Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135887 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sylvia Putri
"Bank melaksanakan pemberian kredit sebagai salah satu kegiatan usaha utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Bank selaku kreditur seharusnya memperoleh perlindungan hukum melalui kejelasan kedudukan hukum CV. Namun, penutupan layanan pencatatan pendaftaran dan pencatatan perubahan CV dalam Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) menciptakan potensi kekosongan hukum yang dapat merugikan bank yang telah memberikan fasilitas kredit kepada CV. Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat dirumuskan dua permasalahan. Pertama, dilakukan analisis terhadap kedudukan hukum dan pertanggungjawaban sekutu CV yang telah terdaftar di Pengadilan Negeri tapi belum tercatat dalam SABU terhadap bank sebagai kreditur pasca penutupan layanan pencatatan pendaftaran dan pencatatan perubahan. Kedua, dilakukan analisis mengenai perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur yang mengalami kerugian akibat penutupan layanan pencatatan pendaftaran dan pencatatan perubahan CV. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, CV yang hanya terdaftar di Pengadilan Negeri tetap memiliki kedudukan yang sah dalam hubungan hukumnya dengan bank. Terkait tanggung jawab para sekutu, sekutu komplementer memikul tanggung jawab penuh secara pribadi termasuk konsekuensi administratif yang timbul, sedangkan sekutu komanditer terbatas tanggung jawabnya sebesar modal yang disetor selama tidak mengintervensi pengurusan CV. Kedua, bank dapat menjalankan dua bentuk perlindungan hukum. Bank dapat mengambil langkah preventif dengan mendorong sekutu komplementer untuk melakukan pencatatan sebelum tenggat waktu penutupan layanan dan memperketat prinsip kehati-hatian pada pemberian kredit baru kepada CV. Selanjutnya, perlindungan hukum represif dimana CV dapat menggunakan layanan pendaftaran CV dalam SABU pasca penutupan layanan pencatatan pendaftaran dan pencatatan perubahan.

Banks provide credit as one of their main business activities to support economic growth. As creditors, banks should receive legal protection through clarity regarding the legal status of limited partnerships. However, the closure of registration and amendment recording services for limited partnership in the Business Entity Administration System (SABU) creates potential legal gaps that could harm banks that have provided credit facilities to limited partnership. Based on these issues, two problems can be formulated. First, an analysis is conducted on the legal status and liability of limited partnership partners who have registered with the District Court but have not been recorded in SABU towards banks as creditors, following the closure of registration and amendment recording services. Second, an analysis is conducted regarding legal protection for banks as creditors who suffer losses due to the closure of limited partnership registration and amendment recording services. Using doctrinal research methods, the following conclusions are obtained. First, limited partnerships that are only registered with the District Court maintain valid legal standing in their relationship with banks. Regarding partner liability, managing partners bear full personal responsibility, including arising administrative consequences, while limited partner liability is restricted to their paid-up capital as long as they do not intervene in limited partnership management. Second, banks can implement two forms of legal protection. Banks can take preventive measures by encouraging managing partners to complete registration before the service closure deadline and tighten prudential principles for new credit facilities to limited partnership. Furthermore, repressive legal protection is available where limited partnership can use limited partnership registration services in SABU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Josephine
"Kegiatan perkreditan merupakan salah satu fungsi utama dari bank umum. Karena itu, bank dalam memberikan kredit wajib berpedoman pada prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit yang salah satunya adalah Prinsip 5C, yang diantaranya adalah collateral atau agunan. Walaupun kegiatan perkreditan telah dilaksanakan sesuai berbagai pedoman yang ada, tetapi tidak dapat dipungkiri kredit bermasalah tetap terjadi, termasuk kredit macet, yang harus diselesaikan oleh pihak bank agar kemudian tidak berdampak negatif pada pihak lain, terutama pihak bank itu sendiri. Salah satu cara bank menangani kredit macet tersebut adalah dengan melelang jaminan Hak Tanggungan untuk mendapat pengembalian kredit. Akan tetapi, bank terkadang digugat oleh pihak yang merasa dirugikan karena pelelangan tersebut, yang salah satunya terjadi di Bank X, sehingga diperlukan adanya perlindungan bagi bank ketika terjadi permasalahan tersebut. Adapun pokok permasalahannya yaitu bagaimanakah pengaturan dan regulasi mengenai penyelesaian kredit macet khususnya yang dilakukan melalui mekanisme lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh Bank X dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap bank sebagai pemegang hak tanggungan dalam penyelesaian kredit macet melalui lelang agunan pada kasus di Bank X. Metode penelitiannya adalah yuridis normatif. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan dan regulasi mengenai penyelesaian kredit macet khususnya yang dilakukan melalui mekanisme lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh bank diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang, serta perlindungan hukum terhadap bank sebagai pemegang Hak Tanggungan dalam penyelesaian kredit macet melalui lelang agunan pada kasus di Bank X diperoleh dari putusan yang dikeluarkan.

Credit activity is one of the main functions of banks. Hence, when a bank is going to give some credit, it needs to follow some prudential principles, such as 5C Principle, that one of which is collateral. Although, the bank is abided to various credit related guidelines, but non-performing loan still persist and could not be avoided completely. Therefore, resolution is needed to avoid any negative implication to other parties, including the bank itself. One of the resolution is by selling the collateral, which is the Mortgage Right, through auction. However, sometimes the banks are being sued by another party who feel disadvantaged from the auction implementation, as happened in Bank X. Hence, it is necessary for a bank to have some legal protection when the problem occurs. The subject matters are how is the regulation and arrangement regarding the resolution on non-performing loan, especially through Mortgage Right auction mechanism by Bank X and how is the legal protection for the banks as the Mortgage Right-holder to resolve non-performing loan through auction in the case of Bank X. The research method used is the juridical normative. It can be concluded that the regulation and arrangement regarding the resolution of non-performing loan, especially through Mortgage Right auction mechanism by banks are regulated in Regulation of The Minister of Finance Number 27/PMK.06/2016 and Regulation of Directorate General of State Assets Number 2/KN/2017, and legal protection for the bank as the Mortgage Right-holder to resolve non-performing loan through auction in the case of Bank X is obtained from the Courts decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyarso Wirastyo
"Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Agunan hanyalah sebagai salah satu unsur pemberian kredit, agunan kredit berupa Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan (HGB) diminati terutama oleh bank dan dianggap aman. HGB sebagai agunan kredit bank harus dibebani dengan Hak Tanggungan. Adanya ketentuan hapusnya Hak Tanggungan dengan hapusnya hak atas tanah yang dibebaninya, akan menimbulkan persoalan dan keberatan di dalam praktek. Dengan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi lembaga Hak Tanggungan, karena tanah yang dijaminkan itu suatu waktu dapat berganti statusnya dan dengan demikian menghapuskan hak tanggungannya. Dari data yang ada pada PT. Bank XYZ yang berkedudukan di Jakarta, pada posisi Bulan Mei 2014 terdapat 61 (enampuluh satu) sertipikat HGB yang telah jatuh tempo dan terdapat 184 (sertatus delapanpuluh empat) sertipikat HGB yang akan jatuh tempo sebelum 2 (dua) tahun ke depannya. Tesis ini hendak mengkaji kekuatan kuasa SKMHT atau APHT untuk perpanjangan HGB jatuh tempo yang masih dibebani Hak Tanggungan, selain itu perlindungan hukum dan upaya kreditur jika debitur wanprestasi sementara HGB yang diagunkan akan atau telah jatuh tempo. Kesimpulan dalam tesis ini SKMHT atau APHT tidak memiliki kekuatan kuasa untuk perpanjangan HGB yang akan atau telah jatuh tempo dan bagi kreditur Bank akan mengakibatkan hilangnya kedudukan yang diutamakan (preferen) karena pelaksanaan permohonan perpanjangan HGB yang masih dibebani Hak Tanggungan tidak selaras dengan ketentuan perundang-undangan.

Loans granted by banks involve risks, so the banks have to pay attention to their implementation principles of a healthy credit. To reduce these risks, credit guarantees in terms of confidence in the ability and responsibility of debtor to pay off its obligations in accordance with the agreement is an important factor that must be considered by the bank. Collateral is only as one element of the provision of credit, mortgage credit in the form of Land Rights Reserved or Land Brooking (HGB) demand especially by banks and are considered safe. HGB as collateral for bank loans should be burdened with the Mortgage. In the absence of voidance Mortgage with the abolition land rights are burdened by it, will cause problems and objections in practice. Thus it would create legal uncertainty for Mortgage institutions, because the land as collateral was a time can change its status and thus abolishes dependents. From the existing data on the PT. XYZ Bank based in Jakarta, the position as of May 2014 there were 61 (sixty one) HGB certificates that have expired and there are 184 (one houndred eighty-four) HGB certificates that will expire before the two (2) years in the future. This thesis examines the power going to the power SKMHT or APHT for extension of maturity HGB is still burdened Mortgage, in addition to the legal protection and efforts to creditors if the debtor defaults while HGB will collateralized or have expired. The conclusion of this thesis SKMHT APHT not have the power or authority to HGB extension that will or have expired and the creditor bank will result in the loss of the preferred position (preferred) since the implementation of the application for extension of the HGB is still burdened Mortgage is not aligned with the statutory provisions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Sofiyah
"Kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menjadi isu penting, terutama setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor: 2/PUU-XIX/2021. Putusan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap mekanisme eksekusi jaminan fidusia di Indonesia, khususnya dalam menyeimbangkan hak-hak kreditur dan debitur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedua putusan tersebut terhadap kepastian hukum dan perlindungan bagi kreditur dalam praktik eksekusi jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, serta putusan pengadilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019, ditegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia oleh kreditur hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan terkait wanprestasi antara kreditur dan debitur atau melalui penetapan pengadilan. Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 2/PUU-XIX/2021 memperkuat perlindungan terhadap debitur dengan memastikan adanya mekanisme keberatan dalam proses eksekusi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua putusan tersebut mengubah orientasi eksekusi jaminan fidusia dari yang sebelumnya berfokus pada kepentingan kreditur menjadi lebih berimbang dengan memperhatikan hak debitur. Namun, perubahan ini memunculkan tantangan berupa potensi keterlambatan dan peningkatan biaya eksekusi. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan regulasi yang lebih komprehensif untuk memastikan kepastian hukum bagi kreditur sekaligus melindungi hak-hak debitur. Kesimpulannya, Putusan Mahkamah Konstitusi menghadirkan reformasi hukum yang penting dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Namun, harmonisasi regulasi tetap diperlukan untuk mewujudkan keseimbangan antara kepastian hukum bagi kreditur dan keadilan bagi debitur.

Legal certainty and protection for creditors in the execution of fiduciary guarantees have become significant issues, particularly following the Constitutional Court Decisions No. 18/PUU-XVII/2019 and No. 2/PUU-XIX/2021. These decisions have significantly impacted the mechanism for executing fiduciary guarantees in Indonesia, especially in balancing the rights of creditors and debtors. This study aims to analyse the influence of these decisions on legal certainty and creditor protection in fiduciary guarantee executions. This research employs a normative juridical approach, referencing statutory regulations, legal doctrines, and court rulings. Constitutional Court Decision No: 18/PUU-XVII/2019 stipulates that the execution of fiduciary guarantees by creditors can only be conducted if there is an agreement on default between the creditor and debtor or through a court ruling. Meanwhile, Constitutional Court Decision No: 2/PUU-XIX/2021 reinforces debtor protection by ensuring an objection mechanism during the execution process. The analysis reveals that these decisions have shifted the orientation of fiduciary guarantee executions from being creditor-centric to a more balanced approach that considers debtor rights. However, this shift introduces challenges, including potential delays and increased execution costs. Therefore, comprehensive regulatory reform is necessary to ensure legal certainty for creditors while protecting debtor rights. In conclusion, the Constitutional Court Decisions represent significant legal reforms in fiduciary guarantee executions. However, regulatory harmonization is still required to achieve a balance between legal certainty for creditors and fairness for debtors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Jeffry P.
"Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum salah satu APMK yaitu kartu kredit nasabah bank terhadap kejahatan kartu kredit. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai kartu kredit di Indonesia dan Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kejahatan kartu kredit nasabah bank di Indonesia. Dengan tingginya peredaran kartu kredit di Indonesia berpotensi terjadinya permasalahan hukum. Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk melakukan analisis terkait dengan bentuk perlindungan hukum terhadap kejahatan kartu kredit di Indonesia. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu legal/yuridis approach dimana akan diteliti terhadap penerapan azas-azas hukum, sistematika hukum yang telah ada, sinkronisasi hukum yang ada di Indonesia terkait kartu kredit dan perlindungan hukum. Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, diperoleh hasil bentuk perlindungan hukum bagi kartu kredit nasabah bank antara lain: perlindungan secara tidak langsung langsung dan perlindungan secara langsung. Perlindungan hukum secara tidak langsung meliputi UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 11 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Perlindungan hukum secara langsung antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/20/PBI/2020 Tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 Tentang Sistem Pembayaran, Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/16/DKSP/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.

This research was conducted to analysis the form legal protection either APMK, namely credit cards of bank customers against credit card crimes. Now problems in this research: How are the legal provisions regarding credit cards in Indonesia and How are legal protections against credit card crimes bank customers in Indonesia. With the high circulation of credit cards in Indonesia, there is the potential for legal problems. Based on this, the research aims to conduct an analysis related to the form of legal protection against credit card crimes in Indonesia. Type of research used in this study is the legal/juridical approach, which will examine the application of legal principles, existing legal systems, synchronization of existing laws in Indonesia regarding credit cards and legal protection. Based on the analysis conducted in this research, the results obtained from the form of legal protection for bank customer credit cards include: indirect protection and direct protection. Legal protection indirectly includes Law No. 7 of 1992 as amended by Law No. 10 of 1998 concerning Banking, Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, the Criminal Code, Law no. 11 of 2008 as amended by Law No. 19 of 2016 concerning Information & Electronic Transactions. Direct legal protection includes Bank Indonesia Regulation Number 22/20/PBI/2020 concerning Bank Indonesia Consumer Protection, Bank Indonesia Regulation Number 22/23/PBI/2020 concerning Payment Systems, Regulation of the Minister of Communications and Information Technology of the Republic of Indonesia Number 20 of 2016 concerning Protection of Personal Data in Electronic Systems, Circular Letter of Bank Indonesia Number 16/16/DKSP/2014 concerning Procedures for Implementation of Consumer Protection for Payment System Services."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Akila Wargadalem
"Munculnya teknologi informasi di dunia perbankan telah mengakibatkan berkembangnya bank digital. Karena aktivitasnya berbeda dengan bank tradisional dimana bank digital melakukan semua aktivitasnya di platform digital, maka menimbulkan beberapa risiko yaitu risiko kejahatan dunia maya khususnya phishing dan juga risiko pelanggaran perlindungan data. Dalam kaitannya dengan produk tabungan, beberapa bank digital juga menawarkan bunga tinggi yang melebihi limit yang ditetapkan LPS, hal ini menimbulkan isu mengenai pertanggungjawaban bank terhadap suku bunga simpanan tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari skripsi ini adalah untuk menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana atas produk tabungan pada Bank Digital di Indonesia dan untuk menganalisis implementasi dari Bank Digital terhadap perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan Bank Digital dalam produk tabungan di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis, yang juga didukung dengan wawancara dengan narasumber. Hasil dari penelitian ini adalah bank digital memberikan perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dalam produk tabungannya dengan mematuhi peraturan OJK untuk bank tradisional dan peraturan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang mana telah diterapkan oleh bank digital. Namun karena regulasi untuk bank digital masih tersebar, penulis menyarankan agar OJK membuat regulasi perlindungan konsumen untuk bank digital dan harus diikuti dengan kepatuhan bank digital terhadap regulasinya.

The arising of technology information in banking world has resulting the developments of digital bank. As its activities differs with traditional banks whereas digital bank conduct all of its activity on digital platform, it creates several risks which are risk of cybercrime specifically on phishing and also risk of violation of data protection. In regards to savings product, some of the digital banks also offers high interest rate which exceeds the limit set by LPS, which has raised the issue on the responsibility of the guarantee of the exceeding interest rate. Therefore, the objective of this thesis is to analyze the legal protection for Depositor on savings product in Digital Banks in Indonesia and to analyze the implementation of the Digital Bank towards the legal protection of Digital Bank Depositor on savings product in Indonesia. The research method in this thesis is normative juridical research method, namely research that emphasizes the use of legal norms in writing, which also supported by interviews with informants. The result of the study is that in order to provide legal protection towards its depositor, digital bank is still comply to regulation by OJK for traditional bank along with ministry of communication and information regulation and it has been implemented by the digital bank. However, as the regulation is still scattered for digital bank, the author suggests that OJK shall create consumer protection regulation for digital bank and must be followed with the compliance by the digital bank towards its regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Yulianto
"Hubungan bisnis antara induk dan anak perusahaan sudah sering terjadi, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yaitu dengan melakukan pemindahan pekerja antar induk dan anak perusahaan. Salah satu upaya pemindahan pekerja antar perusahaan adalah dengan cara penugasan pekerja, yaitu dengan cara menugaskan pekerja dari perusahaan asal untuk bekerja pada perusahaan penerima tanpa mengakhiri perjanjian kerja dari pekerja yang ditugaskan dengan perusahaan asal. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pemindahan pekerja antar perusahaan, sehingga dalam tulisan ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu bagaimana ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja yang ditugaskan selama penugasan antar induk perusahaan dan anak perusahaan, serta bagaimana ketentuan yang ideal mengenai pemindahan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memberi penjelasan secara sistematis mengenai penugasan pekerja antar perusahaan dengan cara menganilisis hubungan antar peraturan yang relevan dan memprediksi perkembangannya. Dalam penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan melibatkan tiga subyek hukum yaitu perusahaan asal, perusahaan penerima, serta pekerja yang ditugaskan. Hubungan kerja serta hak dan kewajiban antara subyek hukum dalam penugasan harus dipastikan dalam perjanjian penugasan. Karena penugasan antar perusahaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang ditugaskan, maka ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan harus diatur dalam kaidah otonom yang melibatkan pekerja dalam pembentukannya yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB), agar terwujud hubungan industrial yang harmonis.

Business relationships between parent and subsidiary companies often occurred, including in the field of employment, especially transferring workers between parent and subsidiary companies. One way to transfer workers between companies is by assigning employees from the original company to work at the host company without terminating the work agreement between workers and the original company. It's called employee secondment. There are no provisions governing how to carry out employee secondment between companies in Indonesian regulations, so in this paper there are three problem formulations, first of all, what are the provisions regarding employee secondment between parent companies and subsidiaries? Secondly, what is the legal protection for employee secondment during intercompany secondment? And the third, what are the ideal provisions regarding the employee secondment? The research method used in this research is doctrinal research, which provides a systematic explanation of employee second-met between companies by analyzing the relationship between relevant regulations and predicting their development. The second employee meeting between parent companies and subsidiaries involves three legal subjects, namely the originating company, the receiving company, and the assigned workers. The employment relationship as well as the rights and obligations between legal subjects in the secondment must be confirmed in the secondment agreement. Intercompany secondment is not regulated by Indonesian laws and regulations, so to provide legal protection for the secondee, provisions regarding employee secondment must be regulated by autonomous rules that involve employees in its formation. The Collective Labor Agreement is the best autonomous rule in order to realize harmonious industrial relations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Nuswantari
"Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas harta kekayaan yang dipisahkan dengan tujuan social, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sudah seharusnya yayasan dijalankan dengan prinsip non-profit oriented. Pokok Permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap harta kekayaan yayasan yang tidak berstatus sebagai badan hukum, perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan yang telah berstatus sebagai badan hukum dan perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan berdasarkan Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004,serta penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan harta kekayaan yayasan.
Penulisan ini menggunakan metode yuridis normative yaitu menitikberatkan pada peraturan yang berlaku, referensi dan literature-literatur serta pelaksanaan peraturan dalam prakteknya. Dari hasil penelitian ini ditemukan dalam praktek bahwa dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 sebenarnya harta kekayaan yayasan mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-undang Yayasan tersebut. Untuk itu masih dibutuhkan peran aktif yang terkait kepada masyarakat dan juga kepada instansiinstansi yang terakut dengan permasalahan ini agar amanat Undang-undang dapat tercapai.

The Foundation is a legal entity consisting of separated assets with social purpose, religious and humanitarian. With the promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No.28 of 2004 on Foundation, it has become a necessity that the foundation should be opearated using the principle of non-profit oriented. Subject to be discussed in this writing is about legal protection of Foundation?s assets as a non legal entity, as a legal entity and based on Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation.
This writing method is using the judicial normative which focuses on promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation, Foundation?s assets actually get the legal protection of the Laws that apply Foundation. For it is still needed a very active role of government to socialize the law Foundation and other regulations related to society, to the agencies associated with the foundation so that the mandates of the Law can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31404
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joshua Gabriel Marcellio
"Skripsi ini membahas tentang permasalahan 1) perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dan Inggris; dan 2) perbandingan perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dengan Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penggunaan data primer berupa wawancara dengan pihak yang berpengalaman di bidang asuransi, serta data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah 1) di Indonesia, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi, BPKN, LPKSM dan BPSK, kewajiban perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning, kewenangan OJK untuk memerintahkan perusahaan asuransi memberhentikan perjanjian keagenan, penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK, BPSK, dan pengadilan umum, serta pemberian sanksi kepada agen asuransi; sedangkan di Inggris, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi dan FOS, serta penyelesaian sengketa melalui mediasi FOS, arbitrase, dan county courts; 2) Perbandingan antara Indonesia dan Inggris terkait perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah adalah tidak adanya kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning di Inggris, tidak ada penyelesaian sengketa berupa arbitrase atau konsiliasi FOS, tidak ada penindaklanjutan dari FCA, serta tidak ada mekanisme pemberian sanksi kepada agen asuransi secara eksplisit di Inggris. Selanjutnya, saran dari Penulis adalah dibuatnya pengaturan perudangan mengenai masa tunggu yang wajib dilalui agen asuransi setelah pindah ke perusahaan asuransi yang baru.

This thesis discusses the problems of 1) legal protection for policyholders against act of Twisting and Churning in Indonesia and the UK; and 2) comparison of legal protection for policyholders against acts of Twisting and Churning in Indonesia and the UK. The research method used is normative juridical with the use of primary data in the form of interviews with parties experienced in the field of insurance, as well as secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done qualitatively. The results of this study are 1) in Indonesia, the form of legal protection against Twisting and Churning actions is by providing responsibility for compensation of losses to insurance companies, the right to make complaints to insurance companies, BPKN, LPKSM and BPSK, the obligation of insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning actions, OJK's authority to order insurance companies to terminate agency agreements, dispute resolution through LAPS SJK, BPSK, and general courts, as well as sanctions against insurance agents; while in the UK, the form of legal protection against Twisting and Churning is to provide liability for compensation to the insurance company, the right to complain to the insurance company and the FOS, as well as dispute resolution through FOS mediation, arbitration, and county courts; 2) The comparison between Indonesia and the UK regarding legal protection for policyholders against Twisting and Churning is that there is no obligation for insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning in the UK, there is no dispute resolution in the form of FOS arbitration or FOS conciliation, no follow-up from the FCA, and there is no mechanism for sanctioning insurance agents explicitly in the UK. Furthermore, the author's suggestion is to make a regulation regarding the waiting period that must be passed by insurance agents after moving to a new insurance company."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Hananto Seto
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana keabsahan perjanjian pinjam meminjam online ilegal, upaya perlindungan hukum terhadap debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman Online ilegal dan upaya pemerintah dalam memberantas peredaran pinjaman Online ilegal di Indonesia, perlindungan hukum debitur melibatkan data pribadi (undang-undang), serta upaya preventif dan represif dari pemerintah. Pada dasarnya, kontrak elektronik atau digital ialah perjanjian antar pihak yang dibuat melalui sarana yang berbeda, khususnya sistem elektronik. Dengan mempergunakan metode penelitian doktriner, sumber data diperoleh dari data sekunder. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yang berdampak pada sahnya perjanjian pinjam meminjam online. Perjanjian online dengan demikian sah apabila dianggap sah karena diatur di KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian. Akan tetapi, Perjanjian melalui pinjaman online Ilegal tidak sah menurut hukum perjanjian dan hukum nasional. Hal itu disebabkan pinjaman online Ilegal banyak melanggar peraturan hukum nasional seperti melakukan pemerasan sesuai Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar UU ITE serta perlindungan konsumen. Pemerintah telah melakukan edukasi literasi keuangan, sosialisasi hukum, dan analisis data pinjaman online ilegal. Tindakan represif termasuk larangan, penyelidikan, identifikasi situs berbahaya, rekomendasi tindakan, dan bantuan hukum bagi debitur yang mengalami kerugian.

This article analyze the validity of illegal online lending and borrowing agreements, legal protection efforts for debtors who use illegal online loan applications and the government's efforts to eradicate the distribution of illegal online loans in Indonesia, legal protection of debtors involving personal data (law), as well as efforts preventive and repressive measures from the government. Basically, electronic or digital contracts are agreements between parties made through different means, especially electronic systems. By using doctrinal research methods, data sources are obtained from secondary data. Article 1320 of the Civil Code regulates the conditions for the validity of an agreement, which has an impact on the validity of online lending and borrowing agreements. Online agreements are therefore valid if they are inline with the Civil Code, specifically Articles 1320 and 1338 of the Civil Code which regulate agreements. However, agreements via illegal online loans are invalid according to contract law and national law. This is because illegal online loans often violate national legal regulations, such as committing extortion in accordance with Article 368 of the Criminal Code (KUHP) and violating the ITE Law and consumer protection. The government has carried out financial literacy education, legal outreach, and data analysis of illegal online loans. Repressive measures include prohibitions, investigations, identification of dangerous sites, recommendations for action, and legal assistance for debtors who experience losses."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>