Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widayati
"Peran koperasi dalam pembangunan, sebagai sahib satu dari usaha nasional mempunyai kekuatan untuk mengembangkan sayapnya dan mampu bersaing sehat dengan usaha negara dan swasta. Kekuatan pada koperasi yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain, sebenarnya merupakan alat mempersatukan kepentingan, tujuan dan aktivitas yang sama, serta mempunyai fungsi sebagai pemilik, penuntut keuntungan maupun sebagai customer. Inilah sebuah prinsip yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain (Hetherington, 1991). Keberadaan lembaga koperasi yang dibentuk oleh lembaga pemerintah, swasta, dan sekelompok masyarakat, dengan diterbitkannya undang-undang perkoperasian sebagai upaya pengembangan dan penyuburan koperasi belum maksimal.
Sesungguhnya pasal 16, UU nomor 25/1992, memberikan kelonggaran untuk tumbuhnya lembaga koperasi dimana-mana dan dengan memajukan dirinya secara leluasa. Pasal 16 berbunyi jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti antara lain; Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Kansumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran, dan Koperasi Jasa. Khusus koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota ABRI, karyawan dan sebagainya, bukan merupakan jenis koperasi tersendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widayati
"[ABSTRAK
Persoalan kerusakan lingkungan semakin meningkat dengan terjadinya penurunan luas lahan hutan ke non hutan. Cadangan luas hutan yang semakin terbatas menimbulkan permasalahan dari sisi suplai dan berimplikasi pada peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sebagai gambaran, pada tahun 2005 sebesar 62,8% emisi GRK Indonesia dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Emisi karbon dari perubahan lahan hutan memiliki keterkaitan erat dengan perekonomian (PDB) suatu wilayah. Salah satu model yang sering digunakan untuk menganalisis hubungan indikator kerusakan lingkungan dan indikator ekonomi di suatu wilayah adalah Environmental Kuznets Curve (EKC). Secara umum di 7 (tujuh) wilayah terjadi penurunan emisi karbon dari perubahan penutup lahan pada periode 1997-2013. Wilayah Sumatera adalah wilayah dengan emisi karbon/tahun tertinggi yaitu 148,08 juta ton CO2, selanjutnya wilayah Kalimantan 130,51 juta ton CO2, wilayah Papua sebesar 66,34 juta ton CO2, dan wilayah Sulawesi sebesar 62,97 juta ton CO2. Sedangkan 3 (tiga) wilayah lainnya yaitu wilayah Maluku sebesar 16,21 juta ton CO2, wilayah Jawa sebesar 9,13 juta ton CO2, dan wilayah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,44 juta ton CO2. Hasil estimasi data panel, hubungan emisi karbon per kapita dari perubahan penutup lahan dan PDRB per kapita di Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua digambarkan dengan bentuk kurva U yang berarti bahwa emisi karbon per kapita akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita, sedangkan wilayah Jawa dan Maluku digambarkan dengan bentuk kurva U terbalik sesuai dengan hipotesis EKC yang berarti bahwa setelah mencapai titik balik emisi karbon per kapita akan terus menurun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita.

ABSTRACT
The issues of environmental damage increases with changing of forest land to non-forest. Reserve forest area is more limited caused supply side problems and the implications of this is increased of Green House Gas (GHG emissions). As an illustration, in 2005, 62,8% Indonesia's GHG emissions resulting from land-use change and forestry (Ministry of Environment, 2010). Carbon emissions from changes in forest land are closely related to the economy of a region (GDP). One model that is commonly used to analyze the relationship between indicators of environmental damage and economic in a region is the Environmental Kuznets Curve (EKC). Generally in 7 (seven) region, carbon emissions from changes in land cover in the period 1997-2013 is decreased. Sumatra region is the region with carbon emissions/year is 148,08 million tonnes of CO2, Kalimantan 130,51 million tonnes of CO2, Papua is 66,34 million tonnes of CO2, and Sulawesi region is 62,97 million tonnes of CO2. While the 3 (three) other areas, namely the Moluccas with a value of 16,21 million tons CO2, Java is 9,13 million tonnes of CO2, and Bali and Nusa Tenggara region is 5,44 million tons of CO2. Relationship between emissions of carbon per capita from land cover change and GDP per capita in Sumatra, Bali and Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, and Papua described by U curve shape which means that the carbon emissions per capita will continue to increase along with the increase in income per capita, while Java and Maluku depicted the shape of an inverted U curve according to the EKC hypothesis, which means that after reaching a turning point in carbon emissions per capita will continue to decrease with the increase of income per capita., The issues of environmental damage increases with changing of forest land to non-forest. Reserve forest area is more limited caused supply side problems and the implications of this is increased of Green House Gas (GHG emissions). As an illustration, in 2005, 62,8% Indonesia's GHG emissions resulting from land-use change and forestry (Ministry of Environment, 2010). Carbon emissions from changes in forest land are closely related to the economy of a region (GDP). One model that is commonly used to analyze the relationship between indicators of environmental damage and economic in a region is the Environmental Kuznets Curve (EKC). Generally in 7 (seven) region, carbon emissions from changes in land cover in the period 1997-2013 is decreased. Sumatra region is the region with carbon emissions/year is 148,08 million tonnes of CO2, Kalimantan 130,51 million tonnes of CO2, Papua is 66,34 million tonnes of CO2, and Sulawesi region is 62,97 million tonnes of CO2. While the 3 (three) other areas, namely the Moluccas with a value of 16,21 million tons CO2, Java is 9,13 million tonnes of CO2, and Bali and Nusa Tenggara region is 5,44 million tons of CO2. Relationship between emissions of carbon per capita from land cover change and GDP per capita in Sumatra, Bali and Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, and Papua described by U curve shape which means that the carbon emissions per capita will continue to increase along with the increase in income per capita, while Java and Maluku depicted the shape of an inverted U curve according to the EKC hypothesis, which means that after reaching a turning point in carbon emissions per capita will continue to decrease with the increase of income per capita.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Widayati
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004
746.662 NAN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pia Sri Widayati
"ABSTRAK
Selaras dengan era globalisasi dan peningkatan persaingan bisnis di Indonesia, maka tiap perusahaan di Indonesia harus meningkatkan daya saing dan produktivitasnya melalui pembinaan Sumber Daya Manusia yang konsisten. Setiap atasan memerlukan ketrampilan dalam memberikan umpan balik efektif untuk dapat membina sumber daya manusia yang menjadi tanggung jawabnya. Dari pengamatan dalam lingkungan kerja terlihat bahwa efektivitas umpan balik berkaitan dengan gaya komunikasi yang digunakan atasannya.
Dalam penelitian ini akan dikaji kaitan efektivitas umpan balik dengan gaya komunikasi yang digunakan atasannya. Yang dimaksud dengan efektivitas umpan balik adalah sejauhmana keefektifan proses kontrol atasan langsung dalam rangka pembinaan melalui media komunikasi menurut persepsi bawahan, dengan menggunakan kriteria umpan balik efektif. Gaya komunikasi adalah cara seseorang mengekspresikan diri secara khas dalam mengungkapkan pendapat mengenai pikiran tentang diri sendiri atau orang lain atau benda sesuai dengan kondisinya. Ada 4 gaya komunikasi yaitu gaya komunikasi akomodasi, analisa, arahan dan afiliasi. Gaya komunikasi yang dominan dapat tunggal atau kombinasi. Gaya komunikasi tersebut dapat berubah atau tidak berubah dalam menghadapi kondisi tenang dan konflik. Gaya komunikasi berkaitan dengan faktor sosial antara lain adalah tingkat pendidikan, masa kerja dan fungsi jabatan atasan langsung.
Penelitian dilakukan terhadap 229 responden yang telah memiliki masa kerja 2 tahun, menjadi bawahan langsung selama 1 tahun, penempatan di kantor divisi/pusat, pendidikan SLTA ke atas.
Berdasarkan hasil pengolahan data terlihat bahwa hubungan antara gaya komunikasi dengan efektivitas umpan balik atasan langsung terdapat pada kondisi konflik. Gaya komunikasi atasan langsung berbeda pada kondisi tenang dan konflik. Kesamaan dan perbedaan gaya komunikasi atasan langsung pada kondisi tenang dan konflik tidak behubungan dengan efektivitas umpan balik. Gaya komunikasi atasan langsung berhubungan dengan fungsi jabatan baik pada kondisi tenang maupun pada kondisi konflik. Gaya komunikasi atasan langsung tidak berhubungan dengan masa kerja dan pendidikan formal pada kondisi tenang, namun berhubungan dengan kondisi konflik. Efektivitas umpan balik tidak berhubungan dengan pendidikan formal dan fungsi jabatan, namun berhubungan dengan masa kerja. 62% atasan langsung menghasilkan umpan balik efektif.
Berdasarkan hasil kajian dalam penelitian ini disarankan kepada perusahaan untuk lebih konsisten dalam mengelola program penempatan dan program rotasi, memasukkan gaya komunikasi ke dalam silabus pelatihan dalam rangka pembinaan dan pengembangan terhadap setiap atasan.
Daftar pustaka: 42 buah, 1976 ? 1995
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widayati
"In the mutilated case in adults, generally malocclusion is often accompanied by less support of periodontal tissues, such as alveolar bone resorption and gingival resession. The treatment of orthodontic is to arrange the teeth into good position and good occlusion, but is widely known to increase the alveolar bone resorption. In handling such case, ortodontist needs to look at factors which do not increase exixting alveolar bone resorption and gingival resession. In this case report, it will be reported orthodontic treatment on mutilated case which are accompanied by alveolar bone resorption and gingival resesion on a patient of 45 years and 4 months of age."
Journal of Dentistry Indonesia, 2002
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Widayati
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D433
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widayati
"Jasper Jumper is an orthodontic appliance that belongs to fixed functional appliance. This appliance is designed to correct class II malocclusion case, and also further development of Herbst's. Jasper Jumper can be used to move a tooth, a group of teeth, or the entire denture. In addition, this appliance can produce the same effect as headgear, activator, or any combination of them. Understanding of selected cases, biomechanics and the working mechanism of Jasper Jumper is very helpful for operators working with this appliance in clinics."
Jakarta: Journal of Dentistry Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widayati
"Penulisan tesis dengan judul di atas didasari bahwa Employee Stock Ownership Plans (ESOP) telah lama dipraktekkan di berbagai negara, namun di Indonesia, ESOP baru mulai diaplikasikan sekitar tahun 2000 an yang programnya biasanya dilaksanakan pada saat Initial Public Offering (IPO). Melihat perkembangan tersebut, ternyata sampai saat ini belum ada peraturan perpajakan yang komplit yang mengatur penghasilan yang diperoleh dari masing-masing jenis saham pada program ESOP, baik itu dalam Undangundang Perpajakan maupun dalam peraturan pelaksanaan perpajakan. Peraturan pelaksanaan yang ada hanya membahas tentang pemberian bonus saham dan stock option sehingga masih dirasa kurang detail. Sudah dapat dipastikan bahwa hal ini akan berdampak pada kurang memadainya pengetahuan atas ESOP dan perlakuan perpajakannya bagi karyawan Direktorat Jenderal Pajak secara umum. Hal yang tidak dapat dihindari adalah perbedaan persepsi mengenai perlakuan pajak atas ESOP akan timbul di intern DJP sendiri maupun dengan pihak praktisi atau konsultan, baik dalam diskusi maupun pada saat ada pemeriksaan.
Keterbatasan literatur tentang ESOP di perpustakaan menambah daya tarik sekaligus cukup membuat 'lelah' dalam penyelesaiannya. Keikutsertaan untuk tinggal sementara di Hong Kong ternyata membuahkan kesempatan dan ide baru untuk menyandingkan perlakuan pajak ESOP di Indonesia dengan di Hong Kong dan Amerika tentunya, dimana peraturan pajaknya sering dijadikan acuan. Dari hasil persandingan ketiga peraturan tersebut, ternyata hanya Indonesia yang menerapkan tarif final dan pengenaan pajak berdasarkan prinsip realisasi saat penjualan saham di Bursa Efek atas stock option, yang merupakan salah satu jenis saham yang ada dalam ESOP. Sedangkan kedua negara yang lain menerapkan accrual basis dan penerapan tarif progresif sejak saat exercise stock option. Dengan meneliti dan menganalisa penerapan ESOP/MSOP di PT BRI, Tbk maka dapat diketahui bahwa pada saat exercise, DJP kehilangan potensi cash in flow yang tidak sedikit. Dari perhitungan terhadap 10 (sepuluh) orang karyawan maka potensi penerimaan pajak yang hilang sejumlah Rp 176.309.550,-. Jumlah tersebut sebesar 22% dari jumlah program MSOP, maka potensi pajak yang hilang adalah Rp 801,407,405,- (baru untuk 1 perusahaan). Dengan asumsi harga saham pada saat exercise lebih besar dibanding pada saat penetapan, maka jumlah potensi pajak yang hilang akan semakin besar jika beberapa perusahaan lain juga melaksanakan program ESOP/MSOP (siaran pers akhir tahun Bapepam, dinyatakan bahwa ada 7 (tujuh) perusahaan yang melaksanakan program ESOP/MSOP di tahun 2007). Memang perlu persiapan yang matang untuk pelaksanaan kebijakan seperti yang diterapkan di Amerika dan Hong Kong, antara lain: on line data antara DJP dengan Bursa Efek dan departemen/instansi terkait, integrasi data intern DJP, kesiapan wawasan bagi staf DJP, konsultan pajak maupun praktisi.
Dari hasil wawancara dengan responden maka dapat ditarik kesimpulan dari hipotesa sebelumnya bahwa masih banyak karyawan Direktorat Jenderal Pajak yang belum memahami dengan baik tentang ESOP dan perlakuan perpajakannya. Usul yang dapat disampaikan adalah dalam jangka pendek: perlu disusun dan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang ESOP dengan tetap mempergunakan tarif final sebagai penyempurnaan atau penggabungan dari beberapa peraturan pelaksanaan ESOP yang saat ini telah ada yaitu: Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-02/PJ.33/98 tanggal 16 Maret 1998, SE-56/PJ.42/1999 tanggal 31 Desember 1999 dan SE- 13/PJ.43/1999 tanggal 22 Maret 1999 dengan menjelaskan secara detail mengenai definisi, jenis, perlakuan pajaknya dan tarif pajak dari masing-masing jenis ESOP. Draft peraturan dimaksud pada lampiran. Dalam jangka menengah, diusulkan agar tarif atas penghasilan dari transaksi saham di Bursa Efek tidak lagi berupa tarif final yang dikenakan pada saat realisasi penjualan saham tetapi menggunakan tarif progresif dengan menerapkan accrual basis sehingga terlaksana prinsip matching. Oleh karena itu, disarankan untuk memuatnya dalam salah satu Pasal di Undang-undang atau memuatnya dalam Peraturan Pemerintah pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tanggal 23 Desember 1994 dan perubahannya (Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997). Draft Peraturan Pemerintah tentang pajak penghasilan atas penghasilan yang didapat dari ESOP dapat dibaca di lampiran.

This thesis is written based on the fact that Employee Stock Ownership Plans (ESOPs) have long been practiced in many countries, however in Indonesia, the ESOP programs-that were only introduced in the early 2000s- are not supported by a comprehensive tax law or taxation guideline to regulate the revenue derived from the respective stocks under the ESOP that is usually offered at the Initial Public Offering. The prevailing tax regulation only addresses the stock bonuses and stock options in general. Having no clear tax regulation on ESOPs, the tax officers under the Directorate General of Taxation (DGT) have limited understanding on handling the taxation of the ESOP. The implications are that different interpretations may arise in the audit process as well as in discussions on the taxation of such transactions among the staff in the tax office, the tax practitioners or consultants.
The limited text on ESOP in Indonesia provides a challenge but also stimulates the drive to seek further literature on this subject. Having the chance to temporarily stay in Hong Kong, the writer developed the idea and gained the opportunity to compare the taxation on ESOP in Indonesia with the similar taxation regulation in Hong Kong and in USA that is often used as a reference. From reviewing the three tax regulations, it is apparent that only Indonesia applies a final tariff and imposes a tax based on the actual sales of stock options in the stock market as part of the ESOP. Meanwhile, the other two countries impose an accrual basis and progressive tariff at exercising the stock options. The analytical study on the implementation of the ESOP/MSOP at BRI (public limited company) shows that at the time of exercising the options, there is a significant potential loss of cash in-flow from the transactions. The calculation from ten employees exercising their options has indicated a potential loss of tax revenue amounting to Rp 176,309,550. This amount equals to 22 % stock options under Phase I of the MSOP Program, which means a potential loss of tax revenue from only one company amounting to Rp. 801,407,405. Assuming that the exercise price is higher than the issue price, then the potential loss is even greater since many other companies also run ESOP/MSOP programs. (According to the Indonesian Capital Market Supervisory Board?s year-end press release, there were seven companies that have implemented the ESOP/MSOP programs in 2007.) It is clear that to enact a tax policy such as in the US or in Hong Kong there are certain requirements that need to be fulfilled among others: the availability of integrated on-line data shared by the DGT (Tax Office) and the Stock Market as well as the knowhow of the tax officers, the tax consultants or practitioners.
Based on the interview of the respondents, it can be concluded that from the hypothesis that there are still many staff of the DGT that do not have adequate understanding of ESOP nor do they understand the tax policy for such transaction. It is recommended in the short run, that the Ministry of Finance issue a regulation on ESOP that applies a final tariff. This proposed regulation is a revision or an integration of the existing regulations i.e.: Circular Letters from the Director General of Tax, Number SE- 02/PJ.33/98 dated 16 March 1998; Number SE-56/PJ.42/1999 dated 31 December 1999 and Number SE-13/PJ.43/1999 dated 22 March 1999. The regulation should explain in detail the definition, the types of ESOP, the tax treatment for the respective type of ESOP. The draft of this regulation is exhibited on supplement. In the medium term, it is recommended that the calculation on stock trade revenue should no longer apply a final tariff that is imposed at the time the stock is exercised. Instead, a progressive tariff should be applied on an accrual basis to comply with the principles of matching. Therefore, it is advised that such clause be included in one of the articles in the Government Ordinance in Lieu of Government Ordinance Number 41 of 1994 dated 23 December 1994 and its amendment (Government Ordinance Number 41 of 1997 dated 29 May 1997). The draft of tax imposed on revenue from Employee Stock Ownership Plans (ESOP) regulation is exhibited on supplement."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24562
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rieska Dwi Widayati
"Penelitian ini berfokus pada pemanfaatan UPT Lab Uji Narkoba Lakhar BNN yang belum optimal oleh penyidik narkoba dalam rangka pelayanan pemeriksaan narkoba. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Model operasional penelitian menganalisis faktor-faktor yang ada pada penyidik narkoba, faktor-faktor yang ada pada laboratorium dan faktor-faktor di luar laboratorium. Informan penelitian ini terdiri dari tiga orang penyidik narkoba, tiga orang staf Lab dan Kepala Lab. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, sedangkan analisis merujuk pada standar dan pendapat peneliti sebagai analis di laboratorium BNN.
Dari analisis terhadap hasil wawancara, disimpulkan bahwa: Pemanfaatan UPT Laboratorium Uji Narkoba yang belum optimal disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh penyidik narkoba mengenai pentingnya laboratorium pemeriksa narkoba dalam membantu mereka tidak hanya untuk menegakkan hukum namun juga penting dalam pemetaan kasus dan pengungkapan jaringan narkoba. Selain itu, kurangnya sosialisasi terhadap penyidik narkoba oleh pihak laboratorium membuat mereka belum faham tentang fungsi laboratorium yang sesungguhnya dan kegiatan yang dijalankan oleh laboratorium. Faktor-faktor yang menyebabkan belum mermanfaatkannya UPT.Laboratorium Uji Narkoba Lakhar BNN oleh penyidik narkoba diantaranya adalah faktor yang ada pada penyidik narkoba itu sendiri seperti proses pengiriman yang terhambat karena minimnya jumlah personel penyidik narkoba yang menangani, waktu pengambilan yang lama, belum fahamnya penyidik mengenai tujuan pemeriksaan dan fungsi laboratorium baik untuk pemeriksaan pro Justicia maupun undercover by sedangkan faktor yang ada pada laboratorium adalah kurangnya sosialisasi dan promosi mengenai pelayanan laboratorium kepada penyidik narkoba mengenai produk pelayanan laboratorium.

This study focuses on the use of NNB?s Laboratory, which has not been optimal by drugs investigators officer in order to services analysis of drug. This research, including qualitative research with a descriptive design. Model of operational research to analyze drugs investigators officer?s factor, laboratory?s factor and other laboratory?s factor. Informants this research consists of three drugs investigators officer, three staff and the head of Laboratory.
Collection of data is done with a depth interviews, analysis, while referring to the standards and opinion research as a laboratory analyst at BNN. From the analysis of the results of the interviews, concluded that Utilization of NNB?s Laboratory that have not been optimal because of a lack of knowledge that are owned by drugs investigators officer about the importance of drugs in the laboratory examiner to help them not only to enforce the law but also important in the mapping of cases and controls drug network . In addition, lack of socialization of drug investigators by the laboratory they have not understood about the function of the laboratory and activities run by the laboratory. The factors are on drugs investigators officer themselves, such as the delivery process hampered because investigators lack the number of personnel who deal drugs, a long time, drugs investigators officer didn?t know about the purpose of examination and laboratory functions well and the other factor is the lack of socialization and promotion of laboratory services to investigators about drug products laboratory services.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25507
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyani Widayati
"ABSTRAK
Tesis ini mempelajari tentang tingkat kepuasan pegawai terhadap penilaian kinerja berdasarkan sistem MUK, berkaitan dengan peran yang dimainkan pegawai dalam sistem MUK tersebut, sebagai pejabat (appraiser and appraisee) maupun non-pejabat (appraisee only). Penelitian dilakukan pada unit bisnis PLN wilayah Kalselteng dengan jumlah sampel sebanyak 678 responden pegawai tetap. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh temuan bahwa pegawai PLN wilayah Kalselteng merasa puas terhadap sistem MUK yang berlaku saat ini.
Hasil uji T menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tingkat kepuasan pejabat dan non-pejabat. Pejabat merasa lebih puas dibandingkan dengan non-pejabat pada dimensi PPJ yaitu dalam hal proses diskusi dalam sistem MUK. Hasil dari regresi linier sederhana menunjukkan bahwa dimensi SPJ berpengaruh secara signifikan sebesar 9,7% dalam kepuasan terhadap sistem MUK, PPJ sebesar 15,1% dan DJ sebesar 25,2%. Meskipun sebagian besar pegawai puas dengan penilaian kinerja berdasarkan sistem MUK yang berlaku saat ini, namun dari analisis performance-importance menunjukkan bahwa PLN wilayah Kalselteng perlu melakukan perbaikan dalam proses sistem MUK sebagai prioritas utama untuk diperbaiki, khususnya dalam hal proses pelaksanaan diskusi dalam sistem MUK.

ABSTRACT
This thesis examined about the level of employee satisfaction to the performance appraisal based on MUK system, related to the role the employee play in the MUK system, as a functionary officer (appraiseer and appraisee) and non-functionary (appraisee only) officer. Research was done at the business unit of PLN Kalselteng Region with 678 respondents from different levels and positions. These research found that employees of PLN Kalselteng Region felt satisfied to the current MUK system.
Result of the T-test denoted significant difference exist between satisfaction level of the functionary officer and non-functionary officer. Functionary officers were more satisfied than non-functionary officer on the PPJ dimension in term of discussion process of the MUK system. Result of the simple linier regression indicated that SPJ dimension had 9,7% significant effect on satisfaction with the MUK system, PPJ 15,1% and DJ 25,2%. Although most of employees satisfied with the performance appraisal based on the current MUK system, but analysis of performance-importance indicated that PLN wilayah Kalselteng required to make improvement on the process of the MUK system as the main priority to take, especially in the area of discussion process of the MUK system."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>