Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43412 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.

This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.
The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyzia Ellena Ayuningtyas
"Tesis ini membahas mengenai pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja oleh pemberi kerja setelah berlakunya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 dimana pemberi kerja wajib untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana implementasi Keputusan Menteri ini pada pelaksanaannya. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana implementasi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dan non-doktrinal. Setiap pekerja memiliki hak atas perlindungan terhadap moral dan juga kesusilaan serta diperlakukan sebagaimana harkat dan martabat manusia dan juga nilai-nilai agama, namun tindak kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa pun sehingga penting untuk dibentuk pihak yang khusus untuk menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

This thesis discusses the formation of a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace by employers after the issuance of the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 where employers are required to form a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace, but further research needs to be done on how the implementation of this Ministerial Decree is implemented. This thesis aims to find out what is meant by sexual violence, its impact on victims, and how the the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 is implemented. The research methods used are doctrinal and non-doctrinal. Every worker has the right to protection of morals and decency and to be treated according to human dignity and religious values, however sexual violence can happen to anyone so it’s important to establish a special party to handle the prevention and handling of sexual violence in the workplace."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Paramesti Putri Widiyanto
"Artikel ini membahas peran media sosial dalam mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual. Pada Januari 2024, terdapat 139 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia. Angka ini setara dengan 49.9% dari total penduduk Indonesia (We Are Social, 2024). Sejalan dengan itu, seiring bertambahnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia, konstruksi budaya partisipatif masyarakat semakin kokoh. Anggota budaya partisipatif percaya bahwa kontribusi mereka penting dan mereka mengedepankan hubungan sosial satu sama lain (Jenkins et al., 2009). Memanfaatkan teori budaya partisipatif Jenkins dan mengaitkannya dengan keterlibatan pengguna aktif media sosial di Indonesia, khususnya Instagram, kajian ini membahas tentang dukungan dan pembelaan komunitas daring terhadap korban kekerasan seksual. Artikel ini berpendapat bahwa budaya partisipatif pengguna Instagram di Indonesia menyediakan edukasi bagi para korban kekerasan seksual, yang secara tidak langsung mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual.
This article discusses the role of social media in virtually supporting and defending victims of sexual violence. In January 2024, there are 139 million active social media users in Indonesia, which amounts to 49.9% of Indonesia’s population (We Are Social, 2024). Accordingly, as the number of social media users in Indonesia grows, the construction of a participatory culture in society becomes more robust. Participatory culture is where members believe their contributions matter and feel some degree of social connection with one another (Jenkins et al., 2009). Utilizing Jenkins’ participatory culture theory and connecting it to the engagement of active users of social media in Indonesia, particularly Instagram, this study concerns the online community’s support and defense for victims of sexual violence. This article argues that the participatory culture of Instagram users in Indonesia provides education for victims of sexual violence, indirectly supporting and defending victims of sexual violence virtually."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dararima Sani
"Konser musik underground (MUG), sebagai ruang alternatif bagi individu yang menentang budaya arus utama, belum menjadi ruang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan terhadap perempuan dalam konser MUG melalui kekerasan seksual oleh laki-laki. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal dan carnival of crime. Data dikumpulkan dengan metode penelitian wawancara mendalam,focus group discussion, observasi partisipan, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konser MUG mempertahankan nilai patriarkis melalui superioritas laki-laki, stereotip gender, dan hegemoni maskulinitas sebagai transgresi maskulin yang memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mengobjektifikasi perempuan. Hal tersebut menciptakan rape culture di mana kekerasan seksual oleh laki-laki menjadi alat kontrol sosial yang menanamkan rasa takut dan membebankan tanggung jawab untuk menghindari kekerasan seksual pada perempuan. Kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan tersebut menimbulkan perlukaan pada perempuan dan membangkitkan resistensi oleh perempuan. Dengan begitu, kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan laki-laki melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konser MUG memengaruhi perbedaan pengalaman perempuan dalam konser MUG.

Underground music (MUG) concerts, as an alternative space for individuals who oppose mainstream culture, have not yet become safe spaces free from sexual violence for women. This thesis aims to understand the control of women's bodies and sexuality in MUG concerts through sexual violence by men. The theories used are radical feminism and the carnival of crime. Data were collected using research methods such as in-depth interviews, focus group discussions, participant observation, and literature studies. The research findings indicate that MUG concerts uphold patriarchal values through male superiority, gender stereotypes, and the hegemony of masculinity as a masculine transgression that marginalizes, subordinates, and objectifies women. This creates a rape culture where sexual violence by men becomes a tool of social control that instills fear and places the responsibility for avoiding sexual violence on women. Control over women's bodies and sexuality causes harm to women and provokes resistance from women. Thus, the control of women's bodies and sexuality by men through sexual violence at the MUG concert affects the differing experiences of women at the MUG concert.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairina Sekar Wijayanti
"Kampus merupakan lingkup akademik yang seharusnya bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Namun, realitanya ditemukan bahwa kekerasan seksual juga terjadi di kampus. Studi ini bertujuan untuk melihat respons kampus dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswa-mahasiswinya. Studi ini menggunakan analisis data sekunder dari 32 kasus berita yang bersumber dari media di Indonesia dan juga pengakuan korban di media sosial dari tahun 2015 hingga 2021. Hasil temuan data menunjukkan bahwa kampus cenderung memberikan respons yang buruk kepada korban yang secara langsung melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Respons buruk yang dilakukan kampus merupakan bentuk dari institutional betrayal. Hasil temuan dalam studi ini juga menemukan bahwa institutional betrayal yang dilakukan kampus menunjukan bahwa rape culture hadir dalam kampus melalui penutupan kasus yang dilaporkan korban. Selain itu, studi ini menggunakan teori viktimologi kritis untuk melihat respons institutional betrayal dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus melalui adanya ideal victim dan mahasiswi yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.

University as an academic setting should have been free from any form of sexual violence. However, it is found that sexual violence occurs in universities. This study aims to see campuses’ responses to sexual violence against their students. This study uses secondary data analysis from 32 cases from online news and the victims’ confessions on social media from 2015 through 2021. The data findings show that campuses tend to give inadequate responses to students who directly report their cases to the campus. The inadequate response by the campus is a form of institutional betrayal. This study also found that institutional betrayal by campuses showed that rape culture is present on campus with how they tend to deny the victims’ experience. In addition, this study uses critical victimology theory to see institutional betrayal responses and sexual violence that occurs on campus through the existence of ideal victims and female students who are more vulnerable to being victims of sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Moh Faruk Rozi
"Tesis ini menggambarkan perlindungan hukum, dan upaya penyidik dalam hal ini Unit PPA Polrestro Jakarta Utara terhadap praktek-praktek tindak kejahatan kejahatan seksual yang terjadi atas anak dalam hal ini perbuatan cabul yang dilakukan oleh Syanwani alias Iwan seorang marbot penjaga mushollah Al-Barkah di Kelapa Gading Jakarta Utara. Perlakuan cabul yang dilakukan tersangka terhadap 26 orang anak laki-laki itu dilakukan di dalam kamar yang ada di mushollah tersebut. Selain itu dijabarkan dan dijelaskan pula dalam tesis ini mengenai kendala apa saja yang dialami penyidik dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di wilayah hukum Polrestro Jakarta Utara. Penyidikan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual pelecehan, pencabulan dan atau pemerkosaan harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak demi tercapainya hak anak sebagai korban. Kurangnya jumlah personil unit PPA Polrestro Jakarta Utara, ditambah dengan minimnya penyidik dan penyidik pembantu yang sudah mengikuti pendidikan kejuruan PPA. Aggaran unit PPA yang belum memadai dan masih harus menginduk pada Satreskrim Polrestro Jakarta Utara ini menjadikan penanganan kasus-kasus yang masuk ke unit PPA mengalami kendala. Termasuk didalamnya adalah anggaran visum untuk korban dari keluarga tidak mampu yang memang tidak sedikit. Sarana dan prasarana yang minim. Seperti belum terpisahnya ruang penanganan anak dari Polres dalam hal ini perlunya shelter atau save house yang lokasinya di luar Polres atau Polsek dan dibuat senyaman mungkin dan ramah bagi anak. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah perlunya pendamping yakni psikolog anak untuk menangani trauma anak pasca pelecehan atau kekerasan seksual yang terjadi, dan juga peran serta masyarakat atau keluarga untuk berkerjasama melaporkan segala sesuatunya jika terdapat anak atau anggota keluarga yang menjadi korban pelecehan dan tindak kekerasan seksual. Sehingga proses penyidikan bisa langsung dilakukan oleh polisi.

This thesis describes the legal protection and investigation efforts particularly of the Women and Child Protection Unit (PPA Unit) of the North Jakarta Metro Police, in handling sexual crimes against children, which in this case are the obscene acts committed by Syanwani alias Iwan, keeper of Musholla Al-Barkah in Kelapa Gading, North Jakarta. The obscene acts committed by the suspect against 26 boys were conducted inside a room in the musholla. Furthermore, this thesis also elaborates and explains the obstacles faced by the investigators in handling cases of sexual harassment and violence in the North Jakarta Metro Police jurisdiction. Investigation as a form of legal protection for child victims of sexual violence (harassment, obscenity and/or rape) must refer to Law No. 35 of 2014 on Child Protection in order to fulfill children's rights as victims. The lack of personnel in the PPA Unit of the North Jakarta Metro Police, as well as the inadequate number of investigators and investigative assistants who have undertaken vocational education in Women and Child Protection, and also the PPA Unit budget which is insufficient and still under the Criminal Investigation Unit of North Jakarta Metro Police cause obstacles in handling the PPA Unit cases. This includes medico-legal examination budget for victims from poor families which is quite considerable. The facilities and infrastructure are sparse. For example, the room for handling children is not separated from the police station. Thus a shelter or safe house located outside the station is needed, providing maximum comfort and ease for children. Another point that requires attention is the need for the accompaniment of a child psychologist to handle the child's trauma after sexual harassment or violence, and also community or family participation to work together and report any events in which children or family members fall victim to sexual harassment and violence. In this way, the police can immediately conduct the investigation process."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Febrianto
"Tugas karya akhir ini membahas pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang kerja online saat work from home pada masa pandemi COVID-19. Dengan menggunakan teori feminis radikal, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya kekerasan seksual berbasis jenis kelamin/gender yang difasilitasi teknologi terhadap perempuan pekerja selama WFH, apa yang menjadi latar belakangnya, dan menjelaskan perbedaan kekerasan seksual berbasis sex/gender di ruang fisik dengan ruang cyber. Tugas karya akhir ini menggunakan secondary data analysis untuk menganalisis data dari Never Okay Project dan South East Asia Freedom of Expression Network (2020) dan ditemukan bahwa kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan pekerja dalam ruang cyber memiliki penyebab dasar yang sama dengan yang terjadi di ruang fisik karena teknologi mereproduksi hubungan hierarki gender. Meski begitu, pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang cyber saat pandemi COVID-19 menghasilkan dampak, kerentanan, dan ketidakberdayaan yang lebih buruk daripada pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja fisik pada umumnya.

The work of this final paper discusses sexual harassment experienced by women workers in the online workspaces when working from home during the COVID-19 pandemic. Using radical feminist theory, this paper aims to explain how technology-facilitated gender/gender-based sexual violence occurs against women workers during WFH, what is the background, and also explain the difference between sex/gender-based sexual violence in physical space and cyberspace. This final paper uses secondary data analysis to analyze the data from Never Okay Project and South East Asia Freedom of Expression Network (2020) and it is found that gender-based sexual violence against women workers in cyberspace has the same basic causes as those that occur in physical space because technology reproduces hierarchical gender relations. Even so, the sexual harassment experienced by women workers in cyberspaces during the COVID-19 pandemic resulted in a worse impact, vulnerability and helplessness that sexual harassment that occurred in the physical workplace in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Rosani Saiya
"Kekerasan seksual yang terjadi di gereja masih didiamkan. Secara khusus kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki pendeta kepada perempuan calon pendeta dan perempuan pendeta muda di gereja. Posisi subordinat mereka secara struktural maupun hirarkis di gereja menjadikan mereka rentan terhadap pelecehan seksual. Tak mudah bagi perempuan calon pendeta dan perempuan pendeta muda korban pelecehan seksual untuk mengungkapkan pelecehan yang mereka alami. Dari latar belakang itu, penelitian ini bertujuan untuk menarasikan narasi perempuan calon pendeta dan pendeta muda korban kekerasan seksual dan mendalami agensi mereka terhadap politik nama baik dalam imajinasi patriarki yang masih hidup di gereja. Perlawanan mereka terhadap pelecehan dan bentuk intimidasi lainnya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan perspektif feminis terhadap pengalaman perempuan korban dan menjadikan metode women interview women untuk mendapatkan data dari narasi subjek.  Data tersebut dianalisa dengan pemikiran Mary Daly tentang Beyond God The Father, sebagai realitas yang dilampaui perempuan ketika memiliki kesadaran kritis terhadap imajinasi patriarki di gereja. Teori Agensi dari Sherry B Ortner yang menawarkan tiga komponen yakni intensionalitas, konstruksi budaya dan relasi agensi dengan kekuasaan. Selain itu, kekerasan seksual yang terjadi di gereja dianalisa dengan menggunakan teori seksual politic (Katte Millet) dan konstruksi gender yang cacat dari Dorothy Dinnerstein. Hasilnya menunjukan bahwa intensionalitas subjek dibentuk dari kesadaran kiritis yang dimiliki oleh perempuan dari pengetahuan, pengalaman dan emosinya ketika menghadapi pelecehan seksual. Intensionalitas itu melampaui imajinasi patriarki dan politik nama baik yang seringkali menjadi alasan pelecehan seksual di gereja tidak diungkapkan. Selain itu, ruang imajinasi menjadi cara mereka membangun harapan tentang gereja yang lebih aman dari perspektif korban.

Sexual violence that occurs in the church is still kept quiet; silenced. In particular, the sexual violence committed by male priest to female priest candidates and young female priest in the Christian church. Their subordinate position in the church structurally and hierarchically makes them vulnerable to sexual harassment. It is not easy for women priest candidate and young women priest who are victims of sexual harassment to reveal the harassment they experience. From that background, this research aims to narrate the narrative of women candidates for pastors and young pastors who are victims of sexual violence and explore their agency for the politics of reputation in the patriarchal imagination that is still alive in the church. Their resistance to harassment and other forms of intimidation. This research was conducted with a feminist perspective approach to the victim's female experience and through the women interview women method to obtain data from the subject's narrative.  This research is analyzed with Mary Daly's thoughts on Beyond God The Father, as a reality that women surpass when they have a critical awareness of the patriarchal imagination in the church; Ortner's Agency Theory in which offers components such as intentionality, cultural construction, and agency relations with power; Millet’s offers   theory of sexual politics analyzed sexual violence in the church; Dinnerstein’s the flawed gender construction. This research founds that the informants’ intentionality is formed from the critical consciousness possessed by women from their knowledge, experiences and emotions when facing sexual harassment. That intentionality goes beyond the patriarchal imagination and ideology in the politics of sexuality because each subject has a different way of resisting. In addition, the imagination space became their way of building hope about a safer church from the perspective of the victim."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Maranatha
"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur bahwa Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas dari Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan. Merahasiakan informasi mengenai identitas korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan hal yang penting sebagai wujud pengejawantahan dari hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitas. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pengadilan dalam merahasiakan informasi dari identitas korban tindak pidana kekerasan seksual dalam putusan pengadilan. Dengan menggunakan metode penilitian doktrinal, Tulisan ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan pengaturan mekanisme publikasi putusan antara Indonesia dengan Hongaria dan Italia, terkhusus dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memperdalam analisis, penulis mewawancari dua narasumber, yaitu Marc van Opijnen selaku Peneliti Publikasi Putusan dalam Uni-Eropa dan Marsha Maharani selaku Peneliti Isu Kekerasan Seksual dari Indonesia Judicial Research Society. Temuan dari tulisan ini adalah putusan-putusan yang tidak melakukan pengaburan informasi identitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Sayangnya, putusan tersebut dipublikasi dalam situs web Direktori Putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses oleh umum yang makin mencederai hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitasnya. Selain itu, temuan dari tulisan ini adalah ketiadaan pengaturan mekanisme yang mendetail yang dapat ditempuh oleh korban terhadap putusan pengadilan yang tidak merahasiakan identitas dirinya. Adapun ketiadaan pengaturan mekanisme ini dapat berkaca dari pengaturan yang ada di Hongaria dan Italia untuk menciptakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual, dalam hal pengaburan informasi identitas korban dalam putusan pengadilan, yang berasas kepentingan terbaik bagi korban.

The Statute Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence Criminal Acts stipulates that the Court must maintain confidentiality of information containing the identities of Witnesses and/or Victims in court decisions or determinations. Maintaining the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes is crucial as a manifestation of the right to protect the victim's identity. This paper will analyze how the courts implement the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes in court decisions. Using the doctrinal research method, this paper also aims to compare the regulations on the publication mechanisms of judgments between Indonesia, Hungary, and Italy, specifically in cases of sexual violence crimes. To deepen the analysis, the author interviewed two informants, namely Marc van Opijnen as a Researcher on Court Decisions Publication in the European Union and Marsha Maharani as a Researcher on Sexual Violence Issues from the Indonesia Judicial Research Society. The findings of this paper reveal that some court decisions in Indonesia do not obscure the identities of victims of sexual violence crimes. Unfortunately, these decisions are published in website Direktori Putusan Mahkamah Agung, which is accessible to the public, thereby compromising the right to protect the victim's identity. Additionally, the paper found a lack of detailed mechanisms that victims can pursue against court decisions that do not maintain the confidentiality of their identities. The absence of these mechanisms can be reflected in the regulations in Hungary and Italy concerning the handling of sexual violence crimes, specifically in obscuring the identities of victims in court decisions, based on the best interests of the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruma Chandra Dewi
"Penelitian ini bertujuan menemukan model ideal pelayanan victim oriented humanistic policing (VOHP) dan standar operasional prosedur victim impact statement (VIS) untuk korban kejahatan kekerasan seksual di Indonesia. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan studi komparasi implementasi victim oriented policing (VOP) dan VIS pada kepolisian di Indonesia, Jepang, dan Selandia Baru. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan komparasi studi kasus, merujuk pada Neuman (2013). Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, kajian pustaka, dan dokumen dari ketiga negara, berfokus pada pelayanan kepolisian pada korban kekerasan seksual. Perbandingan dilakukan berlandaskan pada berbagai variabel aspek VOP dan VIS. Variabel perbandingan pada VOP meliputi: kultur organisasi, sumber daya organisasi, dan kompetensi khusus petugas. Sedangkan, variabel pada VIS meliputi pendekatan humanis, sikap empati, dan teknik komunikasi persuasi. Victim oriented humanistic policing (VOHP) yang penulis susun terdiri lima pendekatan strategis. Kelima pendekatan itu berupa (1) pendampingan berkelanjutan; (2) keterampilan wawancara praktis; (3) advokasi; (4) penggunaan teknologi; dan (5) kemitraan strategis. Kelima konsep teoretik ini menekankan fokus transformasi bagi penegak hukum untuk mencegah terjadinya viktimisasi primer maupun sekunder ketika menangani korban. Pada kesimpulannya, penelitian ini menawarkan model ideal VOHP dan model aplikatif VIS bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berlandaskan pada aspek humanis. Menempatkan korban sebagai inti dari pelayanan kepolisian, terutama pada konteks pelayanan bagi korban kejahatan kekerasan di Indonesia.

This research aims to find the ideal model of victim-oriented humanistic policing (VOHP) and the standard operating procedure of the victim impact statement (VIS) for victims of sexual violence crimes in Indonesia. This goal is achieved by conducting a comparative study of the implementation of victim-oriented policing (VOP) and VIS in the police forces of Indonesia, Japan, and New Zealand. The research method uses a descriptive qualitative approach and a comparative case study, referring to Neuman (2013). Data were collected through interviews, observations, literature reviews, and documents from the three countries, focusing on police services for victims of sexual violence. Comparisons were made based on various variables of VOP and VIS aspects. Comparison variables in VOP include: organizational culture, organizational resources, and special officer competencies. Meanwhile, variables in VIS include a humanistic approach, empathetic attitudes, and persuasive communication techniques. The victim-oriented humanistic policing (VOHP) that the author has compiled consists of five strategic approaches. These five approaches are (1) ongoing accompaniment; (2) practical interview skills; (3) advocacy; (4) use of technology; and (5) strategic partnerships. These five theoretical concepts emphasize the focus of transformation for law enforcement to prevent the occurrence of primary and secondary victimization when handling victims. In conclusion, this study offers an ideal model of VOHP and an applicative model of VIS for the Indonesian National Police (Polri) based on humanistic aspects. Placing victims at the core of police services, especially in the context of services for victims of violent crimes in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>