dan nilai p< 0,05 yang menyatakan kedua variabel memiliki korelasi kuat dan secara statistik bermakna. Pengukuran menggunakan ROC curve didapatkan nilai cut-off rim area sebasar 1.049 dengan nilai sensitivitas 81.8 dan spesifisitas 95.5 . Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai Rim area memiliki korelasi dengan nilai rerata RNFL dan dapat digunakan sebagai alat diagnostik glaukoma primer sudut terbuka.

ABSTRAK
Glaucoma is a multifactorial disease and the second biggest cause of death in the world. Riskesdas 2007 report rsquo s stated around 4.6 population in Indonesia was diagnosed with glaucoma. The gold standard in diagnosing glaucoma is using the average RNFL.The purpose of this research is finding the correlation of rim area with average of RNFL as a diagnostic tools for primary open angle glaucoma. The method used in this research is a cross sectional study, the samples of which use 55 patient medical records from 2015 February until 2016 June. The result consist of the data that most of the patient with primary open angle glaucoma are older than 58 years old 56.4 , male 61.8 , cup disk ratio 0.7 63.6 , the average RNFL 60.76 19.86 m and rim area 0.73 0.56 mm2. Rim area and average RNFL are analyzed with pearson corelation test and the result of which are r value 0,734 and p value less than 0,05 which represent a strong correlation and statistically significant result. Measurement with ROC curve found that the cut off of rim area is 1.049 with 81.8 sensitivity and 95.5 specificity. As the conclution, rim area has corelation with average RNFL and can be used as a diagnostic tool for primary open angle glaucoma. "
2016
S70378
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian prepost tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre-MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti-glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian pre- post tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre- MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti- glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Putri Perdana
"Latar belakang: Fakoemulsifikasi merupakan tindakan yang sering dilakukan dalam mengatasi katarak saat ini.Fluktuasi tekanan intra okular (TIO) dapat mempengaruhi ketebalan lapisan serabut saraf (RNFL) peripapil. TujuanMengetahui perubahan ketebalan lapisan serabut saraf (RNFL) peripapildan mengetahui rerata mean deviation (MD) lapang pandangan sesudah fakoemulsifikasi pada pasien glaukoma kronis dan non glaukoma.
Desain: Studi kohort.
Hasil: Sebanyak 26 pasien yang didapat secara konsekutif dibagi atas dua kelompok yaitu 13 subyek glaukoma dan 13 subyek non glaukoma.Tidak terdapat perubahan signifikan ketebalan RNFL pasca fakoemulsifikasi pada kedua kelompok. Kelompok glaukoma pada kuadran superior (115,5 ; 121,6 μm), inferior ( 110,9 ; 116,5 μm), temporal (75,3 ; 77,5 μm),nasal (77,1 ; 80,9μm) dan pada rerata seluruh kuadran (94,9 ; 99,1 μm). Kelompok non glaukoma pada kuadran superior (13,9 ; 124,9 μm), inferior ( 124,8 ; 126,2 μm), temporal (79,0 ; 81,5 μm),nasal (74,1 ; 74,6 μm) dan pada rerata seluruh kuadran (100,2 ; 101,7 μm).Pada kelompok non glaukoma terjadi peningkatan MD lapang pandangan yang berbeda bermakna secara statistik yaitu p = 0.005. Sedangkan pada kelompok glaukoma terjadi penurunan MD lapang pandangan yang secara uji statistik tidak bermakna yaitu p = 0.071.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan ketebalan serabut saraf retina peripapil setelah fakoemulsifikasi pada kelompok glaukoma dan non glaukoma pada empat kuadran dan rerata semua kuadran, namun tidak bermakna secara uji statitik. Terdapat penurunan MD lapang pandangan pada kelompok glaukoma yang tidak bermakna secara statistik. Terdapat peningkatan MD lapang pandangan pada kelompok non glaukoma yang bermakna pada uji statistic.

Introduction: Nowadays, phacoemulsification is the chosen surgery for relatively safe removal of cataractous lenses. Intraocular pressure (IOP) fluctuation may influence the thickness of peripapillary retinal nerve fiber layer (RNFL). Purpose: To evaluate the change in peripapillary RNFL thickness and mean deviation (MD) of visual field before and after phacoemulsification in chronic primary glaucoma and non-glaucoma patients.
Study Design: A cohort study.
Result: There were 13 eyes with chronic glaucoma and 13 eyes with non-glaucoma that were enrolled consecutively. We got no significant different of RNFL thickness before and after phacoemulsification between two groups. Retinal nerve fiber layer thickness in glaucoma groups was(115,5; 121,6 μm) superiorly, (110,9; 116,5 μm) inferiorly, (75,3; 77,5 μm) temporally, (77,1; 80,9μm) nasally, and (94,9; 99,1) as the mean RNFL thickness of all quadrans. While in non-glaucoma groups, we got (13,9; 124,9 μm) superiorly, (124,8 ; 126,2 μm) inferiorly, (79,0 ; 81,5 μm) temporally,(74,1 ; 74,6 μm) nasally, and mean RNFL of all quadrans were (100,2 ; 101,7 μm). Mean deviation of visual field after surgery was statistically higher in non-glaucoma groups (p=0,005). In other hand, glaucoma patients yielded decreasing MD of visual field, even it was not statistically significant (p=0,071).
Conclusion: There were increasing peripapillay RNFL thickness following phacoemulsification in both chronic glaucoma and non-glaucoma patients. Mean deviation of visual field in chronic glaucoma patient revealed a decline, and otherwise, an increment of visual field wasobtained in non-glaucoma patient after surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hety
"Glaukoma umumnya memiliki karakteristik neuropati optik yang terkait dengan hilangnya fungsi penglihatan. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua dengan prevalensi sebesar 0,46 %. Terapi glaukoma saat ini ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular (TIO). Namun efek samping obat dan hasil terapi yang suboptimal merupakan permasalahan yang menantang. Akupunktur diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan terapi ataupun terapi penunjang untuk glaukoma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek elektroakupunktur (EA) dalam menurunkan TIO dan intensitas nyeri pasien glaukoma absolut atau glaukoma kronik lanjut yang belum atau telah mendapat terapi standar namun TIO masih tinggi.
Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian ini melibatkan 14 pasien glaukoma absolut atau glaukoma kronik lanjut. TIO dan skor Visual Analog Scale (VAS) nyeri dinilai sebelum dan sesudah 1 kali terapi EA.
Hasil penelitian menunjukkan TIO satu jam setelah EA menurun sebesar 6,14 ± 1,90 mmHg dibanding sebelum EA (p <0,05). TIO tiga jam setelah EA menurun sebesar 7,43 ± 1,98 mmHg dibanding sebelum EA (p <0,05). Skor VAS sebelum EA 5.56 ± 1.01 turun menjadi 1.33 ± 1.50 setelah EA (p <0,05).
Kesimpulan penelitian ini bahwa EA mempunyai efek menurunkan TIO dan skor VAS secara signifikan.

Glaucoma generally has characteristic of optic neuropathy associated with loss of visual function. Glaucoma is the second leading cause of blindness with a prevalence of 0.46%. Current glaucoma therapies aimed at lowering the intraocular pressure (IOP). However, the side effects relating to drugs and suboptimal therapeutic outcome remain as challenging problems. Acupuncture is expected to become one of alternative or adjunctive therapies in glaucoma.
This study aimed to determine the effect of electroacupuncture (EA) in lowering IOP and pain intensity among patients with absolute glaucoma or advanced chronic glaucoma who have not or have received standard therapy but still have elevated IOP.
This study used before and after intervention trial design. This study involved fourteen patients with absolute or advanced chronic glaucoma. IOP and the Visual Analog Scale (VAS) score were evaluated before and after the single EA therapy.
The results of this study showed that IOP at one hour after EA decreased by 6.14 ± 1.90 mmHg compared to before EA (p <0.05). IOP at three hours after EA decreased by 7.43 ± 1.98 mmHg compared to before EA (p <0.05). VAS score before EA was 5.56 ± 1.01 and decreased to 1.33 ± 1.50 after EA (p <0.05).
It can be concluded that electroacupuncture had effect in lowering IOP and VAS score significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Ratna
"Glaukoma adalah penyebab kebutaan yang ireversibel dengan prevalensi yang kian meningkat. Sebagian besar penderita glaukoma juga mengalami mata kering. Mata kering merupakan efek samping tersering akibat obat tetes mata topikal berpengawet benzalkonium klorida pada penderita glaukoma. Selain itu, glaukoma dan mata kering memiliki faktor risiko yang sama, yaitu usia lanjut dan jenis kelamin wanita. Mata kering pada penderita glaukoma perlu ditangani segera karena menyebabkan ketidaknyamanan, mengurangi kepatuhan berobat, dan menurunkan tingkat keberhasilan terapi. Penanganan mata kering pada penderita glaukoma dapat dilakukan melalui penggunaan obat tanpa pengawet benzalkonium klorida, kombinasi dengan obat yang tidak mengandung pengawet untuk mengurangi paparan, pemberian air mata buatan, dan pembedahan untuk mengurangi kebutuhan obat anti glaukoma topikal.

Glaucoma is a common cause of irreversible blindness with increasing prevalence. Some of glaucoma patients will also experience dry eye. Dry eye is the most frequent side effects related to benzalkonium chloride (BAC)-containing eye drop used for glaucoma patients. In addition, glaucoma and dry eye have shared risk factors that are old age and female. Dry eye among glaucoma patients needs to be treated promptly as it produces discomfort, reduces patients? compliance and decreases success rate of glaucoma therapy. Dry eye symptoms can be treated by applying preservative-free eye drop, giving combination with preservative-free eye drop to reduce BAC exposure, prescribing artificial tear and conducting surgery to minimize or eliminate the need of topical medication."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Gusti Ayu Ari Raiasih
"Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain potong lintang (comparative cross sectional) yang bertujuan untuk menilai dan membandingkan ketebalan lapisan serabut saraf retina/retinal nerve fiber layer (RNFL) peripapil antara kelompok normal dan kelompok glaukoma dengan cup disk ratio (CDR) vertikal 0,4 sampai dengan 0,7 di poliklinik mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kirana. Sebanyak 40 mata kelompok normal dan 34 mata kelompok glaukoma mengikuti pemeriksaan Humphrey field analyzer dan Optical Coherence Tomography (OCT). Kemudian ketebalan RNFL peripapil kelompok normal dan glaukoma dianalisis untuk mendapatkan perbandingan ketebalan RNFL peripapil antara kelompok normal dan glaukoma. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada perbedaan perubahan ketebalan lapisan serabut saraf retina peripapil seiring dengan penambahan CDR vertikal namun secara klinis ketebalan RNFL peripapil pada kelompok glaukoma lebih tipis dibandingkan kelompok normal dengan CDR vertikal yang sama kecuali pada kuadran temporal.

This was a comparative cross-sectional study. The purpose of this study was to assess and compare the peripapillary retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness between the normal and glaucoma eyes with vertical cup disc ratio (CDR) 0.4 to 0.7 in eye clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kirana. A total of 40 eyes of normal group and 34 eyes of glaucoma following Humphrey field analyzer examination and Optical Coherence Tomography (OCT). Peripapillary RNFL thickness between normal and glaucoma eyes were analysed and compared each other. The result of this study was no difference in changes of peripapillary RNFL along with the progression of vertical CDR but clinically, peripapillary RFNL thickness in glaucoma group is thinner than that of normal group with the same vertical CDR except in temporal quadr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>