Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adrian Nofty
Abstrak :
ABSTRAK
Pertumbuhan pekerja perempuan dari tahun ke tahun meningkat secara tajam. Untuk memenuhi tuntutan target produksi perusahaan yang semakin tinggi, maka tidak sedikit pekerja perempuan dipekerjakan pada malam hari, seperti yang terjadi di PT. Ricky Putra Globalindo Tbk. Dalam hal ini, upaya perliindungan yang dilakukan oleh pemerintah dituangkan melalui regulasi yang m,emberiikan kewajiban bagi pengusaha untuk melakukan penyediaan makanan clan minumaan, penjagaan kesusilaan serta penyediaan transportasi, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dari Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00, sebagai peraturan pelaksana dad Undang-Undang Nomor 13 Tabun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih lanjut, upaya pemeari.ntah untuk mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan tersebut juga dmwujudkan dengan pengawasan ketenagakerjaan yang dilakukar oleh Dinas Tenaga Keaafa dart Transmigrasi Kabupaten Bogor. Pada umumnya, PT. Ricky Putra Globalindo Tbk. turut berperan serta secara aktif dalarn memberikan perlindungan terhadap hak asasi pekerja perempuan, seperti tidak mempekerjakan pekerja perempuan yang berumuff kurang dad 18 (delapan betas) tahun, tidak mempekerjakan pekerja perempuan Nang hamil, tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan nenikah, hamil dan melahirkan, memberikan istirahat atau cuff bald, hamil, melabirkan dan keguguran kandungan, serta memberikan kesempatan menyusui anak. Akan tetapi, pelaksanan waktu kerja malam bagi pekerja perempuan di PT- Ricky Putra Globalindln Tbk. tidak serta merta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang beiiaku. Berbagai penyimpangan hukum ditemukan sebagai akibat dari kendala yang dihadapi oleh perusahaan dalam penerapannya. Dalam hal ini, pengawasan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor masih lemah, sehingga dapat menimbulkan terjadinya penyimpangan yang semakin luas, terutama yang dapat mengancam ketertiban dan ketenangan kerja dalam Hubungan Industrial Pancasila di perusahaan.
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2007
T19305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti
Abstrak :
ABSTRAK Para pengguna ciptaan lagu mengalami kebingungan dalam hal kepada pihak mana mereka harus membayar royalti atas suatu lagu yang mereka umumkan. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai collecting society dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia hanya berdasarkan kesepakatan antara organisasi profesi dengan Pengguna Ciptaan saja. Di Indonesia, ada beberapa lembaga yang memungut royalti. Salah satunya adalah Karya Cipta Indonesia. Asosiasi Rekaman Industri Indonesia menyatakan bahwa Karya Cipta Indonesia tidak berhak memungut royalti karena tidak diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta dan sistem pemungutan royaltinya hanya didasarkan atas pemberian kuasa. Tesis ini berisi analisis mengenai cara mengatasi ambiguitas collecting society di Indonesia terkait dengan pemungutan royalti terhadap pengumuman suatu lagu dan lembaga mana yang berhak memungut royalti terhadap pengumuman suatu lagu. Oleh karena pengaturan mengenai pemungutan royalti hanya berdasarkan kesepakatan saja maka pada dasarnya pihak manapun berwenang untuk memungut royalti atas pengumuman lagu jika ada kuasa dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta. Sehingga tidak ada ambiguitas collecting society di Indonesia mengingat ruang lingkup Asosiasi Industri Rekaman Indonesia adalah berhubungan dengan produser rekaman, sedangkan Karya Cipta Indonesia merupakan suatu lembaga yang memungut royalti. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif-empiric dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Saran Penulis adalah Pencipta/Pemegang Hak Cipta sebaiknya memberi kuasa kepada lembaga yang telah mengikuti aturan Confederation International des Societes des Auters et Compositeurs mengingat karena merupakan konfederasi dari seluruh collecting society di seluruh dunia dan ketentuan mengenai collecting society hanya sebagian kecil diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini.
ABSTRACT Song's users feel confuse about to whom the royalty that they have to pay when they announce a song. These things happen because the law about collecting society in Indonesian copyrights law only based on the deal between the organization and the users. There are some organizations in Indonesia that collect the royalty. One of them is Karya Cipta Indonesia. Asosiasi Rekaman Indonesia stated that Karya Cipta Indonesia does not have the rights to collect the royalty because it is not mentioned and ruled by the Indonesian copyrights laws and the collecting system are also only based on the mandatory that has been given before. This thesis content is about how to handle ambiguity in collecting society in Indonesia related with the royalty collecting when a song is being announced and which organization that has the right to do that. Because of the rules about royalty collecting is only based on the agreement, then any organizations have the right to collect it if there is a mandate from the creator. So there will not be an ambiguity in collecting society in Indonesia, considering the scope in Asosiasi Industri Rekaman Indonesia related with the recording producers, while Karya cipta Indonesia is an organization that collect the royalty. This thesis using the normative-empirical research methode and being analyzed with qualitative approach. The creator should give the mandatory to the organizations that have followed the rules in Confederation International des Societes des Auters et Compositeurs considering this is the confederation from all the collecting society in the world and the laws about collecting society only some that have been ruled by the copyrights laws this time.
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2007
T19564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldy Amrullah
Abstrak :
ABSTRAK
Pekerja/buruh dan pengusaha adalah para pelaku utama di tingkat perusahaan. Di satu sisi, para pengusaha dan pekerja mempunyai kepentingan yang sama yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan, namun disisi lain tidak dipungkiri diantara keduanya terdapat perbedaan bahkan potensi konflik. Konflik tersebut berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak yang pada dasarnya memang ada perbedaan Sebelum th 2004, penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih didasarkan pada peraturan yang lama yaitu UU No. 22 Th 1957 ttg Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Undang-undang No. 22 Th 1957 tersebut membagi perselisihan hubungan industrial menjadi perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Dikenal pula Iembaga P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) Pada tanggal 14 Januari 2004 disahkanlah Undang-undang No. 2 Th 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mulai berlaku efektif pada tanggal 14 Januari 2004. Berkaitan dengan disahkannya UU No. Th 2004 adalah menyangkut eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial yang berakibat dihilangkannya lembaga yang selama ini ada dan dikenal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yaitu P4D dan P4P. Dalam UU No. 2 Th 2004, perselisihan hubungan industrial tidak hanya dipandang sebagai perselisihan hak dan perselisihan kepentingan, tetapi juga menyangkut perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dan serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. UU No. 22 Th 1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan secara kolektif saja, sedangkan dalam perspektif lain penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja secara perorangan belum terakomodasi. Apabila dikaji dari soal efisiensi waktu penyelesaiannya, maka dapat dilihat bahwa proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 22 Th 1957 sangat bertele-tele. Dan proses bipartit hingga panitia penyelesaian perselisihan perburuhan Pusat. Dan hasil tersebut, ternyata masih berkepanjangan karena hasil dan P4P itu masuk dalam kualifikasi Beschikking, sehingga dapat dimajukan upaya hukum PTUN sampai Mahkamah Agung. Dalam UU No. 2 Th 2004 mempunyai semangat bahwa penyelesaian sengketa dari awal hingga akhir tidak akan melebihi waktu 140 hari, namun bukan berarti pula undangundang ini lebih baik dan UU No. 22 Th 1957 Ttg Penyelesaian Perselisihan Perburuhan karena tidak konsekuensi sanksi terhadap tingkatan pengadilan apabila melewati batas waktu yang telah ditentukan untuk memberikan putusan yang final terhadap permasalahan sengketa hubungan industrial
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2007
T19895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldy Amrullah
Abstrak :
ABSTRAK
Pekerja/buruh dan pengusaha adalah para pelaku utama di tingkat perusahaan. Di satu sisi, para pengusaha dan pekerja mempunyai kepentingan yang sama yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan, namun disisi lain tidak dipungkiri diantara keduanya terdapat perbedaan bahkan potensi konflik. Konflik tersebut berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak yang pada dasarnya memang ada perbedaan Sebelum th 2004, penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih didasarkan pada peraturan yang lama yaitu UU No. 22 Th 1957 ttg Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Undang-undang No. 22 Th 1957 tersebut membagi perselisihan hubungan industrial menjadi perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Dikenal pula Iembaga P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) Pada tanggal 14 Januari 2004 disahkanlah Undang-undang No. 2 Th 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mulai berlaku efektif pada tanggal 14 Januari 2004. Berkaitan dengan disahkannya UU No. Th 2004 adalah menyangkut eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial yang berakibat dihilangkannya lembaga yang selama ini ada dan dikenal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yaitu P4D dan P4P. Dalam UU No. 2 Th 2004, perselisihan hubungan industrial tidak hanya dipandang sebagai perselisihan hak dan perselisihan kepentingan, tetapi juga menyangkut perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dan serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. UU No. 22 Th 1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan secara kolektif saja, sedangkan dalam perspektif lain penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja secara perorangan belum terakomodasi. Apabila dikaji dari soal efisiensi waktu penyelesaiannya, maka dapat dilihat bahwa proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 22 Th 1957 sangat bertele-tele. Dan proses bipartit hingga panitia penyelesaian perselisihan perburuhan Pusat. Dan hasil tersebut, ternyata masih berkepanjangan karena hasil dan P4P itu masuk dalam kualifikasi Beschikking, sehingga dapat dimajukan upaya hukum PTUN sampai Mahkamah Agung. Dalam UU No. 2 Th 2004 mempunyai semangat bahwa penyelesaian sengketa dari awal hingga akhir tidak akan melebihi waktu 140 hari, namun bukan berarti pula undangundang ini lebih baik dan UU No. 22 Th 1957 Ttg Penyelesaian Perselisihan Perburuhan karena tidak konsekuensi sanksi terhadap tingkatan pengadilan apabila melewati batas waktu yang telah ditentukan untuk memberikan putusan yang final terhadap permasalahan sengketa hubungan industrial
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2007
T 02209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti
Abstrak :
ABSTRAK Para pengguna ciptaan lagu mengalami kebingungan dalam hal kepada pihak mana mereka harus membayar royalti atas suatu lagu yang mereka umumkan. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai collecting society dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia hanya berdasarkan kesepakatan antara organisasi profesi dengan Pengguna Ciptaan saja. Di Indonesia, ada beberapa lembaga yang memungut royalti. Salah satunya adalah Karya Cipta Indonesia. Asosiasi Rekaman Industri Indonesia menyatakan bahwa Karya Cipta Indonesia tidak berhak memungut royalti karena tidak diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta dan sistem pemungutan royaltinya hanya didasarkan atas pemberian kuasa. Tesis ini berisi analisis mengenai cara mengatasi ambiguitas collecting society di Indonesia terkait dengan pemungutan royalti terhadap pengumuman suatu lagu dan lembaga mana yang berhak memungut royalti terhadap pengumuman suatu lagu. Oleh karena pengaturan mengenai pemungutan royalti hanya berdasarkan kesepakatan saja maka pada dasarnya pihak manapun berwenang untuk memungut royalti atas pengumuman lagu jika ada kuasa dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta. Sehingga tidak ada ambiguitas collecting society di Indonesia mengingat ruang lingkup Asosiasi Industri Rekaman Indonesia adalah berhubungan dengan produser rekaman, sedangkan Karya Cipta Indonesia merupakan suatu lembaga yang memungut royalti. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif-empiric dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Saran Penulis adalah Pencipta/Pemegang Hak Cipta sebaiknya memberi kuasa kepada lembaga yang telah mengikuti aturan Confederation International des Societes des Auters et Compositeurs mengingat karena merupakan konfederasi dari seluruh collecting society di seluruh dunia dan ketentuan mengenai collecting society hanya sebagian kecil diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini.
ABSTRACT Song's users feel confuse about to whom the royalty that they have to pay when they announce a song. These things happen because the law about collecting society in Indonesian copyrights law only based on the deal between the organization and the users. There are some organizations in Indonesia that collect the royalty. One of them is Karya Cipta Indonesia. Asosiasi Rekaman Indonesia stated that Karya Cipta Indonesia does not have the rights to collect the royalty because it is not mentioned and ruled by the Indonesian copyrights laws and the collecting system are also only based on the mandatory that has been given before. This thesis content is about how to handle ambiguity in collecting society in Indonesia related with the royalty collecting when a song is being announced and which organization that has the right to do that. Because of the rules about royalty collecting is only based on the agreement, then any organizations have the right to collect it if there is a mandate from the creator. So there will not be an ambiguity in collecting society in Indonesia, considering the scope in Asosiasi Industri Rekaman Indonesia related with the recording producers, while Karya cipta Indonesia is an organization that collect the royalty. This thesis using the normative-empirical research methode and being analyzed with qualitative approach. The creator should give the mandatory to the organizations that have followed the rules in Confederation International des Societes des Auters et Compositeurs considering this is the confederation from all the collecting society in the world and the laws about collecting society only some that have been ruled by the copyrights laws this time.
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2007
T 02328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilyas Kausar
Abstrak :
Terdapat Akta Penegasan Pengoperan dan Penyerahan Hak yang dibuat oleh Notaris sebagai penegasan pengikatan jual beli (perjanjian obligatoir) berdasarkan surat pernyataan di bawah tangan terhadap objek perjanjian yang masih terikat dengan perjanjian kredit (prinsipil) dan dibebankan dengan hak tanggungan (accessoir) sebagai hak kebendaan. Akta tersebut tidak diberitahu dan tidak memiliki persetujuan dari kreditur sebagai prosedur adanya peralihan hak, sehingga mengakibatkan batal demi hukum berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Klausul pada perjanjian kredit yang tidak terpenuhi, sehingga melanggar syarat objektif perjanjian. Selain itu, tidak terdapat itikad baik yang dilakukan oleh penjamin, dikarenakan penjamin telah menjual kembali objek perjanjian tersebut kepada pihak ketiga sehingga menimbulkan wanprestasi. Metode penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian menggunakan deskriptif analitis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh penggugat selaku pembeli pertama tidak diberikan oleh Pengadilan, yang seharusnya Penggugat diperhatikan hak-haknya terkait Akta dimana Penggugat telah membayar lunas kepada Tergugat. Sementara itu Notaris sebagai pembuat Akta telah sesuai berdasarkan peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal ini undang-undang jabatan notaris. Saran dalam tesis adalah Majelis Hakim seharusnya memperhatikan hak-hak Penggugat terkait materil dan imateriil. Selain itu perlunya sistem Teknologi integrasi terkait perjanjian kredit dimana tujuannya agar memudahkan para pihak yang mendaftarkan pengikatan jual beli melalui sistem integrasi sehingga tidak ada kepentingan yang tumpang tindih (overlapping).
There is a Deed of Confirmation of Transfer and Transfer of Rights made by a Notary as a confirmation of a sale and purchase agreement (obligatory agreement) based on a handwritten statement against the object of the agreement that is still bound by the credit agreement (principal) and is charged with an accessoir as a material right. The deed was not notified and did not have the approval of the creditor as a procedure for transfer of rights, resulting in legal nullification based on the decision of the West Java High Court. The clause on the credit agreement is not fulfilled, thus violating the objective terms of the agreement. In addition, there is no good faith carried out by the surety, because the guarantor has resold the object of the agreement to a third party, giving rise to default. This research method uses normative juridical research, research typology uses descriptive analytical. The results of the study concluded that the legal protection provided by the plaintiff as the first buyer was not provided by the Court, which should have paid attention to the Plaintiff's rights related to the Deed in which the Plaintiff had paid in full to the Defendant. Meanwhile, the Notary as the deed maker has complied with the statutory regulations, especially in this case the notary office law. The suggestion in the thesis is that the Panel of Judges should pay attention to the rights of the Plaintiff regarding material and immaterial. In addition, there is a need for an integrated technology system related to credit agreements where the aim is to make it easier for the parties to register sale and purchase agreements through the integration system so that there are no overlapping interests.
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Evidia Yuvidiantie
Abstrak :
ABSTRAK
Disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf membuka peluang bagi notaris untuk membuat akta ikrar wakaf meliputi wakaf benda tidak bergerak, benda bergerak dan wakaf uang. Penelitian ini bersifat eksplanatoris, yaitu untuk mengetahui peranan baru notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, akta ikrar wakaf sebagai akta otentik yang memenuhi ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta persiapan notaris menjadi Pejabat Pembuatan Akta Ikrar Wakaf. Penulis menggunakan studi kepustakaan dengan mengkaji berbagai data yuridis dan melakukan wawancara dengan nara sumber yang kompeten dan memahami materi mengenai wakaf benda bergerak, wakaf uang, serta akta perwakafan. Hasil wawancara tersebut bahwa peranan notaris sangat dibutuhkan dalam pembuatan akta ikrar wakaf, terutama untuk wakaf yang bernilai tinggi dengan jangka waktu tertentu. Akta ikrar wakaf merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan hukum yang kuat. Oleh karena itu, akta ikrar wakaf harus memenuhi ketentuan yang diatur pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam akta ikrar wakaf harus memuat kehendak pemberi wakaf, sehingga ada jaminan perlindungan hukum bagi pemberi wakaf dan benda yang diwakafkan apabila jangka waktunya sudah terakhir. Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu beragaman Islam, telah mengikuti pelatihan perwakafan dan keuangan syariah serta dinyatakan lulus oleh tim berwenang yang dibentuk pemerintah. Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf diangkat oleh pemerintah di wilayah keijanya sesuai dengan surat keputusan pengangkatan sebagai notaris.
ABSTRACT
The legalization of Law No. 41 of 2004 on Donation (Wakaf) and the enforcement of Regulation of Government No. 42 o f 2006 regarding the Implementation o f Wakaf have opened opportunity to notary public in drawing up deed of commitment on wakaf. The role of notary public includes immovable object of wakaf, movable object and wakaf of money. This research is explanatory, namely to find out how the new role o f notary public as Official Drawing Up Commitment on Wakaf. The writer employs literature by studying various juridical data to determine the role of notary public in drawing up commitment on movable object wakaf, wakaf of money. The writer also conducted interviews with source persons being competent and understanding materials on movable object wakaf, wakaf of money, and deed o f wakaf. Results of the interview show that the role of notary public is much required in drawing up deed o f commitment on wakaf, especially on movable object donation (wakaf), including wakaf o f money at high amount and donated for certain time period. Deed of commitment on wakaf is authentic deed having strong law force. Thus, deed of commitment on donation must fulfill provision in Article 1868 o f Civil Code. In the deed of commitment on wakaf, there should contain the will of donor, that there is security assurance for the donor and object to donate if the period has been ended. Notary public eligible to be Official Drawing Up Deed of Commitment on Wakaf shall meet special requirements, namely, Muslim, has followed training on wakaf and Sharia banking and declared to have passed by authoritative team established by the government. Notary public as Official Drawing Up Deed of Commitment on Wakaf shall be appointed by government in which the scope of area according to the decision on appointment as notary public.
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2008
T37013
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lexyndo Hakim
Abstrak :
Pembatalan Sertifikat Desain Industri di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri no. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian normatif. Penulis melakukan penelitian terhadap Sertifikat desain industri Penggaris dengan No. ID 0000759, No. ID. 0004475 dan No. ID. 0010242. Pemegang Sertifikat No. ID 0000759 mengajukan gugatan pembatalan terhadap Sertifikat No. ID. 0004475. Gugatan tersebut dikabulkan dengan Putusan No. 04K/N/HAKI/2006 jo. No.58/DESAIN INDUSTRI/2005/PN. NIAGA. JKT. PST. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis menemukan fakta yang memperlihatkan bahwa pembatalan Sertifikat No. ID. 0004475 adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seharusnya yang menjadi penilaian majelis Hakim pemeriksa perkara tersebut adalah dalam hal bentuk dan bukan terhadap konfigurasi dari kedua Sertifikat tersebut, karena konfigurasi pada kedua Sertifikat tersebut tidak mendapat perlindungan hukum desain industri. Hasil penelitian berikutnya, ditemukan bahwa terbitnya Sertifikat No. ID. 0010242 adalah sudab sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, Selanjutnya, cakupan perlindungan penggaris pada Sertifikat No. ID. 0000759 dan No. ID. 0004475 adalah hanya bentuk saja, karena konfigurasi dalam hal ini sama sekali tidak mendapatkan perlindungan hukum desain industri, Menurut penulis, sebaiknya UUDI 31/2000 no.PP 01/2005 lebih disempurnakan dengan menambah beberapa pasal yang mengatur secara tegas mengenai cakupan pemberian perlindungan desain industri dan mengenai definisi persamaan desain industri, sehingga permasalahan hukum desain industri dapat dihindari di kemudian hari.
Depok: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2008
T36969
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia . Fakultas Hukum , 2014
LP 2015 7
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syarief Umar
Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan, 2010
T27923
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>