Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 111779 Document(s) match with the query
cover
Harianja, Gerald Abraham
"Latar Belakang. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah menyebabkan dampak pada pelaksanaan prosedur medis. Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) SARS-CoV-2, sebagai baku emas diagnosis COVID-19, memiliki beberapa keterbatasan misalnya waktu pengerjaan yang cukup lama. Hingga saat ini belum diketahui performa sistem skor penapisan COVID-19 pada pasien tanpa gejala respirasi akut yang akan menjalani prosedur medis.
Tujuan. Menganalisis performa kadar limfosit, nilai NLR, kadar CRP, hasil serologi cepat antibodi SARS-CoV2-IgM, dan gambaran foto toraks opasitas dan konsolidasi retikular-nodular difus bilateral dengan predominansi basal dan perifer pada pasien tanpa gejala respirasi akut yang akan menjalani prosedur medis dalam memprediksikan diagnosis COVID-19 dalam bentuk sistem skor.
Metode. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan terhadap pasien berusia lebih dari sama dengan 18 tahun tanpa gejala penyakit respirasi akut yang menjalani prosedur medis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode waktu April 2020 sampai Maret 2021. Data karakteristik klinis, variabel penapis COVID-19, dan RT-PCR SARS-CoV-2 diambil dalam 24-48 jam saat prosedur medis direncanakan di IGD. Analisis bivariat dilakukan dengan masing-masing variabel penapis menjadi kovariat terhadap hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif. Analisis multivariat dilakukan dengan teknik regresi logistik. Variabel penapis yang pada analisis multivariat mencapai kemaknaan statistik digunakan dalam pembuatan sistem skor, dan kemudian diuji kemampuan kalibrasi dan diskriminasinya.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 357 pasien. Sebagian besar (56%) merupakan pasien laki-laki, dengan median usia 49 tahun (19-88), rerata suhu tubuh 36,52 ± 0,15oC, prosedur medis terbanyak (46,5%) adalah endoskopi saluran cerna, dan sebagian besar memiliki komorbid (57,7%). Proporsi COVID-19 pada pasien tanpa gejala respirasi akut yang akan menjalani prosedur medis adalah 22,4%. Dua prediktor infeksi COVID-19 pada pasien tanpa gejala respirasi akut yang akan menjalani prosedur medis diidentifikasi, yakni: serologi cepat antibodi SARS-CoV-2 IgM (adjusted odds ratio [aOR] 7,02 [IK95% 1,49-32,96]) dan foto toraks khas COVID-19 (aOR 23,21 [IK95% 10,01-53,78]). Sistem skor kemudian dibuat berdasarkan hasil akhir analisis multivariat, dan kemudian ditentukan nilai titik potongnya adalah total skor ≥ 1. Uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan kalibrasi yang buruk (p ˂ 0,001) dan AUC menunjukkan kemampuan diskriminasi yang sedang (0,71 [IK 95% 0,64-0,78]).
Kesimpulan. Sistem skor penapisan COVID-19 pada pasien tanpa gejala respirasi akut yang akan menjalani prosedur medis memiliki kemampuan diskriminasi sedang dan kalibrasi yang buruk. Peran RT-PCR SARS-CoV-2 tidak dapat digantikan oleh sistem skor penapisan tersebut.

Introduction. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) has impacted medical procedure practice. Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) SARS-CoV-2, a gold standard of COVID-19 diagnosis, has limitations for example long test result time. There is unknown knowledge of COVID 19 screening score performance on patients without acute respiratory symptom whom will undergo medical procedure.
Aim. To analyze lymphocyte values performance, NLR values, CRP values, SARS-CoV2-IgM antibody serology test, and opacity of chest imaging and consolidation of diffuse reticular-nodular with basal and peripheral predomination on patients without acute respiratory symptom whom undergo medical procedures in predicting COVID-19 by scoring system.
Method. A cross-section study was conducted on ≥18-year-old patients without acute respiratory symptoms who underwent medical procedure at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from April 2020 until March 2021. Clinical characteristic data, COVID-19 screening variable, and RT-PCR SARS-CoV-2 were collected in 24-48 hour after a planned medical procedure in emergency room. Bivariate analysis was conducted with each screening variable become covariate with positive RT-PCR SARS-CoV-2 test result. Multivariate analysis was conducted by logistic regression. A scoring system was developed using significant variable in multivariate analysis, and then was tested for the calibration performance and discrimination ability.
Result. Subjects consisted of 357 patients, predominantly male (56%) with average age 49 years old (19-88), average temperature 36,52 ± 0,15oC, most medical procedure is digestive tract endoscopy (46,5%), and with comorbid (57,7%). The proportion of positive COVID-19 test on patients without acute respiratory symptom is 22,4%. There were two COVID-19 predictors that were identified, which were: SARS-CoV2-IgM antibody serology test IgM (adjusted odds ratio [aOR] 7,02 [IK95% 1,49-32,96]) and typical thoracic imaging of COVID-19 (aOR 23,21 [IK95% 10,01-53,78]). A scoring system was developed using multivariate analysis and a cross-section point was determined with a total score ≥1. Hosmer-Lemeshow test revealed poor calibration (p ˂ 0,001) and AUC showed moderate discrimination (0,71 [IK 95% 0,64-0,78]).
Summary. A COVID-19 screening scoring system in patients without acute respiratory symptom who will take medical procedure has moderate discrimination and poor calibration. RT-PCR SARS-CoV-2 role in screening of COVID-19 cannot be replaced by scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Isti Mardiana
"Latar Belakang : Lima belas persen (15%) pasien yang terinfeksi COVID- 19 jatuh ke dalam kondisi penyakit yang berat dan memerlukan suplementasi oksigen (O2). Lima persen (5%) lainnya mengalami perburukan lebih lanjut dan jatuh ke dalam penyakit kritis dengan komplikasi. Pemberian terapi O2 dilakukan segera kepada pasien dengan atau tanpa tanda-tanda kegawatdaruratan dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
kohort prospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan periode 31 Juli 2021 – 30 September 2021. Subjek penelitian didapatkan dari pasien yang datang ke IGD RSUP Persahabatan sejak 30 Juli 2021 – 30 September 2021 dan terdiagnosis COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR usap tenggorok positif. Dilakukan pengumpulan data klinis, tanda vital, pemeriksaan penunjang dan Skor APACHE II sejak subjek tiba di IGD hingga masuk ruang rawat dalam 24 jam pertama. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19 (p 0,257). Selain itu, tidak ditemukan perbedaan bermakna skor APACHE II pada kelompok pasien dengan derajat keparahan COVID-19 yang berbeda pada PaO2 sesuai hasil pemeriksaan AGD (p 0,073) namun didapatkan hubungan yang bermakna pada penggunaan PaO2 seusai kurva disosiasi O2 (p <0,001).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor
APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.

Background : Fiftheen percents (15%) patients infected with COVID-19
falls to severe disease and require oxygen (O2) therapy and the other 5% suffered
progressive worsening to critical disease with complications. Oxygen therapy
conducted in patients with or without emergency condition with low O2 saturation
(SpO2 < 90%). This study aim to determine the correlation between Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score with desaturation
in Pnuemonia COVID-19 patients.
Methods : A prospective cohort observational analytic study
conducted at National Respiratory Ceter Persahabatan Hospital Emergency Unit
from July 2021-September 2021. The study subjects were patients admitted to
Emergency Unit and diagnosed with COVID-19 from positive result of
nasopharing PCR swab. Clinical data, vital signs, supportive examination and
APACHE II score are collected since Emergency Unit admission to inward unit in
first 24 hours.
Results : There were 100 subjects participating in this study. The
result stated there were no significant correlation between APACHE II Score with
desaturation in Pneumonia COVID-19 patients (p-value 0,257). There was also no
significant correlation between APACHE II score with disease severity of COVID-
19 based on O2 partial pressure collected from blood gas analysis examination (pvalue
0,073) but there was a significant correlation between APACHE II score with
disease severity of COVID-19 based on O2 partial pressure referred to O2
dissociation curve (p-value <0,001).
Conclusion : There was no significant correlation between APACHE II
Score with desaturation in Pneumonia COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiona Kartini Prima Putri
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Perburukan fungsi ginjal berkaitan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien gagal jantung dekompensasi akut. Karakteristik klinis pada saat pasien masuk ke unit gawat darurat (UGD) dapat menolong untuk identifikasi pasien yang berisiko terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal. Tujuan penelitian ini adalah membuat sistem skor untuk mempermudah identifikasi pasien yang berisiko terhadap perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung dekompensasi akut.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 614 pasien yang menjalani perawatan karenan gagal jantung dekompensasi akut. Perburukan fungsi ginjal didefinisikan sebagai peningkatan nilai kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL kapanpun selama perawatan atau ≥ 25% dari awal masuk perawatan.
Hasil. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada hampir 26% pasien. Prediktor independen terhadap kejadian perburukan fungsi ginjal yang didapat melalui analisis dengan logistik regresi backward selection adalah usia > 75 tahun (p < 0.0001); perempuan (p = 0.034); riwayat hipertensi (p = 0.001); anemia (p = 0.005); dan serum Creatinin saat masuk di UGD > 2.5 mg/dL (p = 0.013). Sistem skor dibuat dari model akhir tersebut. Dilakukan validasi internal dengan metode bootstrap didapatkan hasil optimisme yang baik (0.01088808).
Kesimpulan. Sistem skor baru dapat memprediksi kejadian perburukan fungsi ginjal pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap.

ABSTRACT
Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure (ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at increased risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed. By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p = 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure., Background. Worsening renal function (WRF) is associated with worse outcomes
among patients who are hospitalized with acute decompensated heart failure
(ADHF). Clinical characteristics at admission may help identify patients at incresed
risk of WRF. The aim of this study was to create in admission scoring system to
simplify identification patients at risk of WRF in ADHF setting.
Methods. A retrospective data of 614 patients admitted with ADHF was analyzed.
By the definition WRF occurred when serum Creatinin increased at anytime during
hospitalization by ≥ 0.3 mg/dL or by ≥ 25% from admission.
Results. Worsening renal function developed in near 26% patients. The
independent predictors of WRF analyzed with backward selection logistic
regression were: age > 75 years old (p < 0.0001), female (p = 0.034); history of
hypertension (p = 0.001); anemia (p = 0.005); and in admission serum Creatinin (p
= 0.013). A scoring system was generated from this final model. An internal
validation with bootstrap method showed good optimism (0.01088808).
Conclusion. A new scoring system could predict in-hospital worsening renal function among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ageng Wiyatno
"Pneumonia merupakan penyakit infeksi pernafasan akut yang menyebabkan kematian tinggi di dunia khususnya pada anak-anak dan lansia. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai jenis infeksi yang mayoritas disebabkan oleh kelompok virus dan bakteri. Selama pandemi COVID-19, prevalensi pneumonia meningkat akibat sirkulasi SARS-CoV-2 yang juga dapat menyebabkan pneumonia. Penelitian ini mengidentifikasi etiologi virus dan bakteri pada kasus-kasus positif dan negatif COVID-19 di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini menganalisis 245 kasus pneumonia yang terdiri atas 173 sampel negatif SARS-CoV-2 dan 72 sampel positif SARS-CoV-2. Sampel tersebut diperiksa menggunakan delapan panel virus menggunakan konvensional PCR dan dua panel bakteri menggunakan RT-PCR. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi etiologi dari 109 (44.5%) sampel yang mayoritas adalah SARS-CoV-2 (n=41, 16.7%), paramyxovirus (n=18, 7.3%), herpesvirus (n=16, 6.5%) dan influenza (n=12, 4.9%). Sedangkan, dari kelompok bakteri sebanyak H.influenzae (n=21, 8.6%) dan S. pneumoniae (n=14, 5.7%). Prevalensi koinfeksi pada kasus pneumonia di Indonesia selama pandemik COVID-19 adalah 6.1%, dimana pada kasus positif SARS-CoV-2 (18.8%) lebih tinggi daripada pada kasus negatif (5.8%). Penelitian ini menggambarkan prevalensi patogen pada masa awal pandemik COVID-19 di Indonesia dan pengaruhnya dalam menyebabkan pneumonia pada pasien.

Pneumonia is an acute respiratory infection that causes high mortality in the world, especially in children and the elderly. Pneumonia can be caused by various types of infections, the majority of which are caused by groups of viruses and bacteria. During the COVID-19 pandemic, the prevalence of pneumonia increased due to circulating SARS-CoV-2 which can also cause pneumonia. This study identifies viral and bacterial etiology in positive and negative cases of COVID-19 in Jakarta, Indonesia. We analyzed 245 pneumonia cases consisting of 173 SARS-CoV-2 negative samples and 72 SARS-CoV-2 positive samples. We were able to identify the etiology of 109 (44.5%) samples, the majority of which were SARS-CoV-2 (n=41, 16.7%), paramyxovirus (n=18, 7.3%), herpesvirus (n=16, 6.5%) and influenza (n=12, 4.9%). Meanwhile, from the group of bacteria H. influenzae (n=21, 8.6%) and S. pneumoniae (n=14, 5.7%) were detected in this study. The prevalence of coinfection in pneumonia cases in Indonesia during the COVID-19 pandemic was 6.1%, whereas positive cases of SARS-CoV-2 (18.8%) were higher than in negative cases (5.8%). This study describes the prevalence of the pathogen in the early days of the COVID-19 pandemic in Indonesia and its influence in causing pneumonia in patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
"Latar Belakang: Infeksi COVID-19 merupakan penyakit dengan komplikasi multi-organ, salah satunya komplikasi kardiovaskular. Dengan kejadian gagal jantung akut sebagai komplikasi COVID-19 dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gagal jantung akut pada pasien COVID-19, khususnya pada derajat sedang – berat.
Tujuan : Mengetahui prediktor gagal jantung akut pada pasien COVID-19 yang dirawat, khususnya derajat sedang – berat
Metode : Metode penelitian bersifat kohort retrospektif. Luaran primer adalah kejadian gagal jantung akut saat perawatan. Terdapat 15 faktor klinis dan laboratoris yang dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Dari total 208 subjek sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, sebanyak 73 subjek (35%) mengalami episode gagal jantung akut saat perawatan. Riwayat gagal jantung kronik memiliki risiko 5,39 kali (95% IK: 1,76 – 16,51; p = 0,003) mengalami kejadian gagal jantung akut. Pasien dengan nilai TAPSE < 17 mm memiliki risiko 4,25 kali (95% IK: 1,13 – 16,07; p= 0,033) mengalami gagal jantung akut. Sedangkan pemakaian ACE-i/ARB memiliki risiko 0,16 kali (95% IK: 0,05 – 0,51; p = 0,002) untuk mengalami gagal jantung akut intraperawatan dibandingkan kelompok tanpa pemakaian ACE-i/ARB.
Kesimpulan: Riwayat gagal jantung kronik, TAPSE < 17 mm, dan pemakaian ACE-i/ARB diidentifikasi sebagai prediktor kejadian gagal jantung akut pada pasien COVID-19.

Introduction: COVID-19 infection is a disease with multi-organ complications, including cardiovascular organ. As heart failure is one of COVID – 19 complications that has high morbidity and mortality, we need to identify factors that can predict acute heart failure in COVID – 19, especially in moderate to severe patients.
Objective : to determine predictors of acute heart failure in hospitalized COVID -19 patients
Method : This was a retrospective cohort study. The primary outcome was acute heart failure that happened during hospitalization. There were total of 16 clinical (age, sex, body mass index, hypertension, diabetes, smoking history, coronary artery disease, chronic kidney disease, chronic heart failure, chronic obstructive pulmonary disease, PaO2/FiO2 ratio, non-cardiogenic shock at admission, use of ACE-inhibitors/ARBs during hospitalization, ejection fraction, TAPSE) as well as 6 laboratory parameters (neutrophil - lymphocyte ratio, platelet - lymphocyte ratio, eGFR, D-Dimer, procalcitonin, CRP) that were used in statistical analysis.
Result: From total of 208 subjects with moderate – severe COVID-19, 73 (35%) had acute heart failure. The median time of developing heart failure is 4 ( 1 - 27) days. On multivariate analysis, patients with history of chronic heart failure exhibited a 5.39-fold higher risk of acute heart failure compared with no history of chronic heart failure (95% CI: 1.76 – 16.51; p = 0.003). The risk of acute heart failure was multiplied by 4.25 in patients that was presented with TAPSE <17 mm (95% CI: 1.13 – 16.07; p= 0.033). In contrast, use/continuation of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers during hospitalization showed reduced risk of acute heart failure (16% of the risk developing acute heart failure compared with patients with no use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers). In subjects developing acute heart failure, the mortality rate was 67%, compared with 57% in subjects without acute heart failure (p = 0,028).
Conclusion: History of chronic heart failure, TAPSE <17 mm, and the use of ACE-inhibitors/angiotensin receptor blockers were identified as predictors of acute heart failure in hospitalized COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ariyanti
"Latar Belakang : Model prediksi risiko mortalitas dan morbiditas pascapembedahan jantung digunakan untuk penjelasan kepada pasien mengenai risikoperioperasi, pemilihan tatalaksana, perbandingan hasil pascaoperasi dan alokasidana oleh penjamin kesehatan nasional. Husink dkk mengembangkan suatu sistemskor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung yaitu skorHarapan Kita pada tahun 2015. Sistem skor model prediksi mortalitas memilikidaya kalibrasi dan diskriminasi yang baik sedangkan model prediksi morbiditasmemiliki daya kalibrasi baik dan daya diskriminasi sedang. Sampai saat ini belumada validasi eksternal pada sistem skor Harapan Kita tersebut, sehingga perludilakukan untuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal sistem skor Harapan Kita sebagai prediktormortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasien yang menjalani pembedahan katupjantung.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita, menggunakan data sekunder Januari 2015 hingga September 2016,yang diambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkannilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 789, kejadian mortalitas di rumah sakit 8.6 68dari 789 sampel dan prediksi mortalitas dengan skor Harapan Kita 11.9 .Kejadian morbiditas di rumah sakit 34.7 dan prediksi morbiditas dengan skorHarapan Kita 19.1 . Setelah dilakukan penghitungan skor Harapan Kita padasemua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi prediksi mortalitas p = 0.169 dandiskriminasi/AUC sebesar 0,761 95 IK; 0.702-0.821 sedangkan prediktormorbiditas kalibrasi p = 0.689 dan AUC 0.753 95 IK; 0.716-0.789.
Kesimpulan : Sistem skor Harapan Kita secara eksternal valid untuk memprediksimortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: Mortality and morbidity risk prediction model after cardiac surgeryis used to explain perioperative risk, choice of treatment, comparation of surgeryresults, and for financial allocation consideration by national health insurance.Harapan Kita score was developed in 2015. This scoring system had a goodcalibration and discrimination for predicting mortality also a good calibration butmoderate discrimination for predicting morbidity. However this score never beenexternally validated.
Objective: To validate externally the Harapan Kita scoring system as an inhospitalmortality and morbidity predictor in patients who is undergoing valvular heartsurgery.
Methods: This is a cross sectional study with temporal external validation methodthat performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine,Universitas Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita, usingsecondary data from January 2015 until September 2016, which taken by totalsampling method. Data analysis is intended to develop the calibration anddiscrimination level.
Results: The final samples were 789, with 8.6 68 from 789 samples mortalityevent and a mortality predictor of Harapan Kita Score 11.9. The Odds Ratio OR of all variables were similar with the OR of Harapan Kita score previous study. Callibration value for mortality predictor were p 0.169 with a discrimination AUC 0.761 95 CI 0.702 0.821 meanwhile calibration value formorbidity predictor were p 0.689 and AUC 0.753 95 CI 0.716 0.789.
Conclusion: Harapan Kita scoring system valid externally to predict in hospitalmortality and morbidity in patients undergoing valvular heart surgery
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55651
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Murwaningsih
"Kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi kanker pada pasien kanker payudara. Kemoterapi selain memiliki efek akut juga menimbulkan efek jangka panjang. Efek kemoterapi yang dirasakan menjadi gejala yang tidak hanya satu gejala tetapi memiliki berbagai gejala yang menjadi beban gejala. Spiritual sebagai koping dalam meningkatkan kesejahteraan spiritual sangat dibutuhkan dalam membantu mengatasi beban gejala. Beberapa faktor diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan spiritual seperti usia, agama, pendidikan, pekerjaan, stadium kanker, siklus kemoterapi dan jenis kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan beban gejala dengan kesejahteraan spiritual pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais. Penelitian ini menggunakan desain observasi studi cross sectional deskiritif analitik, dengan sampel 147 orang. Analisis data menggunakan uji korelasi, Chi Square dan uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara beban gejala dengan kesejahteraan spiritual dengan nilai p sebesar 0,000 < 0.0. Faktor yang paling mempengaruhi kesejahteraan spiritual adalah agama dan stadium kanker. Penelitian ini merekomendasikan perawat untuk melakukan pengkajian spiritual sebagai screening awal untuk menentukan intervensi keperawatan spiritual dalam membantu mengatasi beban gejala, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi.

Chemotherapy is one of the modalities of cancer therapy in breast cancer patients. Chemotherapy have an acute effect and long-term effects. Many symptoms result of the effects chemotherapy. Serious symptoms result of Chemo became a symptom burden. Spiritual as a coping in improving spiritual well-being is needed in helping to overcome the burden of symptoms. Several factors are thought to influence spiritual well-being such as age, religion, education, occupation, cancer stage, chemotherapy cycle and type of chemotherapy. This study aims to determine the relationship between symptom burden and spiritual well-being of breast cancer patients undergoing chemotherapy at Dharmais Cancer Hospital. This study used an analytical descriptive cross sectional observational study design, with a sample of 147 people. Data analysis used correlation test, Chi Square and Mann Whitney test. The results of this study indicate that there is a significant relationship between symptom burden and spiritual well-being with a p value of 0.000 < 0.05. The factors that most affect spiritual well-being are religion and the stage of cancer. This study recommends nurses to conduct a spiritual assessment as an initial screening to determine spiritual nursing interventions in overcoming the burden of symptoms, so as to improve the quality of life of breast cancer patients undergoing chemotherapy"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Fuadi
"Kanker payudara saat ini merupakan salah satu kanker yang paling banyak didiagnosis dan menjadi penyebab kematian kanker tertinggi di dunia. Prosedur oophorectomy menjadi pilihan untuk mencegah perkembangan kanker payudara. Pasangan menjadi salah satu individu yang beresiko mengalami dampak pada aspek seksual akibat prosedur ini. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi aspek seksualitas pasangan pasien kanker payudara yang menjalani prosedur oophorectomy. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif. Wawancara semi terstruktur dilakukan pada 11 orang dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini memunculkan tiga tema antara lain: 1) menurunnya fungsi seksual suami; 2) cara menahan diri untuk tidak berhubungan seksual; 3) mengalami perubahan peran sebagai perawat istri daripada kekasih; dan 4) perubahan fungsi seksual dan psikologis istri yang mempengaruhi fungsi seksual suami. Perawatan holistik yang berorientasi pada pemecahan masalah seksual antara pasien dan pasangan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan perawatan kanker.

Breast cancer is currently one of the most diagnosed cancer and is the leading cause of cancer death on worldwide. The oophorectomy procedure is an option to prevent the development of breast cancer. Husband is the person at risk experiencing impacts on sexual aspects due to this procedure. The purpose of this study was to explore the sexuality aspects of spouses of breast cancer patients who underwent oophorectomy procedures. This study used a descriptive qualitative research design. Semi-structured interviews were conducted with 11 participant in this study. The results of this study find three themes including: 1) the decline of husband sexual function; 2) how to refrain from having sex; 3) experiencing role changes as wife caregiver rather than a lover; and 4) changes on the wife sexual and psychological functions that affect the husband sexual function. Holistic care oriented towards solving sexual problems between patients and spouses is used to improve the quality of cancer care services."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neng Intan
"Peningkatan gula darah pada pasien COVID-19 menyebabkan terganggunya fungsi metabolik, tingkat keparahan penyakit serta komplikasi pada pasien. Peningkatan gula darah pada pasien COVID-19 dapat dicegah melalui langkah yang tepat dalam mengontrol glikemik dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengenali faktor yang berhubungan dengan peningkatan gula darah pada pasien COVID-19 tanpa riwayat Diabetes Melitus (DM). Metode penelitan adalah deskriptif dengan desain analitik retrospektif, melibatkan 45 responden, analisa data menggunakan rank spearman, chi square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden berumur 46-65 tahun, berjenis kelamin perempuan, memiliki stres dan aktivitas ringan. Secara klinis memiliki keparahan COVID-19 derajat sedang serta tidak memiliki komorbid. Sebagian besar responden memiliki pola diet yang tidak tepat, tidak mempunyai riwayat keluarga dengan DM, dan tidak mempunyai riwayat pengobatan yang dapat meningkatkan gula darah. Terdapat hubungan yang signifikan antara stres (p 0,003), aktivitas (p 0,017), derajat keparahan (p 0,016), komorbid (p 0,037), dan riwayat keluarga (p 0,007) dengan peningkatan gula darah pada pasien COVID-19 tanpa riwayat DM, dimana aktivitas merupakan faktor yang paling dominan (p 0.020:OR 8,465). Perlunya dilakukan intervensi keperawatan mandiri dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien COVID-19. Deteksi dini dengan tepat, manajemen stres dan aktivitas yang rutin diharapkan dapat menurunkan risiko disregulasi glukosa dan menstabilkan kadar glikemik untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

ncreased blood sugar in COVID-19 patients causes disruption of metabolic function, disease severity and complications in patients. Elevated c in COVID-19 patients can be prevented through proper steps in controlling glycemic well. This study aims to identify factors associated with increased blood sugar in COVID-19 patients without a history of Diabetes Mellitus (DM). The research method is descriptive with retrospective analytic design, involving 45 respondents, data analysis using Spearman rank, chi square and logistic regression. The results showed that the majority of respondents were 46-65 years old, female, had stress and had light activities. Clinically, he has moderate severity of COVID-19 and has no comorbidities. Most of the respondents have inappropriate diet patterns, do not have a family history of DM, and do not have a history of medication that can increase blood sugar. There was a significant relationship between stress (p 0.003), activity (p 0.017), severity (p 0.016), comorbidities (p 0.037), and family history (p 0.007) with elevated blood sugar in COVID-19 patients without a history of DM, where activity is the most dominant factor (p 0.020:OR 8.465). The need for independent nursing interventions in improving nursing care for COVID-19 patients. Appropriate early detection, stress management and routine activities are expected to reduce the risk of glucose dysregulation and stabilize glycemic levels to prevent further complications.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>