Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178077 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjandra Irawan Tendi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Nur Pratiwi
"Latar Belakang :
Populasi lanjut usia meningkat secara global, diperkirakan 1.5 miliar (15% total penduduk) di dunia tahun 2050. Indonesia merupakan populasi menua, dengan 10.7% (>7%) penduduk lansia pada 2020. Insomnia keluhan kesehatan tersering lansia, memiliki komplikasi salah satunya depresi. Banyak studi meneliti faktor berhubungan dengan insomnia dan depresi pada lansia, dan insomnia prediktor depresi pada lansia. Namun, belum ada studi mengenai faktor berhubungan dengan depresi pada populasi lansia khusus yaitu dengan insomnia.
Tujuan :
Mengetahui mengetahui faktor yang berhubungan dengan gejala depresi pada lansia dengan insomnia di unit rawat jalan.
Metode :
Studi potong lintang pada pasien usia ³60tahun di unit rawat jalan RSCM Jakarta, Indonesia dengan seleksi consecutive sampling, dimana pasien dengan insomnia, PSQI (Pittsburgh Sleep Questionaire Index) >5, menjadi subjek penelitian dan dilakukan wawancara untuk mengambil data meliputi sosiodemografi, kesendirian, durasi insomnia, gejala depresi (GDS-15 item), status fungsional (B-ADL), status kognitif (MMSE), status nutrisi (MNA), dan penyakit komorbid (CIRSG skor).
Hasil :
Subjek penelitian sebanyak 209 lansia insomnia, rerata usia 72.88 (SB 6.98) tahun, proporsi depresi 6.7%. Dari uji bivariat terdapat hubungan signifikan antara ketergantungan (PR 5.24, 95%IK 1.50-18.29), malnutrisi (PR 11.54, 95%IK 4.77-27.92), dan penyakit komorbid, skor CIRSG ³9 (PR 4.15, 95%IK 1.18-14.50) dengan gejala depresi pada lansia yang insomnia. Tidak terdapat hubungan antara sosiodemografi, kesendirian, durasi insomnia, dan status kognitif dengan depresi. Dari analisis multivariat dengan regresi logistik, didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara malnutrisi dengan gejala depresi (p <0.0001).
Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna antara malnutrisi dengan gejala depresi pada pasien insomnia usia lanjut di rawat jalan.

Background:
The elderly population is increasing globally, estimated to be 1.5 billion (15% of the total population) in the world by 2050. Indonesia is an aging society, 10.7% (>7%) of the population is elderly in 2020. Insomnia, most often health complained by the elderly, has complications one of which is depression. Previous studies have examined factors associate to insomnia and depression in elderly and insomnia is a predictor of depression. No studies yet examined factors associated to depression symptom in the specific population, elderly with insomnia.
Objective:
To analyze factors associated with depression symptom in the elderly with insomnia in the outpatient_unit.
Method:
Cross-sectional study of patients aged >60 years in the outpatient unit of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia using consecutive sampling to select the sample, where patients with insomnia, PSQI (Pittsburgh Sleep Questionnaire Index) >5, became research subjects and being interviewed to collect data including sociodemographic, loneliness, duration of insomnia, Depression symptom (GDS-15 items), physical activity which means the ability to do activity that measured by functional status (B-ADL), cognitive status (MMSE), nutritional status (MNA), and comorbidities (CIRSG). Data was analyzed using STATA software to do bivariate and multivariate analysis.
Results:
The research subjects were 209 elderly people with insomnia, mean age 72.88 (SB 6.98) years, proportion of depression symptom is 6.7%. There is an association between dependency (PR 5.24, 95% CI 1.50-18.29), malnutrition (PR 11.54, 95% CI 4.77-27.92), and chronic illness, CIRSG score >9 (PR 4.15, 95% CI 1.18-14.50) with depression symptom in elderly with insomnia from bivariate analysis. From multivariate analysis with logistic regression, malnutrition has a statistically significant association to depression symptom (p <0.0001) in elderly people with insomnia.
Conclusion : There is a significant association between malnutrition and depression symptom in insomnia elderly outpatient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boby Feisal
"Insomnia adalah keluhan yang sering ditemukan bersama dengan depresi. Walaupun terapi antidepresan yang efektif untuk depresi telah tersedia, namun keluhan insomnia yang menyertai depresi masih sering diderita oleh pasien-pasien penderita depresi tersebut. Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial dan bertujuan untuk mengetahui manfaat akupunktur terhadap insomnia pada penderita depresi melalui penilaian skor The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) antara kelompok akupunktur dengan antidepresan dan akupunktur sham dengan antidepresan.
Uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol dilakukan terhadap 48 orang penderita depresi yang dialokasikan ke dalam kelompok akupunktur dan akupunktur sham. Kedua kelompok menggunakan antidepresan fluoksetin 10mg-20mg 1x1 kapsul tiap hari selama penelitian. Pada kedua kelompok sesi terapi akupunktur atau akupunktur sham diberikan lima kali seminggu selama dua minggu. Nilai skor kuesioner evaluasi diri The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) digunakan untuk mengukur keluaran penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan perubahan bermakna antara rerata nilai skor PSQI kelompok akupunktur setelah sepuluh kali sesi terapi dari 14,50 + 2,14 menjadi 5,70+ 2,25 dibandingkan dengan rerata nilai kelompok akupunktur sham yang justru mengalami kenaikan dari 13,62 + 1,43 menjadi 16,66 + 1,83 (p<0,05). Setelah dua minggu pasca sesi terapi kesepuluh pada kelompok akupunktur menunjukkan penurunan nilai skor PSQI dari 14,50 + 2,14 menjadi 5,58 + 3,37 (p<0,05), sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan adanya peningkatan nilai skor PSQI dari 13,62 + 1,43 menjadi 17,25 + 2,09 dengan nilai (p<0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah terapi akupunktur mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan nilai skor PSQI penderita depresi.

Insomnia is a common complaint that found along with depressive disorder. Although effective antideppresant therapy for depressive disorders has been available, but the insomnia symptoms that accompany depression improvement is often suffered by depressive patients. This study used a Randomized Controlled Trial and aims to determine the benefits of acupuncture for symptoms of insomnia in patients with depression through assessment scores of The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) between the acupuncture group with antidepressant and sham acupuncture group with antidepressant.
Single-blind randomized control clinical trial with a control performed on 48 patients with depression were allocated to the acupuncture and sham acupuncture groups. Both groups use antidepressants fluoxetin 1x1 10 mg-20 mg capsule every day during the trial. Both group had therapy sessions given five times a week for two weeks. Value of the self-evaluation questionnaire scores The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) was used to measure research output.
The results showed a significant change in the mean value PSQI scores acupuncture group therapy session after ten times of 14.50 + 2.14 becomes 5,70 + 2,25 than the mean value of the sham acupuncture group experienced a rise of 13.62 + 1,43, to 16.66 + 1.83 (p <0.05). After two weeks post tenth therapy sessions PSQI scores showed improvement in acupuncture group from 14,50 + 2,14 to 5,58 + 3.37 (p <0.05). In the control group an increase obtained in PSQI score value from 13,62 + 1,43 to 17,25 + 2.09 (p <0.05). Conclusion of this study is the theraphy of acupuncture have a positive influence on changes in PSQI score of patients with depression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Swastiara
"ABSTRAK
Gangguan tidur khususnya insomnia banyak terjadi pada pasien hemodialisis. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab insomnia pada pasien hemodialisis, diantaranya faktor biologis, psikologis, dan dialisis. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan insomnia pada pasien hemodialisis. Penelitian menggunakan rancangan studi potong lintang, dengan sampel 50 responden di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Hasil penelitian menunjukan bahwa insomnia dialami oleh 54% responden dan ditemukan hubungan insomnia dengan umur (p=0,012), sesak napas (p=0,035), pruritus (p=0,002), sakit kepala (p=0,015), stress (p=0,000), jadwal hemodialisis (p=0,042), lama hemodialisis (p=0,012), dan quick of blood (p=0,011). Penelitian ini menyimpulkan bahwa insomnia berhubungan dengan faktor biologis, psikologis, dan dialisis. Pengkajian masalah insomnia pada pasien hemodialisis harus dilakukan secara akurat agar dapat menjadi dasar untuk menyusun rencana asuhan keperawatan yang efektif bagi pasien
hemodialisis yang mengalami gangguan tidur.

ABSTRACT
Insomnia is the most common sleep disorder in hemodialysis patients. Various factors are predicted to be the cause of insomnia, which are biological, psychological, and dialysis factors. The purpose of this study was to identify factors associated with insomnia on hemodialysis patients. This study used cross-sectional study design, with 50 respondents in Jakarta Islamic Hospital Pondok Kopi. The result showed that insomnia was experienced by 54% respondents and there were relationship between insomnia and age (p=0.012), physical complaints [(included dyspnea (p=0.035), pruritus (p=0.002), and headache (p=0.015)], stress (p=0.000), hemodialysis schedule
(p=0.042), dialysis vintage (p=0.012), and quick of blood (p=0.011). The study concluded that insomnia associated with biological, psychological, and dialysis factors. The assessment of insomnia should be done accurately in order to make an effective nursing care plan in hemodialysis patients who experience sleep disorder."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Muhamad Rizaldi
"Proses penuaan dapat menyebabkan kualitas tidur pada lansia berubah dan menyebabkan gangguan tidur insomnia. Sebelumnya insomnia dipandang sebagai gejala depresi namun saat ini para peneliti menduga insomnia menjadi faktor risiko dari depresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan insomnia dan depresi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 03 Jakarta. Penelitian ini menggunakan studi cross sectional dengan jumlah sampel 79 responden dan dipilih menggunakan teknik proporsional random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa Insomnia Severity Index dan Geriatric Depression Scale 30 item.
Hasil penelitian menunjukkan 41,8 lansia di panti mengalami gangguan tidur insomnia dan 51,9 lansia mengalami depresi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara insomnia dengan depresi p=0,001 < ?=0,05 . Pemberian edukasi dan skrining secara berkala mampu mengurangi insomnia dan depresi pada lansia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi berkurangnya risiko depresi dengan mengatasi insomnia.

The aging process can cause sleep quality in the elderly to change and cause sleep disorders insomnia. Previously, insomnia was seen as a symptom of depression but recently researchers suspected insomnia to be a risk factor for depression.
This study aims to determine the relationship of insomnia and depression at the Social Institution Tresna Werdha Budi Mulia 03 Jakarta. This study used cross sectional study with 79 respondents and selected by using proportional random sampling technique. The instruments used in this study are Insomnia Severity Index and Geriatric Depression Scale 30 items.
The results showed 41.8 of elderly in the home experienced sleep disorders insomnia and 51.9 of elderly people depressed. The results showed there was an association between insomnia and depression p 0.001.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yul Iskandar
"Depresi merupakan penyakit yang terbanyak didapati baik pada praktik spesialis maupun umum. Gangguan psikiatrik ini dapat bersifat ringan atau penyakit yang berat. Gangguan penyakit yang berat dapat fatal, karena biasanya penderita mencoba untuk bunuh diri (suicidium). Diagnosis penyakit tidak mudah. Gangguan yang ringan, sering bermanifestasi sebagai penyakit fisik, dan gangguan emosional tersamar oleh keluhan somatiknya. Pada masa akut sering gangguan yang berat menyerupai gangguan lain seperti skizofrenia. Banyak sarjana di bidang psikiatri mencari markah biologik sebagai alat untuk membantu diagnosis depresi. Salah satu markah biologik adalah gambaran poligrafik tidur. Hasil yang positif dari laboratorium tidur sulit dipakai di klinik, karena mahal dan sangat memakan waktu, baik penilaian maupun interpretasi. Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta (KSPBJ) telah melakukan modifikasi dari teknik standar dengan teknik yang dinamakan Teknik KSPBJ. Pada teknik ini hanya merekam satu menit dari lima menit selama perekaman yang berlangsung tujuh jam. Dari penelitian kami dengan sukarelawan normal dan pasien depresi didapatkan bahwa Teknik KSPBJ mempunyai agreement yang tinggi dengan teknik standar. Lebih lanjut didapatkan bahwa dengan teknik itu, seperti juga pada teknik standar didapatkan markah biologik untuk depresi. Penderita depresi mempunyai latensi REM yang rendah, yang berbeda dengan normal (P<0,001). Selaln itu ternyata pula pada penderita depresi terjadi shifting p-REM ke 1/3 awal malam dan pada perbaikan depresi terjadi shifting ke 1/3 akhir malam. Penelltian ini konsisten dengan hipotesis adanya ketidak-seimbangan sistem kolinergik - noradrenergik pada mekanisme latency REM, dan ketidak-seimbangan noradrenergik-serotonergik pada phasic REM.

Sleep In Depressed Patient (A Study On Sleep, REM, and Phasic REM In Depressed Patients)Up to 10 % of all patients seeing a doctor are depressed. This conclusion emerged from an enquiry conducted in 1973 by over 10.000 physicians practicing in Austria, Federal Republic of Germany, France, Italy and Switzerland. Approximately 15% of the severely depressed commit suicide, whereas the moderate and mild forms usually cause reduction in the quality of life of these patients. The diagnosis of depression is not easy. Depressive states often escape diagnosis because these patients are so overwhelmed by the impact of their physical symptoms, particularly since they can more easily accept the idea that their illness is of physical, as opposed to mental origin. By referring only to their physical complaints, and deliberately failing to disclose their slate of mind, they lead the unwary physician up the wrong diagnostic path. In most mental hospitals, or departments of psychiatry, the diagnosis of depression is also not easily made. In the acute and severe forms these condition sometimes are wrongly diagnosed as schizophrenia. Numerous scientists are presently searching for a biological marker of depression. The Ideal biological marker must be sensitive, specific, easy to identify and relatively Inexpensive In its operation. Research over the past two decades has led to the development of a standardized sleep EEG methodology, which has been proven useful for the identification of characteristic sleep abnormalities of depressed patients. Application of REM abnormalities as a biological marker has produced an accurate, reliable and objective laboratory method for a diagnostic aid in the identification of depression. Even though this is proven to be a useful tool, in clinical practice it is not presently practical as a routine screening test in depressed patients. One of the drawbacks of these methods is the limited number of and the access to standard sleep laboratories. Expenses of EEG sleep studies run high, approximately US$ 500.00 per night. The other factor is that it is time consuming to evaluate 1200 pages of EEG sleep records. In 1980 KSPBJ (Study Group for Biological Psychiatry) developed a modification of the Rechtschaffen and Dales method. The KSPBJ technique records only one minute in every five minutes. That is one minute on and four minutes off for a period of seven hours. In this dissertation a comparison was made between the KSPRJ technique and the standard technique. With 18 normal volunteers, 14 new cases of depression, and 13 medicated depressed patients, the conclusion can be made that the KSPBJ technique has a statistically high agreement with the standard technique. (Po m 0.78 - 0.82, Kappa - 0.71 - 0.75). Another result of these studies with 91 depressed patients and 50 normal volunteers is finding that depressed patients have shortened REM Latency (<60 minutes). This shortened REM Latency could be used in predicting the diagnosis of depression with a quite high level of sensitivity (73-76%), and specificity (over 90%). Yet another conclusion with this KSPBJ technique is that in depressed patients, there seem to be a shifting to the left of phasic REM (to one third of initial night), and on recovery a shifting to the right (to one third of terminal night). These findings are consistent with the hypothesis, of choilnergic - noradrenergic balance mechanism in the forming of latency REM, and the balance of noradrenergic - serotonergic mechanism in the forming of phasic REM. When comparing this technique with the standard technique, there is an 80% reduction of the cost of sleep EEG recording, and an 80% saving in time for evaluation. In conclusion, the KSPBJ technique can be considered as a biological marker for depression which is reasonably sensitive and specific, easy to identify, and in addition relatively inexpensive.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
D150
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wimala Tiastrinindita Purwa
"Penelitian ini merupakan suatu penelitian untuk melihat tingkat depresi pada penyandang carat fisik. Untuk melihat tingkat depresi penelitian ini menggunakan Beck Depression Inventory. Subyek yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah penyandang cacat fisik yang tinggal di Panti Sasana Bina Daksa Budhi Bakti di Cipayung & Pondok Bambu serta penyandang cacat fisik yang tinggal di Yayasan Sinar Pelangi di Jati Kramat, Pondok Gede. Subyek yang menjadi sample penelitian adalah penyandang cacat fisik yang berusia 17 hingga 40 tahun (N = 44). Uji validitas BDI adalah menggunakan validitas kriteria di mana item yang ada dalam BDI mengacu pada kriteria depresi yang disebutkan di dalam DSM IV. Hasil uji analisis data menunjukkan skala BDI memiliki koefisien alpha Cronbach sebesar 0.797. Koefisien korelasi bergerak antara 0,0352 hingga 0,6105. Penelitian ini juga menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi dari subyek penelitian. Jumlah subyek yang diwawancara adalah sebanyak enam orang, dua orang merupakan subyek yang tergolong dalam kategori faking good, dua orang merupakan subyek yang tergolong depresi ringan dan dua orang yang tergolong dalam kategori depresi berat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Swastiara
"ABSTRAK
Gangguan tidur khususnya insomnia banyak terjadi pada pasien hemodialisis.
Berbagai faktor diduga menjadi penyebab insomnia pada pasien hemodialisis,
diantaranya faktor biologis, psikologis, dan dialisis. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan insomnia pada pasien
hemodialisis. Penelitian menggunakan rancangan studi potong lintang, dengan
sampel 50 responden di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa insomnia dialami oleh 54% responden dan ditemukan hubungan
insomnia dengan umur (p=0,012), sesak napas (p=0,035), pruritus (p=0,002), sakit
kepala (p=0,015), stress (p=0,000), jadwal hemodialisis (p=0,042), lama hemodialisis
(p=0,012), dan quick of blood (p=0,011). Penelitian ini menyimpulkan bahwa
insomnia berhubungan dengan faktor biologis, psikologis, dan dialisis. Pengkajian
masalah insomnia pada pasien hemodialisis harus dilakukan secara akurat agar dapat
menjadi dasar untuk menyusun rencana asuhan keperawatan yang efektif bagi pasien
hemodialisis yang mengalami gangguan tidur.

ABSTRACT
Insomnia is the most common sleep disorder in hemodialysis patients. Various factors
are predicted to be the cause of insomnia, which are biological, psychological, and
dialysis factors. The purpose of this study was to identify factors associated with
insomnia on hemodialysis patients. This study used cross-sectional study design, with
50 respondents in Jakarta Islamic Hospital Pondok Kopi. The result showed that
insomnia was experienced by 54% respondents and there were relationship between
insomnia and age (p=0.012), physical complaints [(included dyspnea (p=0.035),
pruritus (p=0.002), and headache (p=0.015)], stress (p=0.000), hemodialysis schedule
(p=0.042), dialysis vintage (p=0.012), and quick of blood (p=0.011). The study
concluded that insomnia associated with biological, psychological, and dialysis
factors. The assessment of insomnia should be done accurately in order to make an
effective nursing care plan in hemodialysis patients who experience sleep disorder"
2015
S65712
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Twiva Rhamadanty
"Situasi pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental seseorang. Dampak pada kesehatan mental tersebut juga dirasakan oleh mahasiswa saat pandemi COVID-19, salah satunya adalah Kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan Depresi. Menurut Riskesdas DKI Jakarta tahun 2018, prevalensi depresi kelompok dewasa muda merupakan yang tertinggi daripada kelompok lainnya yaitu 7,08%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan depresi pada mahasiswa S1 di DKI Jakarta saat pandemi COVID-19. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan instrumen DASS-21 dan pengumpulan datanya menggunakan kuesioner online melalui Google Form. Terdapat 460 mahasiswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi mahasiswa yang mengalami kecemasan sebesar 48,5%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin, tekanan finansial, dan aktivitas fisik berhubungan dengan kecemasan sebagai salah satu gejala kecenderungan depresi pada mahasiswa. Diharapkan pemerintah dan universitas dapat meningkatkan upaya promotif seperti sosialisasi terkait kesehatan mental terutama kecemasan dan depresi, juga melakukan deteksi dini pada kelompok dewasa muda atau mahasiswa.

The COVID-19 pandemic situation does not only have impact on physical health, but also on one’s mental health. The impact on mental health was also felt by undergraduate students during the COVID-19 pandemic, especially anxiety as one of the symptoms of depression tendencies. According to Riskesdas DKI Jakarta in 2018, the prevalence of depression in the young adult is the highest compared to other age (7.08%). The purpose of this study was to identify the factors associated with anxiety as one of symptoms of depression tendencies among undergraduate students in DKI Jakarta during the COVID-19 pandemic. This type of research is quantitative with a cross-sectional study design. This study used the DASS-21 instrument and e-questionnaire was generated using Google Form. There were 460 students who participated in this study. The results showed that the proportion of students who experienced anxiety was 48.5%. The results also showed that the variables of gender, financial pressure, and physical activity were associated with anxiety as a symptom of depression in undergraduate students. It is expected that the government and universities can increase promotive intervention such as socialization related to mental health, especially anxiety and depression and conducting early detection in groups of young adults or college students."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Satria Nugraha Rusdy
"Dermatosis autoimun bulosa (DAB) adalah sekumpulan penyakit kronik autoimun dengan ciri lepuh dan lecet pada kulit dan/atau mukosa; termasuk di dalamnya adalah pemfigus dan pemfigoid. Gangguan psikologis yang berat, hingga misalnya keinginan bunuh diri, terkadang dijumpai. Tetapi, depresi pada DAB belum banyak diteliti. Sebuah studi potong lintang observasional-analitik dilakukan di sebuah rumah sakit rujukan tersier di Jakarta pada Desember 2020-Maret 2021 untuk mengetahui prevalensi depresi pada pasien DAB serta faktor sosiodemografi dan klinis yang berhubungan. Sejumlah 33 orang subjek berusia minimal 18 tahun yang terdiagnosis DAB, tidak sedang remisi, tanpa riwayat depresi sebelum diagnosis tersebut ataupun gangguan psikiatrik lainnya, mengikuti penelitian. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi digunakan untuk menapis depresi dengan nilai cut-off ≥10. Beberapa variabel sosiodemografi dan klinis, termasuk tingkat risiko stres berdasarkan life events (Skala Stres Holmes dan Rahe), serta keparahan penyakit berdasarkan Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) diidentifikasi. Sebagian besar subjek adalah perempuan (69,7%), berusia 47,36±13,5 tahun, menikah (78,8%), tingkat pendidikan menengah (57,6%), tidak bekerja (57,6%), penghasilan rendah (60,7%), tidak memiliki riwayat depresi pada keluarga (100%), tingkat risiko stressful life events rendah (63,6%), terdiagnosis pemfigus vulgaris (60,6%), lama sakit 1-5 tahun (72,7%), median skor ABSIS 8,75, tanpa lesi mukosa (54,5%), bergejala terkait DAB (60,6%), keterlibatan lokasi terbuka (69,7%), disertai komorbid (78,8%), menggunakan kortikosteroid sistemik ≥4 minggu (78,8%) dengan rerata dosis harian <40mg/hari (87,9%), serta mendapat juga imunosupresan lain (66,7%). Prevalensi depresi pada pasien DAB adalah 24,2%, sedangkan pada pemfigus vulgaris sebesar 40%. Berdasarkan uji bivariat, terdapat hubungan depresi dengan tingkat pendidikan (p=0,082), tingkat stressful life events (p=0,015), diagnosis pemfigus vulgaris (p=0,012), dan keterlibatan lokasi terbuka (p=0,071). Analisis multivariat mendapatkan peningkatan risiko depresi pada tingkat pendidikan tinggi (adjusted OR 9,765; p=0,039), serta skor ABSIS yang lebih tinggi daripada 1 angka di bawahnya (adjusted OR 1,039; p=0,038). Prevalensi depresi pada DAB lebih tinggi daripada di populasi umum Indonesia. Penapisan disarankan khususnya pada pasien pemfigus vulgaris, berpendidikan tinggi, dan/atau dengan kondisi yang parah. Penelitian lanjutan diperlukan untuk memastikan temuan studi pendahuluan ini.

Autoimmune bullous diseases (AIBD) is a group of chronic autoimmune dermatoses characterized by blisters and sores on the skin and/or mucosa; among them are pemphigus and pemphigoids. Severe psychological problems, even leading to suicidal thought, are not uncommonly encountered. However, depression in AIBD is rarely studied. A cross-sectional, observational analytical study was conducted in a tertiary referral hospital in Jakarta from December 2020 through March 2021 to determine the prevalence of depression among AIBD patients and related sociodemographic and clinical characteristics. Thirty-three AIBD subjects aged 18 years or older, not in remission, without recorded depression prior to diagnosis or other psychiatric disorders, were recruited. A validated Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) in Indonesian language was used to screen depression with cut-off score ≥10. Several sociodemographic and clinical characteristics, including stress-risk level according to life events by Holmes and Rahe Scale and disease severity by Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) were identified. Majority of subjects were women (69.7%), aged 47.36±13.5 year-old, married (78.8%), had middle-level education (57.6%), unemployed (57.6%), low income (60.7%), without family history of depression (100%), experiencing low-risk stressful life events (63.6%), diagnosed with pemphigus vulgaris (60.6%), disease duration 1-5 years (72.7%), median of ABSIS score 8.75, without mucosal lesion (54.5%), suffering from symptoms related to AIBD (60.6%), showing involvement of exposed areas (69.7%), with comorbidities (78.8%), treated with systemic corticosteroids ≥4 weeks (78.8%) with daily doses <40mg/day (87.9%), and receiving also other immunosuppressive agents (66.7%). Prevalence of depression was 24.2% among AIBD and 40% among pemphigus vulgaris patients. Bivariate analysis showed significant correlation between depression and education level (p=0.082), stressful life events score (p=0.015), diagnosis of pemphigus vulgaris (p=0.012), and involvement of exposed areas (p=0.071). Multivariate analysis showed increased risk of depression at high level of education (adjusted OR 9.765; p=0.039) and ABSIS score higher than 1 point below (adjusted OR 1.039; p=0.038). Prevalence of depression among AIBD patients was higher than that among Indonesia’s general population. Screening is advised especially among those with pemphigus vulgaris, high level of education and/or severe condition. Further study is needed to confirm these early findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>