Latar Belakang Pabrik X, sebuah pabrik tekstil dimana sebagian besar karyawannya adalah perempuan, dalam operasional kerjanya mengharuskan mereka untuk menjalani sistem kerja gilir. Adanya perubahan pada pola makan, serta perubahan pada profil metabolik pekerja gilir, meningkatkan risiko terjadinya anemia gizi, sehingga diperlukan rekomendasi gizi tambahan bagi populasi ini. Pendekatan Linear Programming (LP) merumuskan Pedoman Gizi Seimbang berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) menggunakan konteks makanan lokal (mempertimbangkan budaya dan harga) yang disesuaikan dengan pola makan dan mengoptimalkan kandungan nutrisi spesifik sesuai permasalahan gizi pada populasi tertentu. Sehingga rekomendasi PGS-PL yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai kebijakan bagi pemerintah dan industri manufaktur yang mempekerjakan pekerja perempuan dengan kerja gilir. Sejauh ini pendekatan LP belum pernah diterapkan pada populasi pekerja.
Obyektif Untuk merumuskan PGS-PL dan menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kadar Hb pekerja perempuan dengan kerja gilir..
Metode Penelitian ini dilakukan melalui dua fase. Fase pertama merupakan penelitian deskriptif analitik cross sectional untuk menyusun PGS-PL yang optimal dari 106 orang pekerja perempuan dengan kerja gilir. Data diet diperoleh dari data penimbangan makanan (weighed food) yang diberikan perusahaan pada shift malam, dikombinasi dengan 24 hours food recall serta 5dFFQ (5-days food-frequency questionnaire). Kadar Hb diperiksa dengan menggunakan HemoCue. Analisis LP menggunakan sistem Optifood. Fase kedua adalah penelitian eksperimental two group pretest and postest experiment design dengan 51 orang kelompok kontrol dan 49 orang kelompok intervensi. Intervensi PGS-PL dilakukan selama 24 minggu.
Hasil Hasil analisis Optifood menunjukkan bahwa yang merupakan permasalahan gizi adalah zat besi (Fe) dan kalsium. PGS-PL menghasilkan rekomendasi berupa pesan mingguan dan menu makanan pabrik yang digunakan untuk mengisi nutrient gap yang ada. Dengan intervensi PGS-PL responden yang mengalami kenaikan kadar Hb sebanyak 63.3% dengan peningkatan rerata Hb sebesar 0,6 mg/dL (p=0,000).
Kesimpulan Intervensi PGS-PL efektif dalam meningkatkan kadar Hb.
Kata Kunci : Formula makanan, Hemoglobin, linear programming, manufaktur, pekerja
Background Factory X, a textile factory where most of its employees are women, in their operational requires these female workers to undergo a shift work. Changes in diet, as well as changes in the metabolic profile of shift workers, increase the risk of nutritional anemia. In order to meet adequate nutrition, a nutrient based recommendation is necessary. The Linear Programming (LP) approach formulates Food Based Recommendation (FBR) to meet nutrient requirements given local food availability, food patterns, food portions, and cost based on problem nutrients in certain populations. LP approach has never been applied to the working population. A set of FBR produced is valuable for nutrition promotion, as well as nutrition program planning and advocacy.
Objectives To formulate a set of FBR and assess its effectiveness in increasing Hb levels.
Methods The first phase of this research was cross-sectional study to develop an optimal FBR of 106 female shift workers. Dietary data obtained from 1-day weighed diet record combined with repeated 24-hour recall and 5-day food intake tally. LP analysis was performed using Optifood software. Hb levels were examined using HemoCue. The second phase was an intervention study which was carried out for 16 weeks.
Results Iron and calcium were the problem nutrients. FBR produced recommendations in the form of weekly messages and factory food menu to fill the existing nutrient gap. With FBR intervention, 63.3% respondents experienced an increase in Hb levels with an increase in mean Hb of 0.6 mg/dL (p = 0,000).
Conclusions FBR intervention is effective in increasing Hb levels.
Keywords Food formula, Hemoglobin, linear programming, manufacture, workers
Latar Belakang: Kemajuan Teknologi dan Komunikasi (TIK) serta peningkatan jumlah internet dan smartphone dimasyarakat berpeluang menciptakan paradigma baru dimana interaksi pasien dengan praktisi klinis tidak terbatas pada kunjungan pada layanan kesehatan. Penggabungan TIK dalam kedokteran gigi menghadirkan suatu solusi yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi era digitalisasi salah satunya adalah teledentistry. Tujuan : Kondisi ini menuntut dokter gigi untuk memiliki literasi teknologi, sehingga perlu diketahui penerimaan teledentistry dengan menggunakan model UTAUT yang mencerminkan minat dokter gigi terhadap penggunaan teledentistry melalui empat faktor determinan yaitu : ekspektansi kinerja, ekspektansi usaha, pengaruh sosial dan kondisi yang memfasilitasi. Keempat faktor ini juga dimoderasi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, wilayah geografis dan pengalaman. Metode: Studi Cross-Sectionaldilakukan pada bulan November 2022 terhadap 491 dokter gigi di Provinsi Aceh yang terdaftar dan berstatus aktif menggunakan metode total sampling. Responden diminta melengkapi kuesioner yang berisi pertanyaan terkait karakteristik sosiodemografi, karaktersitik penggunaan teledentistry dan faktor determinan dari model UTAUT. Analisis statistik menggunakan Mann-Whitney dan Kruskall Wallis dan analisis multivariat menggunakan SEM-PLS untuk memprediksi faktor yang paling berperan terhadap penerimaan teledentistry pada dokter gigi. Hasil: Model UTAUT terbukti memiliki pengukuran yang valid dan reliabel serta goodness of fit yang baik. Model ini dapat menjelaskn varian minat dokter gigi terhadap penggunaan teledentistry sebesar 54,6% dengan kriteria sedang dan setiap perubahan pada minat mampu diprediksi oleh variabel pengaruh sosial (; p<0,05), kondisi yang memfasilitasi (
; p<0,05) dan ekspektansi kinerja (
; p<0,05) namun pengaruh yang diberikan masih dalam kategori rendah. Interaksi antara faktor determinan UTAUT dengan faktor moderasi menunjukkan bahwa tidak memiliki efek terhadap hubungan antar faktor determinan dengan minat dokter gigi terhadap penggunaan teledentistry. Kesimpulan: Model UTAUT mampu memprediksi minat dokter gigi dalam menggunakan teledentistry. Prediksi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan sosialisasi dan keterampilan dokter gigi di Aceh dalam menggunakan teledentistry dalam praktik kedokteran gigi sehari-hari.
Background: The development of Information and Communication Technology (ICT) and the increase of internet users and smartphones in the community have created a new paradigm where patient-practitioner interactions are clinically not limited to visits to health services. Integrating ICT in dentistry provides a solution that can be used to address the digital era of teledentistry. This condition requires dentists to be technologically literate. Thus, it is necessary to know the acceptance of teledentistry using the UTAUT model, which reflects dentists' intention to use teledentistry through four determinant factors: performance expectancy, effort expectancy, social influence, and facilitating conditions. These factors are also moderated by age, gender, education, geographical area, and experience. Methods: A cross-sectional study was conducted in November 2022 on 491 registered and active dentists in Aceh using the total sampling method. Respondents were asked to complete a questionnaire related to sociodemographic characteristics, characteristics of the use of teledentistry, and the determinants of the UTAUT model. Statistical analysis using Mann-Whitney, Kruskall-Wallis, and multivariate analysis using SEM-PLS to predict the factors most contributing to dentists' intention to use teledentistry. Results:The UTAUT model has valid and reliable measurements and adequate goodness of fit. This model can explain the variance of dentists' behavior intention to use teledentistry by 54.6% with moderate criteria, and any change in interest can be predicted by social influence (; p<0,05), facilitating conditions (
0.262; p 0.05), and performance expectancy (
0.225; p<0.05). However, they have a low effect size. The interaction between the determinants of UTAUT and the moderating factors shows that it does not affect the relationship between the determinants and dentists' interest in teledentistry. Conclusion: The UTAUT model can predict dentist interest in using teledentistry. This prediction can improve dentists' socialization and skills in Aceh when using teledentistry in their daily dental practice.