Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103775 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadya Putri Safira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana prinsip Vicarious Liability majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawan franchise perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia demi menjamin kepastian hukum dan keadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktriner dengan pendekatan terhadap putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat. Vicarious liability merupakan asas yang memungkinkan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain atau benda di bawah pengawasannya. Meskipun vicarious liability telah diakui dalam Pasal 1367 KUHPerdata, hingga saat ini belum ada pengaturan atau putusan hukum yang secara eksplisit mengatur tanggung jawab franchisor dalam perjanjian franchise di Indonesia. Fokus pengaturan di Indonesia saat ini hanyalah berdasar pada perjanjian kerja saja. Sebaliknya, di Amerika Serikat, vicarious liability majikan pada bisnis franchise telah dikenal luas, dengan banyak putusan pengadilan yang menetapkan bahwa franchisor maupun franchisee dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan karyawan franchisee apabila terbukti memiliki kontrol signifikan terhadap operasi franchisee. Pendekatan ini memberikan perlindungan hukum yang lebih luas dengan mempertimbangkan hubungan antara franchisor dan franchisee, terutama jika franchisor memiliki pengaruh besar terhadap manajemen operasional franchisee. Untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan di Indonesia, perlu adanya pengaturan mengenai tanggung jawab franchisor atas tindakan karyawan franchisee, khususnya dalam situasi di mana franchisor memiliki kontrol signifikan terhadap aspek operasional franchisee. Pengaturan ini dapat mencakup batasan dan kriteria yang jelas terkait pengaruh franchisor, sehingga tanggung jawab hukum tidak hanya bergantung pada perjanjian kerja antara franchisee dan karyawan, tetapi juga mencakup hubungan hukum antara franchisor dan franchisee.

This paper analyzes how the principle of Vicarious Liability of employers for unlawful acts committed by franchise employees needs to be regulated in Indonesian laws and regulations in order to ensure legal certainty and justice. This study uses a doctrinal research method with an approach to court decisions in the United States. The concept of vicarious liability is a principle that allows someone to be responsible for unlawful acts committed by another person or object under his/her supervision. Although vicarious liability has been recognized in Article 1367 of the Civil Code, to date there has been no regulation or legal decision that explicitly regulates the responsibility of franchisors in franchise agreements in Indonesia. The focus of regulation in Indonesia is currently only based on employment agreements. In contrast, in the United States, the concept of vicarious liability in the franchise business is widely known, with many court decisions establishing that both franchisors and franchisees can be held liable for the actions of franchisee employees if they are proven to have significant control over the franchisee's operations. This approach provides broader legal protection by considering the relationship between the franchisor and franchisee, especially if the franchisor has a significant influence on the franchisee's operational management. To ensure legal certainty and justice in Indonesia, there needs to be a regulation regarding the franchisor's liability for the actions of franchisee employees, especially in situations where the franchisor has significant control over the operational aspects of the franchisee. This regulation can include clear limitations and criteria regarding the franchisor's influence, so that legal liability does not only depend on the employment agreement between the franchisee and the employee, but also includes the legal relationship between the franchisor and the franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Yuni Yanti
"Hubungan antara franchisor dan franchisée dalam perjanjian franchise ditandai adanya ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar. Perjanjian franchise umumnya merupakan perjanjian baku yang dibuat dan ditawarkan oleh franchisor kepada franchisée. Isinya perjanjian yang memuat syarat-syarat standar ditentukan secara apriori oleh franchisor, cenderung syarat-syarat tersebut merugikan franchisée, sehingga seringkali menimbulkan konflik antara franchisor dan franchisée dalam menjalani bisnis Franchisée. Oleh karena itu, ada upaya perlindungan hukum terhadap franchisée yang meliputi: 1. perlindungan yang bersifat preventif, dilakukan oleh Pemerintah, yaitu melalui PP Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan SK Menperindag RI Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Melalui wewenang notaris, dalam hal ini peranan notaris melalui wewenangnya untuk melegalisasi perjanjian franchise yang dibuat dan disiapkan secara a priori oleh franchisor cukup relevan dikemukakan, karena notaris dapat mencegah terjadinya perjanjian baku yang dapat merugikan salah satu pihak. Seyogyanya, pembentuk undang-undang mensyaratkan perjanjian franchise dibuat secara otentik. Oleh Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), yaitu melalui kode etik yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota AFI. 2. Perlindungan hukum yang bersifat represif, yang bertujuan memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan, melalui peradilan umum, perdamaian dan arbitrase. Dalam praktek, perdamaian merupakan cara yang selalu ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa, karena cara ini sesuai dengan prinsip bisnis franchise sebagai family business."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Prayudi
"Franchise merupakan suatu perjanjian antara para pihak dimana pihak pemilik Franchise disebut Franchisor sedangkan pihak pemohon disebut Franchisee. Franchise merupakan suatu bentuk usaha perdagangan yang belum lama dikenal yang paling utama dari, perjanjian ini adalah pemakaian dari nama perdagangan milik Franchisor. Dasar dari suatu perjanjian adalah kesepatan para pihak yang di dasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata. Adanya suatu konsensus antar para pihak menjadikan perjanjian tersebut sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian merupakan dasar dari usaha Franchise yang menggunakan nama perdagangan milik pihak lain. Banyak perjanjian-perjanjian yang mirip dengan Franchise tetapi tidak dapat dikatakan Franchise. antara lain Lisensi agent dan distribusi. Lisensi mirip dengan Franchise dikarenakan hanyak dari perjanjian Franchise yang menggunakan kata lisensi dalam kontraknya sehingga sepintas lalu mirip. Perjanjian Franchise didalamnya menyangkut hal-hal sebagai berikut : a. Pemakaian nama perdagangan b. Konsultasi manajemen. hukum maupun pemasaran c. Bantuan promosi dan penataan serta pembukaan d. Pengawasan dari Franchisor mengenai mutu dan pelayanan Hal tersebut diatas mutlak ada dalam suatu perjanjian Franchise. Kedudukan Franchisor sebagai pemilik secara nyata lebih kuat dibandingkan Franchisee karena lebih banyak kewajiban bagi Franchisee. Permasalahan yang biasa timbul adalah mengenai pengawasan karena banyak. Franchisee maka dirasakan kurang sehingga akan merugikan baik Franchisee maupun Franchisor penyelesaian perselisihan ini biasanya dikaitkan ganti rugi sampai pemutusan perjanjian ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keup, Erwin J.
New York: Entrepreneur Press, 2004
658.8 KEU f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Kusumadevi
"Kegiatan waralaba diawali dengan dibuatnya perjanjian waralaba secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Pembuatan perjanjian waralaba ini menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berarti para pihak dapat menentukan isi perjanjian tetapi tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, hal ini merupakan implemantasi dari syarat sebab yang halal yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Sebagai pelaku usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan, para pihak dalam perjanjian waralaba juga harus tunduk pada hukum persaingan usaha. Namun, sistem waralaba ini dikecualikan untuk tunduk terhadap UU No. 5 Tahun 1999 ini, hal ini dicantumkan dalam Pasal 50 huruf b. Kemudian dalam praktiknya, terdapat klausul-klausul dalam perjanjian waralaba yang berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka dibuat Pedoman Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 mengenai pembatasan terhadap pengecualian Pasal 50 huruf b, tetapi pedoman ini tidak dapat mengikat secara umum karena dibuat bukan berdasarkan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut pedoman ini klausulklausul dalam perjanjian waralaba yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan untuk tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999. Untuk menghindari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, perjanjian waralaba tetap harus berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1999. Pendekatan dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta membandingkannya dengan peraturan waralaba yang berlaku di Inggris. Inggris tidak memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai waralaba, hanya terdapat kode etik yang dibuat oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang waralaba. Setelah melakukan perbandingan, kemudian dilakukan analisis suatu perjanjian waralaba antara PT SAT dan HM untuk menilai klausul-klausul yang terdapat di dalamnya apakah sesuai dengan prinsip persaingan usaha atau tidak. Berdasarkan analisis perjanjian waralaba PT SAT dan HM tidak melanggar prinsip persaingan usaha.

Franchise business activities are started from the making of a written franchise agreement that is signed by both or more of the parties. The writing of this agreement puts forth the principle known as freedom of contract, which means the parties are free to determine the body of the contract as long as it does not contradict with the law, general order, and moral decency. This principle is an implementation towards the good cause as one of the condition for the licit agreement. As an entrepreneur who aims for profit, the parties involved should binds themselves to competition law. But, franchise itself is an exception for Law No. 5 Year 1999, as ruled in article 50 letter (b). And also in practice, there are clauses that could potentially cause an unfair practice in the franchise agreement, so therefore an Implementing Guidelines for Article 50 letter (b) Law No. 5 Year 1999 regarding boundaries for the exception ruled out in article 50 letter (b). But this implementing guideline can?t bind in general because it is made not from command of the higher law. According to this guidelines, the clause in a franchise agreement that may cause an unfair practice is not an exception to bind to Law No. 5 Year 1999. To avoid an unfair practice, the franchise agreement must be in accordance to Law No. 5 Year 1999. This thesis is approached by analyzing governing law, and by comparing it with the British franchise regulation. The British did not have any regulation that is specifically governs franchising, but there are only code of ethics that is created by a non-profit organization that moves in the franchising field. After the comparison, an analysis to a franchise agreement between PT. SAT and HM is done to assess the clauses that is in the body of the agreement, whether or not it is in accordance to competition law principle or not. According to the analysis, the franchise agreement between PT. SAT and HM did not violate the competition law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42339
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marinza Savanthy
"Franchise, yang sering disebut sebagai waralaba di Indonesia, merupakan suatu format usaha yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari lisensi. Franchise merupakan bentuk usaha yang marak berkembang pada tahun 1990-an di Indonesia. Oleh karena perkembangan yang begitu pesat itulah diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai waralaba. Sehingga pada akhirnya dikeluarkan PP No. 16 Tahun 1996 tentang Waralaba dan juga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997. Dengan demikian telah terdapat pengaturan yang jelas mengenai waralaba. Franchise merupakan suatu format bisnis yang memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usaha dengan menggunakan merek dagang, logo, serta hak kekayaan intelektual lain, yang merupakan ciri usaha dari franchisor. Franchisee juga menjalankan usaha dengan menggunakan konsep usaha yang menyeluruh dari franchisor. Franchisee menjalankan usaha sepenuhnya menggunakan manajemen yang berasal dari franchisor. Franchisee mendapatkan bimbingan, bantuan dan pelatihan dari franchisor dalam menjalankan usahanya. Atas penggunaan hak kekayaan intelektual franchisor, serta konsep usaha yang menyeluruh dari franchisor, franchisee harus memberikan royalty pada franchisor. Usaha franchise memiliki beberapa keuntungan dibanding mendirikan usaha yang baru, selain tentunya kelemahan-kelemahan. Franchise juga memiliki faktor resiko yang sama atas kegagalan usaha. Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha franchise. Oleh karena itu pembahasan mengenai kelangsungan usaha dalam bentuk usaha franchise menjadi tema penulisan dalam skripsi ini. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa permasalahan sehubungan dengan perjanjian franchise, sehingga akan dibahas pula mengenai perjanjian baku dalam perjanjian franchise serta mengenai teori itikad baik dan juga disclosure documentation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Fitri Utami
"Waralaba adalah hak khusus (adalah karya intelektual manusia di Indonesia) bidang industri hak kekayaan intelektual (HAKI)) yang didukung oleh individu atau entitas bisnis yang menentang sistem bisnis dengan bisnis karakteristik untuk memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat digunakan dan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian Waralaba. Di Indonesia, pengaturan Waralaba dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif penelitian yuridis. Penelitian yuridis dilakukan dengan penelitian hukum perpustakaan dan revisi Peraturan Waralaba No. 16 tahun 1997 dan Peraturan Waralaba No. 42 tahun 2007 2007 untuk melihat perkembangan pengembangan Waralaba di Indonesia. Sementara di Inggris, peraturan tentang waralaba masih menggunakan kode etik, yaitu ECF, yang hanya merupakan kode etik, tetapi penggunaannya menjadi pedoman dan menjadi a patokan untuk hakim. Kemudian tentukan Waralaba di Inggris, yang dirinci di ECF dengan kode BFA, yang merupakan Kode BFA di samping Inggris pemerintah. Selain itu, penulis juga akan menentang hukum Waralaba di Indonesiadan Inggris, untuk melihat perspektif lain yang semakin besar Dunia waralaba di era globalisasi saat ini.

Franchising is a special right (a human intellectual work in Indonesia) in the field of intellectual property rights industry (IPR) supported by individuals or business entities that oppose the business system with business characteristics to market goods and/or services that have proven successful and can be used and/used by other parties based on the Franchise agreement. In Indonesia, the regulation of Franchising in Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchising. The research method used in this study is normative juridical research. Juridical research was carried out with library law research and revision of Franchise Regulation No. 16 of 1997 and Franchise Regulation No. 42 of 2007 2007 to see the development of Franchise development in Indonesia. Meanwhile in In the UK, regulations on franchising still use a code of ethics, the ECF, which is only a code of ethics, but its use is a guideline and becomes a benchmark for judges. Then specify the Franchise in the UK, which is specified in the ECF with the BFA code, which is the BFA Code in addition to the UK government. In addition, the author will also oppose the Franchise law in Indonesia and the UK, to see other perspectives that are getting bigger The franchise world in the current era of globalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Sintya Rahmadany
"Waralaba merupakan hak untuk melakukan kegiatan usaha menjual suatu produk atau jasa. Di Indonesia waralaba dilaksanakan berdasarkan suatu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Pengaturan mengenai waralaba di Indonesia belum terlalu lengkap dan memadai jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat mengatur mengenai waralaba dari peraturan tingkat federal sampai dengan peraturan tingkat negara bagian, sedangkan di Indonesia hanya diatur mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perbandingan peraturan perjanjian waralaba di Indonesia dan Amerika Serikat, serta kewajiban pendaftaran di Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan perbandingan dan peraturan perundang-undangan.

Franchising is the rights to conduct a business in selling product or service. In Indonesia, franchising was held by a Franchise Agreement between Franchisor and Franchisee. Franchise regulations in Indonesia is not complete and adequate when compared to the United States. The United States rules the franchising from federal level to the state level regulations, while in Indonesia is only from the level of government regulation. In this research will discuss the comparison about of franchise agreements regulations between Indonesia and the United States of America, also comparison about the registration of franchise agreements between Indonesia and the United States of America. This research use the normative juridical research by using comparative approach based on methods of comparative law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nafisah
"Waralaba adalah suatu metode pendistribusian barang dan jasa yang pelaksanaannya diatur dalam perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Di Indonesia, waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 Tahun 2012 tentang Waralaba. Sedangkan di Korea Selatan, waralaba telah diatur dalam undang-undang, yaitu Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 dan juga keputusan penegakan hukum atas Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. Penelitian ini menggunakan metode hukum komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pengaturan perjanjian waralaba antara Indonesia dan Korea Selatan. Hasil penelitian ini menyarankan agar regulasi waralaba dibuat menjadi undang-undang dengan ketentuan yang lebih detail dan tidak diatur.

Franchising is a method of distributing goods and services, the implementation of which is regulated in a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. In Indonesia, franchising is regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising and Regulation of the Minister of Trade Number PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 of 2012 concerning Franchising. Whereas in South Korea, franchising has been regulated in law, namely the Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 and also the law enforcement decision on the Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. This study uses a comparative legal method. The results showed that there are similarities and differences in franchise agreement arrangements between Indonesia and South Korea. The results of this study suggest that franchise regulations be made into laws with more detailed and unregulated provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pietra Sarosa
"Penelitian di Perancis menunjukkan bahwa faktor dukungan dari franchiser, faktor alasan ekonomis dari format bisnis franchise, faktor alasan pemasaran dari format bisnis franchise, dan faktor alasan pribadi dari calon franchisee merupakan faktor yang menentukan keputusan calon franchisee dalam memilih format bisnis franchise. Namun demikian, belum ada penelitian semacam ini di Indonesia yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan calon franchisee di Indonesia dalam memilih format bisnis dan merek franchise.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor penentu pada penelitian di Perancis tersebut pada responden di Indonesia untuk melihat apakah faktor yang sama juga mempengaruhi keputusan calon franchisee di Indonesia dalam memilih format bisnis franchise.
Penelitian ini terdiri dari enam model pengukuran dan lima hipotesis yang diujikan terhadap 202 responden dimana responden dalam penelitian ini adalah pengunjung International Franchise and Business Expo 2006 di Jakarta Convention Center tanggal 5-7 Mei 2006.
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah model convenience sampling. Analisis data yang digunakan adalah metode Structural Equation Model (SEM) dengan menggunakan program LISREL 8.30. Data yang dikumpulkan ternyata hanya mendukung empat dari lima hipotesis yang dikemukakan, sementara sate hipotesis lainnya tidak diterima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa temyata faktor dukungan dari franchiser, faktor alasan ekonomis dari format bisnis franchise dan faktor alasan pribadi dari calon franchisee) menjadi faktor yang menentukan keputusan calon franchisee untuk memilih format bisnis franchise. Selain itu bahwa pemilihan format bisnis franchise juga mempengaruhi keputusan talon franchisee dalam memilih suatu merek franchise.
Temuan yang penting dalam penelitian ini adalah bahwa faktor pemasaran dari format bisnis franchise ternyata bukan menjadi faktor yang menentukan dari keputusan calon franchise dalam memilih format bisnis franchise. Hal ini tentu berbeda dengan hasil penelitian di Perancis.
Implikasi yang dapat diberikan melalui penelitian ini antara lain bahwa perlu adanya edukasi bagi calon franchisee mengenai pentingnya dukungan dari franchiser bagi keberhasilan bisnis franchise mereka dalam jangka panjang. Selain itu franchiser juga perlu lebih menekankan mengenai aspek ekonomis dan alasan pribadi untuk menarik minat para calon franchisee.
Terakhir, Pemerintah sebagai regulator bisnis franchise diharapkan juga menerapkan aturan yang lebih ketat bagi franchisor antara lain dengan mengharuskan franchisor menyediakan prospektus yang memuat data keuangan dan dukungan yang diberikan kepada franchisee-nya.

Previous research in France showed that support factor from franchiser, economic reason factor of franchise business format, marketing reason factor of franchise business, and personal reason factor from franchisee candidate were deciding factors of franchisee candidates in choosing franchise business format. Nevertheless, there had never been such research in Indonesia to study the factors influencing the decisions of franchisee candidates in Indonesia in choosing franchise brand and business format.
This research aimed to examine deciding factors of the said research in France for respondent in Indonesia to see whether same factors also influenced the decisions of franchisee candidates in Indonesia in choosing franchise business format.
This research consisted of six measurement models and five hypotheses which were tested on 202 respondents in which the resepondents of this research were visitors of International Franchise and Business Expo 2006 in Jakarta Convention Center dated 5-7 May 2006.
Sampling Method used was sampling convenience model. Data analysis used was Structural Equation Model (SEM) method which used LISREL 8.30 program. The collected data turned out to only support three out of five hypothesis quoted, whereas the other two hypothesis were not accepted.
The research result showed that the franchiser's support factor, economic reason factor of business format and personal reason factor of franchisee candidate became the deciding factors for franchisee candidate to choose franchise business format. Besides that, the fact that the choice of franchise business format also influenced franchisee candidate decision to choose certain franchise brand.
The important finding in this research was that marketing reason factor of franchise business format were not the deciding factor of franchise candidate decision to choose franchise business format. This, of course, was decent from the result of the research in France.
The implications which can be given through this research were the need of education for franchisee candidate regarding the importance of franchiser support for the success of their franchise business in the long term. Besides that, franchiser also needs to emphasize on the economic aspect and personal reason to attract the interest of franchisee candidate.
Lastly, the government as franchise business regulator was expected to implement more stringent regulations for franchiser such as necessitating franchiser to provide prospectus containing financial data and support to be given to their franchisee.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>