Ditemukan 158487 dokumen yang sesuai dengan query
Amara Ayu Maharani
"Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi seharusnya dilakukan secara serentak meliputi pelaksanaan pemindahan hak dan pembayarannya. Namun dalam praktiknya, ditemukan pelepasan hak yang belum dibayar lunas sedangkan tanahnya telah dikuasai oleh penerima pelepasan hak tanpa didasari sertipikat hak atas tanah. Pelepasan hak tanah yang dibuat dengan akta pelepasan hak yang tidak kunjung dibayar sisa pelunasannya dinyatakan batal oleh putusan mengadilan serta menimbulkan persoalan, yaitu mengenai pembatalan akta pelepasan hak yang tidak dibayar secara lunas terhadap Penggugat dan Notaris yang bersangkutan dan dampak penguasaan fisik tanah yang didasari akta pelepasan hak dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 226/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian hukum doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris dan memanfaatkan data sekunder sebagai sumber data. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan serta mengacu pada analisis data secara kualitatif. Akta Perjanjian Pelepasan Hak No. 37 dan Akta Perjanjian Pelepasan Hak No. 37A pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 226/PDT.G/2023/PN JKT.SEL., dinyatakan batal diakibatkan terdapat pihak yang wanprestasi. Selain itu, dalam akta pelepasan hak tidak dicantumkan unsur essensialia akta berupa jangka waktu. Seperti dalam kasus ini, dikarenakan tanah yang menjadi obyek perjanjian belum beralih dengan sempurna, maka pembatalan perjanjian masih dapat dilakukan melalui putusan pengadilan. Pembatalan akta pelepasan hak terhadap Penggugat menimbulkan akibat hukum batalnya perjanjian dan tanahnya kembali menjadi miliknya seperti semula. Sedangkan terhadap Notaris ialah, akta pelepasan tersebut dinyatakan batal oleh putusan pengadilan. Dampak penguasaan fisik tanah yang didasari akta pelepasan hak mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi kedua belah pihak. Penguasaan fisik tanah dapat dianggap tidak sah jika belum diikuti dengan proses pelepasan hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dengan penerbitan sertipikat tanah yang resmi oleh Badan Pertanahan Nasional (“BPN”).
The deed of release of land rights with compensation should be carried out simultaneously, encompassing both the transfer of rights and payment. However, in practice, there are instances where the release of rights has not been fully paid, while the land has already been controlled by the recipient without being supported by a land rights certificate. A deed of release of land rights created without the full settlement of the payment may be declared null and void by a court ruling, raising issues concerning the cancellation of the deed of release of rights due to non-payment in full. This affects the Plaintiff, the Notary involved, and the implications of physical possession of the land based on such a deed, as reflected in the ruling of the South Jakarta District Court Number 226/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL. This study adopts a doctrinal legal research approach with an explanatory typology, utilizing secondary data as the primary source. Data collection was conducted through a literature review and analyzed qualitatively. The Deed of Agreement for the Release of Land Rights No. 37 and Deed of Agreement for the Release of Land Rights No. 37A in the South Jakarta District Court Decision No. 226/PDT.G/2023/PN JKT.SEL were declared void due to a breach of contract by one party. Additionally, the deed of release of land rights lacked an essential element: a specified time frame. Since the land subject to the agreement had not been fully transferred, the annulment of the agreement could still be pursued through a court decision. The annulment of the deed of release of land rights resulted in the legal consequence of the agreement being void, with the land reverting to its original owner. Regarding the Notary, the deed of release of land rights was declared void by the court decision. The impact of physical possession of the land based on the deed of release of land rights results in legal uncertainty for both parties. Physical possession of the land may be deemed unlawful if it is not followed by a proper release of rights process in accordance with regulations and the issuance of an official land certificate by the National Land Agency ("BPN")."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nasution, Rina Fitriani
"Untuk memberikan kepastian akan keabsahan kepemilikan hak penguasaan atas tanah maka dilakukan kegiatan pendaftaran tanah secara seksama oleh pemerintah agar data yang disampaikan dapat dipertangungjawabkan kebenarannya. Selalu ada kemungkinan digugat oleh pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya. Kasus semacam itu ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 309PK/Pdt/2021. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis penentuan pemilik sertipikat hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya dengan terbitnya sertipikat ganda Hak Milik di atas bidang tanah yang sama, dan penguatan lembaga rechverwerking melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) yang menolak permohonan pemilik sertipikat yang terbit kemudian sebagai dasar pembatalan sertipikat oleh kantor pertanahan. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa penentuan kepemilikan sertipikat hak penguasaan atas tanah didasarkan pada pertimbangan bahwa nama yang tertera dalam sertipikat yang terbit terdahulu merupakan pemilik hak penguasaan atas tanah yang sebenarnya. Hal tersebut dikuatkan melalui Putusan Peninjauan Kembali yang menolak permohonan pemilik sertipikat yang terbit kemudian melalui lembaga rechtsverwerking atau kehilangan hak untuk menuntut. Selanjutnya, pemilik sertipikat yang terdahulu bisa melanjutkan proses untuk membatalkan sertipikat yang terbit kemudian melalui permohonan pembatalan ke kantor pertanahan setempat.
To ensure the validity of land ownership rights, the government conducts land registration carefully so that the data presented can be accounted for truthfully. There is always the possibility of being sued by others who can prove themselves as the actual landowners. Such cases can be found in Supreme Court Decision Number 309PK/Pdt/2021. This research aims to analyze the determination of the true owner of the land ownership certificate in cases of the issuance of duplicate Ownership Certificates for the same land plot, and to strengthen the institution of rechverwerking through a Review that rejects the application of the certificate owner issued later as the basis for the cancellation of the certificate by the land office. This doctrinal legal research is conducted to gather secondary data which is then analyzed qualitatively. The analysis results indicate that the determination of ownership of the land ownership certificate is based on the consideration that the name listed in the certificate issued earlier is the actual landowner. This is reinforced through the Review Decision which rejects the application of the certificate owner issued later through the rechtsverwerking institution or the loss of the right to sue. Subsequently, the owner of the certificate registered earlier can proceed with the process of canceling the certificate issued later through a cancellation request to the local land office."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Siti Athirah Zahra
"Penelitian ini membahas mengenai pembatalan akta autentik oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Syarat objektif tidak terpenuhi pada akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Hal ini dibuktikan dengan Akta Kesepakatan Bersama dan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menerangkan, bahwa objek hibah bukan milik pemberi hibah. Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab PPAT terhadap akta hibah yang dibatalkan dan akibat hukum atas akta hibah yang dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder atau bahan kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data disajikan secara preskriptif. Hasil analisis adalah pembatalan akta PPAT oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan bukan karena kelalaian dan kesalahan dari PPAT, melainkan karena kelalaian dan kesalahan dari para pihak dalam perjanjian sehingga pada kasus ini PPAT tidak memiliki tanggung jawab baik dalam perdata, maupun administrasi terhadap pembatalan akta hibah tersebut. Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat objektif, maka akta hibah yang dibuat oleh PPAT batal demi hukum, perjanjian tersebut tidak berkekuatan hukum tetap dan dianggap tidak pernah ada suatu perikatan.
This thesis discusses the cancellation of an authentic deed by the South Jakarta Religious Court in the form of a grant deed made by PPAT. Objective requirements are not met in the deed of grant made by PPAT. This is evidenced by the Deed of Collective Agreement and Determination of the South Jakarta Religious Court which explains that the object of the grant does not belong to the grantor. The problems examined in this study are the PPAT's responsibility for the canceled grant deed and the legal consequences of the canceled grant deed by the South Jakarta Religious Court Decision. To answer these problems, normative legal research methods are used by using secondary data or library materials consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Data analysis is presented prescriptively. The result of the analysis is that the cancellation of the PPAT deed by the South Jakarta Religious Court was not due to the negligence and fault of the PPAT, but because of the negligence and error of the parties in the agreement so that in this case PPAT has no responsibility both in civil and administrative matters for the cancellation of the grant deed. The legal consequences of not fulfilling the objective requirements, the grant deed made by the PPAT is null and void, the agreement has no permanent legal force and is considered to have never been an engagement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Karina Alexandra
"Peralihan hak atas tanah, salah satunya melalui jual beli harus dilakukan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam jual beli. Salah satu syarat formil dalam jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menerima sertipikat asli dan memeriksa kesesuaian data pada sertipikat tanah dengan data pada Kantor Pertanahan. Salah satu sengketa dalam jual beli tanah terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Penelitian ini menganalisis kedudukan hukum pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat dan tanggung jawab PPAT yang membuat akta jual beli yang bersangkutan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat tidak memiliki kedudukan sebagai pihak yang berhak atau pemilik yang sah atas hak atas tanah yang bersangkutan karena jual beli tidak sah sesuai peraturan yang berlaku. PPAT yang membuat akta jual beli tanpa melakukan pengecekan sertipikat dapat dimintakan tanggung jawab secara administratif, perdata, dan pidana. PPAT seharusnya menolak untuk membuat akta jual beli apabila tidak diserahkan sertipikat asli.
The transfer of land rights, such as through buying and selling, should be done according to the procedure and prevailing regulations. This must be fulfilled to prevent conflict of land rights ownership and to give legal certainty for the parties. One of the formal requirements in the buying and selling of land rights is The Land Deed Official (PPAT) must receive the authentic land certificate and verify the data in the certificate with the data in the National Land Agency. An example of this issue happens in Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research analyses the legal standing of a party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate and the responsibility of The Land Deed Official who makes the sale and purchase deed in the Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research uses juridical normative method with explanatory typology using document studies. As the result of this research, the party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate does not have the legal standing as the rightful owner of the land right because the sale and purchase deed does not fulfil the formal requirements and regulations. The Land Deed Official who made the sale and purchase agreement without verifying the certificate can be held responsible either administrative, civil, or criminal. The Land Deed Official should refuse to make the sale and purchase deed if there is no authentic certificate provided."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Handayani Dyah Puspitasari
"Penelitian ini membahas mengenai peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh/di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) baik melalui hibah maupun yang lainnya harus dilakukan secara jelas. Perbuatan hukum yang melibatkan kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Dalam pembuatan akta, para pihak harus secara aktif menyatakan secara jelas hal-hal yang menjadi kesepakatan dua belah pihak yang mendasari dilakukannya kesepakatan tersebut. Hal ini guna memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan kepada kedua belah pihak yang bersepakat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai 1) Kekuatan hukum Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang akan ditarik kembali oleh pemberi hibah; 2) Peran dan tanggungjawab PPAT terhadap akta hibah yang dikeluarkannya; 3) Upaya penerima hibah untuk mempertahankan kepemilikan hak atas tanahnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif sehingga dalam penelitian ini digunakan logika yuridis. Adapun Analisa data yang dilakukan secara perspektif. Hasil analisis yang diperoleh menyatakan bahwa; 1) Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang dikeluarkan oleh PPAT SJM termasuk kedalam akta autentik, yang mana akta tersebut dapat menjadi bukti yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah dan menjadi dasar kuat atas perubahan terhadap kepemilikan hak atas tanah. 2) SJM sebagai PPAT yang membuat akta hibah, atas permintaan kedua belah pihak bertindak sesuai dengan peran dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dalam pembuatan Akta Hibah Nomor: 23/ V/KOB/2005. 3) Akta Hibah tersebut menjadi alat bukti yang kuat bagi penerima hibah untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah diterimanya berdasarkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi hibah dan penerima hibah terhadap Tanah Hak Milik tersebut. Penandatanganan oleh para penghadap di hadapan Pejabat berwenang dalam pembuatan akta hibah tersebut adalah mutlak dan memberikan kekuatan pembuktian yang kuat, dalam hal ini PPAT SJM.
This study discusses abaut the transition of land rights undertaken by/in front of PPAT both through grants and others must be done clearly and clearly. Legal action involving ownership of land rights must be done with a PPAT deed. In making the deed, the parties must actively state clearly the matters that are the two parties' agreement underlying the agreement. This is to provide legal certainty and protection to both parties. As for the problems raised in this study regarding 1) The legal power of the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 which will be withdrawn by the grantor; 2) The role and responsibility of the PPAT for the grant certificate issued; 3) The efforts of the grantee to maintain ownership of his land rights. To answer these problems, a method of normative legal research is used so that in this study juridical logic is used. The data analysis is done in perspective. The results of the analysis stated; 1) That the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 issued by PPAT SJM was included in the authentic deed, which can be solid evidence of ownership of land and is a strong basis for changes to the ownership of land. 2) SJM as the PPAT who created the grant certificate, at the request of both parties acted according to the role and responsibility are given to him in the creation of the Grant Certificate Number: 23/V/KOB/2005. 3) The Grant Certificate is a powerful tool of evidence for the grantee to defend the rights to the land he has received based on legal actions undertaken by the grantee and the grantee against the Land of Property. Signing by the respondents before the authorities in the form of the grant certificate is absolute and provides strong proof of power, in this case, PPAT SJM."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Levy Maulana Muhammad
"Proses pelepasan hak atas tanah sering memunculkan konflik yang dapat memicu terjadinya sengketa di bidang pertanahan. Kasus yang memunculkan sengketa berkaitan dengan proses pelepasan hak atas tanah ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. Untuk itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai peran dan tanggung jawab notaris atas pembuatan akta pelepasan hak atas tanah yang tidak sesuai dengan kebenaran materiil dan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif di mana bahan-bahan hukum yang diteliti, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dapat dinyatakan bahwa notaris bisa membuat akta pelepasan hak atas tanah yang dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu tanggung jawab notaris terhadap akta pelepasan hak atas tanah yang dibuatnya hanya sebatas pada apa yang diketahui dan disaksikan berdasarkan surat- surat dan keterangan para penghadap pada saat akta dibuat. Adapun pertimbangan hakim dalam Putusan a quo yang menolak permohonan ganti rugi terkait pelepasan hak atas tanah tidak memenuhi rasa keadilan karena akta pelepasan hak atas tanah yang dijadikan sebagai dasar permohonan penerbitan sertipikat hak pengelolaan dalam kasus tersebut, semestinya batal demi hukum.
The process of relinquishment of land rights has created a potential conflict that can trigger disputes in the land sector. The case that related to the process of relinquishment of land rights was found in the Serang District Court’s Verdict Number 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. The issues raised in this study are regarding the roles and responsibilities of a notary for making a deed of release of land rights that are not compatible with the material truth and also about the analysis of the judge's considerations in the a quo verdict. This research’s form is a juridical-normative which is the legal materials studied are collected through library research, and analyzed qualitatively. As the results of an analysis of these legal materials, it can be stated that a notary can make a deed of relinquishment of land rights in accordance with applicable regulations. Meanwhile, the notary's responsibility for the deed of release of land rights that he made was limited to what was known and witnessed based on the letters and statements of the appearers at the time the deed was drawn up. The judge's consideration in the a quo verdict which rejected the application for compensation related to the relinquishment of land rights did not fulfill a sense of justice because the deed of relinquishment of land rights which was used as the basis of the application for the issuance of certificates of management rights in that case, should have been null and void by law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Christy Monaita Martanti
"Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu dalam hal peralihan hak atas tanah, salah satunya yaitu akta jual beli. Dalam peraturannya telah diatur bahwa tidak diperbolehkan membuat akta jual beli dengan blanko kosong. Dalam hal ini ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dalam pembuatan akta jual beli dengan blanko kosong sehingga berimplikasi pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Tesis ini membahas tanggung jawab PPAT sebagai pejabat umum terhadap pembatalan akta jual beli akibat perbuatan melawan hukum serta akibat hukumnya. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Hasil pembahasan ini adalah PPAT bertanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum membuat akta jual beli dengan blanko kosong: (1) Tanggung jawab PPAT bersangkutan terdiri dari tanggung jawab administrasi berupa pengenaan sanksi administrasi pemberhentian sementara dari jabatannya dan tanggung jawab pidana berupa pengenaan sanksi pidana. (2) Akibat hukum terhadap akta jual beli yang dinyatakan batal demi hukum oleh suatu putusan pengadilan yaitu akta tersebut dianggap tidak pernah ada. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli. Pengurusan dilakukan dengan membuat akta pembatalan jual beli tanah, yang akan ditindak lanjuti oleh Kantor Pertanahan untuk dilakukan pencabutan dan pembatalan sertipikat yang telah terbit sebelumnya. Pembatalan sertipikat akan mengembalikan status tanahnya ke keadaan semula sebelum dilakukan peralihan hak. Sehingga nama pemegang hak akan kembali ke nama pemegang hak semula.
The Land Deed Maker Official (PPAT) is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions in terms of the transfer of land rights, one of which is the deed of sale and purchase. In the regulations it has been regulated that it is not allowed to make a deed of sale with a blank form. In the case, a violation was found by PPAT in making a deed of sale and purchase with a blank form so that it had implications for unlawful acts (onrechmatige daad). This thesis discusses PPAT’s responsibility as a public official for the cancellation of the sale and purchase deed due to unlawful acts and the legal consequences. The research method used in normative legal research. The results of this discussion are that the PPAT is responsible for unlawful acts of making a blank sale and purchase deed: (1) The related PPAT’s responsibilities consist of administrative responsibility in the form of imposition of administrative sanctions for dismissal from his position and crimical responsibility in the form of imposition of criminal sanctions. (2) The legal consequence of the deed of sale which is declared null and void by a court decision is that the deed is deemed to have never existed. That is, from the beginning the law considered that there had never existed. That is, from the beginning the law considered that there had never been a sale and purchase. Managenemt is carried out by making a deed of sale and purchase of land, which will be followed up by the Land Officer for revocation and previously a certificate that has been issued previously. Cancellation of the certificate will return the land status to its original state before the title song was carried out. So that the name of the right holder will return to the name of the original right holder."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Laras Hafizhah Suristyo
"Perjanjian Jual beli tanah adalah salah satu perjanjian yang tidak dapat dilakukan cukup dengan dibawah tangan. Kepastian hukum dalam perjanjian jual beli tanah mengakibatkan perlu adanya kekuatan hukum pada pembuktian dalam perjanjian jual beli dengan objek hak atas tanah. Umumnya perjanjian jual beli tanah dilakukan dihadapan Pejabat yang berwenang yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 586/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr perjanjian jual beli tanah dibawah tangan ini di sahkan oleh pengadilan, yakni para pihak Penjual dan Pembeli melakukan perbuatan hukum perjanjian jual beli tanah tidak dihadapan pejabat yang berwenang. Untuk itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kekuatan hukum perjanjian jual beli tanah dibawah tangan terhadap peralihan hak atas tanah yang terjadi serta penyelesaian pada peralihan hak atas tanah. Berdasarkan Putusan Hakim pembeli mendapatkan perlindungan hukum sebagai pembeli yang beritikad baik, namun kepastian hukum pembeli atas tanah yang seharusnya menjadi kepemilikan nya tidak tercapai. Dari hasil studi, dapat dijelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli dibawah tangan yang dinyatakan sah tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap pembeli sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Selain itu penyelesaian eksekusi terhadap tanah tersebut tidak dapat dilakukan. Penelitian hukum doktrinal ini mengkaji bahan-bahan hukum sekunder melalui studi kepustakaan yanhg didukung dengan wawancara, selanjutnya penelitian ini mengenai Kekuatan Hukum perjanjian jual beli tanah dibawah tangan terhadap peralihan hak atas tanah dan penyelesaian pada putusan yang telah disahkan pengadilan di analisi secara kualitatif.
Land sale and purchase agreement is one of the agreements that cannot be done simply under the hand. Legal certainty in the land sale and purchase agreement results in the need for legal force in proof in the sale and purchase agreement with the object of land rights. Generally, land sale and purchase agreements are made before an authorized official, namely the Land Deed Official (PPAT). However, what happened in the North Jakarta District Court Decision Number 586/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr was that this underhand land sale and purchase agreement was legalized by the court, namely the Seller and Buyer parties carried out the legal action of the land sale and purchase agreement not before an authorized official. For this reason, the issues raised in this research are regarding the legal force of the land sale and purchase agreement under the hands of the transfer of land rights that occur and the settlement of the transfer of land rights.Based on the Judge's Decision, the buyer gets legal protection as a good faith buyer, but the buyer's legal certainty over the land that should be his ownership is not achieved. From the results of the study, it can be explained that the underhand sale and purchase agreement which is declared valid cannot provide legal certainty to the buyer as the basis for transferring land rights. In addition, the settlement of execution against the land cannot be done. This doctrinal legal research examines secondary legal materials through literature studies which are supported by interviews, then this research on the Legal Power of land sale and purchase agreements under the hands of the transfer of land rights and the settlement of court-approved decisions is analyzed qualitatively. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Vicky Caesar Elang Palar
"Salah satu tujuan dari peralihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang sepakat. Permasalahan yang kerap terjadi adalah ketika tidak terpenuhinya syarat dari asas terang dan tunai, yaitu jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT. Hal ini seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 464 K/Pdt/2022, yang di mana pihak pembeli tanah yang tidak dapat melakukan proses peralihan hak atas tanah. Pihak Penjual menolak untuk dilakukannya proses peralihan hak atas tanah, padahal Pihak Pembeli sudah membayarkan secara tunai dan sudah dibuatkan kuitansi pembayaran. Pihak Pembeli yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan meminta kepada Majelis Hakim dalam putusannya untuk menetapkan Pihak Pembeli sebagai Pihak pemilik sah dari obyek sengketa tanah. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitan menunjukan bahwa perbuatan hukum jual beli tersebut dinyatakan sah dikarenakan walaupun jual beli belum dilakukan di hadapan PPAT, statusnya sudah mengikat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Hal ini dikarenakan jual beli yang belum dilakukan di hadapan PPAT tersebut sudah memenuhi syarat materiil dari suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Para Pihak mengakui benar adanya bukti kuitansi yang menyatakan pembayaran atas obyek sengketa telah terjadi.
One of the objectives of the transfer of land rights carried out before an authorized official, namely the Land Deed Officials (PPAT) is to provide legal protection to the parties who agree. The problem that often occurs is when the requirements of the clear and cash principle are not fulfilled, namely buying and selling is not carried out before the PPAT. This is similar to what happened in the Supreme Court Decision Number 464 K/Pdt/2022, where the land buyer cannot carry out the process of transferring land rights. The seller refuses to carry out the process of transferring land rights, even though the buyer has paid in cash and a receipt for payment has been made. The Buyer Party who feels aggrieved submits a lawsuit to the District Court, and asks the Panel of Judges in its decision to determine the Buyer Party as the legal owner of the object of the land dispute. The research method used normative juridical and analyzed using qualitative data analysis. The results of the research show that the legal act of buying and selling is declared valid because even though the sale and purchase has not been carried out before the PPAT, its status is binding between the seller and the buyer. This is because the sale and purchase that has not been carried out before the PPAT has fulfilled the material requirements of an agreement contained in Article 1320 of the Civil Code and the Parties acknowledge that there is proof of receipt stating that payment for the object of the dispute has occurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nirmala Rosa
"Perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak mengetahui adanya sewa menyewa atas tanah objek jual beli merupakan suatu hal yang bersifat fundamental, khususnya dalam hal penguasaan dan penggunaan tanah oleh pembeli. Pada perkara sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 65/PDT/2021/PT.MTR, terdapat kendala dalam pemberian perlindungan hukum bagi pembeli, di mana hak-hak pembeli atas tanahnya tidak sepenuhnya terlindungi. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan hakim dalam memberikan perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak mengetahui adanya perjanjian sewa menyewa atas tanah objek jual beli berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya dituliskan sebagai KUHPerdata), serta peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya dituliskan sebagai PPAT) dalam memastikan perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal adanya sewa menyewa atas tanah objek jual beli berdasarkan hukum tanah nasional. Bentuk penelitian hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal dengan tipe penelitian preskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam memberikan perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak mengetahui adanya perjanjian sewa menyewa atas tanah objek jual beli belum mencerminkan keadilan bagi pembeli karena pembeli tidak memperoleh hakhaknya secara utuh sebagai pemegang hak atas tanah yang baru. Bentuk perlindungan hukum bagi pembeli untuk mempertahankan hak-haknya di antaranya adalah dengan mengajukan gugatan pembatalan akta jual beli atau gugatan perbuatan melawan hukum terhadap penjual. Kemudian, peran PPAT dalam memastikan perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal adanya perjanjian sewa menyewa atas objek jual beli dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap sertipikat tanah objek jual beli sekaligus catatan mengenai status tanah objek jual beli yang terdaftar di Kantor Pertanahan, mengajukan permohonan SKPT ke Kantor Pertanahan, melakukan verifikasi terhadap dokumen yang diajukan oleh penjual, serta melakukan konfirmasi kepada penjual untuk memastikan tidak ada informasi yang tidak disampaikan pada saat dilaksanakan jual beli di hadapan PPAT, termasuk adanya perjanjian sewa menyewa.
Legal protection for buyers in land transactions involving undisclosed lease agreements is a fundamental issue, particularly in terms of land ownership and use by the buyer. In the case referenced in the Mataram High Court Decision No. 65/PDT/2021/PT.MTR, challenges arose in providing legal protection for the buyer, whose rights to the land were not fully protected. This research addresses the judicial considerations in providing legal protection to buyers unaware of lease agreements on the purchased land, based on the Indonesian Civil Code, as well as the role of Land Deed Officials (PPAT) in ensuring legal protection for buyers in cases of lease agreements on the purchased land under national land law. This legal research adopts a doctrinal approach with a prescriptive type of study. Secondary data is analyzed qualitatively. The results indicate that the judicial considerations in providing legal protection for buyers in land transactions involving undisclosed lease agreements do not reflect fairness for the buyers, as their rights as new land titleholders are not fully realized. Forms of legal protection for buyers to defend their rights include filing breach of contract lawsuits or tort claims against the seller. Furthermore, the role of the PPAT in ensuring legal protection for buyers in cases involving undisclosed lease agreements on the purchased land includes checking the land title certificate and its status recorded at the Land Office, submitting a SKPT (Land Registration Certificate) request to the Land Office, verifying documents submitted by the seller, and confirming with the seller to ensure that no information, including lease agreements, is omitted during the sale and purchase process."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library