Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165570 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amanda Hasna Zakira
"Latar Belakang: Kebanyakan sekolah di Jakarta menerapkan sistem full-day school yang berperan dalam meningkatkan stres dan ansietas siswanya. Salah satu bentuk stress relief adalah melakukan kegiatan yang repetitif, contohnya menggigit mukosa mulut atau cheek biting. Cheek biting seringkali diasosiasikan dengan gangguan emosional seperti perasaan stres dan ansietas. Tujuan: Mengetahui gambaran ansietas dan kebiasaan menggigit mukosa mulut serta melihat hubungan antara tingkat ansietas dengan kebiasaan menggigit mukosa mulut pada siswa SMA di Jakarta. Metode: Studi potong lintang dengan metode convenient sampling dan menggunakan instrumen kuesioner untuk pengambilan data. Responden penelitian berjumlah 574 siswa SMA negeri dan swasta di Jakarta. Responden diminta untuk mengisi kuesioner secara daring yang terdiri dari kuesioner tingkat ansietas menggunakan kuesioner Generalized Anxiety Disorder 7 (GAD-7) dan kuesioner mengenai kebiasaan menggigit mukosa mulut. Hasil: Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna kebiasaan menggigit mukosa mulut antara responden yang memiliki ansietas dan yang tidak memiliki ansietas (p > 0,05). Kesimpulan: Ansietas dan kebiasan menggigit mukosa mulut banyak ditemukan pada siswa SMA di Jakarta, namun tidak terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan menggigit mukosa mulut dengan tingkat ansietas responden.

Background: Most of the schools in Jakarta are using full-day school system, which increase stress and anxiety for the students. One of stress relieving activity is by doing repetitive actions, like cheek biting. Cheek biting is associated with emotional distress like stress and anxiety. Purpose: To find out the description of stress and anxiety among high school students in Jakarta and to find out the correlation between anxiety and cheek biting habit. Method: Cross-sectional study with convenient sampling, using questionnaire as instrument. In total, there were 574 respondents from 79 public and private high schools in Jakarta. Respondents were asked to fill the questionnaire that shared online, which contained Generalized Anxiety Disorder 7 (GAD-7) to measure their anxiety status and questions about their cheek biting habit. Results: Chi Square test result showed that there was no significant difference in cheek biting habit between respondents with anxiety and no anxiety (p > 0,05). Conclusion: Anxiety and cheek biting habit were found in most of high school students in Jakarta, but there was no significant difference between anxiety and cheek biting."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Shanti
"Latar belakang: Gangguan mental emosional menjadi perhatian global bagi kaum dewasa muda, khususnya mahasiswa perguruan tinggi. Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental paling umum. Salah satu bentuk dari respons tubuh terhadap kecemasan adalah melakukan kebiasaan abnormal dan biasanya tidak disadari seperti kebiasaan menggigit mukosa pipi, bibir, maupun lidah.
Tujuan: Mengetahui gambaran ansietas pada mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia dengan kebiasaan menggigit mukosa mulut.
Metode: Studi potong lintang dengan metode voluntary response sampling pada 404 mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner Generalized Anxiety Disorder 7 (GAD-7) untuk mengukur tingkat ansietas dan kuesioner mengenai kebiasaan menggigit mukosa mulut. Data dianalisis dengan menggunakan uji komparatif kategorik.
Hasil: Dari 404 mahasiswa, sebanyak 185 mahasiswa (45,8%) memiliki kebiasaan menggigit mukosa mulut. Mayoritas mahasiswa yang memiliki kebiasaan menggigit mukosa mulut memiliki tingkat ansietas “parah” (38,4%). Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingkat ansietas dan kebiasaan menggigit mukosa mulut (p < 0,05).
Kesimpulan: Tingkat ansietas pada mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia yang memiliki kebiasaan menggigit mukosa mulut tergolong parah.

Background: Mental disorders are global concern for young adults, especially in college students. Anxiety disorders are the most common of mental disorders. One form of the body's response to anxiety is to engage in abnormal and usually unconscious habits such as the habit of biting the mucosa of the cheeks, lips, or tongue.
Objective: To determine the level of anxiety of Health Sciences Cluster students in Universitas Indonesia with oral mucosa biting habit.
Method: Cross-sectional study using voluntary response sampling method on 404 students of Health Sciences Cluster students in Universitas Indonesia. Data was collected using the Generalized Anxiety Disorder 7 (GAD-7) questionnaire instrument to measure the level of anxiety and another questionnaire regarding the oral mucosa biting habit. Data was analyzed using categorical comparative test.
Results: 185 out of 404 students (45.8%) had the oral mucosa biting habit. Most students with oral mucosa biting habit had severe level of anxiety (38.4%). Chi-Square test showed that there was a significant relationship between the level of anxiety and oral mucosa biting habit (p < 0.05).
Conclusion: The level of anxiety of Health Sciences Cluster students in Universitas Indonesia with oral mucosa biting habit were classified as severe.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Twiva Rhamadanty
"Situasi pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental seseorang. Dampak pada kesehatan mental tersebut juga dirasakan oleh mahasiswa saat pandemi COVID-19, salah satunya adalah Kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan Depresi. Menurut Riskesdas DKI Jakarta tahun 2018, prevalensi depresi kelompok dewasa muda merupakan yang tertinggi daripada kelompok lainnya yaitu 7,08%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan depresi pada mahasiswa S1 di DKI Jakarta saat pandemi COVID-19. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan instrumen DASS-21 dan pengumpulan datanya menggunakan kuesioner online melalui Google Form. Terdapat 460 mahasiswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi mahasiswa yang mengalami kecemasan sebesar 48,5%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin, tekanan finansial, dan aktivitas fisik berhubungan dengan kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan depresi pada mahasiswa. Diharapkan pemerintah dan universitas dapat meningkatkan upaya promotif seperti sosialisasi terkait kesehatan mental terutama kecemasan dan depresi, juga melakukan deteksi dini pada kelompok dewasa muda atau mahasiswa.

The COVID-19 pandemic situation does not only have impact on physical health, but also on one’s mental health. The impact on mental health was also felt by undergraduate students during the COVID-19 pandemic, especially anxiety as one of the symptoms of depression tendencies. According to Riskesdas DKI Jakarta in 2018, the prevalence of depression in the young adult is the highest compared to other age (7.08%). The purpose of this study was to identify the factors associated with anxiety as one of symptoms of depression tendencies among undergraduate students in DKI Jakarta during the COVID-19 pandemic. This type of research is quantitative with a cross-sectional study design. This study used the DASS-21 instrument and e-questionnaire was generated using Google Form. There were 460 students who participated in this study. The results showed that the proportion of students who experienced anxiety was 48.5%. The results also showed that the variables of gender, financial pressure, and physical activity were associated with anxiety as a symptom of depression in undergraduate students. It is expected that the government and universities can increase promotive intervention such as socialization related to mental health, especially anxiety and depression and conducting early detection in groups of young adults or college students."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hajar Salawali
"Bencana alam tidak selamanya berdampak negatif tapi juga menimbulkan dampak positif. Posttraumatic growth adalah pertumbuhan pasca trauma sebagai hasil perjuangan individu melawan tarumatik. Remaja merupakan kelompok rentan yang mengalami masalah ketika terjadi bencana, namun dalam penelitian ini justru membuktikan bahwa remaja mampu untuk tumbuh ke arah positif melalui trauma yang disebabkan bencana. Tujuan penelitian untuk mengeksplorasi pengalaman PTG pada remaja penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi. Metode penelitian menggunakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian ini menggunakan 16 partisipan berdasarkan kriteria iklusi yaitu usia 12-18 tahun, penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi, merupakan penduduk yang berdomisili di lokasi bencana, dan memiliki minimal skor 3 dari total maksimal skor 6 pada salah satu domain yang terdapat dalam instrumen posttraumatic growth inventory for children (PTGI-CR). Dalam pengumpulan data menggunakan in-depth interview dan dianalisis dengan metode Colaizzi (1978).
Penelitian ini menghasilkan 4 tema utama yaitu (1) Trauma menjadi pijakan untuk menyadari makna kehidupan, (2) Lepas dari bencana sebagai kesempatan kedua untuk hidup lebih baik, (3) Keluarga dan teman dekat menjadi dukungan sosial utama untuk tumbuh setelah bencana, dan (4) Berdamai dengan trauma melalui pendekatan religius. Posttraumatic growth adalah sebuah proses tumbuh yang perlu diupayakan. Bentuk upaya yang mesti dilakukan dengan menemukan makna hidup, memanfaatkan kesempatan kedua dengan rasa syukur dan berbuat banyak kebaikan, memiliki dukungan sosial dari keluarga maupun teman dekat sekaligus menghadirkan kekuatan dari dalam diri untuk tumbuh, dan terakhir menggunakan doa dan keyakinan terhadap Tuhan sebagai bentuk berdamainya diri dengan trauma. Peran tenaga perawat jiwa komunitas juga diperlukan sebagai praktisi keperawatan yang paling dekat dengan remaja karena berada di lingkungan komunitas sebagai bentuk upaya untuk membantu remaja penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi dalam menumbuhkan PTG pada dirinya melalui terapi spesialis seperti cognitive therapy (CT), cognitive behavioral therapy (CBT) dan acceptance and commitment therapy (ACT).

Natural disasters do not always have a negative impact but also have a positive impact. Posttraumatic growth is posttraumatic growth as a result of individual struggles against people. Adolescents are vulnerable groups who experience problems when a disaster occurs, but in this study it actually proves that adolescents are able to grow in a positive direction through trauma caused by disasters. The purpose of the study is to explore the experience of PTG in adolescents who survived earthquakes and tsunamis or liquefaction. The research method uses qualitative studies with a descriptive phenomenology approach. This study uses 16 participants based on the criteria of illusion, namely ages 12-18 years, survivors of earthquake and tsunami natural disasters or liquefaction, are residents who live in disaster locations, and have a minimum score of 3 of a maximum score of 6 in one domain contained in posttraumatic growth inventory for children (PTGI-CR) instrument. In collecting data using in-depth interviews and analyzed by the Colaizzi method (1978).
This research produces 4 main themes, namely (1) Trauma becomes the basis for realizing the meaning of life, (2) Remove from disaster as a second opportunity to live better, (3) Family and close friends become the main social support to grow after a disaster, and (4) Make peace with trauma through a religious approach. Posttraumatic growth is a growing process that needs to be pursued. The form of effort that must be done by finding the meaning of life, utilizing the second opportunity with gratitude and doing a lot of kindness, having social support from family and close friends while presenting inner strength to grow, and finally using prayer and belief in God as a form of peace with trauma. The role of community soul nurses is also needed as a nursing practitioner who is closest to adolescents because they are in a community environment as a form of effort to help adolescents surviving earthquake and tsunami natural disasters or liquefaction in growing PTG on themselves through specialist therapies such as cognitive therapy (CT), cognitive behavioral therapy (CBT) and acceptance and commitment therapy (ACT).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Anggraini
"Lingkungan perawatan intensif anak dapat menjadi stimulus yang memengaruhi proses adaptasi anak maupun orang tua/wali. Orang tua akan mengalami tekanan psikologis yang berat seperti stres dan kecemasan. Asuhan keperawatan dengan pendekatan model adaptasi Roy diharapkan dapat membantu proses adaptasi orang tua ketika anak menjalani perawatan di ruang intensif. Tujuan karya tulis ilmiah ini untuk memberikan gambaran aplikasi teori model adaptasi Roy pada orang tua yang mengalami stres dan kecemasan di ruang perawatan intensif anak serta mengembangkan inovasi orientasi pasien baru melalui video untuk menurunkan stres dan kecemasan orang tua. Proses keperawatan digambarkan pada lima kasus dengan menggunakan model adaptasi Roy. Proses keperawatan yang khas pada model adaptasi Roy terdapat pada pengkajian yang dilakukan dua tahap yaitu pengkajian perilaku dan stimulus. Proses selanjutnya menyusun diagnosis, tujuan, dan implementasi keperawatan. Hasil evaluasi akhir diketahui empat dari lima orang tua memiliki respons konsep diri yang adaptif. Kecemasan orang tua menurun setelah mendapatkan video orientasi pada hari pertama anak dirawat. Oleh sebab itu, model adaptasi Roy dapat diaplikasikan pada orang tua yang mengalami stres dan kecemasan di ruang perawatan intensif anak. Inovasi video orientasi dapat dijadikan alternatif media penyampaian informasi yang konsisten kepada orang tua pada saat hari pertama anak dirawat di ruang intensif

The paediatric intensive care unit can be a stimulus that influences the adaptation process of children and their parents or guardians. Parents will experience severe psychological pressure, such as stress and anxiety. Nursing care using the Roy adaptation model approach is expected to help parents' adaptation processes when children undergo treatment in intensive care. The aim of this scientific paper is to provide an overview of the application of Roy's adaptation model theory to parents who experience stress and anxiety in paediatric intensive care and to develop new patient orientation innovations via video to reduce parental stress and anxiety. The nursing process is described in five cases using Roy's adaptation model. The typical nursing process in the Roy adaptation model consists of an assessment carried out in two stages, namely behavioural and stimulus assessment. The next process develops a diagnosis, goals, and implementation of nursing. The final evaluation results showed that four out of five parents had an adaptive self-concept response. Parental anxiety decreased after receiving an orientation video on the child's first day of care. Therefore, Roy's adaptation model can be applied to parents who experience stress and anxiety in paediatric intensive care. The orientation video innovation can be used as an alternative medium for delivering consistent information to parents on the child's first day of care in the intensive care unit."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiyah
"ABSTRAK
Stres, ansietas, dan depresi merupakan bentuk gangguan mental emosional yang sering terjadi pada mahasiswa. Bila tidak ditangani dapat mengarah pada panik atau bahkan bunuh diri. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh progressive muscle relaxation (PMR) terhadap tingkat stress, ansietas, dan depresi pada mahasiswa keperawatan yang sedang mengerjakan skripsi di wilayah Jakarta.
Metode yang digunakan Quasi experiment pre-post test with control group. Sampel penelitian adalah mahasiswa keperawatan yang sedang mengerjakan skripsi sebanyak 50 responden melalui total sampling (25=intervensi, 25= kontrol). Data dianalisis dengan uji Marginal Homogeneity dan Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan tingkat stress, ansietas, dan depresi pada kelompok intervensi signifikan setelah diberikan PMR (Pvalue < 0,005). Latihan PMR yang teratur dan sistematis mampu menghasilkan kondisi relaksasi pada mahasiswa.
Penelitian ini juga merekomendasikan pelayanan kesehatan jiwa khususnya institusi pendidikan keperawatan untuk menerapkan PMR dalam menurunkan tingkat stres, ansietas, dan depresi yang dialami mahasiswa.

ABSTRACT
Stress, anxiety and depression are types of mental emotional disorder that often experienced by the students at universities. This condition can cause panic and suicide if these problems don?t get treatment.
The purpose of this research is to identify effect of progressive muscle relaxation (PMR) to level of stress, anxiety and depression in nursing students that doing thesis in Jakarta.
This research used Quasy experiment pre-post test with control group. Sample of this research are 50 respondents (25 intervention group and 25 control group). All of variables were analyzed with Marginal Homogeneity and Chi-Square Test.
The result of this research showed that progressive muscle relaxation has significant effect to decreased level of stress, anxiety and depression (P value < 0, 05). Regular PMR exercise can increase relaxation condition in student.
This study recommend to the mental health provider especially nursing academic institution to implement PMR to decrease level of stress, anxiety, and depression of student.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syena Aulia Tasya Pratiwi
"Fenomena kegiatan menggemari budaya korea terutama dari sektor industri musik yaitu K-pop marak terjadi di kalangan remaja. Pada masa remaja mereka mengalami masa transisi atau peralihan dari usia kanak-kanak menuju usia dewasa yang berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Usia remaja menjadi tempat proses dalam mencari jati dirinya yang mencari sosok figure yang dapat dicontohnya dan tak sedikit dari mereka memiliki sosok figure dari tokoh idola korea yang mereka gemari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat stres, kecemasan, dan depresi di wilayah kabupaten tangerang. Penelitian deskriptif ini menggunakan metode purposive sampling dimana mengikutsertakan 108 remaja penggemar K-pop yang berdomisili di Kabupaten Tangerang. Data penelitian dikumpulkan pada bulan Juni 2024 dengan menggunakan kuesioner DASS-42 (Depression, anxiety,stress scale). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami stres tingkat sedang (33.33%), kecemasan tingkat sangat berat (33.33%) dan depresi tingkat normal (42.59%). Studi ini juga meneliti karakteristik responden seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, dan ekonomi dimana mayoritas penelitian diikuti oleh remaja akhir (69.44%), paling banyak diikuti remaja yang berjenis kelamin perempuan (95.4%), responden mayoritas berasal dari perguruan tinggi (49.07%) dan mayoritas bersumber pendapatan masih ditanggung oleh orang tua (90.74%). Adanya perbedaan tingkat stres, kecemasan, dan depresi kemungkinan dipengaruhi oleh peggunaan coping strategy menggemari K-pop. Saran untuk penelitian selanjutnya dapat menganalisa lebih lanjut terkait hubungan tingkat stres, kecemasan dan depresi terhadap perilaku menggemari K-pop dengan memperhatikan keseimbangan pada karakteristik responden.

The phenomenon of Korean culture, especially from the music industry, is that K-pop is common among teenagers. In adolescence they experience a transition or transition from childhood to adulthood at risk of mental health disorders. Adolescence is the process of finding a figure that can be portrayed and not a few of them have the figure of a Korean idol that they love. The aim of this study is to get a picture of the levels of stress, anxiety, and depression in the district. This descriptive study uses a purposive sampling method involving 108 K-pop teenagers residing in Tangerang District. Research data collected in June 2024 using the DASS-42 questionnaire (Depression, anxiety,stress scale). The study also examined the characteristics of respondents such as gender, age, education, and economics where the majority of the study was followed by late adolescents (69.44%), the most followed adolescents of the female type (95.4%), respondents were mostly from college (49.07%) and the main source of income was still borne by parents (90.74%). There are differences in the levels of stress, anxiety, and depression that are likely to be influenced by the use of coping strategies by K-pop fans. Recommendations for further research could further analyze the relationship between levels of Stress, Anxiety and Depression to K-Pop fans' behavior by considering the balance in the characteristics of respondents."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Dwi Ariyanti
"ABSTRAK
Masa perpindahan dari SD ke SMP umumnya berkaitan dengan perubahan pada
lingkungan sekolah, aktifitas akademis, dan aktifitas sosial, perubahan-perubahan
tersebut dihadapi oleh siswa remaja awal bersamaan dengan perubahan yang
berasal dari dalam dirinya karena masa pubertas. Bagi kebanyakan siswa remaja
awal kondisi tersebut bisa menjadi pemicu munculnya stress (stressor). Dalam
menghadapi stress setiap siswa memiliki perbedaan karena disebabkan oleh
kemampuan coping yang dimilikinya dan dukungan sosial yang diterimanya.
Penelitian dilakukan pada partisipan sebanyak 106 orang yang berasal dari SMP N
2 Depok, dan memiliki karakteristik anak laki-laki maupun anak perempuan yang
sedang menjalani semester pertama sekolah. Seluruh partisipan diukur mengenai
pengalaman stress menggunakan Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, &
Mermelstein, 1983), pengalaman stressor menggunakan lembar checklist,
penggunaan strategi coping menggunakan Cope Scale (Carver, Scheier, &
Weintraub, 1989), dan dukungan sosial menggunakan Social Support
Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua partisipan mengalami stress namun pada tingkat yang berbeda-beda,
situasi khawatir dengan hasil raport jelek merupakan salah satu situasi yang
banyak dialami siswa sekaligus dianggap sebagai stressor, strategi coping terpusat
emosi sering digunakan oleh paling banyak partisipan, dan dukungan sosial yang
sangat sesuai ialah dari orang tua baik dalam bentuk instrumental maupun
emotional. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu seluruh pihak
yang terlibat dalam tumbuh kembang siswa remaja awal untuk bisa lebih
memahami pengalaman stress, stressor, strategi coping, serta dukungan sosial
pada siswa remaja awal di SMP.

ABSTRACT
The transition from elementary school to junior high school is generally
associated with changes in the school environment, academic activities, and social
activities, the changes faced by students in conjunction with the change that
comes from within him or her because of the onset of puberty. For most students
these conditions could trigger the emergence of stress (stressors). In the face of
stress every student has a different because their own capability of coping and
social support their received. Participants totaled 106 people from SMP N 2
Depok, and has the characteristics of boys and girls who are undergoing the first
semester of school. All participants were measured on experience of stress using
the Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, & Mermelstein, 1983), the
experience of stressor using a checklist sheet, the use of coping strategies using
the Cope Scale (Carver, Scheier, & Weintraub, 1989), and social support using
Social Support Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). The results
showed that all participants experienced stress but on a different level, the
situation concerned with the results of bad report cards is one of the situations
experienced by most students at once regarded as a stressor, coping strategies
centered emotions often used by most participants, and social support particularly
appropriate is from parents in the form of instrumental and emotional. From the
results of this research can help all parties involved in the development of early
adolescent students to better understand the experience of stress, stressors, coping
strategies, and social support on early adolescent students in junior high school."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54496
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dionisius Agnuza Jagadhita
"Kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan prevalensi, insiden, serta faktor psikososial yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan tinggi pada remaja. Penelitian menggunakan dua set data yang diambil dari partisipan yang sama pada tahun 2019 dan 2020. Terdapat 713 orang remaja yang berpartisipasi dalam penelitian ini, dengan usia antara 18-23 tahun (n perempuan = 54,6%). Prevalensi masalah kecemasan pada tahun 2020 adalah 68,7%, lebih tinggi dari angka di tahun sebelumnya (61,2%). Penelitian menemukan angka insiden sebesar 15 kasus setiap 100 orang dalam populasi selama satu tahun. Hasil penelitian menemukan model psikososial yang dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kecemasan remaja (R2 = 14.8%). Model akhir menunjukkan lima faktor risiko terhadap tingkat kecemasan, yaitu jenis kelamin (OR = 1.57), masalah emosional (OR = 1.22), kedekatan pertemanan (OR = 1.07), komunikasi dengan orangtua (OR = 1.05), serta alienasi dari orangtua, yang dinilai secara terbalik (OR = .94). Terdapat prevalensi dan insiden kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Faktor psikososial menunjukkan bahwa remaja yang berjenis kelamin perempuan, memiliki masalah emosional, memiliki tingkat komunikasi yang tinggi dengan orangtua, memiliki kedekatan dengan teman sebaya, serta mengalami alienasi dari orangtua, lebih rentan untuk memiliki tingkat kecemasan tinggi.

Anxiety is the most prevalent mental health problem that occurs for adolescents. This research aims to discover the prevalence and incidence rate, and also psychosocial determinants that took part in predicting the occurrence of anxiety. A set of paired data acquired in 2019 and 2020 was used. The total sample was 713 late adolescents between 18-23 years (n female = 54.6%). The prevalence for anxiety in 2020 was 68.7%, higher than the previous year (61.2%). An incidence rate of 15 cases per 100 person-years was found. The final model indicated several psychosocial determinants as significant risk factors of anxiety (R2 = 14.8%), which were gender (OR = 1.57), emotional problems (OR = 1.22), friendship closeness (OR = 1.07), and parental communication (OR = 1.05). Parental alienation (scored in reverse) was found to be a significant protective factor (OR = .94). The prevalence and incidence rate of anxiety were found to be higher than that of previous studies. The psychosocial determinants indicated that females, individuals with emotional problems, those who had high communication level with their parents, those who were close to their friends, and those who experienced alienation from their parents were more at risk to show high anxiety levels."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Permata
"Pemerintah telah menetapkan standar nilai rata-rata minimal 5,5 dengan enam mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional tahun 2009. Harapan orang tua dan standar ini dapat menyebabkan kecemasan pada siswa-siswi Sekolah Menengah Atas yang akan mengikuti ujian nasional. Kecemasan ini dapat menghambat daya ingat, konsentrasi, dan daya kritis seseorang yang akan berpengaruh pada nilai siswa-siswi Sekolah Menengah Atas tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan fenomena ini, peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa-siswi sekolah menengah atas yang akan mengikuti UAN pada tahun 2009."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5875
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>