Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162741 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rafi
"Remaja yang berkonflik dengan hukum memiliki konsep diri yang negatif karena terjerat kriminalitas yang membuat mereka kehilangan keberfungsian sosial. Dalam situasi tersebut, pembentukan resiliensi menjadi aspek penting agar mereka mampu bangkit, beradaptasi, dan kembali berfungsi secara sosial. Sebagai bagian dari proses rehabilitasi sosial, bimbingan sosial hadir sebagai intervensi yang diarahkan untuk memperkuat aspek kognitif, emosional, dan sosial remaja. Penelitian ini dilakukan di Sentra Handayani, salah satu LPKS yang menyelenggarakan program rehabilitasi melalui prinsip restorative justice dengan program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI). Preliminary research menunjukkan bahwa mayoritas penerima manfaat berasal dari kalangan remaja dengan vonis rehabilitasi 3–6 bulan, terlibat dalam kasus seperti kekerasan fisik, kepemilikan senjata tajam, kekerasan seksual, dan pencurian. Sebanyak 90% dari mereka memiliki tingkat intelegensi rendah dan cenderung bersikap agresif serta kesulitan memahami norma sosial. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menjelaskan kegiatan bimbingan sosial di Sentra Handayani; dan 2) menjelaskan pembentukan resiliensi remaja yang berkonflik dengan hukum melalui kegiatan bimbingan sosial di Sentra Handayani. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Informan terdiri dari 5 orang remaja yang berkonflik dengan hukum, 3 fasilitator bimbingan sosial dari kalangan penyuluh sosial, dan 2 orang pekerja sosial pendamping. Data yang didapatkan dianalisis menggunakan open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan bimbingan sosial dilaksanakan secara rutin dan sistematis dengan materi berbasis penguatan karakter dan sosial, serta metode yang bervariasi seperti pemaparan teori, refleksi diri, dan permainan edukatif. Kegiatan ini sejalan dengan terapi Cognitive Behavioral yang diaplikasikan melalui penguatan kognitif, pengelolaan emosi, dan pembentukan perilaku positif. Kegiatan ini berkontribusi terhadap pembentukan resiliensi remaja melalui penguatan tiga sumber resiliensi menurut Grotberg (1995), dukungan eksternal (I Have), kekuatan dalam diri (I Am), dan kemampuan interpersonal (I Can). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kegiatan bimbingan sosial berperan dalam mendukung proses rehabilitasi remaja agar mampu membentuk kemampuan resiliensi. Rekomendasi diberikan kepada Sentra Handayani untuk meningkatkan variasi metode dan menyusun modul yang terstruktur. Penelitian selanjutnya disarankan menelusuri keberlanjutan resiliensi pasca-rehabilitasi dan menganalisis jenis pelanggaran hukum dengan resiliensi remaja yang berkonflik dengan hukum.

Juvenile in conflict with the law often develop negative self-concepts due to their involvement in criminal behavior, leading to a loss of social functioning. In such situations, resilience becomes a crucial aspect that enables them to recover, adapt, and regain their social roles. As part of the social rehabilitation process, social guidance serves as an intervention aimed at strengthening adolescents’ cognitive, emotional, and social aspects. This research was conducted at Sentra Handayani, one of the social welfare institutions that implement rehabilitation programs based on restorative justice through the Social Rehabilitation Assistance (ATENSI) program. Preliminary research showed that most beneficiaries were adolescents sentenced to 3–6 months of rehabilitation, involved in cases such as physical assault, possession of sharp weapons, sexual violence, and theft. Approximately 90% of them had low intellectual abilities, exhibited aggressive behavior, and struggled to understand social norms. This study aims to: (1) describe the implementation of social guidance activities at Sentra Handayani; and (2) explain the formation of resilience among juveniles in conflict with the law through these activities. The method are qualitative-descriptive study using in-depth interviews, observations, and document analysis. Informants included 5 juveniles in conflict with the law, 3 social guidance facilitators from social counselors, and 2 social workers. The data analyzed with open coding, axial coding, and selective coding method. The findings show that social guidance activities are carried out regularly and systematically, with materials focused on character and social development, delivered through various methods such as theoretical presentations, self-reflection, and educational games. These activities align with the principles of Cognitive Behavioral Therapy by reinforcing cognitive restructuring, emotional regulation, and positive behavior development. The program contributes to building adolescents’ resilience through the development of three sources as proposed by Grotberg (1995): external support (I Have), internal strengths (I Am), and interpersonal skills (I Can). This study concludes that social guidance plays a significant role in supporting the rehabilitation process by fostering adolescents' resilience. Recommendations are directed to Sentra Handayani to enhance method variation and develop a structured module. Future research is suggested to explore the sustainability of resilience after rehabilitation and examine the relationship between types of offenses and adolescents’ resilience levels."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fara
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran pekerja sosial dalam program rehabilitasi anak nakal di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pemilihan informannya adalah purposive sampling dengan informannya adalah koordinator pekerja sosial, pekerja sosial, dan juga penerima manfaat sebagai klien lembaga. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam setiap tahapan program rehabilitasi PSMP handayani, terdapat banyak peranan pekerja sosial yang membantu rehabilitasi anak nakal. Namun pekerja sosial di dalamnya masih kurang memadai.

This study aimed to describe the role of social workers in rehabilitation programs in juvenile delinquents at Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani. The research approach used was qualitative descriptive research. Informant selection techniques is purposive sampling with the informant is the coordinator of social workers, social workers, and beneficiaries as well as the agency's clients. The results showed that in each phase of the rehabilitation program PSMP handayani, there are many roles of social workers who help rehabilitate juvenile delinquents. But social workers in it is still inadequate."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Wahyudi
Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
345.081 SET i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sulistijaningsih
"The delinquent who are in the prison have right to get education and training according to their talents and competence.
In connection with the case above and to gat how far the guidence has an impact on change of delinquent behavior as long as they are doingtime in prison. ln this research, the researcher use qualitative method with social control paradigm especially social bounding theory by Travis Hirschi.
From the research we can conclude the connection between implementation guidance and wich is given tothe delinquent at bandung prison can change the children behavior as long as they are doing time in prison."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T 22297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Chintya Dewi
"Pengalihan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dari proses formal peradilan anak telah menjadi bagian dari kebijakan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Pengalihan dilakukan melalui mediasi yang mengacu pada pendekatan keadilan restoratif sebagai bentuk jaminan atas kepentingan terbaik anak. Penelitian ini berfokus pada praktik diversi di tingkat kepolisian dengan landasan bahwa polisi merupakan aparat penegak hukum pertama yang bersentuhan dengan anak.
Semakin awal diversi dilakukan maka semakin besar komitmen Sistem Peradilan Pidana Anak dalam menghambat efek negatif akibat proses administrasi peradilan, misalnya stigma sebagai "anak nakal" yang dihasilkan oleh sidang pengadilan. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik diversi di kepolisian terhadap sembilan anak yang didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Bogor masih jauh dari praktik ideal. Diversi hanya menekankan pada penjauhan anak dari proses formal tanpa memperhatikan unsur kepentingan terbaik anak. Praktik tetap berjalan secara formal dan menghasilkan dampak negatif bagi anak, seperti stigma, keputusan yang tidak mempertimbangkan kemampuan anak, dan tidak adanya treatment berkelanjutan sebagai pemenuhan kebutuhan anak.

Child diversion scheme has become a part of Juvenile Justice System's policies in Indonesia. Diversion scheme is conducted through the mediation which refers to restorative justice approach as a guarantee for the best interests of the child. This research focuses on police diversion program with a solid base that police force is the first law enforcement officer who deals with the child.
The earlier diversion program is conducted, the bigger commitment that Juvenile Justice System has to hold off the negative impact which is caused by the system of justice administration, such as "delinquent" stigma as a result of the court. Researcher uses qualitative method with observations of case study through themes of participant observation, depth interview, and documentary study.
The result of this research shows that the police diversion program in accordance to nine children guidance by Probationer in Bogor Correctional Center is still far from the ideal practices. Diversion program only emphasis on distancing children from formal systems without considering the elements of child?s best interests. Diversion program is still formal and result negative impact, such as stigma, the decision without considering the child?s capability, and the lack of continuous treatment as fulfilling the needs of children.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65514
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trojanowicz, Robert C., 1941-
Englewood : Prentice-Hall, 1992
364.36 TRO j (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
McAllister, David
Aldershot: Avebury, 1992
364.36 MCA f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elizar Ayu Putri
"Anak Kasus Terorisme yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Jakarta akan kembali ke masyarakat setelah menjalani pidana. Seyogyanya negara hadir untuk melakukan intervensi sosial berbasis bukti bagi AKT di LPKA Jakarta yang mengarah pada deradikalisasi dalam rangka reintegrasi sosial yang sukses. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan model pembinaan deradikalisasi AKT yang idealnya dilaksanakan di LPKA Jakarta dengan menggunakan Program Theory dari Funnel dan Rogers (2011), strengths perspective, desistance, dan konsep deradikalisai. Data diperoleh melalui wawancara semi terstruktur dan focus group discussion dengan mantan AKT, para petugas LPKA Jakarta dan stakeholder terkait, serta studi dokumen dan kajian literatur. Terdapat beberapa temuan penting dalam penelitian, yakni bahwa pelibatan AKT dalam terorisme dimulai dari keluarga dan peran mereka pada umumnya masih terbatas pada kategori simpatisan. Kemudian, penelitian juga menemukan bahwa pembinaan AKT di LPKA Jakarta yang ada saat ini belum optimal. Berdasarkan pada analisis komponen theory of change dalam program theory, penelitian ini merumuskan outcome chain yang menghubungkan antara tujuan langsung dari tujuh mode rehabilitasi, deradikalisasi sebagai tujuan antara, dan reintegrasi sosial sebagai tujuan akhir. Pada theory of action, penelitian ini merumuskan berbagai atribut dari masing-masing kegiatan sampai dengan indikator keberhasilan dalam masing-masing mode rehabilitasi. Model pembinaan deradikalisasi AKT direpresentasikan dalam bentuk logic model, menggambarkan keterkaitan antara input, mode rehabilitasi, dan outcome chain untuk mencapai tujuan akhir pemasyarakatan, serta tahapan pembinaannya. Implikasi penelitian ini adalah bahwa model pembinaan deradikalisasi AKT memberikan kerangka kerja yang jelas, eksplisit, dan terukur, sehingga dapat menjustifikasi implementasinya di LPKA Jakarta. Selain itu, pembahasan mengenai aktor program memberikan justifikasi pada aplikasi pekerjaan sosial dan pelibatan pekerja sosial dalam rangka pembinaan deradikalisasi AKT di LPKA Jakarta di masa yang akan datang.

Children involved in terrorism (or Anak Kasus Terorisme or AKT) in Jakarta Juvenile Correctional Center will return to the community after serving their sentene. The state should be present to provide evidence-based social interventions for AKT in LPKA Jakarta that lead to deradicalization for smooth and successful social reintegration. The purpose of this study is to formulate an ideal deradicalization rehabilitation model for AKT to be implemented in LPKA Jakarta using Funnel and Rogers' Program Theory (2011), strengths perspective, desistance, and the concept of deradicalization. Data was obtained through semi-structured interviews and focus group discussions with former AKTs, LPKA Jakarta officers and stakeholders, as well as document studies and literature reviews. There are several findings in the research. First, the involvement of AKT in terrorism starts from the family and their role is generally still limited to the category of sympathizers. Furthermore, the research also found that the current treatment for AKT in LPKA Jakarta has not been optimal. Based on the analysis of the theory of change component in the program theory, this research formulates an outcome chain that connects the direct objectives of the seven rehabilitation modes, deradicalization as an intermediate goal, and social reintegration as the final goal. In the theory of action, this research formulates various attributes of each activity, as well as the success indicators in each rehabilitation mode. The model of deradicalization treatment in LPKA Jakarta is represented in the form of a logic model, describing the relationship between inputs, rehabilitation modes, and outcome chains to achieve social reintegration as ultimate goal of corrections, as well as the treatment process. The implication of this research is that the deradicalization treatment model for AKT provides a clear, explicit, and measurable framework, thus justifying its implementation in LPKA Jakarta. In addition, the discussion of program actors provides justification for the application of social work and the involvement of social workers in the proposed deradicalization rehabilitation for AKT in LPKA Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tirtana
"Tujuan pemidanaan terhadap anak harus disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan anak tersebut demi masa depannya karena anak memiliki ciri-ciri khusus yang melekat pada dirinya yang tidak dapat disamakan dengan pelaku dewasa. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi pidana alternatif, khususnya bagi terpidana anak. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofi pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomi. Community service order (CSO) atau pidana pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari pidana alternatif perampasan kemerdekaan atau penjara bagi anak yang bersifat non-institusional (di luar lembaga) yang direkomendasikan oleh instrumen internasional yaitu United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Pidana pelayanan masyarakat telah dimasukkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana anak Indonesia yaitu dalam Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak). Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pidana pelayanan masyarakat sangat menunjang tujuan pemidanaan dan pembinaan bagi terpidana anak, baik dilihat dari tujuan pemidanaan secara umum maupun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif. Relevansi antara pidana pelayanan masyarakat dengan pembaharuan sistem pemidanaan anak di Indonesia dapat diartikan bahwa pidana pelayanan masyarakat perlu dipahami dalam konteks kebijakan kriminal, dengan demikian pidana pelayanan masyarakat dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu kontrol sosial dalam menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Konsep pengaturan pidana pelayanan masyarakat yang ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak) masih perlu disempurnakan lagi karena masih bersifat sangat umum. Pidana pelayanan masyarakat memberikan prospek dan harapan besar untuk dapat diterapkan dalam peradilan pidana anak di Indonesia, mengingat pelbagai keuntungan yang didapat dari pidana pelayanan masyarakat tersebut.

Criminal sentencing of a juvenile offender should be adjusted to the special need and requirement of a juvenile or a minor, because despite being an offender, s/he is still a child, hopefully with a future and hence s/he has a special characteristic that is inherent to him/her that is not found in an adult offender. The recent development in criminal law reveals a growing international trend to seek an alternative to replace the more common method of incarceration, specifically in cases involving juvenile offender. This conviction stemmed from the notion that the concept of imprisonment is getting less popular, whether it is viewed from humane consideration, sentencing philosophy or economic consideration. Community service order (CSO) is one of the alternatives to incarceration to a juvenile offender that is non-institutionalized and it is recommended in an international instrument the United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). The concept of community service sentencing for juvenile offender has been entered into the draft reform of the Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak). This study is a judicial normative research supported by a field research in the form of interviews with competent respondents. From the result of the study, the author concludes that community service is highly supportive to the objectives of sentencing and education of a juvenile offender both from the perspective of sentencing in general or sentencing objectives that are integrative in nature. The relevance between community service sentencing and the juvenile criminal system reform may be interpreted that community service sentencing is perceived within the context of a policy on managing criminal offenders; therefore, community service sentencing may play its intended role as a social-control instrument to support the policy of managing criminal acts committed by juveniles in Indonesia. The existing draft on community service sentencing as contained in the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak) still needs to be improved since it is still too broad in nature. Community service sentencing has the prospect and possibility to be applied in Indonesia?s juvenile criminal court, considering the huge benefits that may be reaped from such application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Juliansyah
"Penelitian ini menjelaskan mengenai tahapan proses rehabilitasi sosial AN/ABH. Rehabilitasi sosial AN/ABH dilaksanakan untuk merubah perilaku klien AN/ABH agar dapat kembali berfungsi sosial. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan studi deksriptif di PSMP Handayani. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses rehabilitasi sosial AN/ABH di Panti sosial rehabilitasi, dilaksanankan dalam delapan tahapan proses rehabilitasi, yaitu tahap pendekatanan awal, penerimaan, assesmen, perencanaan intervensi, pelaksanaan intervensi, resosialisasi, bimbingan lanjut, dan terminasi. Dalam pelaksanannya terdapat faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam proses rehabilitasi sosial AB/ABH yang dilakukan oleh PSMP Handayani.

This study describes the stages of the implementation process of social rehabilitation of juvenile delinquents and children in conflict with the law. Social rehabilitation carried out to change the behavior of the client. The method used was qualitative research methods with descriptive studies in PSMP Handyani. The results showed that social rehabilitation at the center of social rehabilitation, divided into eight phases of the rehabilitation process, the initial approach phase, admission, assessment, planning, intervention, implementation of interventions, resocialization, further guidance, and termination. In its implementation there are factors inhibiting and supporting the social rehabilitation process conducted.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>