Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raissa
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan jenis kebotakan rambut paling umum pada laki-laki yang menyebabkan gangguan estetik sehingga memengaruhi kualitas hidup dan dapat berkaitan dengan kondisi sistemik. Tata laksana yang ada seringkali belum memuaskan. Vitamin D sebagai salah satu mikronutrien yang telah dikenal memiliki banyak manfaat juga diduga berperan dalam kejadian kelainan rambut termasuk AAG.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penelitian. Diagnosis AAG ditegakkan secara klinis berdasarkan klasifikasi Hamilton-Norwood lalu dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Dilakukan pula fotografi 7 posisi kepala serta pemeriksaan trikoskopi dan Trichoscan®. Pemeriksaan kadar 25(OH)D serum diambil dari darah vena sebanyak 3 mL dan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Klasifikasi status kecukupan vitamin D ditetapkan menjadi defisiensi dan nondefisiensi berdasarkan Endocrine Society Guideline. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Di antara 74 SP dengan rerata usia 37,4(8,89) tahun yang berpartisipasi dalam penelitian, sebanyak 29 orang (39,2%) mengalami AAG ringan dan 45 orang (60,8%) mengalami AAG sedang hingga berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 18,9(5,89) ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan AAG ringan adalah 21,8(6,39) ng/mL dan pada AAG sedang hingga berat sebesar 17,1(4,79) ng/mL. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG (p=0,01; p<0,001). Sebagai data tambahan, ditemukan pula hubungan bermakna secara statistik antara diameter rambut (p=0,036) dengan derajat keparahan AAG.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara status kecukupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
......Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of hair loss in men which causes aesthetic disturbances that affect quality of life and can be associated with systemic conditions. Existing management is often not satisfactory. Vitamin D, as a micronutrient that is known to have many benefits, is also thought to play a role in the incidence of hair disorders including AGA.
Objective: This study aims to analyze the association between serum 25(OH)D levels and vitamin D sufficiency status with the severity of AGA in men.
Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design. The study subjects were selected using consecutive sampling. The diagnosis of AGA was established clinically according to the Hamilton-Norwood classification and then categorized into mild and moderate-severe degrees. Photographs of the head in seven positions were taken, and trichoscopy and Trichoscan® examinations were performed. Serum 25(OH)D levels were measured from 3 mL of venous blood using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method. Vitamin D status was classified as deficient or non-deficient according to the Endocrine Society Guideline. Statistical significance were set at p<0.05.
Results: Among the 74 subjects with a mean age of 37.4 (8.89) years, 29 (39.2%) had mild AGA and 45 (60.8%) had moderate to severe AGA. The mean serum 25(OH)D level for all participants was 18.9 (5.89) ng/mL, indicating vitamin D deficiency. For those with mild AGA, the mean serum 25(OH)D level was 21.8 (6.39) ng/mL, while for those with moderate to severe AGA, it was 17.1 (4.79) ng/mL. There was a statistically significant association between serum 25(OH)D levels and vitamin D status with AGA severity (p=0.01; p<0.001). Additionally, a significant association was found between hair diameter and AGA severity (p=0.036).
Conclusion: This study found significant association between vitamin D status and serum 25(OH)D levels with AGA severity in men"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Rana Raissa
"Dalam perkembangan seksual, remaja tunagrahita akan menghadapi kebingungan dan dorongan layaknya remaja normal pada umumnya, namun minimnya pengetahuan serta informasi mengenai hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, peran keluarga terutama orang tua dalammemberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja tunagrahita sangat diperlukan sebagai proteksi awal terhadap permasalahan kesehatan reproduksi. Salah satu upaya yang dianggap cukup strategis dan praktis dalam menyampaikan informasi terkait kesehatan reproduksi kepada orang tua/pengasuh tunagrahita adalah melalui media WhatsApp Messenger. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan orang tua/pengasuh remaja tunagrahita terkait kesehatan reproduksi melalui pemanfaatan aplikasi WhatsApp Messenger sebagai sarana edukasi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pra Eksperimen dengan One Group Pretest Posttest kepada 40 orang tua/pengasuh siswa SLB C Ruhui Rahayu Samarinda. Intervensi dilakukan dengan mengirimkan satu pesan teks dan gambar yang berisi informasi kesehatan reproduksi remaja tunagrahita setiap hari selama 7 hari melalui WhatsApp Group. Analisa data dilakukan untuk melihat peningkatan pengetahuan orangtua/pengasuh sebelum dan sesudah diberikan intervensi dan untuk melihat peningkatan pengetahuan setelah di kontrol oleh variabel umur, jenis kelamin, pendidikan danpekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi p value 0,0001. Edukasi kesehatan reproduksi terhadapremaja tunagrahita melalui pengiriman pesan teks dan pesan bergambar pada whatsapp group diketahui efektif meningkatkan pengetahuan orang tua/pengasuh remaja tunagrahita di SLB C Ruhui Rahayu Samarinda. Variabel umur, jenis kelamin,pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan orangtua/pengasuh.
......In sexual development, adolescent with intellectual disabilities will facecon fusion and encouragement like normal adolescent in general, but the lack of knowledge and information about it can cause reproductive health problems. Therefore,the role of the family, especially parents in providing reproductive health education to adolescent with intellectual disabilities is needed as an initial protection against reproductive health problems. One of the efforts that is considered strategic and practical in conveying information related to reproductive health to parents caregivers of adolescent with intellectual disabilities is through media of WhatsApp Messenger. The purpose of this study was to improve the knowledge of parents caregivers of adolescent with intellectual disabilities related to reproductive health through the use of the WhatsApp Messenger application as a means of education. The design used in this study was the Pre Experiment with One Group Pretest Post test to 40 parents caregivers of student in SLB C Ruhui Rahayu Samarinda. The intervention was carried out by sending a text and picture message containing information on adolescent with intellectual disabilities every day for 7 days through WhatsApp Group. Data analysis was performed to see the increase in knowledge of parents caregivers before and after being given intervention and to see increased knowledge after being controlled by variables of age, sex, education and work. The results showed an increase in knowledge before and after being given an intervention p value 0.0001. Reproductive health education of adolescent with intellectual disabilities through sending text messages and pictorial messages on Whatsapp Group is known to be effective in increasing the knowledge of parents caregivers of adolescent with intellectual disabilities in SLB C Ruhui Rahayu Samarinda. Variables of age, sex, education and occupation do not affect the increase in knowledge of parents caregivers. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Raissa
"Pendahuluan: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) merupakan salah satu komplikasi luaran partus pervaginam yang cukup sering ditemukan, mencapai 4,53% dari total persalinan pervaginam. Kejadian OASIS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko inkontinensia fekal (IF) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini akan dijabarkan karakteristik dari pasien yang mengalami OASIS di RS Tersier di Jakarta pada tahun 2014-2016 dan luaran inkontinensia fekal pada populasi tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif karakteristik pasien pasca reparasi OASIS di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati tahun 2014- 2016. Dari total 234 pasien, 58 pasien berhasil dihubungi dan diwawancara dengan kuesioner RFIS untuk mengetahui luaran inkontinensia fekal. Dari 58 pasien, 16 pasien datang untuk USG tranperineal untuk penilaian otot sfingter ani pasca reparasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.
Hasil Penelitian: Dari total 234 sampel, rerata usia pasien adalah 26,64 tahun, dengan rerata IMT 23,4 kg/m2. Sebagian besar pasien (67,5%) adalah primipara, dengan rerata durasi partus kala II selama 45,1 menit. Tindakan episiotomi dilakukan pada 40,6% pasien, persalinan spontan pada 153 (65,4%) pasien, dengan rerata berat lahir 3217 gram. Dari 58 pasien yang bisa dihubungi, keluhan inkontinensia fekal didapatkan pada 3 orang (5,2%) pasca OASIS dengan berbagai tingkat keparahan (ringan, sedang, dan berat). Dari 16 pasien yang datang untuk USG, ditemukan defek pada EAS pada 3 pasien, dan IAS pada 2 pasien. Kelima pasien tersebut tidak memiliki keluhan IF.
Diskusi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap karakteristik pasien dengan OASIS, dan juga sebagai studi awal terhadap kejadian inkontinensia fekal pada populasi OASIS. Didapatkan 3 dari 58 pasien pasca reparasi primer OASIS mengalami inkontinensia fekal. Angka ini cukup rendah dibandingkan studi lain. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan populasi penelitian. Pasien dengan keluhan IF yang memiliki sfingter ani yang intak pada penelitian ini menunjukkan bahwa kontinensia tidak hanya dipengaruhi oleh sfingter ani, namun juga faktor lain seperti otot dasar panggul dan persarafan disekitarnya.
Kesimpulan: Luaran dari reparasi primer OASIS ditemukan beragam dari penelitian ke penelitian. Karakteristik pasien memiliki peran yang penting dalam menentukan angka kejadian OASIS dan juga luaran pasca reparasi. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sample yang lebih besar.

Introduction: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) is a quite common complication of vaginal delivery. It reaches 4,53% from total vaginal delivery. OASIS is associated with an increased risk of fecal incontinence, which affect one's quality of life. The incidence of OASIS and fecal incontinence differs from one study to the others. In this study, characteristics of patients with OASIS in tertiary hospital in Jakarta year 2014-2016 and fecal incontinence outcome among those patients will be described.
Methodology: This study is a descriptive study for characteristics of OASIS patients after primary repair in Cipto Mangungkusumo Hospital, Persahabatan Hospital and Fatmawati Hospital from year 2014-2016. From total 234 patients, only 58 patients could be contacted, and interviewed using Revised Fecal Incontinence Score (RFIS) questionnaires. From total 58 patients, only 16 patients came for further transperineal utlrasound. Data were analized using SPSS 20.
Results: From total 234 patients, mean patient's age is 26.6 years old, with mean BMI 24.8 kgs/m2. Most of the patients are nulliparous (67,5%), with median duration of second stage of labor 45 minutes. Episiotomy was not performed on most patients (59.4%), and most of them underwent spontaneous vaginal delivery (65,4%), with mean baby birthweight 3217 grams. From 58 patients that could be contacted, 3 patients had fecal incontinence complaint (5,2%). From those 58, 16 came for transperineal ultrasound examination, and anal sphincter defects were found in 5 patients, 3 with EAS, and 2 with IAS. All 5 patients did not have any fecal incontinence symptoms.
Discussion: This study is a descriptive study of OASIS patient's characteristics and also as a preliminary study for the incidence of fecal incontinence among OASIS population in Jakarta. The number of fecal incontinence in this study can be considered low (3 out of 58), compared to others. This could be due to differences in study population. Patient with fecal incontinence who has intact anal sphincter in this study shows that incontinence is influenced not only by anal sphincter, but also by other factor such as pelvic floor muscle and surrounding nerve innervation.
Conclusion: The outcomes of primary reparation of OASIS are varied within studies. Patient's characteristics might play an important role in influencing the incidence of OASIS as well as the outcome after reparation. A further study with a bigger sample is necessary."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasti Raissa
"ABSTRACT
Latar Belakang: Karies gigi merupakan penyakit gigi dan mulut yang terbanyak di Indonesia dan dapat dicegah dengan cara menjaga kebersihan mulut salah satunya menyikat gigi yang dapat menurunkan bakteri Streptococcus mutan. Bakteri ini akan membentuk plak dan menghasilkan asam yang dapat menyebabkan demineralisasi jaringan keras gigi. Tujuan: Mengetahui perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan terhadap subjek yang berumur 19-22 tahun. Metode: Desain pada penelitian ini dengan menggunakan metode crossover. Pengambilan data dilakukan terhadap 20 orang subjek, yang mana dibagi secara random alokasi menjadi dua kelompok yang masing-masing akan dilakukan perlakuan menyikat gigi sebelum dan setelah makan dengan waktu washout selama seminggu. Hasil: Analisis statistik mengunakan metode uji mann-whitney diperoleh p-value 0,598 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi yang signifikan antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan. Akan tetapi kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan menyikat gigi sebelum makan yaitu 193.333 CFU/ml lebih besar di bandingkan bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan menyikat gigi setelah makan sebanyak 180.000 CFU/ml. Kesimpulan: Kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan perlakuan menyikat gigi setelah makan lebih sedikit dibandingkan dengan menyikat gigi sebelum makan. Akan tetapi dari analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak yang signifikan antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan.

ABSTRACT
Dental caries is the most dental and oral disease in Indonesia and can be prevented by maintaining oral hygiene, one way is by toothbrushing which can reduce the bacteria Streptococcus mutan. These bacteria will become dental plaque and produce acid which can causes demineralization of hard tissue. Objective: To determine the different in the numbers of bacteria Streptococcus mutan in dental plaques between toothbrushing before and after eating in 19-22 years. Method: The design of this study using the crossover. Data retrieval was carried out on 20 subjects, which were randomized allocation in two groups with washout time for a week. Results: Analysis statistic using the mann-whitney test obtained p-value 0.598 that there was no significant difference between brushing teeth before and after eating. However, the number of bacteria Streptococcus mutan on dental by toothbushing before eating is 193,333 CFU/ml bigger than the number of bacteria Streptococcus mutan on dental plaque by toothbushing after eating is 180,000 CFU/ml. Conclusion: The number of bacteria Streptococcus mutan on dental plaque by toothbrushing after eating was less than the group brushing before eating. However, the results from analysis statistic showed that there is no statistically significant difference between the numbers of bacteria Streptococcus mutan brushing teeth before and after eating."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sesaria Marina Raissa
"TPA Cipayung beresiko mengemisikan metana karena kurang sesuainya sistem controlled landfill yang diterapkan. Sementara, kompos sebagai produk dari pengolahan sampah di UPS tidak termanfaatkan padahal berpotensi digunakan sebagai biocover. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kompos UPS Hanggar 4, profil konsentrasi metana, dan pengaruh pemadatan terhadap profil gas dalam reaktor. Kompos belum memenuhi syarat sebagai material biocover namun dapat digunakan apabila dilakukan pematangan dahulu, profil metana menunjukkan konsentrasi yang semakin berkurang mendekati outlet, dan semakin tinggi pemadatan menyebabkan zona oksidasi berpindah mendekati inlet. Direkomendasikan tebal lapisan biocover pada pemadatan 750 kg/m3 minimal 80 cm dan pemadatan 800-900 kg/m3 40 cm.

Cipayung landfill is having risks to emit methane because of applying not appropriate controlled landfill. In addtion, compost as a product of waste treatment at WTU is not utilized well whereas it has a potency to be used as landfill biocover. This research aims to identify the characteristics of compost from WTU Hanggar 4, methane gas profile concentration, and the impact of compaction through gas profile within the reactor. The result showed that compost did not qualify biocover material requirements but can be applied by conducting pretreatment, methane gas concentration profile is likely to decline approaching outlet zone, and compaction moved methane maximum oxidation zone downwards to inlet zone. The recommendation for landfill biocover thickness for 750 and 800-900 kg/m3 compaction is >80 and 40 cm, respectively."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Vashti Raissa
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan persepsi positif terhadap pernikahan pada remaja akhir dari latar belakang keluarga yang pernah bercerai. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dan individu dengan sukses dapat mengatasi masalah meskipun kesulitan/kemalangan terjadi. Persepsi terhadap pernikahan mencakup sikap dan ekspektasi terkait keinginan untuk menikah, serta bagaimana gambaran kehidupan pernikahan bagi individu di masa yang akan datang. Pengukuran resiliensi diukur menggunakan alat tes yang disusun untuk penelitian ini dan merupakan adaptasi dari teori Earvolino-Ramirez 2007 dan Wagnild dan Young 1993; dalam Wagnild, 2009 . Pengukuran persepsi terhadap pernikahan dilakukan dengan menggunakan alat ukur Marriage Perception Scale MPS yang dikembangkan oleh Shukla, Deodiya, dan Singh 2013 . Partisipan penelitian berjumlah 220 remaja akhir yang tinggal bersama keluarga asuh. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan persepsi positif terhadap pernikahan pada remaja akhir dari keluarga yang pernah bercerai.
......
This research was conducted to find the relationship between resilience and a positive perception toward marriage. Resilience is defined as the ability to bounce back or cope successfully despite substantial adversity. Perception toward marriage consist of attitude and expectation to get married, as well as description about how marriage life would be for a person in the upcoming future. Resilience was measured using an instrument that was newly developed by the researcher herself with a fellow colleague, adapted from theories from Earvolino Ramirez 2007 and Wagnild and Young 1993 Wagnild, 2009 . Perception Toward Marriage was measured using an instrument named Marriage Perception Scale MPS developed by Shukla, Deodiya, and Singh 2013. Participants of this research were collected 220 late adolescents living with residential parent. The Pearson Correlation indicate positive significant correlation between resilience and a positive perception toward marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S68394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephani Dea Raissa
"Skripsi ini membahas mengenani pengaturan Peer to Peer Lending di Indonesia berdasarkan POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, khususnya peran escrow account dalam membatasi Peer to Peer Lending berpraktik shadow banking. Berdasarkan hal tersebut, Penulis mengajukan pokok permasalahan yaitu bagaimana peran Escrow Account dalam Peer to Peer Lending dan bagaimana permasalahan yang mungkin timbul dalam
kaitannya dengan penggunaan Escrow Account. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dan tipologi penelitian deskriptif analitis. Kesimpulan yang didapatkan adalah 1) Penggunaan escrow account memiliki peranan penting bagi peer to peer lending untuk mencegah terjadinya praktik shadow banking. Hal ini dikarenakan peer to peer lending tidak dapat menghimpun dana dan hanya sebagai pihak perantara antara borrower dan lender; 2) Permasalahan yang mungkin timbul dalam kaitannya dengan penggunaan escrow account dalam peer to peer lending terbagi menjadi: a) kadaluarsa, dimana belum terdapat kepastian hukum dalam penempatan batas waktu di escrow account; b) transaksi sampai ke orang yang berbeda, dapat berupa kekeliruan menyampaikan jumlah dana yang tidak sesuai dengan perintah transfer dana atau kekeliruan melakukan pengaksepan sehingga dana tidak diterima oleh penerima yang berhak; c) pencurian data pribadi; dan d) teknis mekanisme penagihan.
This thesis discusses the regulation of Peer to Peer Lending in Indonesia regarding to Financial Services Authority’s Regulation No.77/POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Services, specifically the Role of Escrow Accounts in Peer to Peer Lending with Shadow Banking Practices. Based on this, the author
proposes the main problem, how is the role of Escrow Accounts in Peer to Peer Lending and how is the problems might arise according to the use of an Escrow Account. The method of this research is normative juridical and descriptiveanalytical research typology. The conclusions obtained are: 1) The use of escrow account has an important role for peer to peer lending to prevent the practice of shadow banking; 2) Problems that may arise according to the use of an Escrow Account divided into: a) expired, where there is no legal certainty in placing a time limit on the escrow account; b) transaction arrived in different person, which can be in the form of a mistake in conveying the amount of funds that is not in accordance with the fund transfer order or mistake in making the acceptance so the fund is not received by the rightful recipient; c) breach of personal data; and d) technical billing mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Raissa
"

Asuransi jiwa kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis- normatif yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan dan undang-undang terkait. Dari penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan penelitian yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa, pada rumusan masalah pertama adalah berdasarkan prinsip insurable interest yang mendapat manfaat pembayaran dalam asuransi jiwa adalah kreditur dan debitur dan jika dilihat dari konsep dari asuransi, yang berhak menerima pembayarkan klaim adalah kreditur sebagai tertanggung. Kemudian pada rumusan masalah kedua, penerapan prinsip utmost good faith tidak dilakukan dengan baik oleh tertanggung sehingga mengakibatkan penolakan klaim dari penanggung. Sedangkan pada rumusan masalah ketiga, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum atas putusan 438/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL tidak mempertimbangkan pelanggaran tertanggung terhadap prinsip utmost good faith (itikad palling baik) yang diatur dalam Pasal 251 KUHD sebagai salah satu prinsip atau asas penting dalam hukum perjanjian asuransi.

 

Kata kunci : Asuransi, Asuransi Jiwa Kredit, Prinsip Utmost Good Faith.


Credit life insurance is a general insurance business line that guarantees the fulfillment of financial obligations of credit recipients if the credit recipient is unable to meet their obligations in accordance with the credit agreement. This thesis discusses the arrangements for settling credit life insurance claims in terms of the principle of utmost good faith through case study decision no. 438/PDT/ 2014/PN.JKT.SEL. This research is a juridical-normative research conducted based on literature study and related laws. From the research that has been done using the research mentioned above, it can be concluded for the first research question, based on the principle of insurable interest, the spouse of the insured has the right for the claim payment arising from her marriage contract with the insured; the bank as the creditor has the right to receive claim payment arising from the loan (credit) agreement with the insured. For the second reserach question,the principle of utmost good faith was not applied well by the insured, resulting in rejection of claims by the insuer. For the third research question, the Panel of Judges in legal consideration of the decision 438/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL did not consider violations of the insured against the principle of utmost good faith  regulated in Article 251 KUHD as one of the principles in the insurance contract law.

 

Keywords: Credit Life Insurance; Insurance; Utmost Good Faith,

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Raissa
"Ekstrak meniran dan jinten hitam telah lama digunakan sebagai imunostimulan tunggal. Sedangkan kombinasi kedua ekstrak tersebut belum pernah digunakan sebagai imunostimulan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek imunostimulan dari kombinasi ekstrak meniran dan jinten hitam dibandingkan dengan efek imunostimulan dari ekstrak tunggal. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap menggunakan 24 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang terbagi dalam 6 kelompok. Larutan uji dalam bentuk suspensi diberikan secara per oral. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol. Kelompok 2 diberikan suspensi ekstrak meniran dosis tunggal (27 mg per hewan uji). Kelompok 3 diberikan suspensi ekstrak jinten hitam (10 mg per hewan uji). Kelompok 4 diberikan suspensi kombinasi (13,5 mg ekstrak meniran dan 5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Kelompok 5 diberikan suspensi kombinasi 2 (6,75 mg ekstrak meniran dan 7,5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Kelompok 6 diberikan suspensi kombinasi 3 (21 mg ekstrak meniran dan 2,5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Aktivitas imunostimulan diukur dengan uji hipersensitivitas tipe lambat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variasi dosis kombinasi ekstrak meniran dan jinten hitam memiliki aktivitas imunostimulan. Dosis kombinasi lainnya maupun ekstrak dalam dosis tunggal. Dosis kombinasi 3 memiliki aktivitas imunostimulan yang lebih kuat daripada dosis kombinasi 1 dan dosis ekstrak tunggal. Aktivitas imunostimulan dari dosis kombinasi 1 dan dosis ekstrak tunggal tidak memiliki perbedaan yang bermakna."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1096
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fifinela Raissa
"ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu bahan aktif untuk penyembuhan luka adalah ekstrak Centella asiatica. Nanoteknologi khususnya nanopartikel kitosan banyak digunakan untuk meningkatkan bioavailibilitas bahan aktif terkandung ke dalam kulit. Namun efektivitas Centella asiatica ekstrak etanol dalam nanopartikel kitosan terhadap penyembuhan luka bakar dermis superfisial belum diketahui. Tujuan: Mengetahui efektivitas krim CAEENPK dibandingkan dengan krim Centella asiatica ekstrak etanol CAEE , SSD dan dengan kontrol terhadap luka bakar dermis superfisial pada tikus Sprague Dawley. Metode: Sebanyak 20 tikus jantan Sprague-Dawley dibagi menjadi 4 kelompok. Setelah dianestesi, diberi perlakuan 4 buah luka bakar pada punggung tiap tikus dan diberikan perlakuan CAEENPK, CAEE, SSD, dan kontrol . Tiap kelompok tikus dikorbankan pada hari berbeda yakni hari ke-3, 7, 14, dan 21. Dilakukan penilaian makroskopis luas luka , dan mikroskopis rasio dan jarak reepitelialisasi, wound contraction index, luas area luka, dan angiogenesis . Hasil: Tidak didapatkan perbedaan luas luka yang bermakna antarperlakuan pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21. Namun perlakuan dengan ketiga bahan aktif CAEENPK, CAEE, dan SSD menunjukkan penurunan luas luka makroskopis lebih awal dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-3. Secara mikroskopik, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada rasio dan jarak reepitelialisasi, wound contraction index, luas area luka, dan angiogenesis. Namun perlakuan dengan CAEENPK menunjukkan luas area luka terkecil pada hari ke-3 dan menunjukkan angiogenesis tertinggi pada hari ke-21. Simpulan: Efektivitas krim yang mengandung CAEENPK terhadap penyembuhan luka bakar pada tikus tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan krim yang mengandung CAEE, SSD, dan kontrol. Perlakuan dengan ketiga bahan aktif CAEENPK, CAEE, dan SSD menunjukkan penurunan luas luka makroskopis lebih awal dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-3. Secara mikroskopis, perlakuan dengan CAEENPK menunjukkan luas area luka terkecil pada hari ke-3 dan menunjukkan angiogenesis tertinggi pada hari ke-21.

ABSTRACT
Background Centella asiatica extract is known to promote wound healing. Nowadays nanotechnology, especially nanoparticle is used to increase bioavailability of active ingredients into the skin, one of which is chitosan nanoparticle. However, effectiveness of Centella asiatica ethanol extract in chitosan nanoparticle CAEECN towards superficial dermal burn healing is not fully understood. Objective To determine effectiveness of CAEECN cream compared to Centella asiatica ethanol extract CAEE cream, silver sulfadiazine SSD cream and control in superficial dermis burn healing in Sprague Dawley rats. Methods A total of 20 male Sprague Dawley rats were divided into 4 groups. After anesthetizing, 4 superficial dermis burns were made on the back of each rat and was given 4 treatments CAEECN, CAEE, SSD, and control afterwards. Those group were sacrificed on day 3rd, 7th, 14th, and 21st post burn induction. Several evaluations were macroscopic wound size , and microscopic parameters reepithelialization ratio and distance, wound contraction index, wound size, and angiogenesis . Results There were no significant difference of wound size between treatments on day 0, 3, 7, 14, and 21. But three active agents CAEECN, CAEE, and SSD treated group showed early decrease of wound size compare to control group on day 3. Microscopically, there were no significant differences in reepithelialization ratio and distance, wound contraction index, wound size, angiogenesis. Nevertheless CAEECN treated group showed the smallest wound size on day 3 and highest angiogenesis on day 21. Conclusion Effectiveness of CAEECN in burn wound healing in rats showed no significant diference compared to CAEE, SSD, and control. But in three active agents CAEECN, CAEE, and SSD treated group, showed early decrease of wound size compare to control group on day 3. Microscopically, CAEECN treated group showed the smallest wound size on day 3 and highest angiogenesis on day 21."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>