Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Hayati
Depok: Universitas Indonesia, 2005
352 TRI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, Kuasa Pertambangan (KP) merupakan bentuk perizinan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan usaha pertambangan, sesuai substansi dari bahan galian golongan a, b atau c. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perizinan pengusahaan pertambangan pada dasarnya diberikan oleh Pemerintah dan dilaksanakan pengusahaannya oleh Instansi Pemerintah, kecuali untuk bahan galian golongan c yang telah diserahkan kepada pemerintah Daerah ( berdasarkan PP Nomor 32 Tahun 1969 ). Namun setalah berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001, pengelolaan pertambangan diserahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan pemberian otonomi daerah. Dengan demikian paradigma pengusahaan pertambangan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 perlu disesuaikan. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga Desember 2008, penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak juga tercapai. Sehingga di dalam implementasinya banyak terjadi permasalahan dalam pemberian perizinan pengusahaan pertambangan. Baru pada akhir 2009 disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur sistem perizinan pertambangan dengan bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Yang menjadi pertanyaan yuridis disini adalah, apakah dengan nomenklatur izin memang secara materil isinya adalah sebagaimana izin pada umumnya ataukah tergolong dalam konsesi?
Untuk menjawab berbagai permasalahan dalam perizinan pertambangan akan dilakukan penelitian terhadap pengusahaan pertambangan timah di Pulau Bangka. Dipilihnya Pulau Bangka karena potensi timah di Indonesia sangat besar (nomor 2 di dunia), namun praktek-praktek penyimpangan dalam perizinan pengusahaan pertambangan timah banyak terjadi, sehingga sangat mengganggu pemasukan uang negara dari sektor pertambangan timah, karena itulah menarik untuk diteliti.
Tinjauan analisis didasarkan pada teori-teori bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya bidang Pemerintahan Daerah dan bidang Perizinan, disamping bidang Hukum Pertambangan itu sendiri. Terkait dengan kewenangan yang dimiliki yang mengalami perubahan seiring dengan berlakunya era otonomi daerah, akan dilihat bagaimana pengaturan oleh Daerah Otonom tentang pengusahaan pertambangan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dan akan ditinjau bagaimana implementasi perizinan pengusahaan pertambangan di Kabupaten Bangka periode 2000-2008. Serta akan melihat faktor-faktor apa yang menyebabkan banyak terjadinya tambang inkonvensional di pulau Bangka.
Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian Yuridis Normatif. Jadi data yang dikumpulkan adalah data sekunder (terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier). Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada para nara sumber di lapangan, yaitu para pengusaha tambang dan dinas-dinas terkait dengan pemberian perizinan pertambangan. Kesimpulan, di era otonomi pemerintahan daerah kewenangan pemberian perizinan pengusahaan pertambangan berubag dari yang semula bernuansa sentralistik menjadi desentralistik. Dalam implementasinya hal tersebut menyebabkan banyak penafsiran yang keliru, sehingga menyebabkan produk-produk tidak sinkron di berbagai level dan sektor. Dan ini merupakan penyebab utama maraknya tambang inkonvensional, di samping penyebab lainnya, misalnya harga timah yang melonjak. Di balik itu semua tentunya yang menjadi pemicu utama adalah tidak tepatnya penggunaan konsep perizinan yang diadop baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 maupun dalam Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009. Konsep IUP yang dianut ternyata adalah merupakan konsesi."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
D1270
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
John Wiley & Sons Singapore Pte. Ltd., 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
"The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy,
applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?,
while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on
decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by
delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year
1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials
namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the
reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation
Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent
or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the
concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the
case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in
principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the
regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.
Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi
pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya,
dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk
pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian.
Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian
golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang
Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal
ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library